Header Ads

Header ADS

SABUK SASRA NAGA INTEN (SH MINTARDJA) Bagian 1-120

*Sebuah Karya dari Bapak SH Mintrdja*




001
AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang diaduk dan
kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu menjadi semakin hitam. Sehitam
suasana Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana terjadi perebutan pengaruh antara Wali
pendukung kerajaan Demak dengan Syeh Siti Jenar.
Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa diselesaikan dengan
pertumpahan darah.
Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga yang juga
disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama Mas
Karebet. Karena dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga disebut
Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan Sultan Trenggana. Jaka
Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.
Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda seperguruan dari Ki Ageng
Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi
meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta wajah-wajah yang dicintainya. Ia
merantau, untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak diinginkan.
Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara sebagai seorang
prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang telah
menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada
Demak tidak juga susut.
Hanya dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang tidak ada lagi persoalan mereka yang
berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal raja. Ia bertubuh tegap kekar,
berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh, begitu mahir mempermainkan segala
 macam senjata, bahkan benda apapun yang dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam
memancar dengan tajam sebagai pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya
tampak bening dan lembut.
Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki Ageng Sela inilah
yang kemudian menjadi salah seorang guru dari Mas Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir,
sebelum menduduki tahta kerajaan.
Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi karena persahabatan mereka yang
karib, maka seringkali mereka berdua tampak berlatih bersama. Saling memberi dan
menerima atas izin guru mereka masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan
dibanding dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang bernama
Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai orang percaya bahwa ia
mampu menangkap petir.
Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak yang sederhana, apabila
dikehendaki ia mampu membelah batu sebesar kepala kerbau dengan tangannya. Apalagi
kalau ia sengaja memusatkan tenaganya.
Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan perjalanannya dari rumah almarhum
kakak seperguruannya, Ki Kebo Kenanga di Pengging. Ia sengaja menghindarkan diri dari
pengamatan orang. Mula-mula Mahesa Jenar berjalan ke arah selatan dengan menanggalkan
pakaian keprajuritan, dan kemudian membelok ke arah matahari terbenam.
Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di suatu perbukitan yang terkenal
sebagai bekas kerajaan seorang raksasa bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu
kemudian dikenal dengan nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan ini,
yang bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang untuk menyepi. Di
sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan seorang gadis yang tersesat ke puncak
Gunung Ijo itu.
Mula-mula gadis itu akan dimakannya, tetapi niat itu diurungkan karena pesona
kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian diambilnya menjadi permaisuri, ketika ia
kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan. Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal
dengan nama Roro Jonggrang.
Dan karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa, yang juga ingin
memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka, disumpah menjadi patung batu.
Candi tempat patung itu lah yang kemudian terkenal dengan nama Candi Jonggrang.
Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di puncak bukit itu terasalah sesuatu
yang tak wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang
alangkah bedanya. Tempat ini tidak lagi sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput
liar tumbuh di sana-sini.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka manusia. Melihat
kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak enak. Ia menjadi sangat berhati-hati
karenanya. Tetapi ia menjadi tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia
menjadi semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari tempat itu terdapat beberapa
macam benda alat minum dan batu-batu yang diatur sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di
atasnya terdapat pula sebuah kerangka manusia.

Mahesa Jenar pernah belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai beberapa hal tentang
tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat menduga bahwa rangka-rangka itu adalah
rangka perempuan yang tidak tampak adanya tanda-tanda penganiayaan.
Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu berselang telah terjadi suatu upacara aneh di
atas bukit ini. Tetapi ia tidak tahu macam upacara itu.
Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat keterangan dari penduduk sekitarnya.
Tetapi Mahesa Jenar menjadi kecewa ketika ia melayangkan pandangannya ke sekitar bukit
itu. Tadi ia sama sekali tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah
menjadi belukar.Agaknya sudah beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi digarap.
Ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan keterangan lebih banyak lagi tentang
kerangka-kerangka tersebut, maka dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar
dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan
mendaki tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat kerajaan Prabu
Baka.
Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di dataran sekitarnya. Di
sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat
juga Mahesa Jenar mengagumi karya yang telah menghasilkan candi-candi itu.
Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000 itu adalah hasil kerja Bandung Bandawasa
hanya dalam satu malam saja, untuk memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika
ternyata Bandung Bandawasa akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat
curang. Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi
yang ke 1.000.
Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi yang sedang
menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti mengalirnya gelombang-gelombang kecil di
pantai karena permainan angin.
002
TIBA-TIBA Mahesa Jenar teringat akan kerangka-kerangka yang ditemukannya di atas
Gunung Ijo. Di dekat persawahan yang sedang menghijau itu pasti ada penduduknya. Di sana,
mungkin ia akan mendapat beberapa keterangan tentang kerangka-kerangka itu.
Karena pikiran itu maka segera ia menuruni bukit dan cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di
sebelah Candi Jonggrang di tepi Sungai Opak.
Ketika ia sampai di desa itu, terasa alangkah asingnya penduduk menerima kedatangannya.
Anak-anak yang sedang bermain di halaman dengan riangnya, segera berlari-larian masuk ke
rumah. Terasa benar bahwa beberapa pasang mata mengintip dari celah-celah dinding
rumahnya.
“Apakah yang aneh padaku?” pikirnya.

Ia merasa susah untuk menemukan orang yang dapat diajak berwawancara untuk menjalankan
beberapa soal, terutama mengenai peristiwa Gunung Ijo.
Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa itu serasa tertutup baginya. Beberapa kali ia berjalan
hilir mudik kalau-kalau ia berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau seseorang
yang menyapanya. Tetapi sudah untuk kesekian kalinya tak seorang pun dijumpainya, dan tak
seorang pun menyapanya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengetuk salah satu dari
sekian banyak pintu-pintu yang tertutup.
Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak wajar. Dari balik-balik pagar batu di sekitarnya,
didengarnya dengus nafas yang tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi rasarasanya banyak orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu. Mahesa Jenar tidak
mengerti maksud mereka mengintip dari balik-balik pagar. Karena itu ia pura-pura tidak
mengetahui akan hal itu.
Tetapi ketika ia akan melangkahkan kakinya menginjak ambang regol sebuah halaman,
berloncatanlah beberapa orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya. Semuanya
membawa senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan pendek, pedang, keris dan
sebagainya.
Mahesa Jenar sebentar terkejut juga, tetapi cepat otaknya bekerja. Ia segera mengambil
kesimpulan bahwa agaknya memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga
bahwa orang-orang itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada. Sebagai
orang asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia dicurigai. Itulah sebabnya ia
mengambil keputusan untuk tidak berbuat apa-apa, dan hanya akan menurut semua perintah
yang akan diterima.
Orang yang menjadi pemimpin rombongan itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu
besar, tetapi otot-ototnya yang kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan
kanannya terselip sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di sampingnya berdiri
seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat.
Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun kecuali sebuah cambuk
besar yang ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada juntai cambuk itu diikatkan
beberapa potongan besi, batu dan tulang-tulang.
Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang tokoh terbesar dari para pengawal desa itu,
disamping beberapa pengawal lain yang segera mengepungnya.
“Ikut kami!” Tiba-tiba terdengarlah sebuah perintah yang menggelegar keluar dari mulut
orang yang tinggi besar itu.
Terasalah oleh Mahesa Jenar betapa orang yang tinggi besar itu ingin mempengaruhinya
dengan suaranya.
Mahesa Jenar yang sudah mengambil keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat
menimbulkan keributan, menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu
berjalan di depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah di
belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para pengawal.

Rombongan itu berjalan menyusur jalan desa menuju ke sebuah rumah yang agak lebih besar
dari rumah-rumah yang lain, berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas. Mereka
memasuki halaman itu dengan melewati sebuah gerbang yang dikawal orang di kirikanannya, sedangkan di halaman itu pun telah pula menanti beberapa orang laki-laki yang
juga bersenjata. Diantara mereka berdirilah seorang laki-laki yang sudah agak lanjut usianya.
Pemimpin rombongan serta orang yang tinggi besar langsung mendatangi orang tua itu.
Mahesa Jenar masih saja mengikuti di belakangnya.
“Kakang Demang,” lapor pemimpin rombongan itu, “orang ini terpaksa kami curigai.
Selanjutnya terserah kebijaksanaan kakang.”
Orang tua yang ternyata demang dari daerah itu, mengangguk-anggukkan kepalanya.
Beberapa garis umur telah tergores di wajahnya, tetapi ia masih nampak segar dan kuat.
Wajahnya terang dan bersih. Giginya masih utuh, putih berkilat diantara bibir-bibirnya yang
tersenyum ramah.
“Ia sedang menyelidiki daerah kami, Kakang. Mungkin ia menemukan seorang gadis untuk
korbannya,” tiba-tiba laki-laki yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya yang
bergerat. Sesudah itu ia memandang berkeliling dan tampaklah setiap laki-laki yang kena
sambaran matanya mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Pikiran yang terang dari Mahesa Jenar segera dapat menghubungkan ucapan ini dengan
kerangka-kerangka yang ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian
dengan peristiwa yang sedang menjadi tanda tanya di dalam hatinya.
Demang tua itu memandang Mahesa Jenar dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya.
Umurnya yang telah lanjut, menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang
yang baru saja dijumpainya. Dan terhadap Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya maksudmaksud buruk.
“Bolehkah aku bertanya?” kata Demang tua itu dengan nada yang berat tetapi sopan dan
rumah. “Siapakah nama Ki Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak? Sebab menurut
pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang dari daerah kami.”
Mula-mula Mahesa Jenar ragu. Haruskah ia mengatakan keadaan yang sebenarnya, ataukah
lebih baik menyembunyikan keadaan yang sebenarnya ...? Ia masih belum tahu, sampai di
mana jauh akibat tindakan-tindakan pemerintah Kerajaan Demak terhadap para pengikut Syeh
Siti Jenar. Kalau ia tidak berkata yang sebenarnya, maka ada suatu kemungkinan bahwa
kecurigaan orang terhadapnya semakin besar. Mungkin pula ia ditangkap, ditahan atau
semacamnya itu. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian
saja dari keadaannya.
Oleh keragu-raguannya inilah maka sampai beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab,
sehingga ketika baru saja ia akan berkata, terdengarlah orang yang tinggi besar itu
membentak, “Ayo bilang!”
Mahesa Jenar sebenarnya sama sekali tidak senang diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak
ingin ribut-ribut. Maka dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula, “Bapak Demang, kalau

Bapak Demang ingin mengetahui, aku berasal dari Pandanaran. Aku adalah pegawai istana
Demak, yang karena sesuatu hal ingin menjelajahi daerah-daerah wilayah Kerajaan Demak.”
Beberapa orang tampak terkejut mendengar jawaban ini.
003
SEORANG pegawai istana adalah orang yang pantas sekali mendapat kehormatan. Sedang
orang ini? Orang yang mengaku menjadi pegawai istana itu menjadi orang tangkapan. Apakah
kalau hal semacam ini sampai terdengar oleh kalangan istana, tidak akan menjadikan mereka
murka?
Mahesa Jenar merasakan pengaruh kata-katanya itu atas orang-orang yang mengepungnya.
Demikian juga wajah orang tinggi besar itu tampak berubah. Dahinya berkerinyut dan alisnya
ditariknya tinggi-tinggi.
Demang tua itu sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bertanya
lagi dengan nada yang masih sesopan tadi. “Menilik sikap Ki Sanak, memang tepatlah kalau
ki sanak seorang pegawai istana, atau setidak-tidaknya orang-orang kota seperti yang pernah
aku kenal. Tetapi kedatangan Ki Sanak seorang diri kemari, merupakan sebuah pertanyaan
bagi kami."
Sekali lagi tampak wajah-wajah di sekitar Mahesa Jenar berubah. Mereka jadi ikut bertanya
pula di dalam hati.
“Ya, kenapa seorang pegawai istana pergi sedemikian jauhnya seorang diri?”
Tetapi tak seorangpun yang mengucapkan pertanyaan itu.
“Orang ini ingin memperbodoh kita Kakang,” kembali terdengar suara gemuruh orang yang
tinggi besar itu dengan matanya yang berkilat-kilat. Sekali lagi ia memandang berkeliling,
kepada orang-orang yang berdiri memagari. Dan sekali lagi orang-orang itu menganggukangguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Sikap orang yang tinggi besar itu semakin tidak menyenangkan hati Mahesa Jenar, tetapi ia
masih saja menahan dirinya dan menjawab dengan ramah pula.
“Bapak Demang, sebenarnya memang aku mempunyai banyak keterangan mengenai diriku,
tetapi sebaiknyalah kalau keterangan-keterangan itu aku berikan khusus untuk Bapak
Demang, tidak di hadapan orang banyak. Sebab ada hal-hal yang tidak perlu diketahui
umum.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa perkataannya itu mempunyai akibat yang
kurang baik. Orang yang tinggi besar itu, yang sebenarnya bernama Baureksa, dan bertugas
sebagai kepala penjaga keamanan Kademangan Prambanan, merasa sangat tersinggung. Ia
merasa direndahkan oleh orang asing itu, dengan mengesampingkannya dari pembicaraan.
Karena itu ia membentak dengan suaranya yang lantang.
“Apa perlunya Kakang Demang meladeni orang semacam kau? Sekarang saja kau bicara.”

Perlakuan orang itu sebenarnya sudah keterlaluan. Tetapi Mahesa Jenar masih berusaha untuk
menahan diri, dan menjawab dengan baik.
“Apa yang perlu kau ketahui telah aku katakan.”
“Belum cukup,” jawab Baureksa semakin marah. “Apa yang akan kau katakan kepada kakang
Demang?”
Mahesa Jenar memandang kepada orang tua itu. Wajahnya yang bening menjadi agak suram.
Sebenarnya ia dapat menerima permintaan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat menyakiti hati
bawahannya yang merupakan tulang punggung kademangannya. Memang, Demang tua itu
sendiri sering merasa tidak senang akan sikap Baureksa. Tetapi orang ini terlalu berpengaruh
karena kehebatannya. Malahan pernah terpikir olehnya untuk suatu waktu memberi pelajaran
sedikit kepada Baureksa, sebab meskipun usianya telah lanjut tetapi ia masih merasa mampu
untuk melakukannya. Tetapi hal yang demikian akan tidak baik pengaruhnya terhadap rakyat
yang justru sekarang memerlukan perlindungan dari bahaya yang setiap saat dapat
mengancam.
Dan tiba-tiba saja ia mendapat suatu pikiran baik. Menilik tubuh, sikap dan gerak-gerik
Mahesa Jenar, orang tua yang sudah banyak pengalaman itu segera mengenal, bahwa Mahesa
Jenar bukan orang yang pantas direndahkan. Ia tersenyum dalam hati karena pikiran itu.
“Lalu bagaimanakah sebaiknya Baureksa?” tanya Demang tua itu.
Sikap Baureksa semakin garang. Ia merasa bahwa demangnya akan menyerahkan segala
sesuatu kepadanya.
“Orang itu harus berkata sebenarnya,” katanya.
“Kalau tidak mau?” pancing Demang itu.
“Dipaksa!” jawab Baureksa tegas-tegas. Dan jawaban ini memang diharapkan sekali oleh
demang tua itu.
“Bagus... terserah kepadamu. Yang lain sebagai saksi atas apa yang terjadi,” katanya.
Keadaan berubah menjadi tegang. Tak seorangpun mengerti maksud dari kepala daerahnya
itu. Sebenarnya orang-orang itu sama sekali tak menghendaki kejadian-kejadian semacam itu,
sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar adalah orang yang sopan dan baik.
Kalau sekali Baureksa sudah bertindak, biasanya tak dapat dikendalikan lagi. Dan orang yang
diperiksanya biasanya kesehatannya tak dapat pulih kembali. Tetapi tak seorang pun yang
berani menghalang-halanginya sifat-sifatnya yang mengerikan itu. Apalagi kalau orang itu
benar-benar pegawai istana, maka apakah kiranya yang akan terjadi?.
Berbeda sekali dengan pikiran Baureksa.Ia menjadi gembira seperti anak-anak yang mendapat
mainan. Meskipun ia juga mempunyai otak, tetapi tidak dapat bekerja dengan baik. Adatnya
keras dan lekas marah. Apalagi setelah beberapa waktu yang lalu, pada waktu terjadi huru
hara, dan ia tidak mampu untuk mengatasinya. Maka sekarang ia ingin mengembalikan
kepercayaan rakyat atas kehebatannya dengan menumpahkan segala dendamnya kepada orang
asing itu. Tetapi untuk itu ia tidak akan segera turun tangan sendiri. Ia ingin melihat dahulu

sampai dimana kekuatan barang mainannya. Sebab bagaimana tumpulnya otak Baureksa,
namun ia masih juga melihat suatu kemungkinan yang ada pada calon korbannya.
Sebaliknya Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Cepat ia dapat menangkap maksud Demang
tua yang bijaksana itu dengan menangkap pandangan matanya.
“Permainan berbahaya. Demang tua itu sama sekali belum mengenal aku, sebaliknya aku pun
belum mengenal orang macam Baureksa itu,” pikir Mahesa Jenar. Tetapi bagaimana pun,
Mahesa Jenar terpaksa melayaninya kalau ia tidak mau menjadi bulan-bulanan celaka.
“Gagak Ijo...!” tiba-tiba terdengar Baureksa berteriak keras-keras.
Dan orang yang dipanggilnya Gagak Ijo itu dengan gerak yang cekatan meloncat ke hadapan
Baureksa.
Gagak Ijo yang nama sebenarnya adalah Jagareksa adalah seorang pembantu, bahkan tangan
kanan Baureksa. Kedua-duanya mempunyai sifat yang hampir sama. Tubuhnya agak pendek
bulat, sedang otot-ototnya menjorok keluar membuat garis-garis yang sama jeleknya dengan
garis-garis wajahnya.
“Suruh orang itu bicara,” perintah Baureksa.
“Bicara tentang apa Kakang?” tanya Gagak Ijo.
Mendengar pertanyaan itu, Baureksa memaki keras-keras, “Bodoh kau. Suruh dia bicara, di
mana rumahnya, di mana gerombolannya, dan suruh dia katakan kapan gerombolannya akan
datang lagi untuk menculik gadis.”-
Gagak Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia sudah tahu tugasnya. Memeras
keterangan dari orang asing itu.
Perlahan-lahan Gagak Ijo memutar tubuhnya, menghadap Mahesa Jenar. Sebentar ia
mengatur jalan nafasnya, dan dengan perlahan-lahan pula ia mendekati korbannya. Suasana
menjadi bertambah tegang.
004
PERISTIWA semacam ini telah berulang kali terjadi, biasanya dilakukan terhadap para
penjahat atau terhadap mereka yang melanggar adat. Tetapi sekali ini, orang-orang
kademangan itu merasakan adanya suatu perbedaan dengan kejadian-kejadian yang pernah
terjadi.
“Jawab setiap pertanyaanku dengan betul,” perintah Gagak Ijo dengan garangnya. Matanya
menjadi berapi-api dan mulutnya komat-kamit.
“Siapa namamu?”
Pertanyaan yang pertama ini mengejutkan Mahesa Jenar. Ia tidak menduga bahwa dari mulut
orang itu akan keluar pertanyaan yang demikian. Maka untuk pertanyaan yang pertama ini
Mahesa Jenar menjawab dengan tenangnya.

“Namaku Mahesa Jenar.”
Rupa-rupanya ketenangannya ini sangat mengagumkan orang-orang yang menyaksikan
peristiwa itu. Tidak pernah ada seorang pun yang dapat bertindak setenang itu menghadapi
Gagak Ijo, apalagi Baureksa.
“Bagus...” dengus Gagak Ijo. “Nama yang bagus. Mengenal namamu adalah perlu sekali
bagiku. Kalau terpaksa tanganku membunuhmu. Orang-orang sudah tahu bahwa kau bernama
Mahesa Jenar.”
Gagak Ijo lalu mengangguk-angguk dengan sikap yang sombong sekali. Memang, ia
mempunyai kebiasaan untuk tidak segera bertindak. Ia senang melihat korbannya ketakutan
dan bahkan pernah ada yang sampai terjatuh di tempat. Tetapi kali ini ia merasa aneh, Mahesa
Jenar tenang bukan kepalang. Dan ini sangat menjengkelkannya.
“Kau sudah dengar perintah kakang Baureksa? Apa yang harus kau katakan, sekarang
katakanlah.”
“Tak ada yang akan aku katakan,” jawab Mahesa Jenar.
Gagak Ijo terkejut mendengar jawaban itu, sehingga membentak keras.
“Bicaralah!" Lalu suaranya ditahan perlahan-lahan. “Bicaralah supaya aku tidak usah
memaksamu.”
Mahesa Jenar kemudian menjadi jemu melihat sikap Gagak Ijo yang sombong itu. Maka ia
mengambil keputusan untuk cepat-cepat menyelesaikan pertunjukan yang membosankan itu,
dengan membuat Gagak Ijo marah.
“Baiklah aku berkata, bahwa rumahku adalah jauh sekali seperti yang sudah aku katakan
kepada Bapak Demang tadi. Tetapi kedatanganku kemari sama sekali tidak akan menculik
gadis-gadis. Aku datang kemari karena aku ingin menculik kau untuk menakuti gadis-gadis.”
Mereka yang mendengar jawaban itu terkejut bukan main. Alangkah beraninya orang asing
itu. Malahan akhirnya beberapa orang menjadi hampir-hampir tertawa, tetapi ditahannya kuatkuat, kecuali demang tua itu yang tampak tersenyum-senyum.
Sebaliknya Gagak Ijo menjadi marah bukan kepalang. Mukanya menjadi merah menyala dan
giginya gemeretak. Selama hidup ia belum pernah dihinakan orang sampai sedemikian,
apalagi di hadapan Demang dan Baureksa. Maka ia tidak mau lagi berbicara, tetapi ia ingin
menyobek mulut Mahesa Jenar yang sudah menghinanya itu. Dengan gerak yang cepat ia
meloncat dan kedua tangannya menerkam wajah Mahesa Jenar.
Orang-orang yang menyaksikan gerak Gagak Ijo itu menjadi tergoncang hatinya. Mereka
telah berpuluh kali melihat ketangkasan Gagak Ijo, tetapi kali ini gerakannya adalah diluar
dugaan. Hal ini terdorong oleh kemarahannya yang meluap-luap, sehingga semua orang yang
menyaksikan menahan nafas sambil berdebar-debar.
Tetapi gerakan ini bagi Mahesa Jenar adalah gerakan yang sangat sederhana. Bahkan mirip
dengan gerak yang tanpa memperhitungkan kemungkinan yang ada pada lawannya. Untuk

menghindari serangan ini Mahesa Jenar tidak perlu banyak membuang tenaga. Hanya dengan
sedikit mengisarkan tubuhnya dengan menarik sebelah kakinya, Mahesa Jenar telah dapat
menghindari terkaman Gagak Ijo itu. Dengan demikian, karena dorongan kekuatannya sendiri
Gagak Ijo menjadi kehilangan keseimbangan.
Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat membalas
serangan itu dengan suatu pukulan yang dapat mematahkan tengkuk Gagak Ijo. Tetapi
Mahesa Jenar tahu, kalau dengan demikian akibatnya akan hebat sekali. Karena itu, ia hanya
menyerang Gagak Ijo dengan sentuhan jarinya, untuk mendorong punggung Gagak Ijo
dengan arah yang sama. Gagak Ijo yang memang sudah kehilangan keseimbangan, segera
jatuh tertelungkup mencium tanah.
Mereka yang berdiri mengitari arena pertarungan itu, mula-mula mengira bahwa akan
hancurlah muka orang asing itu diremas oleh Gagak Ijo. Tetapi ketika mereka menyaksikan
kenyataan itu, menjadi sangat terkejut dan heran. Gagak Ijo itu sendiri malahan yang
mencium tanah. Banyak diantara mereka tidak dapat melihat apa yang sudah terjadi.
Tetapi dengan demikian Mahesa Jenar tambah berhati-hati, sebab ia tahu bahwa apa yang
dilakukan Gagak Ijo adalah diluar kesadarannya, karena terdorong oleh kemarahannya yang
memuncak. Sehingga dalam tindakan selanjutnya, pastilah Gagak Ijo akan memperbaiki
kesalahannya. Gagak Ijo sendiri kemudian merasa bahwa tindakannya kurang diperhitungkan
lebih dahulu. Ia baru sadar ketika hidungnya sudah menyentuh tanah, dan sebentar kemudian
seluruh mukanya. Peristiwa ini adalah memalukan sekali. Tokoh seperti Gagak Ijo dengan
bulat-bulat terbanting di atas tanah tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menahannya. Karena itu
ia menjadi semakin marah. Hatinya menjadi seperti terbakar dan matanya merah menyalanyala.
Seluruh tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan.
Tetapi setelah mengalami kejadian tersebut, ia tidak berani menyerang dengan membabi buta.
Karena itu, ketika ia mulai menyerang lagi, ia berbuat lebih hati-hati. Dengan kecepatan yang
tinggi, ia menyerang dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar. Tetapi dengan cepat pula
serangan ini dapat dihindari, dan sebelum Gagak Ijo dapat berdiri tegak kembali, Mahesa
Jenar telah membalas menyerang dadanya. Tetapi Gagak Ijo cukup waspada.
005
GAGAK IJO membuat gerakan setengah lingkaran ke belakang untuk menghindari serangan
Mahesa Jenar. Bersamaan dengan itu, kakinya menyambar tangan Mahesa Jenar. Mahesa
Jenar cepat-cepat menarik serangannya, dan secepat itu pula tangannya yang lain menyentuh
kaki Gagak Ijo itu ke atas. Sekali lagi Gagak Ijo kehilangan keseimbangan, dan kali ini ia
jatuh terlentang. Dengan gugup Gagak Ijo berguling dan kemudian berusaha tegak kembali.
Sementara itu Mahesa Jenar telah jemu dengan permainan ini. Ia ingin segera mengakhirinya.
Maka ketika Gagak Ijo hampir berhasil menegakkan dirinya, seperti sambaran kilat telapak
tangan Mahesa Jenar melekat di dada Gagak Ijo. Meskipun Mahesa Jenar hanya
mempergunakan tenaga dorong yang tidak seberapa, tetapi akibatnya hebat sekali. Nafas
Gagak Ijo mendadak serasa berhenti, dan pandangannya menjadi kuning berkunang-kunang.
Meskipun dengan susah payah, ia mencoba untuk menahan diri, tetapi perlahan-lahan ia
terjatuh kembali. Ia terduduk di tanah dengan nafas tersenggal-senggal, sedangkan kedua
tangannya berusaha untuk menahan berat badannya.

 Orang-orang yang melihat pertandingan itu berdiri tanpa berkedip. Gagak Ijo termasuk orang
yang dikagumi di desa itu. Tetapi Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat menjatuhkannya.
Ilmu macam apakah yang dimilikinya?
Belum lagi mereka sempat berpikir lebih banyak, mereka dikejutkan oleh gertak Baureksa
yang gemuruh seperti membelah langit. Ketika ia menyaksikan Gagak Ijo, orang
kepercayaannya dipermainkan orang asing itu, hatinya menjadi panas. Meskipun di antara
kemarahannya itu terselip pula perasaan was-was. Ternyata orang yang dianggapnya barang
mainan itu, adalah barang mainan yang mahal.
Itulah sebabnya maka sebelum mengadu tenaga, Baureksa akan berusaha untuk mengurangi
kegesitan lawannya dengan melukainya lebih dahulu. Cambuknya yang besar dan panjang
dengan potongan-potongan besi, batu dan tulang-tulang itu diputarnya di atas kepala sampai
menimbulkan suara berdesing-desing. Mahesa Jenar kini harus benar-benar waspada.
Suara yang berdesing-desing itu sedikit-banyak dapat menunjukkan kira-kira sampai di mana
kekuatan Baureksa. Hanya apakah Baureksa dapat mempergunakan kekuatan serta tenaganya
dengan baik, itulah yang masih perlu diuji.
Orang-orang yang menyaksikan menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika mereka
melihat Baureksa akan mempergunakan senjatanya, maka menurut pikiran mereka, sedikit
kemungkinannya Mahesa Jenar dapat menyelamatkan diri.
Cambuk Baureksa yang berputar-putar itu, cepat sekali menyambar leher Mahesa Jenar, tetapi
secepat itu pula Mahesa Jenar membungkuk menghindari, sehingga cambuk itu tidak
mengenai sasarannya. Baureksa yang merasa serangannya gagal menjadi semakin marah.
Dengan cepat ia mengubah arah cambuknya dan dengan mendatar ia menyerang arah dada.
Mahesa Jenar sadar bahwa dalam jarak yang agak jauh sulit baginya untuk menghindari
serangan-serangan cambuk Baureksa yang cukup cepat dan keras. Karena itu sebelum
cambuk Baureksa sempat
mengenainya, Mahesa Jenar dengan gerakan kilat meloncat maju, dekat sekali di samping
Baureksa, dan menggempur tangan Baureksa yang memegang senjata itu. Gempuran itu
terasa hebat sekali dan tak terduga-duga. Terasa tulang-tulang Baureksa gemertak. Perasaan
sakit serta panas menyengat-nyengat, tidak hanya pada bagian yang terkena, tetapi seakanakan menjalar sampai ke ubun-ubun. Cambuknya segera terlepas dan melontar jauh.
Baureksa sama sekali tidak mengira bahwa hal yang semacam itu bisa terjadi. Karena itu
sama sekali ia tak dapat memberikan perlawanan, dan membiarkan cambuknya terlontar.
Mengalami hal semacam itu, meskipun terpaksa menahan sakit, Baureksa menjadi bertambah
kalap. Ia mengumpulkan segenap tenaganya dan ingin menebus malunya dengan mematahkan
leher lawannya. Dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan rasa sakitnya, sehingga Mahesa
Jenar tak dapat mengukur akibat gempurannya dengan pasti.
Baureksa cepat-cepat menarik diri untuk segera bersiap-siap menyerang, sedangkan Mahesa
Jenar pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Kembali Baureksa menyerang
lawannya ke dua arah sekaligus. Tangan kanannya menyodok perut, sedangkan tangan kirinya
menghantam pelipis. Mendapat serangan ini Mahesa Jenar segera merendahkan diri serta
memutar tubuh. Tetapi ketika Baureksa melihat bahwa Mahesa Jenar mencoba menghindar,
  segera Baureksa mengubah arah serangannya. Cepat-cepat ia menarik tangannya dan dengan
satu gerakan dahsyat ia meloncat dan menendang kepala lawannya.
Mahesa Jenar tidak menduga bahwa Baureksa dapat meloncat secepat itu. Karena itu ia tidak
lagi sempat mengelak.
Sebenarnya Mahesa Jenar masih akan menghindari bentrokan-bentrokan secara langsung,
sebab sampai sekian ia masih belum dapat menjajagi sampai di mana kekuatan Baureksa yang
sebenarnya. Tetapi kali ini, ia harus melawan serangan kaki Baureksa itu. Maka untuk tidak
mengalami hal-hal yang tidak dikehendaki atas dirinya, terpaksa Mahesa Jenar
mempergunakan sebagian besar dari tenaganya yang dipusatkan pada siku tangan kanannya.
Ia merendah sedikit sambil memiringkan tubuhnya. Maka, terjadilah suatu benturan yang
hebat antara kaki Baureksa dengan siku tangan Mahesa Jenar. Akibatnya hebat pula. Baureksa
ternyata telah mengerahkan seluruh tenaganya, dan ketika ia melihat bahwa Mahesa Jenar
tidak sempat mengelakkan serangannya, ia sudah memastikan bahwa orang asing itu akan
terpelanting dan tidak akan dapat bangun kembali.
Tetapi dugaan itu ternyata meleset sama sekali. Ketika kaki Baureksa yang sudah
mengerahkan seluruh tenaganya itu menyentuh siku tangan Mahesa Jenar, Baureksa merasa
bahwa kakinya seolah-olah menghantam dinding batu yang keras sekali. Dan kini tulangtulang kakinyalah yang bergemeretakan, sedangkan ia terpental oleh kekuatannya sendiri dan
dengan kerasnya terbanting di tanah, sehingga tidak sadarkan diri.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, serentak hatinya bergetar, sampai beberapa
orang menggigil karena tegang. Beberapa orang tidak dapat mengikuti dengan pandangan
matanya tentang apa yang terjadi. Yang mereka ketahui hanyalah Baureksa terbanting di
tanah hingga pingsan.
Demang Pananggalan, demikian nama Demang tua itu, hatinya menjadi cemas menyaksikan
pertempuran itu. Sebab kalau sampai terjadi sesuatu hal, dia lah yang harus
bertanggungjawab.
Cepat-cepat ia mendekati Baureksa yang sedang pingsan. Dirabanya seluruh tubuhnya. Ia
menjadi terkejut sekali ketika tangannya meraba kaki Baureksa yang membentur siku Mahesa
Jenar. Kaki itu terasa dingin sekali dan di beberapa bagian terasa adanya luka dalam yang
berbahaya bila tidak lekas-lekas mendapat pertolongan.
Orang-orang yang berkerumun menjadi terdiam seperti patung. Mereka tidak tahu lagi
bagaimana harus menilai kehebatan orang asing itu, yang dengan bermain-main saja telah
dapat mengalahkan Gagak Ijo dan kemudian sekaligus Baureksa.
006
SEMENTARA itu Baureksa dan Gagak Ijo telah diangkat orang ke dalam sambil menunggu
Ki Asem Gede. Kini perhatian orang seluruhnya tertumpah kepada Mahesa Jenar yang masih
belum bergeser dari tempatnya. Hanya sebentar mereka melirik juga kepada Demang
Pananggalan, sambil bertanya-tanya di dalam hati, apakah seterusnya yang akan diperbuat
oleh demang tua itu?

Sebenarnya pada saat itu Demang Pananggalan telah mengambil keputusan untuk
mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke rumah kademangan dan memberikan keteranganketerangan. Tetapi segera keadaan menjadi tegang kembali ketika seseorang dengan langkah
yang tegap dan tenang memasuki gelanggang.
“Kakang Demang,” kata orang itu dengan nada yang berat berwibawa, “perkenankanlah aku
memperkenalkan diri terhadap orang asing ini.”
Alangkah terkejutnya Demang Pananggalan melihat orang itu memasuki gelanggang. Ia
menjadi kebingungan, sebab sama sekali ia tidak menduga bahwa persoalannya akan berlarutlarut. Orang itu adalah pemimpin pasukan yang menangkap Mahesa Jenar tadi, dan ia adalah
adik kandung demang tua itu. Beberapa kali adik kandungnya yang bernama Mantingan itu
menyatakan ketidaksenangannya atas sikap Baureksa yang sering adigang-adigung-adiguna.
Dan mendadak ia ingin membelanya.
Melihat kebingungan dan keragu-raguan Demang Pananggalan, Mantingan menyambung,
“Aku tidak akan membela seseorang, Kakang. Tetapi aku tidak mau orang lain menyangka
betapa lemahnya kademangan ini. Kami tidak tahu siapakah orang asing itu. Syukurlah kalau
ia bermaksud baik, tetapi kalau orang itu ingin menjajagi kekuatan kita, alangkah
berbahayanya. Sedangkan keterangan yang diberikan bukanlah berarti suatu kebenaran yang
harus kita percaya demikian saja.”
“Tetapi maksudku bukan kau, Mantingan,” kata demang itu tergagap. Sebab ia tahu bahwa
adiknya adalah orang yang berilmu. Ia adalah orang yang lebih hebat daripada dirinya sendiri.
Ia adalah murid kedua Ki Ageng Supit di Wanakerta.
Mantingan adalah seorang dalang yang secara kebetulan sedang mengunjungi kampung
halamannya, yang baru saja didatangi oleh gerombolan yang menculik gadis-gadis. Dan
Mantingan diminta untuk sementara tetap tinggal, kalau ada kemungkinan gerombolan
penculik itu datang kembali.
Tetapi saat itu Mantingan seperti tidak mendengar kata-kata kakaknya. Ia segera
menyerahkan trisulanya kepada orang terdekat yang dengan gugup menerima senjata itu tanpa
kesadaran.
“Ki Sanak,” kata Mantingan kepada Mahesa Jenar dengan sopan, “aku belum pernah bertemu
dengan kau sebelumnya dan juga belum pernah mempunyai suatu persoalan apapun. Tetapi
tadi kau telah mempertunjukkan ketangkasan dan ketangguhanmu. Maka perkenankanlah aku
sekarang mencoba untuk melayanimu dengan sedikit pengetahuan yang aku miliki.”
Mahesa Jenar sibuk menduga-duga dalam hati. Orang ini sikapnya agak berbeda dengan
orang lain yang berada di situ. Menilik sikapnya, sudah seharusnya kalau Mahesa Jenar lebih
berhati-hati melawannya.
“Dan sekarang,” sambung Mantingan, “awaslah... aku mulai.”
Dan sesudah itu, benar-benar ia mulai menyerang. Langkahnya tetap ringan. Ia membuka
serangannya dengan kaki, sedangkan kedua tangannya bersilang melindungi dada.
Melihat serangan ini, Mahesa Jenar terkejut. Ia kenal gerakan pembukaan ini. Ketika orang itu
dipanggil namanya, sama sekali ia tidak menduga bahwa orang itu pulalah yang berdiri di

hadapannya. Bahkan sedang mengadu tenaga dengan dirinya. Ia adalah Dalang Mantingan
dari Wanakerta, murid Ki Ageng Supit. Ia sering mendengar nama itu. Bahkan pernah
tersebar khabar di Demak bahwa Dalang Mantingan seorang diri dapat menangkap tiga
saudara perampok dari Jarakah, di kaki Gunung Merapi, yang dikenal dengan satu nama:
Samber Nyawa.
Gerak pembukaan ini jelas berasal dari Ki Ageng Supit, yang meskipun belum setaraf dengan
gurunya tetapi Ki Ageng Supit juga mempunyai nama yang dikagumi.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat berpikir banyak. Sebab ia segera sibuk melayani lawannya,
yang bergerak menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang cukup tangguh. Akhirnya
Mahesa Jenar tidak dapat hanya bersikap mengelak dan menghindar saja. Ia tidak bisa hanya
bersikap mempertahankan diri saja. Untuk mengurangi kebebasan gerak lawannya, ia harus
ganti menyerang.
Serangan Ki Dalang Mantingan semakin lama menjadi semakin hebat pula. Tangannya
bergerak-gerak dengan cepat dibarengi gerak kakinya yang ringan cekatan. Sekali tangan
Mantingan itu sudah berubah menyambar kening. Tetapi Mahesa Jenar adalah bekas prajurit
pengawal raja, dan ia adalah murid Pangeran Handayaningrat yang juga disebut Ki Ageng
Pengging Sepuh.
Untuk melawan Mantingan, sengaja Mahesa Jenar mempergunakan tanda-tanda khusus dari
perguruannya, sebab jelas bahwa perguruannya mempunyai beberapa persamaan dengan
gerak-gerak yang dilakukan oleh Mantingan.
Segera Mantingan pun dapat pula mengenal tata berkelahi Mahesa Jenar yang juga seperti
ilmunya sendiri, mempunyai sumber yang sama. Yaitu peninggalan almarhum Bra Tanjung,
yang diwarisi oleh Raden Alit yang sedikit bercampur dengan gerak-gerak penyerangan yang
mantap dari Lembu Amisani. Tetapi yang ia tidak tahu dari manakah Mahesa Jenar
mempelajari tata berkelahi itu, yang memiliki banyak perubahan dan penyempurnaanpenyempurnaan dengan gabungan-gabungan yang tepat dan berbahaya.
Itulah sebabnya Mantingan harus berhati-hati benar dan memeras segala kepandaiannya untuk
memenangkan pertandingan ini.
007
KETIKA Mantingan berhasrat untuk cepat-cepat mengakhiri pertandingan ini, ia memusatkan
segala tenaga dan pikiran untuk kemudian sebagai angin ribut melanda lawannya.
“Hebat ...!” pikir Mahesa Jenar ketika ia menerima serangan bertubi-tubi dari Mantingan.
“Memang perguruan Wanakerta memiliki keistimewaan yang tak dapat diabaikan.”
Kemudian terpaksa ia membuat beberapa langkah surut. Tetapi Ki Dalang Mantingan tidak
menyia-nyiakan tiap kesempatan. Cepat ia maju dengan melancarkan gempuran-gempuran
hebat.
Rupa-rupanya Ki Dalang Mantingan menjadi agak gusar ketika serangan serangannya tidak
segera dapat mengenai lawannya, bahkan lawannya itu dapat pula mendesaknya. Karena itu

gerakan-gerakan serta serangan-serangannya menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak mau
mengorbankan namanya seperti Gagak Ijo dan Baureksa.
Demang Panggalan menjadi semakin cemas dan bingung. Ia tidak menghendaki orang asing
yang belum diketahuinya benar-benar asal-usulnya itu mendapat cedera, sebab tidak mungkin
ia berdiri sendiri. Apalagi kalau benar-benar ia orang Istana Demak. Tetapi disamping itu,
Demang Pananggalan sangat sayang kepada adiknya, dan ia sama sekali tidak rela kalau
adiknya mengalami hal-hal yang tidak diharapkan, baik tubuhnya maupun namanya.
Sementara itu pertarungan menjadi semakin sengit. Serangan-serangan Mantingan menjadi
semakin dahsyat dan ia sudah hampir kehilangan pengamatan diri sehingga geraknya tak
terkekang lagi.
Ketika serangannya yang dilancarkan dengan kedua tangannya sekaligus mengarah ke sasaran
yang berbeda dapat dihindari oleh Mahesa Jenar, cepat ia mengubah serangan itu dengan
serangan berikutnya, dengan kaki yang mengarah ke perut Mahesa Jenar. Melihat perubahan
itu Mahesa Jenar terpaksa meloncat mundur.
Tetapi Mantingan rupa-rupanya sudah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dengan
segera. Maka, demikian Mahesa Jenar meloncat mundur, disusulnya pula dengan kaki yang
lain setelah ia memutarkan tubuhnya setengah lingkaran atas kaki yang pertama. Ruparupanya Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa serangan-serangan Mantingan akan
sedemikian bertubi-tubi datangnya, sehingga terasalah tumit Mantingan mengenai
pinggangnya.
Gempuran ini demikian hebat sehingga tubuh Mahesa Jenar bergetar dan hampir saja ia
kehilangan keseimbangan. Meskipun tubuh Mahesa Jenar sudah cukup terlatih serta
mempunyai daya tahan yang kuat, namun terasa juga bahwa tumit yang mengenai
pinggangnya itu menimbulkan rasa sakit.
Kena tendangan ini, hati Mahesa Jenar menjadi agak panas juga. Karena itu ia berketetapan
hati untuk melayani Ki Demang Mantingan dengan lebih bersungguh-sungguh lagi. Maka
segera geraknya berubah menjadi semakin cepat dan keras. Ia membalas setiap serangan
dengan serangan pula. Dan ia sama sekali tidak mau tubuhnya disakiti oleh lawannya lagi.
Ki Dalang Mantingan terkejut melihat perubahan tendangan lawannya. Maka segera ia sadar
bahwa orang yang dilawannya itu berilmu tinggi. Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur.
Satu-satunya kemungkinan baginya adalah, lawannya menghendaki pertempuran itu akan
berlangsung mati-matian.
Dan memang sebenarnyalah demikian.
Serangan-serangan Mahesa Jenar berikutnya datang bertubi-tubi seperti ombak yang
bergulung-gulung menghantam pantai. Bagaimanapun kukuhnya batu-batu karang tebing,
namun akhirnya segumpal demi segumpal berguguran jatuh juga ke laut.
Dalang Mantingan mengeluh di dalam hati. Sebagai seorang yang telah banyak mempunyai
pengalaman, ia merasa bahwa lawannya memiliki kepandaian yang lebih tinggi. 
Dan yang kemudian terjadi adalah, Ki Dalang Mantingan mulai tampak terdesak.
Bagaimanapun ia berusaha, kini ia terpaksa untuk bertahan saja. Ia sama sekali tidak
berkesempatan untuk menyerang. Bahkan beberapa kali ia telah dapat dikenai oleh lawannya,
meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya. Tubuh Mantingan terasa nyeri sekali.
Meskipun demikian ia bukanlah Mantingan kalau sampai ia menyerah.
Demang Pananggalan semakin kebingungan. Ia segera melihat kesulitan adiknya.
Bagaimanapun, ia mempunyai perasaan tidak rela melihat hal yang demikian itu berlangsung.
Mantingan yang dibangga-banggakan seluruh penduduk Kademangan, sekarang akan
dikalahkan oleh orang asing di hadapan penduduknya sendiri. Karena itu hampir di luar
sadarnya ia meloncat maju. Meskipun umurnya sudah lanjut dan tidak sekuat Mantingan,
namun karena pengalamannya maka Demang tua ini nampaknya berbahaya juga. Langsung ia
menyerang Mahesa Jenar dengan gerakan-gerakan yang tak terduga-duga untuk mengurangi
tekanannya pada Mantingan.
Maka segera Mahesa Jenar menjadi sibuk berpikir, apakah maksud yang sebenarnya dari
Demang tua ini.
Penduduk yang mengitari pertarungan itu dengan asyiknya menyaksikan gerak masingmasing dengan keheran-heranan, sebagai suatu hal yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Mendadak mereka terkejut sekali melihat Demang terjun langsung ke arena. Mereka serentak
merasa bangun dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dalam hal yang demikian, bagaimanapun
hebatnya lawan, mereka merasa wajib membela pemimpin mereka meskipun harus
menyerahkan nyawanya.
Serentak mereka menggenggam senjata masing-masing makin erat. Sedangkan beberapa
orang yang berdiri di baris paling depan sudah mulai bergerak.
Mahesa Jenar segera melihat kesulitan yang bakal datang. Karena itu ia semakin waspada. Ia
mulai menghimpun kekuatan-kekuatannya untuk membuat gempuran-gempuran terakhir,
meskipun hal itu dilakukan dengan berat hati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ia harus
terlibat dalam masalah yang sama sekali tak diketahui sebab-sebabnya. Tetapi bagaimanapun,
ia tidak mau dijadikan bulan-bulanan dari peristiwa-peristiwa yang tak diketahui ujungpangkalnya itu.
Tiba-tiba ketika keadaan sudah sedemikian memuncaknya, halaman itu digetarkan oleh
sebuah teriakan nyaring.
“Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, apa yang terjadi?”
Teriakan yang dilontarkan sepenuh tenaga itu bergetar memenuhi halaman Kademangan,
sehingga semuanya terkejut karenanya. Dan pertarungan itu pun segera terhenti.
Ternyata yang berteriak itu adalah Ki Asem Gede, yang datang untuk mengobati Baureksa
dan Gagak Ijo.
“Apa yang terjadi ...?" ulangnya.

Perlahan-lahan matanya memandang berkeliling, ke wajah-wajah yang berdiri di sekitar
halaman itu, kemudian dipandanginya wajah Mantingan dan Demang Pananggalan dengan
matanya yang bening, sehingga membawa pengaruh yang sejuk. Alangkah damainya hati
seorang yang mempunyai wajah dan mata yang begitu lunak. Umurnya sudah lanjut, dan
hampir seluruh rambutnya sudah putih.
008
KI Asem Gede berjalan perlahan mendekati Mahesa Jenar. Lalu membungkuk dengan
hormatnya. “Anakmas, apa yang terjadi?” tanyanya, dan kemudian ia menoleh kepada
Demang Pananggalan dan Ki Dalang Mantingan
“Apa yang terjadi?” ulangnya kembali.
Demang Pananggalan merasa sulit untuk memberi jawaban. Memang ia sendiri bertanya
kepada dirinya, kenapa ini sampai terjadi?
Ketika Pananggalan tidak segera menjawab, Ki Asem Gede kembali memandang kepada
Mahesa Jenar. Matanya hampir tiada berkedip, seakan-akan ia masih belum yakin kepada
penglihatannya.
Ketika ia memasuki halaman itu, dan melihat pertarungan yang sengit, hatinya tersirap. Ia
pernah melihat orang yang bertempur melawan Demang Pananggalan kakak-beradik.
Ia merasa pernah bertemu dengan orang itu di Demak, ketika ia bersama-sama dengan
kakaknya, yang juga seorang ahli obat-obatan, memenuhi panggilan Panji Danapati, untuk
mengobati anaknya yang sakit.
“Anakmas...” katanya kemudian, “bolehkah aku ini, orang tua yang tak berharga menanyakan
sesuatu kepada anakmas?”
Melihat wajah orang tua itu, hati Mahesa Jenar menjadi lunak seketika, bahkan ia agak malu
kepada diri sendiri yang masih sedemikian mudahnya terbakar oleh nafsu.
“Silahkan, Bapak...” jawabnya. “Apakah kiranya yang ingin Bapak ketahui?"
“Maafkanlah orang tua ini,” kata orang tua itu selanjutnya sambil menatap Mahesa Jenar
dengan penuh perhatian. “Maafkan aku, kalau aku berani mengatakan bahwa aku pernah
bertemu dengan Anakmas di Demak.”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia mulai mengingat-ingat,
apakah ia benar-benar pernah bertemu dengan orang itu.
“Aku pernah datang ke Demak,” sambung Ki Asem Gede, “bersama-sama dengan kakakku,
untuk mencoba menyembuhkan sakit putera Panji Danapati, salah seorang perwira dari
perajurit pengawal raja.”
Mendengar kata-kata Ki Asem Gede, tiba-tiba Mahesa Jenar jadi teringat pertemuannya
dengan orang tua itu. Pada saat itu ia sedang berkunjung ke rumah kawan sepasukan yang
pada saat yang bersamaan sedang memanggil dua orang tua untuk mengobati anaknya yang

sedang sakit. Dan ia jadi teringat, bahwa salah seorang dari kedua orang itu, adalah yang
sekarang berdiri di hadapannya.
“Di sana...” Ki Asem Gede melanjutkan, “aku bertemu pula dengan seorang perwira lain,
kawan Panji Danapati itu. Kenalkah Anakmas dengan Panji Danapati?”
Mahesa Jenar agak ragu, tetapi perlahan-lahan ia mengangguk juga.
“Nah...” kata orang tua itu pula, “kalau begitu aku tidak salah lagi, Anakmaslah yang aku
jumpai di ndalem Danapaten. Benarkah?”
Mahesa Jenar masih saja ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin melupakan saja apa yang pernah
terjadi. Meskipun sebenarnya ia masih ingin mengabdikan diri kepada negerinya, tetapi
dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga, saudara seperguruannya, lebih baik ia menyingkirkan
diri, dan mencari cara pengabdian yang lain.
Juga penegasan tentang dirinya akan mempermudah setiap usaha untuk menangkapnya,
apabila ia dianggap berbahaya seperti Ki Kebo Kenanga. Ia tidak ingin kalau sampai terjadi
bentrokan dengan orang-orang yang sedang menjalankan kewajibannya, serta,kawan-kawan
seperjuangannya dahulu. Maka lebih baik baginya untuk menjauhkan diri saja dari setiap
kemungkinan itu.
Tetapi sekarang ia tidak dapat mengingkari pertanyaan orang tua itu. Karena itu, kembali
Mahesa Jenar mengangguk lemah.
Oleh anggukan itu, tiba-tiba Ki Asem Gede membungkuk lebih hormat lagi dan dengan
suaranya yang lembut ia berkata, “Kalau begitu Anakmas ini adalah tuanku Rangga Tohjaya.”
Perkataan Ki Asem Gede itu seperti petir datang menyambar telinga Ki Dalang Mantingan
serta Demang Pananggalan. Ia pernah mendengar nama itu, bahkan nama itu terlalu besar
untuk disebut-sebut sebagai seorang pahlawan yang sudah mengamankan Demak dari
gangguan-gangguan kejahatan.
Mahesa Jenar sendiri agak terkejut juga mendengar nama itu disebutkan. Tetapi ia tidak dapat
berbuat lain daripada mengiyakan. Sebab Ki Asem Gede itu pasti pernah mendengarnya dari
Panji Danapati, bahwa ia sebagai seorang perwira pengawal raja, disamping namanya sendiri
mendapat gelar Rangga Tohjaya.
Demang Pananggalan dan Ki Demang Mantingan masih berdiri termangu-mangu. Mereka
masih belum yakin benar akan kata-kata Ki Asem Gede, sampai Ki Asem Gede menyapanya.
“Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, belumkah adi berdua pernah mendengar nama itu?”
Mereka berdua tersadar oleh sapa itu. Dengan hati-hati Demang Pananggalan mencoba
bertanya, “Ki Asem Gede, aku memang pernah mendengar gelar itu serta kebesarannya, tetapi
aku belum mengenal wajahnya, karena aku orang yang picik dan sama sekali tak berarti.
Tetapi perkenankanlah aku bertanya bahwa beliau tadi berkenan menyebut gelarnya dengan
Mahesa Jenar ...?”

Ki Asem Gede tertawa lirih.
“Benar Adi berdua, Mahesa Jenar adalah namanya, sedang gelarnya sebagai seorang prajurit
adalah Rangga Tohdjaja.”
Hati Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan berdegup keras.
Tetapi pandangan mata mereka masih mengandung seribu macam pertanyaan, sehingga
akhirnya Mahesa Jenar sendiri mengambil keputusan untuk mengatakan keadaannya yang
sebenarnya sebagai suatu hal yang tak mungkin lagi diingkari.
“Bapak Demang dan Kakang Mantingan, memang sebenarnyalah aku yang bernama Mahesa
Jenar, telah menerima anugerah nama sebagai seorang prajurit, Rangga Tohjaya.”
Mendengar penjelasan itu detak jantung Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan serasa
akan berhenti. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa mereka telah berhadap-hadapan
dengan seorang yang sakti. Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terlanjur. Kalau
sampai terjadi Rangga Tohjaya mengeluarkan segala kesaktiannya maka sulitlah bagi mereka
semua untuk dapat keluar dari halaman itu dengan masih bernafas.
Seperti digerakkan oleh satu tenaga penggerak, Dalang Mantingan dan Demang Pananggalan
cepat-cepat melangkah maju ke hadapan Mahesa Jenar, dan bersama-sama membungkuk
hormat. Dengan agak terputus-putus karena berbagai perasaan yang berdesakan di dada,
Demang Pananggalan berkata, “Kami mohon ampun ke hadapan Anakmas Rangga Tohjaya,
bahwa kami telah berbuat suatu kesalahan yang besar sekali. Serta mengucapkan beribu-ribu
terima kasih atas kemurahan Anakmas yang tidak sekaligus menghabisi jiwa kami. Dan
sekarang kami menjerahkan diri untuk menerima segala hukuman yang seharusnya kami
jalani.”
009
MAHESA Jenar terharu juga melihat Demang tua itu ketakutan. Sejak semula ia sudah
menduga bahwa Demang tua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya. Hanya karena
perkembangan keadaan saja maka semuanya itu terjadi. Bahkan mungkin di luar dugaan
Demang tua itu sendiri.
Maka berkatalah Mahesa Jenar, “Bapak Demang Pananggalan dan Kakang Mantingan, tak
ada sesuatu yang harus aku maafkan. Yang sudah terjadi tak perlu disesali. Yang perlu,
sekarang silahkan Ki Asem Gede mengobati kedua orang-orangmu yang terluka. Tetapi
percayalah, aku sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya benar-benar.”
Kembali Demang Pananggalan dan Mantingan mengagguk hormat, lalu mereka
mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke Kademangan.
Orang-orang yang berada di halaman menyaksikan semuanya itu dengan keheran heranan.
Mereka yang pernah mendengar nama Rangga Tohjaya dan pernah mendengar kesaktiannya,
segera bercerita dengan suara yang berderai derai, seakan akan dengan mengenal nama itu
mereka sudah terhitung orang yang terkemuka dalam kalangan kepahlawanan.

Sementara itu Ki Asem Gede sudah mulai melakukan kewajibannya. Ternyata luka Gagak Ijo
dan Baureksa tidak ringan. Beberapa kali mereka tak sadarkan diri. Untung Ki Asem Gede
segera turun tangan. Kalau sampai terlambat satu malam saja, mungkin mereka sudah tak
tertolong lagi.
Kecuali itu, ternyata Ki Dalang Mantingan juga mengalami cedera. Beberapa bagian tubuhnya
tidak bekerja seperti biasa dan di beberapa bagian yang terkena serangan Mahesa Jenar
tampak membengkak dan kemerah-merahan. Untunglah, daya tahan tubuh Mantingan cukup
kuat sehingga Ki Asem Gede tidak perlu bekerja terlalu keras untuk menolongnya.
Ketika keadaan sudah agak reda, dan Ki Asem Gede sudah tidak sibuk lagi, duduklah mereka
di atas bale-bale besar di pendapa Kademangan, mengelilingi lampu minyak yang nyalanya
bergoyang-goyang diayun-ayunkan angin.
Di luar, gelap malam mulai turun sebagai tabir raksasa berwarna hitam kelam. Sedangkan di
langit satu demi satu bintang mulai bercahaya menembus hitamnya malam.
Mereka mulai berbicara dan bercerita tentang diri masing-masing. Mahesa Jenar tidak lagi
menyembunyikan sesuatu. Diceritakannya seluruh masalah mengenai dirinya, kenapa ia
sampai meninggalkan Demak.
“Aku telah menanggalkan pakaian keprajuritan dan telah menyisihkan segala macam senjata,
dengan suatu keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi rupa-rupanya Tuhan
sendiri belum berkenan, sehingga aku masih dikendalikan oleh nafsu,” kata Mahesa Jenar.
Semuanya yang mendengarkan mengangguk-anggukan kepala, dan mereka merasa juga
bersalah, sehingga Mahesa Jenar terpaksa menyesali dirinya.
Sementara itu mulailah hidangan mengalir. Demang Pananggalan yang merasa telah
menyakiti hati Mahesa Jenar, ingin sedikit mengurangi kesalahannya dengan menghidangkan
apa yang mungkin dihidangkan pada saat itu. Sedangkan Ki Asem Gede, kecuali seorang
yang bijaksana serta mempunyai ilmu obat-obatan, ternyata juga seorang yang jenaka. Banyak
hal yang dapat ia ceritakan tentang dirinya dengan lucu sekali, sehingga suasana menjadi
meriah dan akrab.
Diceritakan, bagaimana ia terpaksa sekali mengobati seorang yang sakit, hanya dengan air
saja, tanpa ramu-ramuan obat yang lain. Sebab, pada saat itu ia sedang berada dalam
perjalanan dan tak membawa obat-obatan yang diperlukan.
“Tetapi... tiga hari kemudian orang itu datang kepadaku, dengan membawa empat ikan
gurameh sebesar penampi, sebagai ucapan terima kasih atas obat-obatku yang mujarab,” kata
Ki Asem Gede.
"Sebabnya," sambung Ki Asem Gede, kenapa obat-obatku banyak yang dapat berhasil, adalah
sebagian besar dari mereka yang aku obati mempunyai kepercayaan kepadaku. Bahwa
seseorang yang menderita sakit merasa berbesar hati, adalah merupakan obat yang banyak
menolongnya. Lebih daripada itu, semuanya adalah berkat kuasa Tuhan Yang Maha Esa.
Tetapi... —suara Ki Asem Gede terputus—.

Mereka yang mendengarkan jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa tiba-tiba saja wajah Ki
Asem Gede yang cerah menjadi muram? Beberapa kali ia menelan ludah, seperti ada sesuatu
yang menyumbat kerongkongannya.
“Tetapi...” ulang Mahesa Jenar yang ingin mendengar kelanjutan ceritera Ki Asem Gede itu.
“Ah tak apalah,” tukasnya. “Segala sesuatu ada pengecualiannya. Sebagai seorang yang
beratus bahkan beribu kali menyembuhkan orang sakit, maka sekali-kali Tuhan tak
memperkenankan juga. Itu adalah suatu bukti akan kebesaran-Nya,” lanjut Ki Asem Gede.
Mahesa Jenar maklum bahwa ada sesuatu yang tak mau ia sebutkan. Karena itu ia tidak
bertanya lebih lanjut.
“Nah... Anakmas...” sambung Ki Asem Gede kemudian, sambil berusaha untuk
mengembalikan suasana, “kenapa tidak saja Anakmas berceritera tentang apa yang Anakmas
jumpai di perjalanan. Tidakkah Anakmas menjumpai kejadian kejadian yang lucu, misalnya,
seperti yang terjadi di sini? Seorang seperti Adi Pananggalan dan Adi Mantingan berlagak
sebagai seorang sakti.”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar tersenyum, demikian juga Demang Pananggalan dan
Dalang Mantingan, meskipun kalau teringat akan hal itu, hati mereka masih tergetar.
010
KARENA pertanyaan itu, Mahesa Jenar teringat akan keperluannya datang ke desa itu. Yaitu,
ingin mengetahui jawaban teka-teki tentang adanya kerangka yang dijumpainya di puncak
Gunung Ijo.
“Ki Asem Gede, Bapak Demang Pananggalan serta Kakang Mantingan. Memang sebenarnya
ada aku jumpai sesuatu dalam perjalananku yang ingin aku tanyakan. Itulah sebabnya maka
aku datang kemari.”
Ketika Mahesa Jenar tampaknya bersungguh-sungguh, maka mereka yang mendengarkanpun
menjadi bersungguh-sungguh pula.
“Di puncak Gunung Ijo,” sambung Mahesa Jenar, "aku jumpai sesuatu yang mencurigakan.
Alat-alat minum yang berserak-serakan. Bekas unggun api. Dan yang paling mengherankan
adalah adanya batu-batu yang disusun sebagai suatu tempat untuk sesaji, sedangkan di atasnya
terdapat kerangka perempuan. Dan tidak jauh dari tempat itu, aku ketemukan pula kerangka
yang lain. Juga seorang perempuan.”
Mendengar pertanyaan itu Demang Pananggalan menundukkan muka dalam-dalam. Ki Asem
Gede mengerutkan dahinya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis ketuaannya, sedangkan
Dalang Mantingan menarik nafas dalam-dalam. Melihat keadaan itu maka makin nyatalah
bagi Mahesa Jenar bahwa daerah ini pasti langsung mengalami bencana yang bertalian
dengan peristiwa Gunung Ijo.
“Anakmas...” jawab Ki Demang Pananggalan dengan suara yang dalam. “Akulah orangnya,
kalau ada orang tua yang sama sekali tak berguna.”

Ia berhenti sebentar menelan ludah, lalu sambungnya, “Apalagi aku sebagai seorang Demang,
yang seharusnya dapat memberikan perlindungan kepada rakyatku. Tetapi nyatanya aku sama
sekali tak mampu berbuat demikian.”
Kembali Demang tua itu berhenti berbicara. Matanya memandang jauh menusuk gelapnya
malam. Di halaman, beberapa orang masih duduk berkelompok-kelompok sambil berceritera
tentang kehebatan pertarungan siang tadi.
Demang Pananggalan mengeser duduknya sedikit. Matanya masih menembus gelap, seolaholah ada yang dicarinya di kegelapan itu. Tetapi rupa-rupanya ia ingin melanjutkan
ceriteranya. Ki Demang pun meneruskan ceritanya.
“Ketika itu, di daerah ini lewat serombongan orang-orang berkuda. Didesa ini mereka
berhenti dan minta untuk menginap barang semalam. Mereka memasuki desa ini menjelang
senja. Karena tak ada tanda-tanda yang aneh pada mereka, serta sikap pimpinannya yang
ramah maka kami tak dapat menolak permintaan itu. Rombongan itu dipimpin oleh dua orang
suami-isteri yang akan mengadakan ziarah ke Gunung Baka. Tetapi ketika malam pertama
telah lewat, mereka minta untuk diperkenankan bermalam semalam lagi sambil melepaskan
lelah dan mengadakan persiapan-persiapan untuk sesaji. Permintaan ini pun tak dapat aku
tolak.”
Sekali lagi ia berhenti. Rupa-rupanya ia sedang mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
Kemudian ia kembali menyambung ceritanya.
“Tetapi terkutuklah mereka. Terkutuklah rombongan orang-orang berkuda itu. Pada malam
kedua mereka menangkap seorang gadis yang sedang pergi ke sungai. Gadis ini sempat
menjerit, dan seorang yang baru pulang dari mengairi sawahnya dapat menyaksikan peristiwa
itu. Pengantar gadis itu, seorang pemuda tanggung dipukulinya sampai pingsan."
Maka ketika hal itu disampaikan kepada kami, meledaklah amarah kami. Segera Banjar
Kademangan yang kami sediakan sebagai tempat penginapan mereka, kami kepung rapatrapat. Mereka segera kami ancam untuk menyerah. Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan
kami. Mereka sama sekali tidak menghiraukan kehadiran kami, orang-orang hampir seluruh
desa ini. Ketika kami mendengar gadis itu menjerit, hati kami tak tahan lagi.
Cepat-cepat kami menyerbu masuk. Tetapi rupa-rupanya mereka telah siap menanti
kedatangan kami. Dan segera terjadilah pertempuran. Orang-orang kami lebih banyak
dikendalikan oleh kemarahan yang meluap-luap, daripada kesediaan untuk bertempur.
Apalagi rombongan berkuda itu ternyata terdiri dari orang-orang yang tangguh. Maka
lenyaplah segala kesan keramah-tamahan mereka. Bahkan tampaklah betapa dahsyat cara
mereka menjatuhkan lawan. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya,
tetapi segera tampak betapa lemahnya kami. Segera orang-orang kami dapat dihantam dan
dicerai-beraikan. Aku tidak lagi dapat berpikir lain daripada bertempur mati-matian. Dan aku
beserta Baureksa dan Gagak Ijo sebagai orang-orang yang paling dapat dipercaya pada waktu
itu, berhasil menerobos masuk ke banjar, sehingga kami bertiga langsung terlibat dalam
perkelahian melawan suami-istri pemimpin gerombolan itu. Mungkin terdorong oleh
kemarahanku maka terasa seolah-olah tenagaku menjadi berlipat-lipat. Si istri itu pun ternyata
mempunyai ilmu yang tinggi, ditambah lagi betapa kasarnya cara mereka bertempur. Si

Suami menerkam dan mengaum seperti harimau, sedangkan si isteri menyerang dengan jarijari yang dikembangkan. Wajah-wajah mereka yang ramah itu sekarang sudah berubah
menjadi wajah-wajah iblis yang menakutkan.
Tetapi aku sama sekali tidak peduli. Mungkin saat itu, akupun berkelahi seperti iblis. Tetapi
kemudian ternyata bahwa kami bertiga bukanlah lawan mereka. Apalagi tenagaku adalah
tenaga orang tua yang sangat terbatas. Ketika nafasku sudah mulai mengganggu, segera aku
merasa terdesak, sedangkan serangan mereka semakin lama menjadi semakin kasar.”
Demang tua itu menarik nafas sambil membetulkan duduknya, kemudian ia melanjutkan,
“Saat itu aku sudah berpikir bahwa rupa-rupanya ajalku sudah hampir tiba. Sebab daya
tahanku semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi Baureksa dan Gagak Ijo sama sekali
tak dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata Tuhan menghendaki lain. Rupa-rupanya salah
seorang telah memberitahukan kesulitan-kesulitan kami ini kepada Ki Asem Gede, yang pada
saat yang tepat datang menolong kami.”
Demang itu berhenti berceritera. Pandangan matanya yang suram itu dilemparkan kepada Ki
Asem Gede. Lalu katanya, “Selanjutnya Ki Asem Gede-lah yang lebih mengetahuinya."
Mahesa Jenar mendengarkan cerita Demang tua itu dengan penuh perhatian. Terbayang
betapa Demang tua itu telah berusaha mati-matian untuk melindungi rakyatnya, sampai ia
tidak memikirkan nasibnya sendiri. Tetapi rupa-rupanya lawannya adalah orang yang perkasa.
Ki Asem Gede yang diminta melanjutkan cerita itu, berkisar sedikit. Dipandangnya pelita
yang nyalanya bergerak-gerak oleh angin yang berhembus ke pendapa. Ia batuk-batuk sedikit,
lalu mulailah ia bercerita.
“Anakmas, sebenarnya bukanlah pertolongan yang aku berikan, tetapi semata-mata hanyalah
karena kebetulan saja dan terutama atas kehendak Tuhan. Aku bukanlah orang yang
mempunyai kepandaian yang cukup untuk bertanding. Kalau pada masa mudaku, sekali dua
kali aku pernah terlibat dalam suatu pertarungan, itu sama sekali bukan karena aku mampu
melakukannya, tetapi itu hanyalah karena kebodohan dan kesombonganku yang kosong saja.”
011
DIAM-DIAM Mahesa Jenar mengamati tubuh Ki Asem Gede yang sudah tua itu. Kulitnya
sudah melipat-lipat dan hampir seluruh rambutnya, bahkan alisnya pun telah memutih
seluruhnya. Namun gerak-geriknya masih tampak tanda-tanda kelincahan. Ini menandakan
bahwa pada masa mudanya ia adalah seorang yang kuat. Bahkan mungkin sampai saat ini pun
ia masih memiliki kekuatan itu.
“Pada masa mudaku,” sambung Ki Asem Gede, “memang aku pernah berguru kepada
seseorang yang dikenal dengan nama Ki Tambak Manyar.”
Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa Jenar terhenyak, sebab ia pernah mendengar
nama itu dari almarhum gurunya bahwa almarhum Ki Tambak Manyar adalah seorang
prajurit Majapahit yang tangguh. Karena itu, mau tidak mau ia harus memandang Ki Asem
Gede sebagai seorang yang berilmu, baik dalam obat-obatan maupun ilmu tata berkelahi.
Bahkan rupa-rupanya ia memiliki kecerdasan otak yang tidak mengecewakan pula.

“Tetapi,” lanjut Ki Asem Gede, “sebagai aku katakan tadi, aku tidak banyak mendapat
kemajuan. Barangkali tubuhku terlalu ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat dan keras.
Karena itu Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal mempergunakan senjata sebaikbaiknya. Baik jarak pendek maupun jarak jauh. Dan ini adalah suatu keuntungan. Sebab ilmu
ini dapat aku berikan kepada banyak orang sekaligus meskipun tidak sedalam-dalamnya,
kecuali hanya kepada satu-dua orang saja. Terutama dalam hal mempergunakan bandil,
panah, supit dan sebagainya.”
Orang tua itu berhenti sebentar dan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan,
“Kepandaian yang tak berarti itu ternyata berguna juga dalam suatu waktu, dimana Adi
Pananggalan hampir menjadi korban keganasan orang-orang berkuda itu. Ketika aku datang,
penduduk kademangan ini telah kehilangan semangat dan hampir putus-asa. Sedangkan kalau
sampai terjadi penduduk daerah ini melarikan diri, akibatnya akan hebat sekali. Orang-orang
berkuda itu pasti akan melakukan tindakan-tindakan yang ganas dan kotor lainnya. Karena
itu, segala usaha untuk mengusir mereka itu harus dijalankan. Pada saat itulah, maka aku
mengumpulkan orang-orang yang sudah ketakutan itu dan berusaha untuk membangkitkan
semangatnya kembali. Aku peringatkan kepada mereka bahwa sebaiknya kita melawan orangorang berkuda itu dari jarak jauh, sebab dengan mengadu kekuatan sudah jelas bahwa
kepandaian dan keperkasaan mereka jauh di atas kita. Dengan jumlah yang banyak dan
serangan-serangan jarak jauh, mungkin kita akan berhasil mengacaukan mereka.”
Dengan mempergunakan senjata ini, lanjut Ki Asem Gede, rupa-rupanya semangat mereka
bangkit kembali. Dan sebentar kemudian, setelah segala siasat ditentukan, mulailah kami
menyerang orang-orang berkuda itu dari jarak jauh dan dari segala jurusan. Orang-orang kami
mempergunakan panah, supit dan bandil. Sedang rupa-rupanya orang-orang berkuda itu tidak
bersiap untuk melakukan pertempuran jarak jauh, sehingga berhasilah siasat kami untuk
mengacaukan perhatian mereka. Apalagi kami mempergunakan panah yang ujungnya kami
balut dengan kain berminyak serta kami nyalakan. Akhirnya pemimpin mereka suami isteri
itu terpaksa keluar dari Banjar dan akhirnya merekapun dapat kami usir pergi.
“Tetapi yang menyedihkan kami adalah, Adi Demang Pananggalan, Baureksa dan Gagak Ijo,
mengalami luka-luka yang cukup berat, serta tidak sadarkan diri. Apalagi gadis yang
ditangkapnya itu. Ia mengalami ketakutan yang sangat sehingga akhirnya ia memerlukan
waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kesadarannya.”
Kembali Ki Asem Gede berhenti. Ia membetulkan duduknya dan seolah-olah menunggu
Mahesa Jenar meresapi kata-katanya.
Bagi Mahesa Jenar, persoalannya menjadi semakin jelas. Bahwa pernah terjadi percobaan
untuk menculik gadis di daerah ini. Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan. Tetapi
meskipun demikian, rupanya, di daerah ini rombongan itu berhasil mendapatkan gadis-gadis
untuk korban upacaranya yang aneh itu.
“Kemudian sesudah itu...” Ki Asem Gede melanjutkan lagi, “di atas salah satu puncak
pegunungan Baka, yaitu puncak Gunung Ijo, hampir tiap malam terlihat api yang menyalanyala. Kami kemudian hampir memastikan bahwa rombongan orang-orang berkuda itu pergi
ke sana. Kami merasa bahwa rombongan itu adalah rombongan yang berbahaya, tetapi kami
tidak segera dapat memburunya sebab kami mengetahui kekuatannya.

Meskipun demikian kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul mereka.
Mengusir mereka atau kalau mungkin menghancurkan mereka sama sekali. Akan tetapi
beberapa waktu kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api di puncak Gunung Ijo. Dan
sekarang Anakmas datang dengan membawa penjelasan tentang apa yang kira-kira pernah
terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu.”
Cerita Ki Asem Gede diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang panjang. Suatu tarikan nafas
penjelasan.
Mahesa Jenar sekarang sudah pasti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah orang orang yang
mempunyai kepercayaan sesat.
Memang pernah terdengar adanya suatu aliran kepercayaan yang dalam upacaranya
menggunakan gadis-gadis sebagai korban, disamping pemanjaan nafsu-nafsu lahirlah yang
lain. Minuman keras, makan dengan suatu cara yang hampir dapat disebut buas, dan
sebagainya.
Suasana kemudian menjadi sepi. Sedang malam semakin lama semakin dalam. Mereka
dihanyutkan oleh pikiran masing-masing serta gambaran-gambaran yang mengerikan tentang
apa yang terjadi atas gadis-gadis yang dijadikan korban kepercayaan sesat semacam itu.
012
DI bagian belakang rumah Kademangan itu, tampak adanya suasana yang berbeda sama
sekali. Beberapa orang perempuan sedang sibuk mempersiapkan makan malam yang kali ini
berbeda dengan kebiasaan, karena adanya seorang tamu yang sangat mereka hormati. Mereka
telah menyembelih beberapa ekor ayam yang paling besar yang dapat mereka tangkap.
Mereka juga telah mengundang juru masak yang paling terkenal di Kademangan itu. Sehingga
tiba-tiba saja seolah-olah Demang Pananggalan sedang melangsungkan suatu perhelatan.
Di pendapa Kademangan, Ki Asem Gede-lah yang mula-mula mencoba memecahkan
kesepian, dan berusaha untuk mengubah suasana, melenyapkan ketegangan yang mencekam.
“Adi Pananggalan, tidakkah Adi berhasrat menjamu Anakmas Mahesa Jenar? Tentang
ceritera orang-orang berkuda itu, baiklah kita simpan lebih dahulu, sampai kesempatan lain.
Aku kira Anakmas Mahesa Jenar perlu melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan yang
jauh serta telah meladeni Adi berdua bermain loncat-loncatan. Nah, Adi Pananggalan, aku ada
usul. Adi pasti setuju kalau gamelan Adi Pananggalan itu dibunyikan.” kata Ki Asem Gede
kepada Demang Pananggalan.
Demang Pananggalan tersenyum mendengar usul itu. Memang ia mempunyai seperangkat
gamelan yang bagus, baik bahannya maupun bunyinya. Tentu saja Demang Pananggalan tidak
dapat menolak usul itu. Maka, katanya kepada orang-orang yang berada di halaman,
“Siapa yang di luar?”
“Aku, Bapak Demang,” jawab salah seorang diantaranya.
Sebentar kemudian orang itu berdiri dan melangkah naik ke pendapa.

“Berapa orang seluruhnya?” tanya Demang tua itu lebih lanjut.
“Enam atau tujuh orang, Bapak Demang,” jawab orang itu.
“Nah, aku kira telah cukup. Mari kita bermain-main dengan gamelan. Ki Asem Gede ingin
mengenang masa mudanya sebagai seorang penggemar gending,” ajak Demang Pananggalan.
Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh.
“Lebih dari itu..., aku adalah seorang penari juga. Tetapi tidak adakah seorang pesinden yang
baik di desa ini?” sahut Ki Asem Gede.
Kembali Ki Demang Pananggalan tersenyum, juga Mahesa Jenar dan Mantingan. Rupanya Ki
Asem Gede adalah seorang penggemar uyon-uyon.
“Nah, kalau begitu panggil Nyai Jae Manis,” kata Demang Pananggalan kepada orang tadi,
yang sudah turun ke halaman.
“Baik Bapak Demang,” jawabnya, sambil melangkah turun. Sebentar kemudian terdengar
suara berbisik-bisik dan meledaklah tawa yang tertahan dari orang-orang yang berada di
halaman.
“Tetapi yang paling gembira dengan usul ini,” sambung Ki Asem Gede, “adalah Adi
Mantingan, yang telah beberapa lama tidak mendengar suara gamelan.”
Kembali terdengar mereka tertawa riuh.
Sebentar kemudian mulailah segala sesuatunya berlangsung dengan meriah. Hidangan yang
disiapkan oleh Nyai Demang satu demi satu mengalir keluar. Sementara itu bunyi gamelan
yang berpadu dengan suara Nyai Jae Manis benar-benar dapat membelai hati pendengarnya.
Di halaman, satu demi satu orang berdatangan untuk turut serta menikmati suara pesinden
kenamaan dari daerah ini.
Tetapi belum lagi mereka puas menikmati semuanya itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara derap kuda yang berlari kencang. Makin lama makin dekat dan makin dekat.
Mendengar derap kuda itu, Demang Pananggalan, Mantingan, Ki Asem Gede dan Mahesa
Jenar serentak mengangkat mukanya untuk mengetahui dari mana arah kedatangan mereka.
Sedangkan di halaman segera terjadi keributan. Perempuan-perempuan berlari-lari kesanakemari, anak-anak menangis menjerit-jerit. Mereka masih belum melupakan peristiwa
beberapa waktu yang lalu, ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang mengganggu
ketenteraman desa mereka.
Untunglah bahwa Demang Pananggalan cepat bertindak. Ia segera meloncat ke halaman dan
mengatasi keadaan.
“Perempuan dan anak-anak masuk ke rumah,” perintah Demang Pananggalan dengan suara
nyaring.

“Sedangkan semua laki-laki di halaman ini, segera memencar dan berusaha untuk
mendapatkan senjata apa saja. Kita masih belum tahu siapakah yang datang, tetapi
keselamatan desa ini di tangan kalian,” lanjut Demang.
Laki-laki Kademangan ini bukanlah bangsa pengecut. Tetapi meskipun demikian, hati mereka
berdebar-debar juga mengenangkan kebuasan orang-orang berkuda yang datang beberapa
waktu yang lalu.
Cepat-cepat mereka berpencar dengan senjata seadanya di tangan masing-masing. Karena
mereka sama sekali tidak bersiaga, maka kecuali yang sedang bertugas ronda, mereka
semuanya tidak bersenjata. Untuk mencukupi kebutuhan, ada yang memegang sabit rumput,
kapak pembelah kayu, kayu penumbuk padi, kayu tajam untuk mengupas kelapa, bahkan ada
yang bersenjata perunggu wilahan gamelan, di tangan kanan dan kiri.
Beberapa orang yang rumahnya berdekatan dengan pendapa kademangan, berloncatan pulang
untuk mengambil tombak, pedang dan apa saja yang ada untuk mempersenjatai kawan-kawan
mereka.
Tetapi getaran hati mereka terasa jauh berkurang ketika mereka melihat di atas tangga
pendapa kademangan berdiri Ki Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya di
tangan, serta tamu mereka yang gagah perkasa, Mahesa Jenar, yang juga bergelar Rangga
Tohjaya, dengan sikap yang tenang dan meyakinkan.
Pada saat itu, suara derap kuda itu sudah demikian dekatnya. Sesaat kemudian mereka melihat
empat orang penunggang kuda berturut-turut menyusup regol memasuki halaman
Kademangan.
Ketika para penunggang kuda itu melihat kesiap-siagaan orang-orang di halaman itu, mereka
tampak terkejut, dan sekuat tenaga mereka menarik kendali kuda masing-masing sehingga
kuda-kuda itu berdiri dan meringkik-ringkik. Secepatnya kuda itu menjejak kaki depannya di
atas tanah, secepat itu pula para penunggangnya berloncatan turun.
Bersamaan dengan itu, lega pulalah hati setiap orang yang berdiri di halaman, karena mereka
menyaksikan bahwa kedua penunggang kuda yang di depan tampak samar-samar oleh cahaya
lampu, memakai sabuk putih, serta segulung tali berjuntai di pinggangnya dan di pinggang
yang lain tergantung kantong yang berisi batu-batu pilihan. Itulah ciri-ciri murid Ki Asem
Gede yang bersenjatakan bandil. Dua orang yang lain pun tidak menunjukkan tanda-tanda
yang berbahaya, meskipun di pinggang mereka tergantung kapak yang tajamnya putih
berkilat-kilat oleh cahaya lampu.
013
WAJAH Ki Asem Gede segera berkerut ketika menyaksikan orang-orang berkuda yang
datang itu. Dijelaskan bahwa ia sedang berusaha untuk menguasai debar jantungnya.
Begitu kedua murid Ki Asem Gede menjejakkan kakinya, segera mereka dengan cepat
menghadap gurunya, sedangkan kedua orang yang lain berdiri sambil memegang kendali
keempat ekor kuda itu.
Kedua murid Ki Asem Gede itu segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara
mereka berkata, “Ki Asem Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”

Mendengar laporan itu wajah Ki Asem Gede makin berkerut. Ia memandang kepada kedua
orang itu dengan gelisah, lalu dengan langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin
berbicara dengan orang-orang itu tanpa didengar oleh orang lain.
“Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede, setelah orang itu mendekat. Meskipun kata-kata itu
diucapkan perlahan-lahan, tetapi karena jaraknya tak begitu jauh, maka suara itu terdengar
juga oleh orang-orang yang berdiri di atas tangga.
Dua orang itu sebelum menjawab, matanya menyambar beberapa orang yang berdiri di
halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
“Katakanlah,” desak Ki Asem Gede.
“Mereka telah menculik Nyi Wirasaba,” jawab salah seorang diantaranya.
“He..?” Ki Asem Gede terkejut bukan alang-kepalang, tubuhnya yang sudah kisut itu
menggigil.
“Kalian tak berbuat apa-apa?”
Kedua orang itu menundukkan kepala. Mereka tak berani memandang wajah Ki Asem Gede
yang sedang menahan gelora hatinya.
“Kami telah mencoba, tetapi kekuatan kami tak berarti. Dua orang kakak seperguruan kami
telah mereka lukai dengan berat, dan bagi kami satu-satunya adalah melaporkan ini kepada Ki
Asem Gede. Tetapi kebetulan Ki Asem Gede tiada di rumah, sehingga kami tadi diantar
kemari.” jawab orang itu. Tampaklah tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil.
Diluar dugaan mereka yang berada di halaman itu, tiba-tiba secepat kilat Ki Asem Gede
meloncat ke atas salah satu kuda itu. Sekali tarik kendali, kuda itu telah berputar dan
meluncur bagai anak panah.
Mereka yang menyaksikannya menjadi terpaku diam, tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Demikian juga keempat orang yang datang berkuda tadi, berdiri saja tegak seperti patung.
Belum lagi mereka tersadar, mendadak mereka melihat sesosok tubuh melayang pula ke atas
punggung kuda yang satu lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, kuda ini melompat
mengikuti arah larinya kuda yang dinaiki oleh Ki Asem Gede.
Orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar. Ketika ia mendengar percakapan Ki Asem Gede
dengan keempat orang berkuda itu, ia sudah mengira kalau terjadi sesuatu. Maka ketika
secepat itu Ki Asem Gede melarikan kudanya, ia makin yakin bahwa tentu ada kesulitan
dengan menantunya. Dan dialah orang yang pertama-tama dapat menguasai dirinya dari
pergolakan perasaannya, sehingga ia mengambil keputusan untuk mengikuti orang tua itu.
Kuda Ki Asem Gede lari dengan kecepatan penuh di malam yang gelap dengan meninggalkan
debu putih yang berhambur-hamburan, ke arah utara menyusur kali Opak. Jalannya begitu
sempit dan berbahaya. Tapi Ki Asem Gede sama sekali tak menghiraukan. Ia ingin cepatcepat sampai ke Pucangan, dimana ia yakin kalau anaknya, Nyi Wirasaba, ditahan. Ia tahu 
betul bahwa segerombolan orang-orang ternama di daerah itu, yang merasa cukup mempunyai
kesaktian, menjadi takabur dan berbuat sewenang-wenang.
Kejahatan-kejahatan seringkali mereka lakukan. Pemerasan dan penganiayaan. Dan yang
paling jahat adalah pengambilan istri orang. Ini mereka lakukan, karena mereka merasa tak
terkalahkan. Bahkan mereka juga mengambil gadis-gadis untuk dijadikan istri mereka yang
keempat, kelima atau kesekian. Tak seorangpun yang dapat mencegahnya. Sedang kali ini
yang menjadi korban adalah anak Ki Asem Gede.
Mengingat semuanya itu, hati Ki Asem Gede bergolak hebat sekali karena marahnya. Sejak ia
mengasingkan diri di Asem Gede, ia sudah tak pernah lagi berangan-angan bahwa pada suatu
kali ia masih harus bertempur. Ia merasa sudah masanya menyepi dan mempergunakan sisa
hidupnya untuk diabadikan pada perikemanusiaan.
Tetapi menghadapi persoalan seperti sekarang ini? Wajah Ki Asem Gede yang lunak dan
damai itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya terkatub dan giginya gemeretak. Kudanya
yang berlari seperti setan itu rasa-rasanya begitu lambatnya, sehingga berkali-kali Ki Asem
Gede terpaksa menggebraknya.
Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki kuda Ki Asem Gede itu, telah menolong Mahesa
Jenar untuk dapat mengikutinya dari jarak yang agak jauh. Untunglah bahwa kudanya agak
lebih baik sedikit dari kuda Ki Asem Gede, sehingga jarak mereka makin lama makin dekat.
Berapa lama mereka berkuda, tak lagi terasa, karena perasaan mereka masing-masing begitu
tegangnya. Ki Asem Gede ingin segera sampai ke tempat tujuannya, sedangkan Mahesa Jenar
sibuk menduga-duga apa yang sudah terjadi atas anaknya.
Perjalanan mereka kini menyusup belukar, menjauhi Sungai Opak. Meskipun keadaan di
dalam belukar itu gelapnya bukan main, Mahesa Jenar mempunyai penglihatan dan
pendengaran yang sangat tajam, sehingga dengan mendengarkan derap kuda Ki Asem Gede,
ia dapat menyusup lewat jalan sempit itu ke arah yang benar.
Setelah beberapa lama mereka menelusur jalan belukar, akhirnya mereka sampai ke mulutnya.
Begitu mereka muncul dari belukar, terasa hawa sejuk menyapu muka. Mahesa Jenar lebih
merasakan segarnya udara, sebab Ki Asem Gede perhatiannya penuh tertumpah kepada
putrinya.
Kini jalan yang mereka lalui mulai menanjak dan berliku-liku. Rupanya mereka telah sampai
di kaki Gunung Merapi. Lama-lama di sebelah timur telah membayang warna merah.
“Hampir fajar,” dengus Mahesa Jenar seorang diri. Kuda-kuda mereka kini telah mulai
menyusur jalan persawahan. Juga di daerah ini padi sedang berbunga. Batang-batangnya yang
berwarna hijau segar itu ditaburi oleh warna kemerahan fajar menjadi sedemikian bagusnya,
sehingga untuk sementara Mahesa Jenar terpaku perhatiannya.
Tetapi ketika diingatnya orang tua yang di depannya itu semakin melarikan kudanya, ia pun
segera mengesampingkan keindahan fajar. Sekali ia sentakkan kakinya, kudanya berlari
semakin cepat seperti terbang.
Tiba-tiba kuda Ki Asem Gede membelok ke timur, dan sebentar kemudian menyusup masuk
ke sebuah desa.

014
ITULAH Pucangan. Mahesa Jenar tidak mau kehilangan jejak. Dengan ujung kendali,
kudanya dicambuk agar melaju lebih cepat lagi.
Ki Asem Gede tak sedikit pun mengurangi kecepatan kudanya. Ketika sampai di muka sebuah
rumah yang berhalaman luas dan beregol besar, ia membelokkan kudanya memasuki
halaman. Kuda yang semula lari seperti kuda gila itu, langsung menuju ke pendapa rumah itu.
Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Ki Asem Gede menarik kendali dan berhenti
di muka pendapa.
Pendapa itu ternyata tertutup dinding di empat sisinya. Pintunya masih tertutup rapat, dan
lampu di dalamnya hanya menyala remang-remang. Cepat Ki Asem Gede turun dari kudanya.
Sebentar ia tertegun. Tempat itu tampaknya sunyi. Tetapi ia yakin kalau putrinya berada di
tempat itu. Itulah rumah pemimpin gerombolan orang-orang yang merasa dirinya tak dapat
dirintangi kemauannya, bernama Samparan.
Ki Asem Gede mengetok pintu itu keras-keras. Sekali, dua kali, tak ada yang menyahut.
Akhirnya Ki Asem Gede tak sabar lagi. Dengan kedua sisi telapak tangannya ia memukul
daun pintu itu sekuat tenaga, hingga berderak-derak. Maka patahlah palang pintu itu, sehingga
terbuka lebar-lebar. Cepat-cepat ia meloncat masuk, dan tampaklah olehnya lima orang
sedang duduk di atas sebuah balai-balai bambu yang besar menghadapi meja kecil berisi
bermacam-macam makanan dan minuman keras.
Kelima orang itu memandang Ki Asem Gede dengan pandangan kosong, dan sikap yang acuh
tak acuh, sehingga Ki Asem Gede semakin marah.
”Kalian menculik anakku!” teriaknya. Sikap Ki Asem yang sudah tua itu tampak garang dan
sama sekali berobah dari sifat keramah-tamahannya.
”Kami sudah mengira kalau kau akan datang ke pondokku yang jelek ini,” jawab salah satu
dari kelima orang itu, yang rupanya adalah pemimpinnya, Samparan.
”Tetapi adalah kurang bijaksana kalau seorang tamu mesti merusak pintu,” sambung orang
itu. Lalu terdengarlah suara mereka berlima tertawa berderai-derai.
Direndahkan demikian, Ki Asem Gede semakin marah. Cepat ia membungkuk mengambil
palang pintu yang telah dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja kecil
di atas bale-bale di antara kelima orang itu. Begitu hebatnya lemparan Ki Asem Gede
sehingga meja kecil yang tertimpa palang pintu itu pecah berserak-serakan. Suara tertawa
kelima orang itu jadi terputus karena terkejut.
Mereka cepat-cepat meloncat menjauh, dan turun dari balai-balai itu. Mereka sama sekali
tidak mengira kalau orang tua itu masih memiliki tenaga yang sedemikian kuatnya.
Sebentar kemudian terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak.
”Bagus ..., bagus .... Alangkah hebatnya,” kata Samparan.
Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi. Kembali ia berteriak.

”Aku datang untuk mengambil anakku.”
Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin.
”Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar daerah ini, dengan menyimpan
anakmu.”
”Apa kau bilang?” potong Ki Asem Gede.
”Anakmu telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dengan mengganggu ketentraman
rumah tangga orang, meskipun ia sudah bersuami.”
”Omong kosong!” teriak Ki Asem Gede semakin marah. Kembali Samparan tertawa.
”Sudah seharusnya kau tidak percaya, sebab kau ayahnya. Tetapi ketahuilah bahwa di daerah
ini telah timbul keributan karena pokal anakmu. Bahkan lebih dari itu, di daerah barat daya
telah timbul wabah penyakit. Kau tahu sebabnya? Ketahuilah, bahwa itu disebabkan karena
salah istrimu itu pula, sehingga danyang-danyang menjadi marah.” sambung Samparan.
Ki Asem Gede sudah sampai pada puncak kemarahannya sehingga seluruh tubuhnya bergetar.
Ia tahu benar betapa liciknya orang-orang itu, dan betapa pandainya mereka memutar balik
kenyataan.
”Samparan...” jawab Ki Asem Gede dengan suara menggigil. ”Aku tahu siapakah kau. Jadi
kau tak usah banyak bicara di hadapanku. Aku tahu bahwa anakku menolak menuruti
kehendakmu dan kawan-kawanmu, gerombolan iblis ini, sehingga kau terpaksa menculiknya
dan menyimpannya. Sekarang aku minta anakku itu kau serahkan kepadaku.”
Samparan mendengus lewat hidungnya, lalu berkata lagi, ”Aku tetap pada keteranganku. Dan
kami berlima atas persetujuan rakyat di daerah ini, telah mengambil keputusan untuk
menjatuhkan hukuman atas anakmu itu. Aku hanya meniru apakah hukuman yang dijatuhkan
pada orang demikian pada jaman dahulu, yaitu dilempari batu sampai mati.”
Mendengar jawaban itu, tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil dan giginya gemertak
menahan marah yang hampir meledak.
”Hanya Sultan di Demak yang berhak menjatuhkan hukuman mati, atau orang yang telah
mendapat kuasanya. Orang-orang Pucangan ini pun tak berhak melakukan itu, apalagi iblisiblis macam kau ini.” teriak Ki Asem Gede.
Samparan mengangguk-angguk, lalu kembali terdengar tawa iblisnya.
”Betul..., betul Ki Asem Gede, tetapi di daerah terpencil sejauh ini, jari-jari kekuasaan Demak
tak begitu terasa. Maka sudah sewajarnyalah kalau kami yang merasa sedikit ada kemampuan,
membantu berlakunya undang-undang di daerah ini, menghapuskan kekhianatan.”
Hampir Ki Asem Gede tak dapat menahan dirinya. Untunglah bahwa pikirannya masih dapat
bekerja. Ia merasa tak akan mampu melawan kelima orang itu.

”Di Demak,” kata Ki Asem Gede kemudian, ”untuk tiap-tiap keputusan ada hak pembelaan.
Berlaku jugakah peraturan ini?”
Mendengar pertanyaan ini kelima orang itu tampak berpikir. Tetapi sebentar kemudian
terdengar kembali tawa iblis keluar dari mulut Samparan.
”Kau cerdik sekali Ki Asem Gede. Kau ingin menjadikan persoalan ini menjadi persoalan
umum.”
”Bukankah telah kau katakan bahwa putusanmu itu atas persetujuan penduduk di daerah ini?
Bukankah dengan demikian hal itu sudah menjadi persoalan umum?”
015
SAMPARAN kembali merenung. Tampak ia berpikir untuk mengatasi usul Ki Asem Gede
itu. Kalau sampai terjadi ada semacam pengadilan bagi persoalan ini, dimana dapat hadir
saksi-saksi, maka terang hal ini tidak menguntungkan pihaknya. Tetapi akhirnya ia ketemukan
juga suatu cara untuk mengatasinya.
“Ki Asem Gede, kami adalah bangsa yang mengenal keadilan. Kenapa kami keberatan kalau
diadakan pembelaan? Tetapi karena kekuasaan tertinggi dalam persoalan ini adalah di tangan
kami, maka kamilah yang menentukan cara pembelaan itu.”
“Bagaimana caranya?” Dalam kesulitan ini Ki Asem Gede hanya dapat mengharap suatu
perkembangan persoalan yang dapat menguntungkan dirinya.
Samparan menarik alisnya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, “Keadilan yang tertinggi
terletak di tangan takdir. Karena itu pembelaan dalam persoalan ini pun sudah seharusnya
kalau didasarkan atas hal itu. Tegasnya, pembelaan itu hanya dapat dilakukan dengan sebuah
pertarungan. Kau boleh memilih seorang pembela, atau barangkali kau sendiri?
Sedang di pihak kami pun akan ada seorang yang harus mempertahankan keputusan kami itu.
Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak takdir.”
Kemudian Samparan menarik nafas panjang-panjang. Ia yakin kalau pihaknya pasti akan
menang. Sebab bagaimana hebatnya Ki Asem Gede, tetapi karena umurnya yang sudah lanjut
itu, tentu tidak akan berbahaya lagi.
“Setan...,” dengus Ki Asem Gede. Tetapi meskipun demikian ia masih berusaha untuk
mendapat suatu kesempatan. “Bagus..., aku terima cara itu. Sekarang aku minta ditetapkan
waktu. Minggu depan barangkali?”
Samparan jadi tertawa terbahak-bahak. Ia menangkap maksud Ki Asem Gede. “Kau memang
licik sekali. Kau mengharap bahwa kau dapat mencari bantuan orang lain. Atau dalam
kesempatan itu kau dapat membebaskan anakmu. Nah Ki Asem Gede... supaya persoalan ini
tidak berlarut-larut, aku tetapkan hari pertarungan ini adalah hari ini. Bukankah fajar sudah
datang?”
Seperti disengat ribuan lebah, Ki Asem Gede mendengar putusan Samparan itu. Bahwa setan
itu betul-betul licik, kini telah terbukti. Dan ia sesali ketergesa-gesaannya tadi. Kalau saja ia
tadi membicarakan soal ini dengan sahabat-sahabatnya.

Ki Asem Gede sendiri bukan berarti takut menghadapi persoalan itu, meskipun misalnya ia
harus menyerahkan nyawanya. Tetapi taruhannya terlalu besar. Kalau ia kalah, berarti
kekalahan itu berlipat dua, sedangkan ia sendiri sadar bahwa tenaganya sudah mulai surut.
Apalagi menghadapi iblis-iblis yang segar dan sedang tumbuh.
Kembali Ki Asem Gede menyesali dirinya. Biasanya ia berlaku tenang. Tetapi menghadapi
persoalan satu-satunya anak yang diharapkan dapat melanjutkan namanya, ia jadi kehilangan
ketenangan itu.
Tetapi pada saat ia sedang kebingungan, tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang berat, dan
mengandung pengaruh yang luar biasa.
“Ki Asem Gede akan menerima ketetapan hari itu. Dan Ki Asem Gede akan menunjuk aku
sebagai pembelanya.”
Mendengar suara itu, semua yang berada di dalam ruangan segera memandang ke arah pintu
di mana berdiri seorang dengan sikap yang tenang meyakinkan. Itulah Mahesa Jenar.
Melihat kehadiran Mahesa Jenar tanpa diduga-duga itu, Ki Asem Gede menjadi girang bukan
kepalang, sampai hampir-hampir ia berteriak. Cepat-cepat ia melangkah mendekati dan
menggoyang-goyangkan tangan sahabatnya yang baru saja dikenalnya itu.
Sementara itu kelima orang penghuni rumah itu memandang dengan heran dan mencoba
menebak-nebak. Siapakah gerangan orang yang begitu besar kepala sehingga berani
menawarkan diri untuk membela anak Ki Asem Gede itu? Sedang wajah orang itu belum
pernah dikenalnya.
“Siapakah dia?” tanya Samparan kemudian.
Hampir saja Ki Asem Gede menyebut gelar Rangga Tohjaya untuk sekaligus menakut-nakuti
kelima orang itu. Tetapi melihat gelagat itu, segera Mahesa Jenar mendahului, “Aku adalah
Mahesa Jenar, sahabat Ki Asem Gede.”
“Mahesa Jenar?” ulang Samparan. Nama itu pun sama sekali tak terkenal di daerah ini. Orang
yang paling mereka takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu lalu berhasil
menangkap tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber Nyawa. Dan seandainya
Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum tentu dapat mengalahkan mereka
berlima yang merasa mempunyai kekuatan dua kali lipat dari kekuatan Samber Nyawa itu.
Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di situ, ia takkan berani membuat tantangan
pertarungan yang demikian. Tetapi sekarang yang ada hanya orang yang sama sekali tak
ternama.
Melihat keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau mereka mengubah peraturannya,
segera Mahesa Jenar menambahkan, “Aku kira tak ada lagi persoalan. Apapun yang akan
terjadi atas diri kami nanti, yang melaksanakan pertandingan itu, bukanlah suatu soal yang
perlu direnungkan. Aku adalah laki-laki seperti kalian juga.”

Perkataan Mahesa Jenar ini rupa-rupanya telah berhasil menyentuh harga diri Samparan serta
kawan-kawannya, apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar mendapat
tandingan.
Dalam pada itu salah seorang kawan Samparan segera melangkah setindak maju, dan dengan
suaranya yang nyaring berkata, “Kakang Samparan, apa yang sudah terucapkan sebaiknya
dilaksanakan. Aku belum kenal orang ini, dan orang ini pun rupa-rupanya belum kenal kami.
Baiklah kini kami saling berkenalan. Aku usulkan sebagai pelaksanaan dari peraturan itu,
pertandingan diadakan di halaman rumah ini secara terbuka. Siapa saja boleh menyaksikan.
Dan satu soal lagi, pertarungan dilaksanakan sampai selesai. Maksudku, sampai salah satu
pihak tak mampu melawan. Jadi tidak boleh menarik diri. Siapa yang menang mempunyai hak
untuk berbuat apapun atas yang kalah, dan atas barang taruhan.”
Kata-kata itu diucapkan dengan penuh keyakinan, bahwa Mahesa Jenar merupakan sebuah
umpan yang sangat lunak.
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Sedang Ki Asem Gede yang semula sangat girang, kini
menjadi agak cemas juga.
“Kalau... seandainya... Mahesa Jenar kalah...? Akh tak mungkin,” pikir Ki Asem Gede.
Sementara itu Samparan tak mengangguk meskipun ia tidak seyakin Watu Gunung, kawannya
yang telah melengkapi peraturan tadi. Ia menduga bahwa orang itu pun sedikit-banyak
mempunyai pegangan sehingga berani menyatakan dirinya sebagai pembela.
016
BELUM lagi ia berkata apa-apa kembali Watu Gunung menyambung, “Nah sekarang
siapakah diantara kami yang pantas melayani kawan itu?”
Mendengar nada pertanyaan ini, Samparan tahu bahwa Watu Gunung bernafsu untuk menjadi
jago yang harus bertanding dengan Mahesa Jenar. Watu Gunung adalah seorang yang
termasuk paling kuat di antara mereka. Kalau Samparan yang terpilih menjadi pemimpin,
adalah karena dialah yang tertua dan terbanyak mempunyai pengalaman, baik dalam tata
perkelahian maupun dalam lika-liku pembicaraan dan tipu muslihat.
Agar tidak mengalami kegagalan, Samparan pun sependapat dengan Watu Gunung, bahwa
sebaiknya orang yang terkuatlah yang harus melayani orang asing ini, sehingga tidak ada
kemungkinan mengalami kekalahan.
“Baiklah kawan-kawan ..., aku memilih Adi Watu Gunung untuk melayani tamu kita nanti,”
kata Samparan.
Watu Gunung menjadi gembira mendengar putusan ini. Sebaliknya kawan-kawannya yang
lain merasa kecewa karena tidak dapat bermain-main dengan seorang yang sama sekali tak
bernama tetapi sudah berbesar kepala untuk mencoba-coba menghalang-halangi kemauan
mereka. Tetapi bagaimana pun mereka akan turut merasakan hasil kemenangan Watu Gunung
nanti.
Memang, sebenarnya Watu Gununglah yang paling berkepentingan pada saat itu. Sebagai
seorang pemuda, sebelum meninggalkan kampung halamannya, dahulu ia pernah berangan-

engikutinya ke gandok sebelah timur. Di sana, mereka
berdua ditinggalkan untuk beristirahat.
Ki Asem Gede terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, ketika dilihatnya Mahesa Jenar segera
merebahkan dirinya di amben.
“Ki Asem Gede, semalaman aku tidak tidur, dan pagi-pagi benar aku sudah harus berpacu
kuda dengan Ki Asem Gede, maka sebaiknya aku tidur sebentar agar aku nanti dapat
melayani Watu Gunung itu dengan sedikit ada kegembiraan,” kata Mahesa Jenar. Sesudah
berdiam diri sebentar, terdengarlah segera nafas Mahesa Jenar mengalir secara teratur. Ia
sudah tertidur.
Ki Asem Gede heran bukan main. Sebentar lagi ia harus mengadu tenaga antara hidup dan
mati melawan seorang yang termasuk mempunyai kehebatan dalam tata pertarungan. Tetapi
sekarang, dengan enaknya ia tidur mendekur.
Ketika hal itu direnungkan dalam-dalam, ternyata Mahesa Jenar sama sekali tak memandang
remeh calon lawannya. Dengan beristirahat, meskipun hanya sebentar, ia akan dapat
memulihkan tenaganya, sehingga dengan demikian ia akan dapat bertanding dengan baik.
Mendapat pikiran yang demikian ia pun merasa bahwa dirinya juga perlu mengaso, siapa tahu
tenaganya nanti diperlukan.
Ternyata hatinya tidak setenang Mahesa Jenar. Ia tetap kuatir akan nasib anak satu-satunya
itu, dan ia juga khawatir kalau Samparan dan kawan-kawannya berbuat curang. Karena itu ia
hanya berbaring. Matanya sama sekali tak dapat dipejamkan.
Pada saat itu sinar mahatari pagi telah mulai masuk menyusup lubang-lubang dinding
meskipun masih condong sekali. Sekali dua kali telah terdengar suara gerobag lewat di jalan
di depan rumah itu. Dan di halaman telah sibuk beberapa orang mengatur arena untuk
bertanding siang nanti. Beberapa orang yang lewat, ketika melihat beberapa tonggak
ditancapkan dan tali-tali direntangkan, mereka tahu bahwa akan ada pertandingan lagi di
halaman rumah Samparan yang juga dikenal sebagai rumah setan.
Sebenarnya tak seorang pun yang ingin dekat dengan rumah serta penghuninya itu, sebab
mereka takut kalau entah harta kekayaannya, entah ternaknya, dan yang ditakuti adalah kalau
istri atau gadisnya dikehendaki oleh iblis-iblis itu. Tetapi di samping itu mereka juga ingin
melihat tiap-tiap pertarungan yang memang sering diadakan di halaman itu, dengan

mengharap-harap sekali waktu ada orang yang dapat mengalahkan, syukur mengubur kelima
iblis penghuni rumah itu.
Tetapi sampai sekarang, kalau ada orang yang menuntut istri atau anaknya, dan terpaksa
melewati pertandingan di arena itu, tentu dibinasakan dengan kejamnya. Sedang istri atau
anak mereka, malahan menjadi barang taruhan yang makin tak berharga.
Demang Pucangan sendiri tak dapat mengatasinya. Dan tak seorangpun berani melaporkan
kepada atasan yang berwenang. Sebab dengan perbuatannya itu nyawanya jadi terancam.
Kembali kali ini akan ada sebuah pertandingan. Orang sudah menduga bahwa hal ini tentu
berhubungan dengan hilangnya Nyi Wirasaba. Tetapi siapakah yang akan memasuki arena?.
Ayahnya, Ki Asem Gedekah? Atau salah seorang muridnya? Atau siapa?
Sementara itu Mahesa Jenar masih enak-enak tidur. Berbareng matahari semakin tinggi, Ki
Asem Gede semakin gelisah.
Adalah di luar dugaannya kalau pada saat itu salah seorang pelayan Samparan masuk ke
gandok itu dengan membawa hidangan minuman dan makanan. Rupanya mereka akan
menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang baik hati, serta perbuatannya itu betul-betul
untuk kepentingan penduduk setempat.
Dengan ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki Asem Gede mencium minuman dan
makanan itu, kalau-kalau ada semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi ketika
menurut pendapatnya tak terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia mencoba
mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan makan juga.
Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar bersih.
“Rupanya Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang
sudah-sudah,” pikir Ki Asem Gede.
Sementara itu Mahesa Jenar telah menggeliat bangun. Dengan tangannya ia menggosokgosok matanya yang nampak merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam
hidangan, ia memandang Ki Asem Gede dengan penuh tanda tanya.
017
KI Asem Gede tahu bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan,
“Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan.
Sebagai orang yang mendalami masalah obat-obatan, aku telah meyakinkan bahwa makanan
ini bersih dari racun maupun obat bius.”
Mendengar keterangan itu Mahesa Jenar menjadi tak ragu-ragu lagi. Cepat tangannya
menyambar mangkuk minuman dan segera minum beberapa teguk teh hangat, disusul
beberapa potong makanan. Segera setelah itu, tenaganya terasa telah pulih kembali, setelah
semalam tidak tidur dan berkuda sekian jauhnya.
Berita akan adanya pertarungan di halaman rumah Samparan itu segera meluas. Beberapa
orang yang pergi ke pasar bergegas untuk segera pulang, supaya dapat menyaksikan
pertandingan itu. Beberapa orang yang merasa mempunyai sedikit kekuatan, mencibirkan
bibir. Mereka menganggap bahwa orang yang berani mencoba melawan rombongan

Samparan adalah orang yang telah jemu hidup. Padahal orang-orang itu tidak mampu
melawan gerombolan Samparan.
Sementara itu, Mahesa Jenar yang diributkan, sama sekali tak menghiraukan kesibukan orangorang di halaman rumah Samparan. Pada saat-saat semacam itu, ia merasa perlu
menenangkan pikiran dan memusatkan tenaga. Seperti biasa, Mahesa Jenar sama sekali tak
pernah meremehkan lawannya. Sebab sikap yang demikian akan menghilangkan kehatihatiannya.
Ketika matahari sudah agak tinggi, selesailah segala persiapan. Para penonton telah banyak,
mengelilingi arena. Sebentar kemudian terdengar kentongan dipukul orang lima kali - lima
kali berturut-turut. Suaranya memencar menghantam dinding-dinding jurang dan tebing
pegunungan, yang kemudian dilemparkan kembali. Menggema seperti aum harimau kelaparan
mencari makan.
Demikianlah suara kentongan itu, seolah seperti suara malaikat pencabut nyawa yang
memanggil-manggil korbannya.
Kemudian keluarlah dari pendapa rumah itu, Samparan beserta empat orang kawannya.
Masing-masing dengan pakaian yang hampir sama. Celana hitam sampai lutut, kain lurik
merah soga, sabuk kulit ular bertimang emas, dan berikat kepala merah soga pula, tanpa baju.
Kelima orang itu langsung menuju ke arena. Orang-orang yang berkerumun bersibak
memberi jalan.
Sementara itu Mahesa Jenar juga sudah dipanggil. Seperti orang yang segan-segan, ia berjalan
bersama Ki Asem Gede menuju ke arena. Pakaiannya adalah pakaian kusut, dan habis dipakai
tidur.
Meskipun ia bernama Mahesa Jenar, anehnya ia suka warna-warna hijau. Kainnya lurik
berwarna hijau gadung. Ikat kepala dan bajunya juga.
Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab, “Selamat pagi Watu Gunung, aku sengaja
tidak mandi, sebab aku takut kalau airmu memperlemah semangatku, sehingga aku tak dapat
melayani permainanmu dengan baik.”
Melihat Mahesa Jenar, beberapa orang mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka.
Begitu tenang dan sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya, ternyata
Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta otot-ototnya tampak lebih kuat.
Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak.
Orang-orang yang sedang sibuk menilai itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tak
menemukan satu hal pun dari Mahesa Jenar yang dapat melebihi lawannya. Tingginya,
besarnya, otot-ototnya dan segalanya. Tetapi ketika mereka memandang matanya seakan-akan
mereka menjadi yakin kalau Mahesa Jenar akan memenangkan pertarungan ini. Mereka sama
sekali tak sampai pada pikiran bahwa mata yang terang-cemerlang itu memancarkan suatu
kebesaran pribadi yang tak ada bandingnya.
Hal ini rupanya dirasakan juga oleh Samparan dan kawan-kawannya, sehingga ketika Watu
Gunung bertemu pandang dengan Mahesa Jenar, hatinya berdegup.

Untuk menutupi kerisauan hatinya, Watu Gunung berteriak, “Kakang Samparan, senjata apa
yang pantas aku pakai?”
Samparan yang tak mengira akan mendapat pertanyaan itu dengan sekenanya saja menjawab,
“Apa yang kau pilih!”
Kembali Watu Gunung jadi kebingungan, dan untuk mengatasinya, ia ingin mencari jawab
pada lawannya dan sekaligus untuk lebih merapati kegelisahannya.
“Mahesa Jenar, senjata apakah yang kau ingin pakai?”
Mahesa Jenar merenung sebentar, kemudian jawabannya makin menjadikan Watu Gunung
kebingungan. “Watu Gunung... senjata adalah barang yang berbahaya. Sedang permainan ini
hanya sekadar untuk menentukan pihak manakah yang dibenarkan Tuhan. Karena itu aku
menganggap bahwa aku tak ingin mempergunakan senjata.”
Watu Gunung menjadi semakin keripuhan, apalagi ketika Mahesa Jenar menyambung,
“Tetapi meskipun demikian, kalau kau ingin mempergunakan senjata, kalau itu sudah menjadi
kebiasaanmu, aku sama sekali tak keberatan, sedangkan bagiku sendiri senjata itu hanya akan
merepotkan saja.”
Muka Watu Gunung menjadi merah seperti darah. Malu dan marah bercampur aduk. Belum
pernah ia direndahkan sedemikian. Dan sekarang orang yang tak bernama itu berani berbuat
demikian. Maka dengan suara lantang penuh kesombongan dan kemarahan, ia menjawab,
“Aku bukanlah bangsa pengecut yang hanya berani bermain dengan senjata. Kalau aku
bertanya tentang senjata itu maksudku sudah tegas, berkelahi sampai salah satu diantara kita
mati. Tetapi kalau kau takut melihat tajamnya senjata, baiklah aku juga tidak akan bersenjata,
sebab dengan tanganku ini aku akan dapat mematahkan lehermu.”
Orang yang mendengar ucapan ini bulunya berdiri. Watu Gunung sudah terkenal
kehebatannya dan kekejamannya. Apalagi ia sekarang dikendalikan oleh kemarahan yang
besar. Tetapi hal itu bagi Mahesa Jenar adalah suatu keuntungan. Sebab dengan kemarahan itu
Watu Gunung akan kehilangan sebagian dari pengamatan dirinya.
Sementara itu Watu Gunung sudah berteriak, “Mahesa Jenar marilah kita mulai.”
Mahesa Jenar segera mempersiapkan diri. Ia tidak mau dikenai oleh serangan yang pertama
kali dan digerakkan oleh hawa kemarahan, yang tentu akan menambah kekuatan lawannya.
Dan apa yang diduga oleh Mahesa Jenar adalah benar. Belum lagi mulutnya terkatub rapat,
Watu Gunung sudah meloncat maju dan langsung menyerang ulu hati Mahesa Jenar.
Serangan itu begitu garang nampaknya seperti harimau menerkam mangsanya.


ORANG-ORANG yang menyaksikan pertarungan itu, darahnya sudah tersirat sampai ke
kepala. Tetapi Mahesa Jenar yang sudah bersiaga, cepat menarik kaki kirinya ke belakang dan
memutar sedikit tubuhnya, sehingga pukulan itu tak mengenai sasarannya. Gagal dari
serangan pertama ini Watu Gunung menyerang pula dengan kakinya ke arah perut Mahesa
Jenar, tetapi juga seperti serangannya yang pertama. Serangan ini pun dengan mudahnya
dapat dihindarkan.
Melihat kedua serangannya itu menyentuh pakaian lawan pun tidak, Watu Gunung menjadi
semakin marah. Kembali ia membuka serangan dengan tangannya ke arah dada, dan sekaligus
mempersiapkan tangan yang lain untuk menutup jalan menghindar. Rupa-rupanya serangan
ini hampir berhasil mengenai lawannya. Tetapi pada saat terakhir ketika tangannya sudah
berjarak setebal jari dari dada, Mahesa Jenar segera menarik tubuhnya ke belakang dengan
satu loncatan yang cepat, ia menghindar ke arah sebelah dari tangan yang lain. Watu Gunung
menjadi semakin uring-uringan.
Dan meluncurlah kemudian serangan-serangan yang cukup dahsyat. Tetapi beberapa orang
telah menjadi cemas. Sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar selalu terdesak. Pada
saat terakhir, Mahesa Jenar merasa betul-betul terdesak. Memang lawannya pada saat itu
tidaklah dapat dianggap ringan, meskipun belum sekuat Mantingan, tetapi Watu Gunung
mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya kepada kekuatan jarinya, sehingga berkalikali ia menyerang dengan menyodok perut, kening dan mata.
Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menguji kekuatan daya tahan lawannya.
Ketika pada suatu saat pertahanan dada Watu Gunung terbuka, cepat-cepat Mahesa Jenar
mempergunakan kesempatan ini. Seperti seekor burung menyambar belalang, ia pergunakan
sisi telapak tangannya untuk menghantam dada lawannya. Serangan itu begitu mendadak dan
cepat sehingga lawannya tak sempat menghindarinya.
Merasa kena hantaman di dadanya, cepat-cepat Watu Gunung mundur selangkah. Mulutnya
meringis sebentar menahan sakit. Tetapi oleh daya tahan badannya, segera rasa sakit itu
hilang.
Mengalami hal ini, Watu Gunung malahan sekali lagi meloncat mundur, dan aneh sekali, ia
tidak bersiap-siap untuk menyerang atau bertahan, malahan ia berdiri di atas kedua kakinya
yang direnggangkan dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Melihat sikap yang demikian, Mahesa Jenar pun menjadi tertegun heran. Tetapi menghadapi
sikap ini ia tidak berani gegabah, sebab siapa tahu bahwa sikap ini adalah suatu sikap untuk
mengelabuinya dan memancingnya dalam suatu keadaan yang tak menguntungkan.
Mahesa Jenar semakin heran ketika tiba-tiba Watu Gunung tertawa keras dengan suaranya
yang nyaring. Begitu kerasnya ia tertawa sampai menimbulkan getaran-getaran di dada orang
yang mendengarnya.
Sebaliknya para penonton yang melihat Watu Gunung bersikap demikian, seketika tubuhnya
menjadi gemetar. Sebab dengan demikian Watu Gunung sudah menemukan suatu kepastian
bahwa dalam waktu singkat ia pasti akan dapat menghancurkan lawannya. Dan, biasanya
dipegangnya kedua kaki lawannya itu, diputar di udara, dan dengan sekali tetak dihantamkan
pada pohon sawo di tepi arena itu sehingga kepalanya menjadi pecah berserakan.

Melihat hal itu, Ki Asem Gede ikut menjadi cemas. Ia melihat nyata-nyata bahwa pukulan
Mahesa Jenar tepat mengenai dada, tetapi pukulan itu tak mengakibatkan apa-apa.
Tetapi melihat ketenangan Mahesa Jenar, Ki Asem Gedepun menjadi agak tenang pula. Satu
kesalahan dari Watu Gunung dan para penonton pertarungan itu adalah bahwa mereka tidak
menyadari kalau pukulan Mahesa Jenar itu hanya mempergunakan sebagian kecil dari seluruh
kekuatannya. Dengan melihat akibat dari pukulan percobaan itu, Mahesa Jenar dapat
mengukur bahwa kalau ia mempergunakan tigaperempat saja dari kekuatannya, dada Watu
Gunung itu sudah pasti akan rontok.
Ketika suara tertawa dari Watu Gunung makin menurun, para penonton pun menjadi semakin
gelisah. Sebab, demikian suara itu berhenti, demikian Watu Gunung akan menyerang dengan
dahsyatnya tanpa menghiraukan hantaman lawan. Dan biasanya pada waktu yang singkat ia
telah berhasil meringkus kaki lawan itu dan membenturkan kepalanya di pohon sawo.
Berbeda dengan semua pikiran-pikiran itu, tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat kesan yang aneh
dari suara tertawa itu. Ia jadi terkenang pada suatu peristiwa yang sangat memalukan dan
hampir-hampir menjatuhkan namanya. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu yang lalu ketika ia
masih menjabat sebagai perwira pasukan pengawal raja.
Pada saat Demak sedang membentuk dirinya dan memperkokoh kedudukannya, di mana
dibutuhkan kekuatan yang sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan berdirilah suatu
himpunan dari beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam yang ingin mempergunakan
kesempatan untuk kepentingan diri sendiri serta golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh
seorang yang sakti dan berkekuatan luar biasa, yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Sehingga
gerombolan itu pun kemudian lazim disebut gerombolan Lawa Ijo.
Pada masa jayanya, Lawa Ijo mempunyai daerah pengaruh yang luas di daerah selatan
sepanjang pantai sampai ke daerah Bagelen dan Banyumas. Menurut kabar, gerombolan ini
bersarang di hutan Mentaok.
Demikian merasa dirinya begitu kuat, sampai Lawa Ijo sendiri beserta beberapa orang
kepercayaannya berani melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak. Meskipun
pasukan keamanan sudah dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa dijumpai, kecuali hanya
bekas-bekas perbuatannya yang kadang-kadang tak mengenal perikemanusiaan, dan tandatanda pengenal yang sengaja ditinggalkan, yaitu secarik kain yang bergambar seekor
kelelawar berwarna hijau dan berkepala serigala diikatkan pada sebilah pisau, yang agak
panjang.
Bahkan kekurangajarannya memuncak lagi dengan usahanya memasuki kamar
perbendaharaan istana, dimana disimpan harta kekayaan istana beserta benda-benda untuk
upacara yang terbuat dari emas, berlian dan permata-permata lainnya. Adalah suatu aib yang
tercoret di muka para pengawal istana, kalau pada saat itu tak seorang pun yang mengetahui
bahwa lima orang gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin oleh Lawa Ijo sendiri sampai dapat
memasuki halaman istana bagian dalam.
Untunglah bahwa pada saat-saat dimana gerombolan Lawa Ijo sedang mengganas, pasukan
pengawal istana telah mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menghadapi segala
  kemungkinan. Sehingga tiap malam tidak hanya para prajurit yang bertugas ronda keliling,
tetapi juga para perwira.
019
MALAM itu adalah malam dimana Mahesa Jenar sedang mendapat giliran bertanggungjawab
pada keselamatan raja serta istana seisinya. Dan justru pada malam itu pulalah gerombolan
Lawa Ijo bertindak.
Pada malam itu kira-kira hampir tengah malam, Mahesa Jenar di ruang penjagaannya
merasakan angin aneh bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sampai para perajurit
merasa kantuk dengan tiba-tiba dan bahkan menjadi tak kuat lagi menahan matanya. Mahesa
Jenar sendiri merasa bahwa ia pun tak luput dari serangan itu. Tetapi ia adalah seorang
perajurit yang berpengalaman. Begitu ia merasakan suatu ketidakwajaran, hatinya menjadi
curiga. Meskipun demikian ia tidak segera bertindak.
Mula-mula ia pusatkan kekuatan batinnya untuk melawan akibat angin yang aneh itu,
sehingga lambat laun ia berhasil mengatasinya. Kemudian ia sendiri pun berpura-pura
merebahkan diri di samping seorang perwira bawahannya yang sudah hampir tak kuat lagi
menahan kantuknya. Tetapi begitu Mahesa Jenar berbaring, lalu berbisiklah ia perlahan-lahan
sekali kepada perwira bawahannya itu.
“Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya dirimu telah terkena sirep. Sadarlah dan cobalah melawan.”
Mendengar bisikan Mahesa Jenar ini, Gadjah Alit menjadi seperti tersadar dari kantuknya.
Cepat-cepat ia pun memusatkan seluruh kekuatan batinnya dan dengan sekuat tenaga ia
melawannya. Akhirnya ia pun sedikit demi sedikit berhasil menguasai dirinya kembali.
Ketika Mahesa Jenar melihat bahwa Gadjah Alit telah dapat menguasai dirinya, kembali ia
berkata, “Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam istana ini. Aku
kira sebagian besar penjaga sudah terlibat dalam cengkeraman sirep itu. Tetapi baiklah kita
tidak usah ribut. Marilah kita berdua berusaha untuk menguasai keadaan.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan kakang Rangga Tohjaya?” tanya Gadjah Alit.
“Dengan berpura-pura tidur, mereka tentu tidak mengira kalau kita tengah mengadakan
penyelidikan. Marilah kita berpencar. Lewat pintu belakang dari ruangan ini. Kau pergi ke
utara dan aku ke selatan. Kalau salah satu diantara kita melihat hal yang mencurigakan dan
kiranya kita masing-masing seorang diri tak mampu mengatasi, sebaiknya kita memberi tanda
dengan sebuah suitan.”
“Baiklah kakang Rangga,” jawab Gadjah Alit.
Dan setelah beberapa saat tak terjadi apa-apa, perlahan-lahan dan berhati-hati sekali mereka
berdua menyelinap pintu belakang ruang jaga dengan tidak membangunkan seorang pun, agar
orang yang bermaksud jahat itu sama sekali tak menduga bahwa diantara sekian banyak
penjaga itu ada yang terluput dari sirepnya.
Dengan berlindung pada bayang-bayang dan batang-batang tanaman mereka berdua
menyelidiki keadaan taman itu dengan seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan Mahesa
Jenar atau Rangga Tohjaya ke selatan. Beberapa lama mereka tak menemukan tanda apa-apa.
Malahan halaman dalam istana itu rasanya jauh lebih sepi dari biasanya. Tapi Mahesa Jenar

dan Gadjah Alit adalah orang-orang yang penuh dengan pengalaman dan mempunyai
ketajaman batin yang luar biasa.
Mahesa Jenar yang meskipun pada waktu itu belum melihat adanya sesuatu yang
mencurigakan, tetapi ia sudah mendapat firasat bahwa ia telah berdekatan dengan apa yang
dicarinya. Itulah sebabnya ia segera diam menenangkan diri di belakang sebuah tanaman yang
agak rimbun. Dipusatkannya segala perhatiannya ke suasana di sekelilingnya. Angin aneh
yang ternyata adalah mengalirnya kekuatan sirep dari seseorang yang cukup kuat ilmu
kebatinannya, masih saja bertiup. Bahkan daya sirep itu demikian kuatnya sehingga baik
Mahesa Jenar maupun Gadjah Alit harus tetap menyediakan sebagian perhatianya untuk tetap
melawan pengaruhnya.
Dengan mengukur kekuatan angin aneh itu, Mahesa Jenar sedikit banyak dapat menjajaki
sampai dimana kehebatan orang yang memasangnya. Dengan demikian Mahesa Jenar harus
betul-betul waspada, sebab ia tahu betul bahwa orang yang memasang sirep itu tentulah
seorang yang mempunyai kesaktian tinggi. Dari tempat persembunyiannya Mahesa Jenar
dapat melihat bahwa tiga orang yang bertugas jaga di sudut dinding halaman itu telah tertidur
semuanya.
Tombaknya disandarkan pada dinding halaman, dan mereka bertiga begitu saja menggeletak
tidur di atas rumput.
Maka setelah agak lama Mahesa Jenar menanti, datanglah saat yang menyebabkan denyut
jantung Mahesa Jenar bertambah cepat. Karena pendengarannya yang sangat tajam itulah
maka ia mendengar suara berdesir di atas atap balai perbendaharaan istana. Ketika dengan
matanya yang setajam telinganya itu pula ia mengamat-amati arah suara itu, darahnya jadi
tersirap. Dilihatnya samar-samar bayangan yang berkerudung hampir seluruh tubuhnya
berjalan mengendap-ngendap.
Tiba-tiba bayangan itu berhenti hanya beberapa depa saja di atasnya. Mahesa Jenar segera
mengatur jalan nafasnya supaya tidak didengar oleh bayangan itu. Dan memang rupa-rupanya
bayangan itu sama sekali tidak mengerti kalau di bawahnya bersembunyi seseorang.
Bayangan itu kemudian berdiri dan terdengarlah suatu suitan nyaring. Setelah itu ia berdiri
tegak sambil memandang ke arah sudut pagar halaman. Tiba-tiba muncullah berturut-turut,
hampir seperti seekor berati yang terbang dan hinggap di atas dinding pagar yang tingginya
satu setengah kali tinggi orang. Dan kemudian terdengarlah tawa itu.
Bayangan di atas balai perbendaharaan itu memperdengarkan suara tertawa yang walaupun
tidak keras tetapi memancarkan suatu pengaruh yang luar biasa, sehingga seseorang yang
mendengarnya hatinya menjadi begitu pedih seperti mendengar rintihan hantu kubur. Bukan
itu saja.
020
KEEMPAT bayangan yang muncul kemudian itu memperdengarkan suara tertawa yang sama,
sehingga terpaksa Mahesa Jenar harus segera dengan kekuatan batinnya menutupi lubanglubang pendengaran hatinya untuk tidak menerima pengaruh jahat dari suara itu. Kemudian
keempat orang itu meloncat dengan gaya seperti seekor burung, turun ke halaman. Seperti
terapung di udara, mereka berlari ke arah bayangan di atas atap itu.

Sementara itu dari arah lain Mahesa Jenar melihat bayangan seorang yang pendek bulat
berlari seperti batu berguling-guling masuk jurang begitu cepatnya ke arah empat bayangan
itu. Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, bayangan itu sudah langsung menyerang. Hati
Mahesa Jenar berdebar bertambah cepat.
Bayangan yang gemuk pendek dan menggelinding cepat sekali tadi sudah pasti adalah Gajah
Alit. Rupanya ketika Gajah Alit mendengar suitan bayangan di atas atap itu, ia mengira kalau
Mahesa Jenarlah yang memberi tanda kepadanya untuk membantunya. Maka ketika ia dengan
hati-hati sekali pergi ke arah suara itu, ia mendengar suara tertawa bersahut-sahutan. Dan ia
melihat keempat bayangan itu seperti terbang mengarah ke balai perbendaharaan. Maka
dengan tidak banyak pertimbangan lagi ia langsung menyerang keempat bayangan itu.
Keempat bayangan itu rupa-rupanya sama sekali tidak menduga kalau ia akan mendapat
serangan demikian hebatnya. Sehingga dalam beberapa saat rupa-rupanya Gajah Alit telah
berhasil melukai satu di antaranya. Tetapi ketiga yang lain menjadi sangat marah dan
segeralah terjadi pertempuran yang hebat sekali.
Sementara itu Mahesa Jenar belum memperlihatkan diri. Kecuali keadaan masih belum
memerlukan, rupanya Gajah Alit tidak begitu banyak mengalami kesulitan. Meskipun ia harus
bekerja mati-matian melawan tiga orang yang mempunyai tenaga tempur yang cukup, ia
sendiri memandang perlu untuk tetap mengawasi gerak-gerik bayangan di atas atap balai
perbendaharaan itu. Dan apa yang diduganya ternyata benar. Bayangan di atas atap itu
ternyata adalah pemimpinnya, yaitu Lawa Ijo sendiri.
Melihat keempat orangnya itu tak segera dapat mengatasi lawannya, Lawa Ijo tampaknya
tidak sabar lagi. Tiba-tiba ia mengeluarkan suatu suitan nyaring dan seperti seekor elang
menyambar ia terjun dari atap. Kedua tangannya dikembangkan dan tampaklah jari-jari
tangannya yang kokoh kuat itu siap menerkam Gajah Alit. Mahesa Jenar yang memang sudah
siap, tidak membiarkan Gajah Alit dilukai, segera ia pun meloncat dari persembunyiannya.
Geraknya tampak kuat, tangkas dan teguh seperti seekor banteng yang terluka menyerang
lawannya.
Mendengar suitan dari atas atap itu, Gajah Alit segera sadar bahwa suitan itu seperti yang
didengarnya tadi, ternyata bukanlah suara Mahesa Jenar. Maka segera ia melontarkan diri
jauh ke belakang sampai empat lima depa, dan segera bersiap menghadapi kemungkinan dari
musuhnya yang baru itu. Melihat gerak yang demikian cepatnya ketiga musuhnya jadi
terkejut, demikian juga Lawa Ijo yang terpaksa membuat satu gerakan di udara untuk
mengubah arah terjunnya.
Tetapi kembali di luar dugaannya bahwa dari arah lain datanglah dengan garangnya suatu
serangan yang dahsyat. Kembali Lawa Ijo mengubah gaya tubuhnya. Meskipun demikian ia
tak mempunyai kekuatan lagi untuk menyerang ke arah yang berlawanan, sehingga segera ia
melipat tangan kanannya untuk melindungi dada, sedangkan tangan kirinya disiapkan untuk
menyerang.
Pada saat kaki Lawa Ijo baru saja menyentuh tanah, datanglah serangan Mahesa Jenar dengan
dahsyatnya, sehingga terjadilah suatu benturan yang sangat hebat dari dua tenaga raksasa.
Tetapi rupanya Mahesa Jenar menang perhitungan, sehingga Lawa Ijo terdorong ke belakang

dan kehilangan keseimbangan. Ia berguling dua kali ke belakang dan barulah ia dapat tegak
kembali.
Lawa Ijo merasakan dadanya sangat nyeri, nafasnya agak sesak. Pukulan Mahesa Jenar yang
dilontarkan sepenuh tenaga itu rupanya telah melukai bagian dalam tubuh Lawa Ijo.
Meskipun demikian, pada saat benturan itu terjadi, tangan kiri Lawa Ijo ternyata telah dapat
mengenai pundak Mahesa Jenar, sehingga tangan kanan Mahesa Jenar pun menjadi sakit dan
geraknya menjadi terbatas.
Gajah Alit yang melihat munculnya Mahesa Jenar dengan tiba-tiba itu menjadi girang, dan
geraknya bertambah mantap. Sambil menyerang kembali ia sempat berkata, “Ee.., kakang
Rangga, rupa-rupanya kau mau mengajak main sembunyi-sembunyian.”
Tetapi Mahesa Jenar diam saja, sebab ia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat
tangguh.
Segera terjadi dua kancah pertarungan yang dahsyat. Mahesa Jenar melawan Lawa Ijo, dan
Gajah Alit melawan tiga orang pengikut Lawa Ijo. Mungkin karena Lawa Ijo telah berhasil
dilukainya lebih dahulu, maka pertempuran antara Mahesa Jenar dan Lawa ijo yang namanya
terkenal ke segala pelosok dan ditakuti oleh siapapun, berhadapan dengan Mahesa Jenar tak
dapat berbuat banyak. Sekali dua kali memang ia bisa mengenai tubuh Mahesa Jenar, tetapi
sebaliknya Mahesa Jenar telah mengenainya dua kali lipat.
Karena tangan kanannya terluka, Mahesa Jenar memusatkan serangannya pada kecepatan
gerak kakinya. Dan ternyata ini berbahaya sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo
dengan dahsyatnya menyerang arah tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah jarinya yang
dirapatkan. Cepat-cepat Mahesa Jenar menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit ke
samping. Tetapi secepat kilat Lawa Ijo mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke
arah ulu hati Mahesa Jenar.
Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga hanya dengan gerakan yang kecepatannya tak
dapat dilihat, Mahesa Jenar berhasil menangkis serangan itu dan dengan tangannya
mendorong kaki itu ke dalam. Dorongan itu begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar
setengah lingkaran. Maka kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum lagi
kaki Lawa Ijo itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan suatu tendangan dan
dengan tumitnya ia mengenai lambung lawannya. Kembali Lawa Ijo terlompat beberapa
langkah.
Karena dada Lawa Ijo memang sudah terluka, maka pukulan ini rasanya jauh lebih hebat dari
serangan yang pertama, sehingga Lawa Ijo terlompat ke belakang. Mahesa Jenar yang akan
memburunya, terpaksa segera menghentikan geraknya.
Seleret sinar putih terbang menyambar dadanya. Secepat kilat ia miringkan tubuhnya, dan
sinar putih itu lari hanya berjarak setebal daun dari dadanya, mengenai dinding balai
perbendaharaan dan langsung menancap di sana hampir sampai ke tangkainya.
021
TERNYATA benda itu adalah sebilah pisau yang pada tangkainyadiikatkan secarik kain yang
bergambar seekor kelelawar hijau dengan kepala serigala. Melihat pisau itu tertancap begitu

dalam, hati Mahesa Jenar tersirap juga. Kalau saja pisau itu menancap di dadanya, entahlah
apa jadinya.
Sementara itu terjadilah suatu hal di luar dugaan. Setelah melemparkan pisaunya, segera
Lawa Ijo meloncat ke belakang dan secepat kilat ia melarikan diri. Mahesa Jenar tentu saja
tak membiarkan Lawa Ijo lari, sehingga ia segera mengejarnya. Tetapi di luar dugaannya
pula, kedua orang yang turut mengeroyok Gajah Alit segera meninggalkannya dan
menghadangnya.
Mereka sekarang sudah memegang senjata di tangan masing-masing. Sebuah belati panjang.
Mahesa Jenar menjadi jengkel sekali. Sedianya ia sama sekali tak ingin melayani orang itu,
supaya tidak kehilangan Lawa Ijo. Tetapi kedua orang itu nekad menyerang Mahesa Jenar.
Terpaksa Mahesa Jenar berhenti untuk melayani kedua orang itu. Baik Mahesa Jenar maupun
Gajah Alit mengerti akan maksud kedua pembantu Lawa Ijo itu, yaitu untuk memberi
kesempatan kepada pemimpinnya supaya dapat meloloskan diri.
Karena itu Gajah Alit pun berusaha untuk menghindari pertarungan dengan lawannya yang
tinggal seorang itu untuk dapat mengejar Lawa Ijo. Tetapi lawannya itu pun sudah seperti
orang kemasukan setan. Maka akhirnya Mahesa Jenar dan Gajah Alit mengambil keputusan
untuk menyelesaikan lawan masing-masing, baru berusaha menangkap Lawa Ijo.
Tetapi belum lagi mereka berhasil menyelesaikan pertempuran itu, Lawa Ijo telah meloncat
ke atas dinding halaman. Kemudian kembali terdengar suara tertawa itu, suara tertawa yang
menusuk-nusuk hati begitu pedihnya seperti suara rintihan hantu kubur. Dengan cepat
tertawanya itu makin lama makin terdengar jauh dan lemah.
Menyaksikan hilangnya Lawa Ijo di depan matanya, Mahesa jenar dan Gajah Alit menjadi
gusar bukan kepalang. Dan sekarang kegusarannya itu hanya dapat ditumpahkan kepada
lawannya yang ketika itu juga sudah berusaha untuk melarikan diri. Maka dengan kekuatan
penuh, Mahesa Jenar segera menghantam lawannya. Pisau yang dipegang oleh kedua orang
itu sama sekali tak berarti.
Pukulan Mahesa Jenar melayang mengenai kepala salah seorang di antaranya, sehingga
terdengar suatu jerit ngeri. Disusul teriakan keras dari yang seorang lagi karena tulang-tulang
rusuknya rontok disambar kaki Mahesa Jenar. Maka seperti batang pisang keduanya roboh di
tanah dan tak bergerak-gerak lagi.
Belum lagi gema teriakan itu berhenti, terdengarlah suara keluhan yang tertahan. Rupanya
Gajah Alit pun berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia mempunyai cara
sendiri untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya yang pendek kukuh itu ia
menyambar leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang kokoh ia menekan leher itu sampai
nafas lawannya putus.
Namun meskipun pada pagi harinya terjadi kegemparan dalam istana, serta hampir tiap-tiap
mulut menyatakan pujian terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah berhasil
menggagalkan usaha Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat orang anggotanya,
tetapi Mahesa Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga batin lawannya. Meskipun
terjadi perkelahian begitu hebatnya, serta beberapa kali terdengar teriakan dan suitan, namun
tak seorang pun dari mereka yang tertidur karena pengaruh sirep itu terbangun.

Apalagi suara tertawa itu. Alangkah tajamnya, sehingga mempunyai pengaruh yang luar
biasa. Orang yang tidak mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh karenanya,
akhirnya menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.
Sekarang, pada saat ia bertanding melawan Watu Gunung untuk kepentingan Ki Asem Gede,
kembali ia mendengar tertawa yang demikian. Mirip sekali dengan suara tertawa Lawa Ijo.
Orang-orang yang tak berkepentingan serta tak terlibat dalam perkelahian itu pun menjadi
menggigil karenanya. Bahkan beberapa orang telah terduduk lemah tanpa kekuatan lagi untuk
dapat berdiri.
Mengingat pengalaman berhadapan dengan Lawa Ijo, kegusaran hati Mahesa Jenar seperti
tergugah. Dalam sejarah hidupnya belum pernah ada seseorang penjahat yang sudah berada di
bawah hidungnya terluput dari tangannya. Meskipun ia sekarang bukan lagi seorang prajurit
Demak, ia tetap memiliki jiwa pengabdian untuk kedamaian hati rakyat. Karena itu sekali lagi
ia ingin bertemu dengan Lawa Ijo, yang sejak peristiwa itu namanya tak pernah terdengar
lagi.
Mahesa Jenar yakin, bahwa apabila tak terbinasakan, pada suatu saat pasti Lawa Ijo akan
muncul kembali. Watu Gunung yang memiliki ciri-ciri khas sama dengan Lawa Ijo, tentu
mempunyai hubungan erat. Mungkin Watu Gunung adalah bekas gerombolan Lawa Ijo, atau
mungkin juga muridnya. Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mempermainkan
orang ini sebagai undangan buat kehadiran Lawa Ijo.
Kenangan dan pikiran-pikiran itu hanya sebentar saja melintas di otak Mahesa Jenar.
Sementara itu suara tertawa Watu Gunung sudah kian lemah, kian lemah. Para penonton pun
menjadi kian ngeri dan ketakutan. Beberapa orang diantaranya terjatuh lemas seperti dicopoti
tulang-tulangnya. Saat yang mengerikan tentu segera tiba. Para penonton yang mengharap
segera berakhir riwayat kelima iblis itu, meratap dalam hati.
Tepat pada saat mulut Watu Ganung terkatup, matanya segera berubah jadi merah dan liar.
Wajahnya tampak bertambah bengis. Ia memandang Mahesa Jenar dengan tajam. Tangannya
direntangkan ke samping, sedangkan jari-jarinya yang kuat itu dikembangkan, siap untuk
menerkam dan merobek lawannya. Setapak demi setapak ia maju mendekati umpannya.
Sementara Mahesa Jenar pun telah siap, dan telah mendapat keputusan untuk
mempermainkan lawannya. Tetapi ia tetap waspada dan hati-hati, sebab ia tahu betapa
kuatnya Lawa Ijo. Kalau saja orang ini dapat mewarisi segala kehebatan Lawa Ijo,
pertarungan tentu akan menjadi sangat sengit.
Ketika jarak mereka tinggal kira-kira dua depa, Watu Gunung menggeram hebat. Lalu dengan
gerak yang cepat sekali ia melompat menerkam Mahesa Jenar. Serangan yang dilontarkan
dengan sepenuh tenaga, serta dari jarak yang begitu dekat dengan kecepatan yang tinggi,
menjadikan darah para penonton berdesir. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar tidak
sempat menghindari serangan itu. Ia hanya dapat melindungi dirinya dengan tangannya, yang
disilangkan di muka dadanya untuk menahan terkaman jari-jari Watu Gunung.
Memang saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha menghindar. Ia hanya
mempergunakan tangannya untuk melindungi dadanya.

022
KETIKA serangan itu datang, terdengarlah beberapa jeritan tertahan, justru dari para
penonton. Sedangkan Ki Asem Gede pun tak sempat mengedipkan matanya. Mereka mengira
bahwa akan terjadi suatu benturan yang dahsyat dan tangan Mahesa Jenar akan dipatahkan.
Tetapi apa yang terjadi adalah jauh dari itu. Sama sekali tak terjadi benturan yang keras.
Sebab waktu tangan Watu Gunung menyentuh tangannya, Mahesa Jenar surut ke belakang
selangkah untuk memusnahkan tenaga lawan. Sesudah itu ia gunakan enam bagian tenaganya
untuk mendorong lawannya.
Watu Gunung sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan yang demikian.
Karena itu seperti bola besi yang dilemparkan ke udara oleh tenaga seekor banteng, ia
melayang sebentar dan terjatuh beberapa depa ke belakang. Hanya karena kelincahan dan
keuletannya saja maka ia tidak terpelanting dan jatuh bergulingan.
Meskipun tubuhnya bergetar, Watu Gunung berhasil tegak di atas kedua kakinya, bahkan ia
telah siap pula dengan sebuah pertahanan.
“Bagus. Ulet juga orang ini,” desis Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi. Watu Gunung geragapan, cepatcepat ia rendahkan tubuhnya dan melindungi lambungnya dengan siku. Tapi rupanya Mahesa
Jenar tidak betul-betul menyerang lambung itu, sebab sebentar kemudian tangan kanannya
sudah berputar mengenai tengkuk Watu Gunung. Kembali Watu Gunung terhuyung-huyung
ke samping. Dikerahkannya semua tenaganya untuk menahan tubuhnya supaya tidak jatuh,
dan dengan susah payah ia berhasil juga.
Perubahan yang terjadi demikian cepatnya itu, menyebabkan para penonton terkejut bukan
kepalang. Malahan kemudian ada yang tidak percaya pada apa yang terjadi. Setan mana yang
telah membantu Mahesa Jenar mendapat kekuatan itu.
Samparan beserta ketiga kawannya sampai berdiri. Sebagai orang yang penuh pengalaman,
Samparan segera melihat kekuatan Mahesa Jenar yang luar biasa itu.
Kalau mula-mula Mahesa Jenar tampak lemah dan tak bertenaga, itu karena ia sedang
menjajagi sampai di mana kekuatan lawannya. Kalau mula-mula ia merasa yakin bahwa Watu
Gunung akan berhasil, sekarang adalah sebaliknya, ia menjadi yakin kalau Watu Gunung
akan binasa, atau setidak-tidaknya namanyalah yang binasa. Rupanya ketiga kawannya pun
berpikir demikian.
Apalagi Mahesa Jenar telah mendesak demikian hebatnya. Anehnya, serangan serangan
Mahesa Jenar tidak tampak membahayakan. Pada suatu kali, ketika Mahesa Jenar meloncat
dengan dahsyatnya ke udara, kakinya bergerak menyambar kepala Watu Gunung, sehingga
Watu Gunung terpaksa merendahkan diri untuk menghindar. Tetapi segera kaki itu ditarik,
dan sekali menggeliat Mahesa Jenar telah berdiri di belakang Watu Gunung. Tangannya
bergerak cepat sekali ke arah kepala Watu Gunung. Serentak hati para penonton tergetar.
Hampir saja mereka bersorak, karena pasti kepala Watu Gunung akan terhantam.
Tetapi rupanya Mahesa Jenar berbuat lain. Ia hanya menyambar saja ikat kepala Watu
Gunung yang berwarna merah soga itu.

Mendapat perlakuan ini, wajah Watu Gunung menjadi merah, semerah ikat kepalanya yang
disambar Mahesa Jenar itu. Giginya gemeretak menahan marah, dan tubuhnya bergetar
secepat getaran darahnya. Bagi orang seperti Watu Gunung, lebih baik kepalanya diremukkan
daripada dihina sedemikian.
Ki Asem Gede, yang sejak melihat perubahan sikap Mahesa Jenar sudah mendapat kepastian
akan akhir dari pertarungan itu, melihat Mahesa Jenar berbuat demikian tak dapat lagi
menahan geli hatinya. Tertawanya melontar tak terkendalikan sampai tubuhnya berguncangguncang.
Mendengar suara Ki Asem Gede tertawa terkekeh-kekeh, hati Watu Gunung semakin
terbakar. Maka secepat halilintar menyambar, tangannya tergerak, dan seleret sinar
menyambar dada Mahesa Jenar.
Melihat sinar itu, sesaat Mahesa Jenar bimbang. Kalau ia menghindar, tentu pisau itu akan
mengenai salah seorang penonton yang berdiri diluar arena itu. Tetapi ia tidak mempunyai
waktu banyak untuk berbimbang-bimbang. Pada saat yang tepat ia miringkan tubuhnya
seperti apa yang ia lakukan sewaktu ia menghadapi keadaan yang sama, ketika ia bertempur
dengan Lawa Ijo. Tetapi sekarang ia tidak menghendaki pisau itu menelan korban orang yang
tak berdosa.
Dengan suatu gerakan yang sukar dilihat dengan mata, tangan Mahesa Jenar menyambar
tangkai pisau itu. Tahu-tahu pisau itu sudah di tangannya.
Melihat adegan itu, penonton menjadi gempar. Mereka menjadi lupa bahwa diantara mereka
masih ada empat orang iblis yang menyaksikan pertunjukan itu dengan penuh kemarahan.
Kecenderungan mereka untuk memihak Mahesa Jenar akan menambah dendam keempat
orang itu.
Ki Asem Gede yang paling tak dapat menguasai dirinya. Seperti orang anak kecil ia berteriakteriak memuji. “Bagus ..., bagus ..., bagus ....”
023
TIBA-TIBA teriakannya dan kegemparan penonton pun mendadak terhenti. Mereka melihat
seorang dengan lincah meloncat ke dalam arena sambil memegang sebuah pedang pendek.
Itulah Gagak Bangah. Anggota termuda dari kawanan iblis itu. Rupa-rupanya ia tidak dapat
lagi mengendalikan dirinya melihat Watu Gunung dihinakan sedemikian. Meskipun ia merasa
bahwa ia sendiri tidak akan mampu melawan Mahesa Jenar, tetapi berdua dengan Watu
Gunung adalah lain soalnya.
Gagak Bangah sendiri tidak sekuat Watu Gunung, tetapi ia mempunyai kelebihan dalam hal
kecepatan bergerak. Dan kecepatannya itu apabila digabungkan dengan kekuatan tenaga Watu
Gunung mungkin akan dapat merobohkan lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Melihat
seorang kawannya memasuki arena, hati Watu Gunung yang sudah tipis sekali itu menjadi
tergugah kembali. Ia sudah tidak peduli lagi kepada peraturan yang ditentukan dalam
pertarungan itu.

Melihat seorang lagi masuk dalam arena, Mahesa Jenar terkejut. Ia surut beberapa langkah ke
belakang, dan pandangannya mengandung pertanyaan. Tetapi dengan tak banyak cakap,
Gagak Bangah sudah memutar pedang pendeknya dan dengan kecepatan yang luar biasa ia
menyerang Mahesa Jenar.
“Tunggu... apakah kau ingin menggantikan Watu Gunung?”
Terpaksa Mahesa Jenar ingin mendapat penjelasan sambil meloncat menghindari serangan itu.
Tetapi, ia tidak mendapat jawaban, bahkan kini Gagak Bangah dan Watu Gunung menyerang
bersama-sama.
“Kalian melanggar peraturan,” sambung Mahesa Jenar sambil meloncat menghindari
sambaran pedang pendek dan kemudian cepat sekali ia meloncat dua depa ke belakang
sebelum kaki Watu Gunung mengenai tungkaknya.
“Tidak ada suatu peraturanpun yang dapat mengikat kami,” teriak Gagak Bangah dengan
garangnya. “Kami berdiri di atas segala peraturan. Kalau kami berhak menentukan peraturan,
kami pun berhak mengubah atau menghapus peraturan itu.”
Mahesa Jenar jadi sadar bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang licik dan tidak
bersikap jantan. Ia paling benci pada sifat-sifat yang demikian. Ia lebih menghargai seseorang
yang mengakui kekalahannya daripada orang yang licik dan curang. Itulah sebabnya
kemarahan Mahesa Jenar tergugah.
Tetapi ia sekarang berhadapan dengan dua orang yang mempunyai keistimewaan masingmasing dan tergolong dalam tingkatan yang cukup tinggi. Karena itu ia harus mengerahkan
sebagian besar kepandaiannya.
Ki Asem Gede yang menyaksikan kecurangan itu pun menjadi gusar. Untuk melawan dua
orang, belum tentu Mahesa Jenar dapat menang. Karena itu ia sudah membulatkan tekad
untuk melibatkan diri dalam pertempuran itu. Tetapi baru saja ia akan meloncat, tiba-tiba
terdengarlah sebuah bisikan.
“Jangan berbuat sesuatu Ki Asem Gede.”
Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang. Dan terasa di kedua belah lambungnya melekat ujung
senjata tajam. Ketika ia menoleh, dilihatnya Wisuda dan Palian, yakni anggota ke-3 dan ke-4
dari kawanan iblis itu berdiri di belakangnya dan mengancamnya dengan keris. Maka terpaksa
Ki Asem Gede mengurungkan niatnya, meskipun hatinya bergelora hebat, sambil menanti
suatu kesempatan.
Sementara itu, pertempuran di arena bertambah hebat. Gagak Bangah dengan gesitnya
menyambar-nyambar sambil mempermainkan pedang pendeknya, seperti seekor Sikatan
menyambar belalang. Sedangkan Watu Gunung pun dengan mengandalkan kekuatannya
menyerang dengan garangnya. Apalagi kini ia telah memegang pula sebuah belati panjang
yang dicabutnya dari bawah kainnya, seperti yang dilemparkan tadi.
Mahesa Jenar ternyata tidak mengecewakan. Diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dengan
tidak sengaja Watu Gunung telah memberinya sebilah pisau belati panjang. Dan dengan
senjata itu ia melayani kedua lawannya. Ia pernah mendengar bahwa belati kawanan Lawa Ijo

terkenal keampuhannya serta terbuat dari baja pilihan. Apalagi kini senjata itu ada di tangan
Mahesa Jenar yang mempunyai kepandaian dalam mempergunakan segala macam senjata.
Maka dalam waktu yang singkat ujung belati itu dengan dahsyatnya menyerang lawannya dan
seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu mata pisau yang mematuk-matuk dengan garangnya.
Keadaan yang seimbang dari pertempuran itu tidak berlangsung lama. Sebab segera Mahesa
Jenar berhasil mendesak lawannya ke dalam keadaan yang sulit. Sebenarnya Mahesa Jenar
tidak biasa membinasakan lawannya, apalagi tidak ada sebab-sebab yang memaksa. Ia lebih
suka mengampuni seseorang apabila orang itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa.
Tetapi tidak demikian halnya terhadap orang-orang yang licik dan curang. Sebab orang-orang
yang demikian sudah tidak menghargai lagi sifat-sifat kejantanan dan kekesatriaan. Orangorang semacam itulah yang selalu akan menimbulkan bencana. Karena itu terhadap orangorang yang demikian, juga kepada lawannya itu, Mahesa Jenar telah mengambil keputusan
untuk membinasakannya.
Maka segera ia merangsang lawannya lebih hebat lagi. Pisau panjang yang berada di
tangannya itu bergerak semakin cepat sehingga hampir merupakan gumpalan gumpalan sinar
yang bergulung-gulung mengerikan sekali.
Watu Gunung dan Gagak Bangah sama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar memiliki
kepandaian yang demikian tinggi. Maka diam-diam mereka berdua mengeluh dalam hati.
Karena mereka tadi memberi kesempatan kepada orang ini untuk bertanding membela anak
Ki Asem Gede. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh mereka berdua.
Sesaat kemudian terdengarlah bunyi berdentang dari senjata yang beradu. Ternyata pisau
panjang Mahesa Jenar telah menyambar pedang pendek Gagak Bangah. Sambaran itu begitu
kuatnya sehingga tangan Gagak Bangah merasa nyeri sekali. Belum lagi ia dapat
memperbaiki keadaannya, kembali pedangnya disambar oleh pisau Mahesa Jenar. Dan benarbenar kali ini ia tidak mampu lagi berbuat apa-apa sehingga pedangnya terpental jatuh.
Melihat keadaan itu, Watu Gunung segera berusaha menolong kawannya. Dengan lompatan
yang cepat ia mendesak maju, dan membabat tangan Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar telah
menarik tangannya kembali dan dengan sisi telapak tangan kirinya ia menghantam
pergelangan tangan Watu Gunung. Hantaman itu sedemikian kerasnya terlepas dari
tangannya. Maka kini sampailah saatnya untuk mengakhiri pertempuran.
024
MAHESA JENAR tidak mau membunuh lawannya dengan senjata. Segera dilemparkannya
belati itu, dan secepat kilat sebelum Watu Gunung dan Gagak Bangah sempat menjatuhkan
dirinya, kedua tangan Mahesa Jenar masing-masing meraih kepala kedua orang itu. Dengan
tenaga yang didasari kegusaran hati, dibenturkannya kedua kepala itu sekuat tenaga. Maka
terdengarlah suara hampir seperti sebuah ledakan diikuti oleh jerit ngeri melengking. Sekejap
kemudian suara itu terputus dan kedua orang itu rebah di tanah dengan kepala pecah.
Berbareng dengan itu. Ki Asem Gede yang melihat bahwa pertempuran itu hampir selesai,
segera memutar otaknya. Bagaimana ia dapat membebaskan diri dari ancaman Wisuda dan
Palian. Sebab tidak mustahil apabila kedua orang itu melihat kedua kawannya dibinasakan,
maka mereka pun akan dibinasakan pula. Maka untuk sementara Ki Asem Gede berbuat
seperti orang yang ketakutan dan tak berdaya.

Ketika Wisuda dan Palian baru memperhatikan saat-saat terakhir dari kedua kawannya, Ki
Asem Gede segera bertindak. Dengan kecepatan yang luar biasa ia merendahkan dirinya dan
kedua tangannya menangkap pergelangan Wisuda dan Palian yang memegang senjata.
Dengan sekuat tenaga kedua orang itu ditarik ke depan lewat atas pundaknya.
Pada saat kedua orang itu terpelanting dengan kedua kakinya di atas, Ki Asem Gede
mengubah gerakannya dengan menyentakkan kedua tangan korbannya itu kembali ke
belakang. Dengan demikian kedua orang yang sebelumnya sama sekali tidak curiga itu
terangkat dan dengan dahsyatnya terbanting ke depan. Kepala dua orang itu membentur tanah.
Maka tanpa ampun lagi kedua orang itu lehernya terpuntir dan nafasnya putus seketika.
Orang-orang yang melingkari arena, melihat dua kejadian yang mengerikan dan terjadi pada
saat yang hampir bersamaan itu, terdiam seperti patung. Bahkan tubuh mereka hanya dapat
sebentar memandang Mahesa Jenar dan sebentar memandang Ki Asem Gede, yang sesudah
mengeluarkan seluruh tenaganya itu kemudian menjadi lemas dan terduduk di atas tanah.
Mahesa Jenar tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Ki Asem Gede. Maka ketika ia
melihat keadaannya, ia menjadi cemas. Cepat-cepat ia melangkah menghampirinya. Dan pada
saat yang demikian para penonton menjadi tersadar tentang apa yang baru saja terjadi. Segera
terjadilah kegemparan. Beberapa orang berdesak-desakan ingin menyaksikan mayat-mayat di
tengah arena itu, tetapi sebagian ingin melihat apa yang terjadi dengan Ki Asem Gede.
Kegemparan itu segera berubah menjadi jeritan yang hampir bersamaan keluar dari beberapa
mulut para penonton. Sebab pada saat Mahesa Jenar sudah hampir sampai pada tempat Ki
Asem Gede terduduk, ada tombak meluncur yang datangnya sangat cepat. Apalagi Mahesa
Jenar sama sekali tak mengetahui, karena perhatianya tertuju pada Ki Asem Gede.
Mendengar jeritan-jeritan itu Mahesa Jenar terhenti. Dan segera perasaannya yang tajam
menangkap bahwa ada sesuatu terjadi di belakangnya. Cepat-cepat ia membalikkan diri.
Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat, maka tak ada kemungkinan bagi
Mahesa Jenar untuk menghindarkan diri. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah, dengan
tangannya melindungi dada.
Tetapi ketika tombak itu hampir menancap di tubuh Mahesa Jenar, terjadilah suatu benturan
yang dahsyat diiringi dengan suara gemericing senjata beradu, sehingga timbullah bunga api
yang memancar. Kembali para penonton terkejut bukan main. Kecuali Mahesa Jenar dan Ki
Asem Gede, tak seorangpun yang melihat bahwa dari arah lain menyambar pula sebuah
senjata sehingga membentur tombak yang hampir saja menembus tubuh Mahesa Jenar.
Apalagi ketika dua senjata yang beradu itu jatuh di tanah, maka darah orang-orang yang
berkeliling arena itu berhenti dibuatnya. Ternyata tombak yang dilempar kearah Mahesa Jenar
itu patah ujungnya, sedangkan di sampingnya menancap sebuah trisula,
“Mantingan...!” Teriak salah seorang diantara mereka.
“Ya, Dalang Mantingan,” sahut yang lain.
Sebentar kemudian arena itu telah dipenuhi oleh teriakan orang menyebut nama Mantingan.
Memang, Mantingan telah terkenal di daerah itu sejak beberapa waktu yang lampau. Tetapi

kemudian lama ia tidak muncul, dan sekarang mereka melihat lagi sebuah trisula, yang
bertangkai kayu berian, dan pada pangkalnya berukiran kuncup bunga kamboja. Hampir
semua orang mengenal benda itu. Di mana benda itu berada, di sana Mantingan pasti ada, dan
sebaliknya.
Tetapi meskipun mereka sudah mengetahui hal itu, ketika mereka mengikuti arah pandangan
mata Mahesa Jenar, darah mereka tersirap juga melihat seseorang duduk dengan tenangnya di
atas seekor kuda yang berwarna abu-abu. Sungguh mengagumkan. Tetapi kekaguman mereka
segera berubah menjadi keheran-heranan ketika mereka melihat Ki Dalang Mantingan, yang
mempunyai nama demikian agungnya itu menunduk hormat.
“Malaikat manakah orang ini, sehingga orang seperti Mantingan masih juga menunduk
hormat?” pikir mereka.
Tetapi mereka tidak sempat berpikir banyak, sebab mereka segera melihat Mantingan
meloncat turun dan memburu ke arah dari mana tombak pendek tadi dilemparkan.
“Kau Samparan?” desis Mantingan.
Dan tampaklah diantara penonton, Samparan yang pucat dan gemetar. Ia kenal betul kepada
Mantingan. Kalau pada saat yang lalu ia masih berani membusungkan dada, itu karena
membanggakan kekuatan mereka berlima. Tetapi kini empat kawannya telah mengalami nasib
yang mengerikan, sehingga hatinya pun berubah menjadi kerdil.
“Masih inginkah kau mengadakan sayembara tanding?” tanya Mantingan melanjutkan.
“Ampun Ki Dalang. Aku hanya sekadar menuruti permintaan Watu Gunung,” jawab
Samparan gemetar.
Mantingan tersenyum mendengarkan jawaban ini, dan ia heran pula melihat kelakuan
Samparan yang begitu pengecut.
Sementara itu Mahesa Jenar dan Ki Asem Gede yang sudah agak pulih kekuatannya telah
pula berdiri di samping Mantingan.
Melihat tokoh-tokoh itu, hati Samparan semakin kecil dan wajahnya semakin putih.
Untunglah bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang berhati lapang, selapang lautan
yang sanggup menampung aliran sungai.
025
“AKU ampuni kau kalau anakku pada saat ini masih seperti pada saat kau ambil dari
suaminya,” kata Ki Asem Gede kemudian.
“Demi Tuhan, putrimu disentuh pun tidak,” jawab Samparan cepat-cepat.
“Antarkan aku padanya,” perintah Ki Asem Gede.
Segera Samparan mempersilahkan Ki Asem Gede, Mahesa Jenar dan Mantingan untuk
mengikutinya. Lewat Gandok sebelah barat, mereka masuk ke belakang menyusup masuk ke

dapur, dan di sana mereka masuk ke kamar mandi yang kosong tak berair. Ternyata dasar
kolam kamar mandi itu adalah sebuah pintu rahasia untuk memasuki ruang di bawah tanah.
Ki Asem Gede dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Apakah tempat itu bukan suatu alat
perangkap saja.
“Kau mau main gila Samparan?” tanya Ki Asem Gede dengan suara geram.
“Mana aku berani berbuat sesuatu terhadap kalian,” sahut Samparan bersungguh-sungguh.
Meskipun demikian mereka harus berhati-hati juga. Ki Asem Gede kemudian berjalan dahulu,
baru Samparan di belakangnya kemudian Mahesa Jenar dan Mantingan dengan trisulanya di
belakangnya lagi sambil mengawasi kalau-kalau Samparan akan mengkhianati mereka.
Ruang di bawah tanah itu terdiri dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah ruangan yang
terbuka dan kosong, diterangi beberapa obor yang ditancapkan pada dinding ruangan. Di
bagian atas ruangan tampak beberapa lubang udara yang dengan jalur-jalur bumbung dari
tanah liat dihubungkan dengan udara terbuka. Sedang bagian kedua adalah sebuah ruang yang
dipisahkan oleh sebuah dinding papan dengan ruang yang pertama. Dinding itu mempunyai
sebuah pintu yang kuat dan dikancing dengan sebuah palang kayu yang cukup besar.
“Di situlah Nyai Wirasaba disimpan oleh Watu Gunung,” kata Samparan sambil menunjuk
pada palang pintu yang besar itu.
Ki Asem Gede jadi tertegun. Ia ragu-ragu untuk membuka pintu itu. Jangan-jangan ada
sesuatu yang berbahaya. Rupanya Samparan mengerti isi hati Ki Asem Gede, maka
sambungnya, “Bolehkah aku membukanya?”
Ki Asem Gede masih ragu-ragu sebentar, tetapi kemudian katanya, “Bukalah, tetapi jangan
main gila.”
Samparan maju perlahan-lahan mendekati pintu itu. Matanya memandang dengan tajam,
seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam ruangan yang tertutup itu. Baru setelah ia
merenung sejenak, tangannya bergerak membukanya.
Baru saja pintu itu terbuka, serentak mereka terkejut melihat seorang yang meloncat keluar
dan langsung menyerang Samparan dengan sebuah patrem. Untunglah bahwa Samparan
sempat menghindar. Tetapi serangan itu tidak hanya terhenti di situ, bahkan bertambah sengit.
Hanya sayang bahwa penyerangnnya tidak mempunyai pengetahuan tata berkelahi yang
cukup sehingga dengan mudahnya Samparan mengelakkan diri.
Ketika orang itu melihat beberapa orang lain berada di tempat itu, apalagi setelah melihat Ki
Asem Gede, ia jadi tertegun dan sebentar kemudian berubah menjadi keheran-heranan.
Tetapi sesaat kemudian ia berlari menjauhkan diri dan memeluk kaki Ki Asem Gede. Ia Nyai
Wirasaba, putri Ki Asem Gede.
“Ayah!” serunya. Tetapi kemudian suaranya di kerongkongan. Ki Asem Gede pun
memandang putrinya dengan terharu. Dengan susah payah ia berhasil membendung air

matanya sehingga tidak mengalir. Baru beberapa lama ia tidak mengujungi putrinya itu. Dan
sekarang ia menyaksikan putrinya dalam keadaan yang menyedihkan.
Orang-orang yang menyaksikan perisitiwa itu, mau tidak mau juga merasa terharu. Bahkan
Samparan, seorang iblis yang selama ini tidak mempunyai rasa perikemanusiaan sedikitpun,
menyaksikan hal itu dengan suatu perasaan yang aneh. Perasaan yang belum pernah
dimilikinya.
Setelah suasana agak reda, segera mereka keluar dari ruangan di bawah tanah itu, dan untuk
menenangkan perasaan Nyai Wirasaba, mereka sementara waktu beristirahat di gandok
sebelah barat.
“Setan-setan itu tidak berbuat jahat kepadamu?” tanya Ki Asem Gede kepada putrinya.
Nyi Wirasaba tidak segera menjawab. Tetapi ia memandang Samparan dengan pandangan
yang jijik, benci dan penuh kemarahan.
“Manakah kawan-kawan iblis itu?” tanya Nyi Wirasaba kepada Ki Asem Gede.
Beberapa kali Nyi Wirasaba memandang Mahesa Jenar dan Mantingan dengan penuh
pertanyaan. Lamat-lamat ia ingat, bahwa dengan Mantingan ia pernah berkenalan. Tetepi di
mana, dan kapan? Sedangkan yang satu lagi sama sekali ia belum pernah melihat.
Ki Asem Gede mengerti perasaan putrinya, maka segera diceritakan apakah yang sudah
terjadi. Dan tiba-tiba saja Nyi Wirasaba berdiri lalu membungkuk hormat kepada Mahesa
Jenar dan Mantingan. Dengan suara yang terputus-putus ia menyatakan betapa besar terima
kasihnya atas pertolongan mereka. Sekaligus ia teringat bahwa Mantingan telah dikenalnya
pada waktu mereka masih sama-sama kecil. Tetapi yang kemudian tak lagi pernah bertemu
sejak Mantingan mengikuti gurunya ke Wanakerta.
Lawa ijo yang namanya terkenal ke segala pelosok dan ditakuti oleh siapapun, berhadapan
dengan Mahesa Jenar tak dapat berbuat banyak. Sekali dua kali memang ia bisa mengenai
tubuh Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa Jenar telah mengenainya dua kali lipat.
Karena tangan kanannya terluka, Mahesa Jenar memusatkan serangannya pada kecepatan
gerak kakinya. Dan ternyata ini berbahaya sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo
dengan dahsyatnya menyerang arah tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah jarinya yang
dirapatkan. Cepat-cepat Mahesa Jenar menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit ke
samping. Tetapi secepat kilat Lawa Ijo mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke
arah ulu hati Mahesa Jenar.
Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga hanya dengan gerakan yang kecepatannya tak
dapat dilihat, Mahesa Jenar berhasil menangkis serangan itu dan dengan tangannya
mendorong kaki itu ke dalam. Dorongan itu begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar
setengah lingkaran. Maka kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Belum lagi
kaki Lawa Ijo itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan suatu tendangan dan
dengan tumitnya ia mengenai lambung lawannya. Kembali Lawa Ijo terlompat beberapa
langkah.
Karena dada Lawa Ijo memang sudah terluka, maka pukulan ini rasanya jauh lebih hebat dari
serangan yang pertama, sehingga Lawa Ijo terlompat ke belakang. Mahesa Jenar yang akan
memburunya, terpaksa segera menghentikan geraknya.

Seleret sinar putih terbang menyambar dadanya. Secepat kilat ia miringkan tubuhnya, dan
sinar putih itu lari hanya berjarak setebal daun dari dadanya, mengenai dinding balai
perbendaharaan dan langsung menancap di sana hampir sampai ke tangkainya.
026
MAHESA JENAR dan Mantingan tak habis-habisnya memandangi wajah Nyi Wirasaba.
Wajarlah kiranya kalau Watu Gunung tergila-gila kepadanya. Betapa bahagianya orang itu,
yang telah menerima anugerah Tuhan berupa kecantikan wajah yang sempurna, dan
keserasian tubuh yang tanpa cela.
Mantingan yang pada masa kanak-kanaknya sering bermain dan bertengkar bersama, tidak
pernah membayangkan bahwa pada usia dewasanya perempuan ini akan memiliki kelebihan
dari kawan-kawannya sepermainan.
Tak seorang pun yang mengetahui bahwa Nyai Wirasaba sendiri selalu meratap di dalam
hati, menyesali nasibnya yang jelek. Karena memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang
bulat, yang telah beberapa kali menjeratnya ke dalam kesulitan-kesulitan yang hampir tak
dapat diatasi. Bahkan pada saat yang terakhir ini, ia telah mengambil keputusan bahwa
apabila tak ada pertolongan yang datang, ia lebih baik mengakhiri hidupnya dengan sebilah
patrem yang berhasil dibawanya di dalam sabuknya, daripada hidup di dalam lingkungan
iblis-iblis itu.
Setelah perasaan Nyi Wirasabaa agak tenang, maka segera Ki Asem Gede mengajaknya
meninggalkan rumah itu. Di luar masih banyak orang yang sejak tadi belum mau
meninggalkan halaman itu. Meskipun mereka setiap hari melihat wajah Nyi Wirasaba, kalau
Nyi Wirasaba kebetulan pergi ke pasar atau ke sawah, tetapi kali ini mereka ingin juga
melihat wajah itu. Wajah yang menjadi sebab berakhirnya kelaliman Samparan dan kawankawannya.
Ketika Nyi Wirasaba tampak melangkah ke luar pintu rumah Samparan, orang-orang
berdesak-desakan mengerumuninya. Nyi Wirasaba menunduk malu. Di belakangnya
menyusul Ki Asem Gede, Mantingan, Mahesa Jenar dan kemudian Samparan.
Suasana segera berubah menjadi tegang kembali ketika tiba-tiba Mahesa Jenar membalikkan
diri, dan secepat kilat menangkap tangan Samparan dan diputarnya ke belakang. Samparan
terkejut bukan kepalang, sambil menyeringai kesakitan. Tangan Mahesa Jenar yang
menangkapnya itu begitu erat seperti tanggem besi yang menjepit tangannya. Bahkan tidak
hanya Samparan yang terkejut, tetapi juga orang-orang yang menyaksikan, termasuk Ki Asem
Gede dan Mantingan.
“Adakah aku berbuat salah?" rintih Samparan.
“Kau tidak berbuat salah, tetapi aku ingin mendapat keterangan dari kau,” jawab Mahesa
Jenar.
Samparan dan orang-orang yang menyaksikan sibuk menduga-duga, keterangan apakah
gerangan yang dikehendaki oleh Mahesa Jenar.
“Samparan, kau dan Watu Gunung adalah termasuk dalam satu gerombolan yang mempunyai
persamaan kesenangan. Yaitu berbuat kejahatan. Dalam dunia kejahatan, sahabat jauh lebih

berharga dari saudara, bahkan orang tua. Rahasia rahasia yang tak pernah didengar oleh
keluarga sendiri, kadang-kadang didengar oleh sahabat-sahabatnya. Nah, katakanlah, aku
yakin kau mengetahuinya, apakah hubungan Watu Gunung dengan Lawa Ijo?” lanjut Mahesa
Jenar.
Mendengar pertanyaan ini Samparan terkejut seperti disambar petir meleset. Tidak pula kalah
terkejutnya Ki Asem Gede, Mantingan dan mereka yang ikut mendengarnya. Nama Lawa Ijo
adalah nama yang tabu diucapkan. Sebab dengan menyebut namanya saja, sudah cukup alasan
bagi Lawa Ijo untuk membunuh. Meskipun pada saat-saat terakhir Lawa Ijo tidak pernah lagi
muncul, tetapi apabila nama itu disebutkan, orang yang mendengarnya telah cukup menggigil
ketakutan.
Samparan tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia berdiri pada suatu titik yang berbahaya
sekali. Ia semakin takut kepada Mahesa Jenar, yang sama sekali tak diduganya akan
mengajukan pertanyaan semacam itu. Dari manakah gerangan ia mencium kabar tentang
Watu Gunung dan hubungannya dengan Lawa Ijo? Teranglah bahwa ia bukan orang
sejajarnya, bahkan tidak sejajar dengan Mantingan. Kalau tidak, ia tidak akan seenaknya saja
menyebut nama Lawa Ijo.
Ki Asem Gede dan Mantingan pun tergetar juga hatinya. Mereka berdua pun maklum akan
kehebatan Lawa Ijo.
“Jawablah!”- desak Mahesa Jenar. Sementara itu, pegangannya pun makin dikuatkan.
Samparan berdesis menahan sakit.
“Aku tak tahu,” jawab Samparan mencoba berbohong. Tetapi belum lagi ia selesai
mengucapkan jawabannya, tangannya yang terpuntir itu terasa semakin sakit, dan terangkat ke
atas.
“Kau tak mau menjawab?” geram Mahesa Jenar. Keringat dingin memenuhi tubuh Samparan.
Ia merasa serba salah, dan seakan-akan ia telah dihadapkan pada suatu keharusan memilih,
mati di tangan Lawa Ijo atau Mahesa Jenar.
“Aku tak mengetahui seluruhnya. Aku hanya pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh
Watu Gunung,” jawab Watu Gunung.
“Apa katanya?” desak Mahesa Jenar pula. Kembali Samparan ragu-ragu.
“Kau takut kepada Lawa Ijo?” bentak Mahesa Jenar yang sudah mulai jengkel.
“Bagus. Kau takut dibunuhnya. Tetapi bagaimana kalau yang melaksanakan pembunuhan itu
aku?” lanjut Mahesa Jenar.
Tubuh Samparan mulai menggigil. Ia sudah melihat kedua kawannya dipecahkan kepalanya
oleh orang itu. Kalau ia tidak menuruti perintahnya, jangan-jangan kepalanya akan
dipecahkan pula. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berkata, dengan harapan Lawa Ijo
sudah tidak akan muncul kembali.
“Yang aku ketahui, Watu Gunung adalah tidak saja anggota gerombolan itu, tetapi ia adalah
saudara muda seperguruan Lawa Ijo.”

Mendengar jawaban Samparan ini, orang-orang jadi gemetar dan ketakutan. Saudara muda
Lawa Ijo binasa di desa mereka.
“Katakan yang lain, aku jadi tanggungan kalau Lawa Ijo marah,” sahut Mahesa Jenar.
Samparan merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti perintah itu.
“Watu Gunung pasti pernah berkata, di mana Lawa Ijo sekarang.”
Samparan dengan sangat terpaksa akan menjawab pertanyaan itu. Tetapi sebelum mulutnya
bergerak, tiba-tiba ia merasa Mahesa Jenar mendorongnya sehingga ia terpelanting jatuh.
Dan sementara itu sebuah pisau belati melayang tepat lewat tempatnya berdiri tadi, langsung
mengenai dinding dan tembus masuk ke dalam rumah. Dalam pada itu, berkelebatlah sesosok
tubuh di antara penonton meloncat lari meninggalkan halaman.
027
MANTINGAN tidak mau melepaskan orang itu begitu saja. Secepat kilat ia memburunya,
yang kemudian disusul oleh Mahesa Jenar. Tetapi Mantingan belum berpengalaman
menghadapi orang-orang gerombolan Lawa Ijo.
Maka ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang yang dikejarnya itu tiba-tiba berhenti
membalikkan diri, dan sebuah sinar putih menyambar dadanya. Mantingan terkejut bukan
main. Secepat kilat ia memukul sinar putih itu dengan trisulanya. Terdengarlah suara
berdentang hebat.
Tangan Mantingan yang memegang trisula itu bergetar hebat, sedangkan pisau yang
dilemparkan ke dadanya itu berubah arah. Tetapi meskipun demikian, lengannya tergores juga
sedikit. Ia tertegun mengalami peristiwa itu. Dan Mahesa Jenar yang melihat darah di lengan
Mantingan jadi terhenti pula.
Sementara itu orang yang telah melemparkan pisau itu sempat menyelinap di antara
pepohonan dan menghilang. Dari kejauhan terdengarlah gema suara orang tertawa. Suara itu
mengiris ulu hati seperti suara ringkikan hantu kubur.
“Lawa Ijo telah datang,” desis Mahesa Jenar.
“Diakah Lawa Ijo?” tanya Mantingan.
“Mungkin, tetapi setidak-tidaknya salah seorang dari gerombolan itu,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku ingin suatu kali dapat bertemu dengan Lawa Ijo. Nah lupakan dia Kakang Mantingan
untuk sementara. Marilah kita kembali. Mungkin Samparan dapat menunjukkan tempatnya,”
lanjut Mahesa Jenar.
Maka segera mereka kembali ke rumah Samparan. Tampaklah orang-orang yang masih
berdiri di halaman itu berwajah pucat-pucat ketakutan. Beberapa diantaranya menggigil,
terduduk tak berdaya. Apalagi waktu terdengar suara tertawa di kejauhan.

Ketika Ki Asem Gede melihat tangan Matingan berdarah, cepat ia berlari menyongsongnya.
“Kau terluka?" tanya Ki Asem Gede.
Mantingan mengangguk mengiakan.
Cepat-cepat Ki Asem Gede memeriksa luka itu. Dan sebentar kemudian tampak ia
mengangguk-angguk. “Tidak beracun,” gumannya.
“Karena itu marilah kita lekas meninggalkan tempat ini dan menyerahkan kembali anakku
kepada suaminya. Sementara itu aku dapat mengobati luka Adi Mantingan, yang untung tak
berbahaya,” kata Ki Asem Gede.
Sementara itu Ki Asem Gede melihat Samparan seperti orang yang tidak sadar terduduk, di
tanah. Tingkah Samparan tampaknya menggelikan. Sifat-sifat garangnya sama sekali tak
berbekas. Apalagi setelah ia hampir saja disambar pisau. Yang ia tahu pasti, bahwa itulah
pisau gerombolan Lawa Ijo.
“Samparan, kau kenapa?” tegur Mahesa Jenar.
Samparan memandang kepada Mahesa Jenar dengan mata yang layu dan mengandung suatu
permohonan untuk mendapat perlindungan. Mahesa Jenar menangkap maksud itu.
“Samparan, kau jangan berbuat demikian. Tidakkah kau malu pada dirimu sendiri?
Bagaimanapun kau adalah laki-laki yang mengenal cara untuk membela diri. Meskipun
demikian, kalau kau memang merasa tak mampu berdiri sendiri, kau dapat mengikuti Kakang
Mantingan nanti ke Prambanan. Aku memang masih memerlukan engkau. Tetapi pada saat ini
kau barangkali tidak lagi dapat mengucapkan sepatah kata pun. Kakang Mantingan nanti
kalau kembali ke Prambanan, akan mampir kemari menjemputmu. Dan percayalah bahwa
pada waktu ini Lawa Ijo tidak akan berani menginjak rumah ini. Sebaliknya kau pun jangan
meninggalkan rumah ini. Sebab ada dua kemungkinan, ditangkap oleh Lawa Ijo atau akulah
yang akan memburumu,” kata Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang meyakinkan itu, Samparan menjadi agak
tenang sedikit. Perlahan-lahan ia berdiri dan membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar. Ia
mempunyai suatu kesan yang aneh. Kehebatannya, kegarangannya, tetapi juga keluhuran
budinya. Sehingga tidak langsung, ia telah memandang ke dirinya sendiri, yang beberapa saat
lalu masih merasa sebagai seorang yang tak terkalahkan.
Samparan termenung. Alangkah luasnya dunia ini. Entah berapa saja orang-orang yang sakti
tinggal di dalamnya. Baik dari golongan hitam maupun dari golongan putih. Yang satu
memenangkan yang lain, dan yang lain lagi dapat mengatasinya pula. Dalam waktu yang
sesingkat itu, Samparan telah menyaksikan orang-orang seperti Watu Gunung, Ki Asem
Gede, Mantingan, Lawa Ijo, dan Mahesa Jenar. Belum lagi nama-nama yang pernah
didengarnya dan yang belum dikenalnya.
Segera setelah itu, Ki Asem Gede beserta kawan-kawannya meninggalkan tempat itu untuk
menghantar Nyi Wirasaba kepada suaminya yang rumahnya tak begitu jauh, hanya berantara
dua bulak yang tak begitu lebar.

Di perjalanan itu, timbullah suatu pertanyaan di hati Mahesa Jenar maupun Mantingan.
Sebenarnya pertanyaan itu telah timbul sejak mereka mengetahui persoalan Nyi Wirasaba.
Dalam persoalan ini, kenapa Ki Wirasaba sendiri tidak berbuat sesuatu untuk membebaskan
istrinya? Bahkan yang didengar oleh Mahesa Jenar dari murid Wirasaba yang menghadap Ki
Asem Gede, sudah ada dua orang murid Wirasaba terluka.
Mengingat bahwa Ki Wirasaba sedikitnya memiliki empat orang murid, menunjukkan bahwa
ia pun memiliki pengetahuan tentang tata berkelahi, tetapi ia tak berbuat apa-apa. Itulah suatu
hal yang aneh. Mungkinkah Ki Wirasaba tidak mencintai istrinya, atau barangkali terikat
sesuatu perjanjian dengan Samparan dan kawan-kawannya?
Mahesa Jenar dan Mantingan, seperti orang yang sepakat untuk tidak menanyakan hal itu.
Mereka takut kalau-kalau ada suatu rahasia yang dapat menyinggung kehormatan Ki Asem
Gede.
Setelah mereka berjalan beberapa lama, segera mereka memasuki desa tempat Ki Wirasaba
tinggal.
028
RUMAH Ki Wirasaba adalah rumah yang cukup besar, berdiri di tepi jalan induk di desanya.
Berhalaman luas dan mempunyai ciri-ciri yang agak berbeda dengan halaman di
sekelilingnya. Halaman Ki Wirasaba disegarkan oleh tanaman-tanaman berbunga yang
berdaun hijau sejuk. Di sudut halaman terdapat sebuah jambangan berisi air yang bersih
bening. Dan di sana-sini bergantung sangkar-sangkar burung. Berkeliaran pula binatangbinatang piaraan ayam, itik, angsa dan sebagainya.
Halaman itu berdinding batu merah yang disusun teratur, yang seakan-akan menjadi batas dari
dua daerah yang tampak sangat berlainan. Halaman-halaman lain di desa itu masih ditumbuhi
bermacam-macam pohon serba tak teratur. Bahkan di sana-sini masih ada pohon-pohon liar
yang tumbuh, rumpun-rumpun bambu yang hebat, pohon beringin tua, dan randu alas, yang
masih merupakan tempat-tempat yang dianggap keramat oleh penduduk di sekitarnya.
Waktu Mahesa Jenar dan Mantingan melangkahkan kaki memasuki halaman rumah Ki
Wirasaba, telah dijalari suatu perasaan aneh. Mereka berdua adalah orang-orang yang telah
banyak melihat daerah-daerah lain, bahkan kota-kota besar, tetapi jarang mereka merasakan
kesejukan seperti yang dirasakan pada saat itu. Alangkah mesranya tangan yang telah
menggarapnya, sehingga halaman itu menjadi begitu indahnya.
Tetapi mereka tidak sempat merasakan kesejukan itu lebih lama lagi. Tiba-tiba mereka
tersentak melihat Nyi Wirasaba yang tiba-tiba saja berlari mendahuluinya. Pintu rumah itu,
yang ternyata tidak terkunci, didorongnya kuat-kuat sehingga hampir saja ia jatuh
tertelungkup. Ia segera menghilang di balik pintu rumahnya. Segera setelah itu terdengarlah
suara Nyi Wirasaba bercampur isak yang tertahan.
”Kakang ..., Kakang Wirasaba ..., aku kembali Kakang. Kembali kepadamu....” Sesudah itu,
yang terdengar hanyalah tangis Nyi Wirasaba yang tak tertahan lagi.

Ki Asem Gede, Mantingan dan Mahesa Jenar tertegun sejenak. Suatu peristiwa yang
mengharukan. Pertemuan antara seorang istri dengan suaminya yang dicintai, setelah mereka
dipisahkan beberapa saat tanpa adanya suatu harapan untuk dapat bertemu kembali.
Ki Asem Gede bertiga berdiri saja di muka pintu seperti patung. Sebentar kemudian
terdengarlah suara yang berat dan dalam.
”Nyai, masihkah aku berhak menerima kau kembali? Atau masih berhakkah kau kembali
kepadaku ...?”
Mendengar jawaban itu, mendadak tangis Nyi Wirasaba terputus karena terkejut. Ia tidak
begitu mengerti maksud jawaban suaminya, dan karena itu ia bertanya kepada Ki Wirasaba.
”Apakah maksudmu, Kakang?”
”Nyai, kalau kau dibebaskan oleh Samparan dan kawan-kawannya setelah kau menyerahkan
dirimu, maka kau tidak berhak lagi kembali kepadaku. Tetapi kalau ada orang lain yang
membebaskan engkau, Nyai, maka akulah yang tidak berhak menerima kau kembali.”
Mendengar penjelasan itu, Nyai Wirasaba terkejut bukan kepalang, maka kembali meledaklah
tangisnya.
”Kakang, aku masih bersih seperti kemarin, Kakang. Bukankah dengan demikian aku masih
berhak kembali kepadamu? Kalau aku tidak lagi merasa berhak kembali kepadamu, kau hanya
akan tinggal dapat mengenang namaku, sebab aku telah bertekad untuk bunuh diri. Tetapi
kalau orang lain yang membebaskan aku, kenapa kau merasa tidak berhak lagi menerima
aku?” kata Nyi Wirasaba diantara sedu-sedannya.
”Nyai, laki-laki yang tahu diri, hanya dapat memetik buah dari pohon yang ditanamnya
sendiri,” jawab Wirasaba.
Mendengar jawaban itu, Ki Asem Gede tidak kalah terkejutnya. Maka segera ia melompati
pintu dan cepat-cepat menemui menantunya. Mahesa Jenar dan Mantingan yang merasa
berkepentingan pula, segera mengikuti Ki Asem Gede. Barangkali mereka dapat menolong
memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.
Mendengar kata-kata Wirasaba, Mahesa Jenar dan Mantingan dapat menduga, kalau orang itu
mempunyai harga diri yang cukup tinggi. Tetapi yang masih merupakan pertanyaan, mengapa
Wirasaba sendiri tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya?
Melihat kedatangan Ki Asem Gede dan dua orang yang tak dikenalnya, Wirasaba menjadi
agak terkejut. Tetapi segera ia membungkuk hormat dengan tetap masih duduk bersila di atas
pembaringannya.
”Selamat datang Bapak Asem Gede.”
Ki Asem Gede membalas hormat.

”Selamat Wirasaba, aku datang mengantarkan istrimu. Mudah-mudahan kau mau
menerimanya dengan baik. Kau tidak usah mempersoalkan siapakah yang membebaskannya.
Yang penting, ia pulang dengan selamat, dan masih tetap seperti saat ia diambil darimu.”
Wirasaba diam sejenak. Ia tundukkan kepalanya sambil berpikir. Sebenarnya ia adalah
seorang jantan yang memang agak tinggi hati. Ia tidak mau menerima pertolongan orang lain
berdasarkan belas kasihan. Apalagi dalam persoalan ini, persoalan seorang istri.
”Siapakah yang telah membebaskan istriku?” tanya Wirasaba.
Ki Asem Gede tertegun sejenak. Ingin ia mengaku telah membebaskan anaknya untuk
menjaga perasaan menantunya, tetapi ia takut kalau dengan demikian ia dikira orang yang tak
mengenal budi. Sebaliknya Mahesa Jenar pun sebenarnya ingin mengatakan bahwa Ki Asem
Gede telah membebaskan anaknya, tetapi ia pun takut kalau-kalau hal ini dianggap
merendahkan orang tua itu.
029
MELIHAT gelagat yang demikian, Ki Wirasaba dapat menebak bahwa seseorang telah
membebaskan istrinya. Bahkan tidak mustahil kalau orang itu adalah salah seorang yang
sekarang berada di hadapannya, atau kedua-duanya. Maka segera muncullah sifat tinggi
hatinya.
“Bapak Asem Gede, aku mempunyai dugaan bahwa orang itu telah membebaskan istriku.
Aku juga mempunyai dugaan bahwa orang itu telah berhasil membebaskan istriku dengan
kekerasan. Sebab mustahil Samparan dan Watu Gunung akan melepaskan korbannya begitu
saja sebelum nyawanya dapat dicabut. Adakah orang yang menyabung nyawa tanpa pamrih?”
Mendengar sindiran itu, hati Mahesa Jenar tergoncang hebat. Tidak kalah pula terperanjatnya
Mantingan dan Ki Asem Gede, sehingga wajah mereka menjadi semburat merah. Nyi
Wirasaba melihat gelagat yang kurang baik itu. Dan kembali sebuah goresan tajam melukai
hatinya yang sudah hampir sembuh. Cepat ia menjatuhkan diri di samping pembaringan
suaminya, berlutut sambil menangis.
“Kakang, aku telah kembali kepadamu. Jangan lepaskan aku lagi.”
Mendengar ratap istrinya, sebenarnya hati Wirasaba terobek-robek karenanya. Ia pun
sebenarnya sangat mencintai istrinya, sebagaimana istrinya mencintainya. Tetapi perasaan
harga diri yang berlebih-lebihan telah melibat hati Wirasaba, sehingga sedikit pun ia tidak
menunjukkan getaran perasaannya.
Mata Wirasaba yang sayu memandang keluar lewat jendela di samping pembaringannya.
Memandang daun-daun yang bergoyang-goyang digerakkan angin, serta kilatan-kilatan
matahari yang jatuh bertebaran di atas tanah pegunungan yang kemerah-merahan.
Suasana kemudian dikuasai oleh kesepian yang tegang. Mahesa Jenar mengeluh dalam hati.
Kutuk apakah yang ditimpakan Tuhan atas dirinya, sehingga ia mengalami suatu kejadian
yang demikian rumitnya? Haruskah pada suatu saat ia berhadapan dengan Wirasaba sebagai
lawan? Kalau demikian, maka menang atau kalah ia akan tetap sama saja. Sama-sama
mengalami penderitaan batin.

Kalau Mahesa Jenar kalah, maka kekalahan itu tak akan dapat dilupakannya seumur
hidupnya. Sebaliknya kalau ia menang, bagaimanakah nasib Nyai Wirasaba? Sebab dengan
demikian Ki Wirasaba pasti tidak akan mau menerimanya kembali. Bahkan mungkin ia akan
membunuh dirinya.
Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jalan keluar, tiba-tiba didengarnya Wirasaba berkata,
“Nyai, aku akan menerima kau kembali sebagaimana kau terlepas dari tangan Samparan.”
Suara Wirasaba itu terdengar sebagai gemuruhnya seribu guntur yang menggelegar bersamasama. Suasana menjadi bertambah tegang. Peluh dingin telah mengalir di seluruh tubuh
Mahesa Jenar. Apa yang diduganya ternyata benar-benar terjadi.
Sampai saat itu pun ia masih belum dapat menemukan suatu pilihan. Bagaimanapun, sebagai
seorang laki-laki ia tidak bisa menelan tantangan itu begitu saja. Sehingga dengan demikian
tubuhnya menjadi gemetar menahan perasaannya yang melonjak lonjak. Hampir saja ia
melangkah maju dan menerima tantangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Nyai Wirasaba masih
menangis, bahkan makin menjadi-jadi, ia kembali ragu-ragu.
Akhirnya setelah perasaannya berjuang beberapa lama, Mahesa Jenar mengambil suatu
keputusan yang sangat berat. Sebagai seorang laki-laki, apalagi sebagai seorang yang berjiwa
prajurit, ia belum pernah menghindari suatu tantangan. Tetapi kali ini bertekad, berkorban
buat kedua kalinya, untuk ketentraman hidup putri Ki Asem Gede. Karena itu ia berdiam diri,
tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ki Asem Gede menjadi kebingungan, dan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ia pun
mempunyai pikiran yang sama dengan Mahesa Jenar. Kalau saja Mahesa Jenar menerima
tantangan itu, Mahesa Jenar bukanlah tandingan Wirasaba. Bagaimanapun hebatnya
menantunya, tetapi setinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah tingkat Dalang
Mantingan. Apalagi dalam keadaan seperti sekarang ini.
Belum lagi suasana yang tegang itu terpecahkan, mendadak mereka dikejutkan oleh suatu
bayangan yang melayang, meloncat masuk lewat jendela yang terbuka di samping
pembaringan Wirasaba. Geraknya cepat dan lincah sekali. Mereka menjadi semakin
terperanjat ketika mereka melihat siapakah orang itu. Ternyata orang yang telah berdiri tegak
diantara mereka adalah Samparan.
“Pengecut tua, kau curi anakmu dengan laku seorang perempuan. Aku telah merampasnya
dengan kejantanan. Aku telah melukai dua orang murid Wirasaba yang menghalangi
maksudku. Seharusnya kau ambil perempuan itu dengan laku seorang jantan pula. Nah,
sekarang aku datang untuk mengambilnya kembali,” teriak Samparan sambil menuding wajah
Ki Asem Gede.
Melihat tingkah laku, sikap dan kata-kata Samparan, Ki Asem Gede terkejut bukan kepalang.
Apalagi yang mau diperbuat oleh setan kecil ini?
Sedangkan Mantingan mempunyai tanggapan lain. Mungkin kawanan Lawa Ijo telah datang
untuk menuntut balas atas kematian Watu Gunung dengan mempergunakan Samparan sebagai
umpan.

Lain pula dengan Ki Wirasaba. Melihat kedatangan Samparan dan mendengar kata-katanya,
matanya menjadi berkilat-kilat. Seakan-akan suatu cahaya terang memancar di dalam
jiwanya.
“Samparan, kau pun tidak berlaku jantan. Kau tidak mengambil istriku dari tanganku. Kau
hanya berani melayani anak-anak yang baru dapat meloncat-loncat tak berarti. Kalau benar
katamu, Bapak Ki Asem Gede mengambil istriku, Bapak Asem Gede ingin mengembalikan
keadaan seperti semula. Nah, sekarang, kalau kau inginkan istriku, ambillah ia dari tanganku
dengan laku seorang jantan,” sahut Wirasaba.
Samparan tertawa dingin.
“Kau bermaksud demikian?”
Ki Wirasaba tertawa nyaring. Wajahnya kini menjadi cerah seperti cerahnya matahari.
Mahesa Jenar yang berotak cerdas segera menangkap arah persoalannya. Diam-diam ia
memuji kelincahan otak Samparan. Tetapi lebih dari itu, ia kagum maksud baik Samparan,
meskipun dengan tindakannya itu ia menghadapi kemungkinan yang berat sekali.
“Kau telah mengundang orang-orang ini untuk melindungi istrimu?” tanya Samparan dengan
nada menghina.
Wirasaba yang tinggi hati, segera merasa tersinggung. Dengan marahnya ia menjawab.
“Samparan, mulutmu terlalu lancang. Aku belum kenal mereka keduanya. Mereka datang
bersama-sama Bapak Asem Gede. Urusan ini adalah urusanku dengan kau. Jadi kau dan
akulah yang harus menyelesaikan.”
030
KEMBALI Samparan tertawa dingin.“Wirasaba, jangan kau mimpi akan masa lampau.
Memang beberapa tahun yang lalu kau merupakan seorang tokoh yang mempunyai nama
cemerlang. Sebutanmu cukup menggetarkan. Tetapi dengan kakimu yang lumpuh sekarang
ini, kau menjadi sebatang seruling gading yang telah retak,” kata Samparan.
Mahesa Jenar dan Mantingan terperanjat dua kali lipat. Ternyata Wirasaba adalah orang yang
terkenal dengan sebutan Seruling Gading. Seorang tokoh penggembala yang tak ada
tandingannya diantara mereka. Kekuatan tubuhnya dan kepandaiannya meniup seruling
merupakan suatu paduan yang sudah ditemukan. Tetapi Seruling Gading itu kini sudah
lumpuh.
Kata-kata Samparan itu juga merupakan jawaban atas teka-teki yang selama ini selalu
membelit pikiran Mahesa Jenar dan Mantingan. Karena kelumpuhannya itu pulalah agaknya,
maka Wirasaba tak berbuat sesuatu untuk membebaskan istrinya.
Mendengar ejekan Samparan itu, hati Wirasaba menjadi terbakar. Ia sudah hampir tak dapat
menguasai kemarahannya. Cepat tangannya meraih senjatanya dari bawah bantalnya. Sebuah
kapak bertangkai yang panjangnya kira-kira hampir sedepa.
“Kalau kau tidak membawa senjata, Samparan ..., kau boleh meminjam senjata-senjata ku.
Manakah yang kau sukai?” kata Wirasaba sambil menunjuk ke sudut ruang. Pada dinding

yang ditunjuk itu bergayutan bermacam-macam senjata. Kapak, tombak, pedang, keris dan
sebagainya.
Perlahan-lahan Samparan berjalan ke sudut ruang tempat senjata itu tergantung. Dengan
tenangnya ia mulai menimang-nimang senjata itu satu demi satu.
“Wirasaba, alangkah banyaknya jenis senjatamu sebagai pertanda kebesaran namamu."
"Hanya saja tak satu pun sebenarnya yang cukup berharga kau pergunakan. Tetapi baiklah
aku mencoba tombak pendekmu ini untuk melayani kapakmu yang terkenal itu.”
Wirasaba menjadi bertambah marah mendengar celaan itu, sehingga kemudian ia tidak sabar
lagi. Ia telah bersiap dan menggeser tubuhnya ke tepi pembaringan. Samparan yang telah
mendapatkan pilihan senjata diantara sekian banyak macam senjata yang tergantung di sudut
ruang itu pun segera mempersiapkan diri.
Ki Asem Gede dan Mantingan segera mengetahui pula maksud Samparan. Itulah sebabnya
mereka berdiri termangu-mangu penuh kekhawatiran akan keselamatan Samparan. Tetapi
Samparan berdiri tenang-tenang saja, meskipun ia tahu pasti tingkat ketinggian ilmu
Wirasaba.
“Samparan, mulailah!” Wirasaba menggeram tidak sabar lagi.
Samparan memperdengarkan suara tertawa yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang
wajah Mahesa Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anakanak yang dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang.
Tetapi sekejap kemudian Samparan segera meloncat dengan lincahnya, sambil memutar
tombaknya menyerang Wirasaba.
Mahesa Jenar melihat segala gerak Samparan dengan terharu. Ia memandang Samparan
sebagai seorang anak yang telah hilang, dan kini sedang berusaha untuk kembali ke pangkuan
kebenaran. Samparan sedang berjuang untuk menebus segala dosa yang pernah dilakukan.
Samparan mulai dengan sebuah tusukan ke arah dada Wirasaba. Sebenarnya gerak Samparan
cukup lincah dan mantap. Hanya sayang bahwa ia tidak dapat menyelaraskan gerakangerakan kaki dengan tangannya. Sedangkan Wirasaba ternyata memang seorang yang berilmu
cukup tinggi. Meskipun ia tidak dapat mempergunakan kakinya, tetapi dengan gerak
tangannya yang tampaknya tidak banyak membuang tenaga, ia dapat menangkis seranganserangan Samparan, sehingga tusukannya meleset ke samping. Bahkan sekaligus ia siap
menghantam lengan Samparan dengan tangkai kapaknya.
Cepat Samparan menarik serangannya, dan selangkah meloncat ke kiri. Kembali mata tombak
Samparan akan mematuk lambung lawannya. Namun Wirasaba cukup cekatan. Dengan
tenaganya, ia memutar kapaknya untuk menangkis serangan tombak Samparan.
Demikianlah, pertarungan itu semakin lama semakin bertambah sengit. Samparan telah
mengeluarkan hampir segenap ilmunya untuk menundukkan lawannya. Sedangkan Wirasaba,
bagaimanapun hebatnya, namun karena ia hanya mampu menangkis serangan lawannya dan
hanya mampu menyerang dalam jarak yang sangat terbatas, maka tampaklah ia mulai

terdesak. Untunglah bahwa ia memiliki sepasang tangan yang kuat dan cekatan, sehingga
pada saat-saat yang sangat berbahaya ia masih berhasil membebaskan dirinya dari ujung
tombak Samparan.
Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede, yang menyaksikan pertarungan itu, mengikuti
dengan perasaan yang tegang. Berbagai macam gambaran membayang di kepala masingmasing. Kali ini pun mereka diliputi oleh kecemasan-kecemasan yang sangat tak
menyenangkan.
Apalagi Nyai Wirasaba yang tak dapat mengerti persoalan yang dihadapi saat itu. Hatinya
menjadi bergolak sedemikian hebatnya, sehingga ia tidak berani lagi menyaksikan
pertempuran itu.
Maka, semakin lama semakin jelaslah bahwa Samparan akan berhasil menguasai keadaan. Ia
mempergunakan suatu cara yang sangat menguntungkan. Sesaat ia meloncat maju sambil
menyerang, tetapi sesaat apabila serangannya gagal, ia segera meloncat surut menjauhi
Wirasaba untuk menghindari serangan-serangannya yang sangat berbahaya.
Melihat cara Samparan bertempur, Wirasaba menjadi semakin kalap, disamping rasa
penyesalan yang meluap-luap atas cacat kaki yang dideritanya. Karena itulah maka cara
bertempurnya pun semakin lama menjadi semakin kabur. Sehingga pada suatu saat, dengan
gerak tipu yang cepat sekali, tombak Samparan mengarah ke leher Wirasaba. Wirasaba segera
mengangkat tombaknya untuk menangkis serangan itu. Tetapi selagi kapak Wirasaba
bergerak, Samparan mengubah serangannya. Dengan satu putaran yang cepat tombaknya
mengarah ke perut Wirasaba.
Melihat perubahan yang cepat sekali itu Wirasaba terkejut, secepat kilat ia mengayunkan
kapaknya memukul tombak Samparan. Pada saat yang demikian, kedudukan Wirasaba
menjadi lemah sekali. Kalau Samparan menghindari bentrokan itu, kemudian dengan
perubahan sedikit ia memukul kapak Wirasaba dengan arah yang sama, maka mungkin sekali
kapak itu akan terlempar jatuh. Tetapi pada saat ia akan melakukannya, tiba-tiba terlintaslah
di dalam benaknya, suatu ingatan, bahwa ia tidak benar-benar berhasrat untuk mengalahkan
Wirasaba.
031
SAMPARAN datang sekadar untuk membebaskan Mahesa Jenar dari syak wasangka.
Kalau ia betul-betul memenangkan pertarungan itu, maka maksudnya untuk menebus
kesalahannya, tidak akan berhasil. Ia tidak akan dapat mengembalikan suasana ketenteraman
rumah tangga Wirasaba yang telah dirusaknya. Malahan mungkin ia akan menyaksikan
Wirasaba yang akan merasa sangat tersinggung kehormatannya itu, bunuh diri, bahkan akan
disusul pula oleh istrinya. Karena pikiran yang demikian, maka sesaat Samparan kehilangan
pemusatan pikiran.
Sementara itu, waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya.
Segera ia dapat memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang dahsyat, kapaknya
mengayun ke arah kepala Samparan. Samparan tersadar tepat pada saatnya. Tetapi ia tidak
lagi dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak pendeknya untuk menangkis kapak
Wirasaba. Maka terjadilah suatu benturan yang hebat.

Ternyata tenaga Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak Wirasaba yang dipergunakan
Samparan adalah tombak pilihan yang tak terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba sendiri. Tetapi
tenaga Samparan lah yang tak dapat menandingi kekuatan-kekuatan itu, sehingga tangan yang
memegang tombak itu tergetar hebat, dan tombak itu meleset lepas dari pegangannya.
Mereka yang menyaksikan kejadian itu darahnya serasa terhenti. Sebab kelanjutannya tentu
akan mengerikan sekali. Mahesa Jenar yang sudah dapat meramalkan apa yang akan terjadi,
hampir saja meloncat maju untuk mencegahnya. Untunglah segera ia sadar, bahwa kalau ia
berbuat demikian, akibatnya akan sangat tidak menyenangkan bagi dirinya maupun bagi
ketenteraman hati Wirasaba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah mengharap suatu
keajaiban sehingga apa yang ditakutkan itu tidak terjadi. Tetapi rupanya tidak demikianlah
yang terjadi.
Tombak Samparan yang disilangkan itu berhasil menyelamatkan kepalanya, tetapi kapak
Wirasaba yang terayun demikian derasnya dan digerakkan oleh kekuatan yang luar biasa itu,
tidak seberapa mengalami perubahan arah. Maka terjadilah suatu goresan panjang merobek
dada Samparan.
Terdengarlah suatu keluhan yang tertahan. Samparan terhuyung-huyung surut beberapa
langkah. Dari lukanya menyembur darah yang merah segar. Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki
Asem Gede tergoncang hatinya melihat peristiwa itu. Telah berapa puluh kali mereka melihat
darah yang mengucur dari luka, tetapi jarang mereka mengalami kejadian seperti ini.
Wirasaba yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu, memandang Samparan
dengan tak berkedip. Dari wajahnya memancar perasaan puas dan dendam sedalam lautan. Ia
merasa bahwa dengan demikian telah terbalaslah sebagian rasa sakit hatinya, dan ia merasa
bahwa tak ada hutang budi kepada siapapun.
Samparan, yang dadanya terbelah, masih berusaha sekuat sisa tenaganya untuk keluar dari
ruangan itu. Kedua tangannya ditekankan pada dadanya yang terluka itu.
Mahesa Jenar memandangnya dengan penuh haru. Cepat ia menyusul, diikuti oleh Mantingan
dan Ki Asem Gede. Tepat sampai di luar pintu, rupanya Samparan sudah tidak dapat lagi
menguasai keseimbangan badannya. Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat menangkapnya,
ketika ia hampir saja terjatuh. Dan dengan perlahan-lahan Samparan diletakkan di atas tanah.
Meskipun lukanya sangat membahayakan, tetapi wajah Samparan sama sekali tak
menunjukkan rasa sakit. Bahkan dengan tenangnya ia memandang Mahesa Jenar, Matingan
dan Ki Asem Gede berganti-ganti. Kemudian dengan tersenyum ia berkata, “Ki Asem Gede.
Ki Dalang Mantingan dan Ki Sanak Mahesa Jenar, aku sudah berusaha untuk mengurangi
kesalahanku.”
“Puaskanlah hatimu. Nah sekarang biarlah aku mencoba menyembuhkan luka-lukamu,”
jawab Ki Asem Gede sambil mengangguk-angguk.
“Tak ada gunanya, Ki Asem Gede,” jawab Samparan sambil menggelengkan kepalanya,
dengan suara sangat pelan.
“Biarlah aku coba,” desak Ki Asem Gede, meskipun ia sendiri sudah melihat, bahwa hampir
tak ada kemungkinan untuk mengobati luka Samparan itu.

Kembali Samparan memaksa dirinya tersenyum dan menggeleng perlahan-lahan.
“Ki Sanak Mahesa Jenar ..., sebelum aku mati, baiklah aku katakan kepadamu suatu rahasia
yang ingin kau ketahui. Bukankah sekarang aku tidak perlu takut kepada Lawa Ijo dan kepada
siapapun? Kau mau mendengar?” desah Samparan kemudian.
Mahesa Jenar segera merapatkan dirinya. Lalu jawabnya, “Aku ingin mendengar, Samparan.
Tetapi sekarang bukan waktunya. Kau terlalu banyak mengeluarkan darah, karena itu kau
harus beristirahat.”
Samparan menarik nafas dalam-dalam. “Waktuku tinggal sedikit. Dengarlah. Menurut Watu
Gunung, Lawa Ijo sekarang berada di Pasiraman. Sebuah telaga kecil di seberang hutan
Mentaok. Desa tempat tinggalnya itu pun bernama Desa Pasiraman pula.
Desa itu terletak tepat di tepi hutan. Agak ke barat sedikit terdapatlah hutan yang hampir
dipenuhi oleh pohon pucang, sehingga hutan itu disebut Alas Pucang Kerep,” kata Samparan.
Samparan berhenti sebentar. Terdengar arus nafasnya semakih cepat.
“Beristirahatlah Samparan. Keterangan itu sudah cukup bagiku,” jawab Mahesa Jenar
032
SAMPARAN berusaha untuk menggeleng.“Belum cukup. Di sana Lawa Ijo sedang
menggembleng diri. Ia sedang berusaha untuk memulihkan luka-lukanya yang dideritanya
ketika ia sedang berusaha mencuri pusaka-pusaka di Kraton Demak,” lanjut Samparan sangat
lemah.
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar keterangan itu.
“Kalau demikian, Lawa Ijo inilah yang pernah dilukainya dahulu,” pikir Mahesa Jenar.
“Usaha Lawa Ijo untuk memulihkan diri, ternyata sekarang sudah berhasil. Ia selalu berada
dalam pengawasan gurunya. Aku belum pernah bertemu dengan gurunya itu, tetapi seperti
apa yang digambarkan oleh Watu Gunung, aku dapat membayangkan bahwa gurunya itu
adalah seorang iblis yang jarang ada duanya,” sambung Samparan hampir berbisik-bisik.
Mahesa Jenar menjadi tertarik pada cerita Samparan, sehingga ia lupa bahwa ia berhadapan
dengan seorang yang luka berat. Maka desaknya tidak sabar, “Siapakah nama gurunya itu?”
“Ia adalah seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa. Namanya Pasingsingan.”
“Pasingsingan?” ulang Mahesa Jenar. Terkejutnya bukan alang kepalang.
Mahesa Jenar pernah mendengar nama itu dari gurunya, baik Syeh Siti Djenar maupun Ki
Ageng Pengging Sepuh. Tetapi tokoh ini sama sekali tak digambarkan sebagai seorang tokoh
yang aneh dan sakti. Tetapi yang didengarnya, Pasingsingan adalah seorang yang luhur budi.
Seorang penolong yang tak pernah memperkenalkan wajah aslinya, karena ia selalu memakai
topeng. Hanya karena topeng itu dibuat sedemikian kasar dan jelek, maka Pasingsingan
digambarkan sebagai seorang yang berwajah menakutkan.
Adakah sesuatu peristiwa yang terjadi sehingga tokoh itu berbalik diri dari lingkungan putih
ke lingkungan hitam? Tetapi sementara itu Samparan telah mulai berbisik lagi. “Beberapa

waktu yang lalu ..., Lawa Ijo pernah dilukai oleh seorang senapati Demak, waktu ia sedang
berusaha untuk mendapatkan pusaka.”
Mendengar cerita ini Mahesa Jenar semakin tertarik.
“Ki Sanak, dalam lingkungan golongan hitam terdapat suatu kepercayaan, bahwa barang siapa
memiliki sepasang pusaka yang mereka perebutkan, adalah suatu pertanda bahwa orang itu
akan dapat merajai seluruh golongan hitam. Dengan demikian akan cukup kekuatan dan
dukungan bila pada suatu saat mendirikan suatu pemerintahan tandingan yang kekuasaannya
akan dapat menyaingi kekuasaan Demak.” Suara Samparan menjadi semakin perlahan-lahan,
tetapi masih cukup jelas.
“Sedangkan Lawa Ijo, atas petunjuk Pasingsingan, akan mencuri langsung pusaka asli, yang
menurunkan sepasang pusaka yang diperebutkan itu,” lanjut Samparan.
“Apakah ujud dan nama pusaka-pusaka itu?” Tiba-tiba Ki Asem Gede menyela.
Samparan menarik nafas untuk mengatasi denyut jantungnya yang semakin memburu.
“Pusaka-pusaka itu berupa keris. Seekor naga bersisik seribu dan sebuah keris lain berlekuk
sebelas dengan pamor yang memancarkan cahaya kebiru biruan.”
“Naga Sasra dan Sabuk Inten,” potong Dalang Mantingan mengejutkan.
“Ya, demikian mereka menyebut namanya. Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi yang sepasang,
yang mereka perebutkan itu masih meragukan. Pasingsingan mengira bahwa keris itu
hanyalah keturunannya saja, sedang yang asli masih berada di keraton. Untunglah bahwa pada
saat Lawa Ijo akan mencuri pusaka-pusaka itu, ada dua orang prajurit terlepas dari pengaruh
sirepnya yang terkenal. Empat orang anak buah Lawa Ijo terbunuh, sedangkan Lawa Ijo
sendiri terluka di bagian dalam dadanya,” jelas Samparan.
Sekarang Mahesa Jenar semakin bertambah jelas bahwa Lawa Ijo yang berusaha memasuki
gedung perbendaharaan itulah yang dimaksud oleh Samparan.
“Untunglah bahwa ada orang-orang seperti kedua prajurit itu. Alangkah gagahnya. Kemudian
Lawa Ijo dapat mendengar bahwa kedua prajurit itu bernama Rangga Tohjaya dan Gajah
Alit,” tambah Samparan.
Sekarang Ki Asem Gede dan Mantingan yang terperanjat. Rangga Tohjaja adalah Mahesa
Jenar. Jadi kalau demikian Mahesa Jenar pernah bertempur, bahkan melukai Lawa Ijo.
Dengan tak mereka sadari terloncatlah sebuah pertanyaan dari mulut Ki Asem Gede, “Jadi
Anakmas pernah melukai Lawa Ijo?”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar menjadi bimbang sebentar. Samparan, yang
meskipun dalam keadaan parah, tampak wajahnya berubah hebat mendengar pertanyaan Ki
Asem Gede itu. Ia menyebutkan bahwa yang melukai Lawa Ijo adalah Rangga Tohjaja dan
Gajah Alit, tetapi kenapa Ki Asem Gede bertanya kepada Mahesa Jenar?

Mahesa Jenar menangkap perubahan wajah Samparan. Pikirannya mengatakan, tak baik orang
yang pada saat-saat terakhir masih menyimpan teka-teki. Karena itu ia menjawab pertanyaan
Ki Asem Gede. Tetapi jawaban ini ditujukan kepada Samparan.
“Samparan, barangkali kau heran, bahkan mungkin tak percaya. Tetapi biarlah aku
beritahukan kepadamu supaya kau percaya. Supaya kau menjadi jelas. Akulah Rangga
Tohjaja yang kau maksudkan tadi. Memang aku pernah bertempur dan melukai Lawa Ijo di
halaman dalam Istana Demak. Karena itulah aku akan selalu mencarinya.”
Belum lagi Mahesa Jenar selesai berkata, tiba-tiba dilihatnya mata Samparan yang tenang itu,
membasah. Lalu kata-katanya terputus-putus.
“Jadi ... inikah pahlawan itu? Berbahagialah aku dapat bertemu dengan Tuan. Nah, Tuan
Rangga Tohdjaja, mudah-mudahan usahaku yang kecil ini dapat mengurangi dosaku.
Akhirnya hendaklah tuanku ketahui, bahwa Pasingsingan berpendirian, apabila keturunan dari
kedua pusaka itu saja mempunyai kasiat yang demikian, apalagi pusaka-pusaka aslinya.”
Sejenak kemudian wajah Samparan menjadi semakin tegang. Beberapa kali ia berusaha
menguasai jalan pernafasannya. Tetapi bagaimanapun, keadaannya bertambah parah. Darah
masih mengalir dari lukanya.
Tiba-tiba sebagai seorang tabib, tersadarlah Ki Asem Gede bahwa ia harus bertindak
secepatnya untuk menyelamatkan jiwa Samparan, sampai kemungkinan yang terakhir.
“Adi Mantingan, marilah kita angkat Samparan ini ke Gandok Wetan. Barangkali ada suatu
cara untuk mengobatinya,” kata Ki Asem Gede kepada Mantingan.
Mendengar kata-kata itu, segera Mantingan bangkit dan siap bersama-sama Ki Asem Gede
mengangkat Samparan.
033
DENGAN senyuman yang sayu, Samparan berbisik perlahan. “Terimakasih Ki Asem Gede.
Tetapi masih ada suatu rahasia lagi yang perlu Tuan ketahui, Rangga Tohjaja. Besok pada
bulan terakhir tahun ini, akan ada suatu pertemuan para sakti dari aliran hitam untuk menilai
ilmu masing-masing, dan sekaligus mencari seorang tokoh sebagai pemimpin mereka.
Kecuali kalau sebelum itu seseorang diantara mereka dapat membuktikan bahwa ia telah
memiliki pusaka-pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten. Dalam hal ini maka mereka hanya akan
menentukan urutan hak saudara tua dari setiap gerombolan.”
Kemudian denyut jantung Samparan turun dengan cepatnya. Wajahnyapun menjadi semakin
pucat. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk melanjutkan ceritanya.
“Bulan terakhir tahun ini, tepat pada saat purnama naik, di lembah Tanah Rawa-rawa, akan
hadir dalam pertemuan itu antara lain Lawa Ijo dari Mentaok. Sepasang Uling dari Rawa
Pening sebagai tuan rumah, yaitu Uling Kuning dan Uling Putih. Suami-istri Sima Rodra dari
Gunung Tidar, Djaka Soka, Bajak Laut yang berwajah tampan dari Nusakambangan, yang
mendapat julukan Ular Laut.”
Sebenarnya Samparan masih akan berkata menyebut beberapa nama lagi, tetapi ia sudah
terlalu lemah.

“Sudahlah Samparan. Jangan pikirkan semua itu. Tenangkanlah dan beristirahatlah,” potong
Ki Asem Gede.
Samparan tersenyum buat terakhir kalinya. Ia menarik nafas panjang, dan sesudah itu
terhentilah denyut jantungnya. Mereka yang menyaksikannya, untuk sesaat menundukkan
kepala masing-masing dengan rasa haru.
Perlahan-lahan tubuh itu kemudian diangkat dan diletakkan di atas bale-bale di Gandok
Wetan. Tetapi wajahnya sekarang tidak lagi membayangkan kejahatan seperti yang pernah
dilakukan semasa hidupnya. Wajah itu kini bagaikan kotak kaca yang sudah dibersihkan
isinya dari kotoran-kotoran yang semula memenuhinya.
Kemudian Ki Asem Gede segera memanggil beberapa orang pelayan dan murid-murid
Wirasaba. Mereka diminta merawat mayat Samparan. Mayat seorang yang pernah
menggemparkan Pucangan dengan kejahatan-kejahatan. Selain itu, kepada murid-murid
Wirasaba bahkan kepada Nyi Wirasaba, Ki Asem Gede minta supaya tidak mengatakan suatu
apapun tentang peristiwa Samparan dan kawan-kawannya kepada Ki Wirasaba.
Maka, Samparan adalah satu-satunya diantara kelima orang gerombolannya yang mendapat
penghormatan terakhir pada saat penguburannya. Pengorbanan Samparan sebagai penebus
dosa tidaklah sia-sia. Untuk beberapa lama Ki Wirasaba dapat menikmati ketenteraman
hidupnya kembali di samping istrinya yang setia.
Pada malam setelah semua peristiwa itu terjadi, Mantingan dan Mahesa Jenar diminta untuk
tinggal di rumah Ki Wirasaba bersama-sama Ki Asem Gede. Tetapi untuk menghindari halhal yang dapat menimbulkan salah faham, maka sengaja Mantingan dan Mahesa Jenar tidak
banyak bercakap-cakap dengan Ki Wirasaba. Hanya dalam kesempatan itu, ketika mereka
duduk-duduk bertiga, Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan dan Ki Asem Gede, berceriteralah
orang itu, tentang sebab-sebabnya Ki Wirasaba menjadi lumpuh.
“Wirasaba adalah seorang pilihan dalam kalangannya. Yaitu para penggembala. Ia mendapat
gelar Seruling Gading karena kepandaiannya meniup seruling. Pada usia yang masih sangat
muda, ia mulai dengan perantauannya dari satu daerah ke daerah yang lain untuk menuruti
keinginannya yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Ia sebenarnya berasal dari Karang
Pandan, di kaki Gunung Lawu. Sehingga pada suatu saat sampailah ia ke Prambanan.
Kedatangannya bagiku sangat menguntungkan. Sebab pada saat itu aku sedang dibingungkan
oleh sebuah lamaran yang mengerikan. Anakku, istri Wirasaba itu, pada saat itu sedang
menerima lamaran dari seorang yang sangat ditakuti di daerah kami.
Tetapi orang itu bukanlah orang baik-baik. Adatnya sangat kasar dan angkuh. Sehingga
anakku bersumpah di hadapanku, kalau terpaksa ia harus menjalani perkawinan itu, berarti
bahwa hidupnya harus diakhiri,” cerita Ki Asem Gede.
“Kehadiran Wirasaba merupakan angin baru bagi anakku. Perkenalan mereka semakin lama
menjadi semakin erat. Sebagai orang tua aku segera mengetahui bahwa hati mereka terjalin.
Pradangsa, orang yang ingin mengawini anakku itu, melihat hubungan yang semakin erat itu.
Ia menjadi marah bukan kepalang. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak terkalahkan, ia
berusaha menyelesaikan persoalan itu dengan caranya. Ditantangnya Wirasaba untuk
berkelahi. Aku yang belum mengetahui tingkat ilmu yang dimiliki oleh Wirasaba, menjadi

cemas. Tetapi Wirasaba sendiri menerima tantangan itu dengan senang hati,” lanjut Ki Asem
Gede.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah pertemuan itu di atas sebuah
gundukan pasir di pinggir sungai Opak. Aku yang selalu kecemasan, memerlukan dengan
diam-diam berusaha untuk dapat mengikuti pertemuan yang tidak menyenangkan itu.
Yang mula-mula datang ke tempat itu adalah Wirasaba, tepat pada saat warna merah di langit
yang terakhir terbenam ke dalam warna kelam. Rupanya sengaja ia datang lebih awal untuk
mengetahui keadaan tempat itu.
Setelah beberapa saat ia mengamati tempat itu sejengkal demi sejengkal, maka duduklah
Wirasaba di atas sebuah batu di tepi sungai yang mengalirkan airnya yang jernih. Dari dalam
bajunya dikeluarkannya sebuah seruling yang terbuat dari pring gadhing. Sambil menunggu
kedatangan lawannya, ia mulai berlagu dengan serulingnya itu. “Baru sekali itu aku
mendengar Wirasaba meniup serulingnya. Dan memang sudah sewajarnyalah kalau ia
mendapat sebutan Seruling Gading,” kata Ki Asem Gede.
Mula-mula serulingnya itu membawakan lagu yang sejuk menyongsong datangnya bulan.
Nadanya seperti silirnya angin senja. Kemudian lagu itu menurun makin dalam, tetapi sesaat
kemudian melonjak riang, seriang wajah gadis yang menyongsong datangnya kekasih. Sesaat
kemudian berubahlah lagu Wirasaba mendendangkan kisah cinta. Sambil menatap wajah
bulan, ia berlagu dengan lembutnya.
Tetapi sebentar kemudian ia meloncat berdiri. Sedang serulingnya masih saja berlagu.
Dipandangnya tenang-tenang Candi Jonggrang sebagai lambang keagungan cinta yang tiada
taranya. Kesanggupan Yang Maha Besar, yang dilahirkan karena cinta. Candi Jonggrang yang
mengagumkan itu dapat diciptakan hanya dalam waktu satu malam, sebagai suatu usaha
raksasa untuk memenuhi tuntutan cinta.
Maka beralunlah seruling Wirasaba dengan lembut dan mesra. Seakan-akan ia
mengungkapkan suatu ceritera rakyat tentang cinta abadi antara Bapa Angkasa dan Ibu
Pertiwi. Dan karena itulah maka lahir segala isi bumi ini.
034
WIRASABA sebagai lazimnya penggembala, tiada dapat terpisah dari serulingnya. Sahabat
pada saat-saat sepi, pada saat-saat binatang gembalanya asyik bermain di padang rumput.
Karena itulah maka setiap lagu yang dipancarkan dari serulingnya, selalu melukiskan kisah
yang terjalin di hatinya.
Sebagai seorang yang hidup bebas di padang-padang terbuka, dalam berlagu pun Wirasaba
ternyata tidak mau terikat pada gending-gending yang sudah ada. Lagunya menjangkau jauh
melampaui batas gending-gending yang dirasanya terlalu miskin untuk mengungkapkan
seluruh perasaannya. Karena itu lagunya bebas terlontar tanpa ikatan. Namun demikian dapat
melukiskan segenap warna dalam jiwanya.
Tetapi, ketika ia sedang asyik tenggelam dalam lagunya, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa
yang merobek-robek kekhusukan lagu yang hampir sampai ke puncak keindahannya.

“Aku segera mengenal suara itu. Suara Pradangsa. Kali ini rupanya ia ingin memperlihatkan
kesaktiannya dengan menyalurkannya lewat suara tertawanya yang mengerikan. Cepat-cepat
aku berusaha untuk tidak hanyut ke dalam pengaruhnya. Tetapi disamping itu aku pun
menjadi cemas kembali. Wirasaba memang seorang ahli meniup seruling. Tetapi Pradangsa
bukanlah seorang penggemar lagu. Ia adalah seorang yang kasar dan hanya dapat menghargai
kekuatan tenaga. Bukan kemesraan dan kelembutan.”
Ki Asem Gede melanjutkan ceritanya.
"Apalagi ternyata suara tertawa itu tidak segera berhenti. Tetapi gelombang demi gelombang
terdengar seperti susul-menyusul. Seperti datangnya ombak lautan segulung demi segulung
menghantam tebing."
“Dalam kecemasanku itu, tiba-tiba aku dikejutkan lagi oleh suara seruling Wirasaba. Tetapi
setelah itu aku menjadi bersyukur. Bahkan aku menjadi berbangga hati. Suara seruling yang
mesra lembut itu segera berubah melengking tajam. Kemudian Wirasaba berteriak penuh
kemarahan karena cintanya terganggu. Yang sama sekali tak aku duga, adalah bahwa
kemarahan Wirasaba yang dilontarkan lewat nada-nada serulingnya itu pun ternyata
mengandung pengaruh yang luar biasa pula. Maka kemudian seakan-akan terjadilah benturan
dahsyat antara suara tertawa Pradangsa dengan nada-nada seruling. Wirasaba yang sebentar
melonjak, naik tajam, dan kemudian turun menukik kembali, lalu menggelegar seperti guruh
yang dengan penuh kemarahan menghantam gunung,” cerita Ki asem Gede.
Karena benturan itulah maka seolah-olah tercapailah suatu keseimbangan, sehingga kedua
suara itu semakin lama semakin lirih ... semakin lirih. Bahkan akhirnya keduanya berhenti
dengan sendirinya.
Tepat pada saat suara itu berhenti, meloncatlah sebuah bayangan dari seberang, dengan
tangkasnya dari batu ke batu menyeberangi sungai Opak. Dari geraknya yang cepat dan
tangkas, sudah dapat dikira sampai dimana kekuatan tenaganya.
Belum lagi Pradangsa menjejakkan kakinya di tepian, mulutnya sudah mendahului berteriak
dengan suara gunturnya.
“Hai anak cengeng. Rupanya kau hanya mampu menjadi seorang penipu seruling. Itu saja kau
hanya bisa membawakan lagu-lagu cengeng seperti apa yang baru saja kau lagukan.”
Wirasaba adalah seorang yang tinggi hati. Mendengar dirinya disebut anak cengeng, segera
bangkitlah kesombongannya.
“Memang, aku hanya mampu melagukan lagu-lagu cengeng. Lagu-lagu cinta dan kasih.
Tetapi aku adalah orang yang tahu diri. Sekali dua kali aku pernah bercermin, meskipun
hanya di permukaan air. Maka sadarlah aku bahwa wajahku jauh lebih tampan daripada
wajahmu yang kasar itu. Karena itulah aku berhak melagukan lagu cinta dan kasih. Tidak saja
lagu maut seperti yang kau miliki satu-satunya.”
Pradangsa adalah seorang yang kasar dan sombong. Ia tidak pernah menerima hinaan yang
sampai sedemikian. Karena itu segera darahnya naik ke kepala.

“Setan! Aku tidak pernah menyesal bahwa wajahku kasar dan jelek. Tetapi dengan tenaga
yang aku miliki, aku mampu berbuat apapun. Aku mampu memperistri setiap perempuan
yang aku kehendaki. Nah, kau sekarang mencoba mengganggu kebiasaanku itu. Karena itu
bersediakah untuk mati?” jawab Pradangsa.
Wirasaba tidak mau banyak bicara lagi. Diselipkannya seruling pring gadingnya ke dalam
bajunya.
“Kau hanya mau berbicara saja?” potongnya.
Pradangsa bergumam di dalam mulutnya, dan kemudian kembali ia tertawa nyaring. Tetapi
suara tertawanya terputus ketika Wirasaba membentak.
“Aku tidak banyak waktu, bersiaplah.”
Pradangsapun rupanya juga menganggap bahwa waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera
bersiap. Dengan tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat dalam sebuah
perkelahian. Dalam bagian permulaan nampak bahwa Wirasaba dapat melayani Pradangsa
dengan baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara tertawa lawannya. Geraknya
cukup cekatan. Tetapi yang masih meragukan, apakah ia dapat mengimbangi perkelahian ini?
Pradangsa hampir tidak pernah menghindarkan diri dari setiap serangan. Setiap serangan itu
selalu dibenturnya dengan serangan pula, sebab ia sangat percaya pada kekuatannya.
Demikian pula agaknya pada saat itu.
Pradangsa sama sekali tidak menghindarkan diri ketika Wirasaba menyerangnya dengan
dahsyat. Rupanya Pradangsa mengira bahwa Wirasaba hanya mampu meniup serulingnya
saja. Memang bentuk tubuh Wirasaba tidaklah sebesar Pradangsa. Tetapi apa yang telah
terjadi?
035
SAAT itu, ketika Pradangsa membalas serangan Wirasaba yang dahsyat, ternyata dalam tubuh
Wirasaba yang tidak sebesar lawannya itu tersimpan suatu tenaga yang hebat sekali, yang
sama sekali tak diduga oleh Pradangsa. Sedangkan Pradangsa sendiri adalah seorang yang
memiliki tenaga raksasa pula.
Tetapi ternyata, Wirasaba yang telah sekian kali merantau, menjelajahi beberapa daerah,
memiliki pengalaman yang lebih banyak. Sedangkan Pradangsa hanyalah seorang tokoh lokal
yang telah mencapai puncak kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan. Memang
Pradangsa adalah seorang kuat atas pemberian alam.
Maka ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa picik pengetahuan Pradangsa. Ia hanya
memusatkan tenaga serta perhatiannya pada kedua belah tangannya. Dengan sepenuh tenaga
yang ada padanya menghantam tangan Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia sama sekali
tidak menduga bahwa pada sekejap sebelum benturan itu terjadi, Wirasaba mengubah
serangannya dengan menarik tangan kirinya. Ketika tangan kanannya membentur tangan
Pradangsa, ibu jari tangan kirinya sempat mengetuk leher Pradangsa.
Akibat benturan itu pun sangat hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar
surut. Demikian juga Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari pada lehernya,

 Pradangsa merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan Pradangsa. Sebab
dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu diganggu oleh peredaran nafasnya yang
semakin lama terasa semakin sesak dan sakit.
Meskipun demikian, pertempuran itu masih juga berlangsung lama. Mereka tampaknya
seperti dua ekor ular yang saling berlilitan dan timbul-tenggelam diantara lawannya.
Tetapi sampai sekian, kepastian dari akhir pertempuran itu sudah jelas. Sebab Wirasaba jauh
berpengalaman. Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi juga dengan
otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip seekor babi yang terlalu percaya pada
kekuatannya. Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam beberapa saat kemudian ia
sudah benar-benar dikuasai oleh serangan-serangan Wirasaba yang menjadi semakin keras.
Akhirnya Pradangsa menjadi semakin terdesak. Dan tampaklah bahwa pertempuran itu sudah
hampir selesai.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa
bahwa ia tidak mampu mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu kelicikan. Tangannya
tiba-tiba menggenggam potongan-potongan besi lembut dari kantongnya, yang kemudian
dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa terkejutnya Wirasaba.
Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap bagian tubuhnya.
Untunglah bahwa Wirasaba berpikir cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat tinggi-tinggi.
Namun tindakannya itu tidak dapat menyelamatkan seluruh tubuhnya. Beberapa potong besi
itu masih juga mengenai kakinya. Akibatnya hebat sekali. Waktu ia terjun kembali, ternyata ia
sudah tidak dapat tegak lagi di atas kedua kakinya yang luka-luka. Mengalami peristiwa itu,
Wirasaba menjadi marah sekali. Ia menjerit nyaring.
Tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam sebuah kapak kecil, suatu jenis senjata yang
digemari. Dengan penuh kemarahan kapak kecil itu dilemparkannya ke arah lawannya.
Demikian kerasnya lemparan itu, sehingga yang tampak hanyalah seleretan sinar yang
menyambar dada Pradangsa, yang kemudian disusul sebuah jerit ngeri dan suara tubuh
Pradangsa yang terbanting jatuh, untuk tidak bangun kembali.
Ki Asem Gede berhenti. Beberapa kali ia menelan ludah. Agaknya ia menjadi haus setelah
berceritera demikian panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan ceritanya.
”Pada saat itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang masih terduduk di tanah. Wirasaba
terkejut melihat kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun sambil menyeringai
kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya. Perhatianku hanya terpusat pada kakinya.
Aku mempunyai dugaan bahwa potongan-potongan besi itu berbisa. Sebab seorang seperti
Pradangsa itu tidak mustahil berbuat demikian. Dan dugaanku itu benar. Ketika luka-luka itu
aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes pun. Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba
menelan ramuan-ramuan obat pelawan bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan.”
"Biasanya," lanjut Ki Asem Gede, setiap luka yang mengandung bisa, setelah menelan
ramuan obatku itu segera mengeluarkan darah yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu juga
menghanyutkan segala racun yang telah menyusup ke dalam darah daging. Tetapi tidak
demikianlah kaki Wirasaba itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak mengalirkan darah.
 Bahkan di sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak. Maka dapatlah aku mengambil
kesimpulan bahwa bisa yang dipergunakan oleh Pradangsa adalah bisa yang keras sekali.
”Karena itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku berikan hanya
sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba kedua-duanya hampir tak dapat
lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya,” ujar Ki Asem Gede.
”Baru ketika sampai di rumah, di bawah cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan pasti
bahwa potongan-potongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat sekali. Aku
mempunyai dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis laba-laba hijau yang
terdapat di hutan Tambak Baya,” tambahnya.
Meskipun Ki Asem Gede sudah berusaha keras sebagai seorang tabib, tetapi sama sekali tak
berhasil melawan bisa itu. Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi menjalarnya racun itu
ke bagian tubuh yang lain.
”Itulah Anakmas Mahesa Jenar dan Adi Mantingan, sebab-sebab yang menimbulkan cacat
pada Wirasaba. Tetapi hal yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku tetap setia pada
janjinya, meskipun laki-laki yang dikaguminya itu telah cacat. Sehingga perkawinan mereka
pun dapat dilangsungkan,” jelas Ki Asem Gede.
Ki Asem Gede mengakhiri ceriteranya dengan suatu tarikan nafas yang dalam.
Seolah-olah sesuatu yang menyumbat hatinya kini telah terlontar keluar. Meskipun demikian
nampak juga suatu perasaan kecewa yang tersirat di wajahnya.
Sebagai seorang tabib kenamaan, Ki Asem Gede merasa mendapat suatu peringatan langsung
dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa bagaimanapun usaha anak manusia, namun keputusan
terakhir berada di tangan-Nya. Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang yang
ditolongnya, diobati dan disembuhkan. Namun terhadap sakit menantunya sendiri, yang
bergaul hampir setiap hari, ia tak mampu berbuat apa-apa.
”Tak adakah obat yang dapat menyembuhkannya?” tanya Mahesa Jenar.
”Tidak ada,” jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah. ”Bahkan
obat yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin bisa itu
tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada bagian yang terluka bisa itu seperti api
yang tersimpan di dalam sekam. Sedikit demi sedikit membunuh setiap bagian tubuh di
sekitar luka itu,” lanjutnya.
Ki Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia
berkata, ”Ada Anakmas ..., ada.”
”Ada?” ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali.
036
KI Asem Gede terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia
berkata, “Ada Anakmas ..., ada.”

“Ada?” ulang Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun kemudian tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali.
“Ada Anakmas, tetapi aku kira obat itu tidak dapat diketemukan.”
“Sudahkah Bapak berusaha?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
Ki Asem Gede menggelengkan kepalanya. “Mustahil ..., mustahil,” desisnya.
“Katakanlah Ki Asem Gede, mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau
melihatnya,” desak Mahesa Jenar.
Ki Asem Gede tampak ragu-ragu sebentar, tetapi akhirnya ia berkata.
“Anakmas, memang ada obat untuk melawan bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi obat
itu hampir hanyalah merupakan dongeng belaka.”
Mahesa Jenar dan Mantingan mengerutkan keningnya bersama-sama seperti berjanji.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar bertanya.
“Kenapa Ki Asem Gede? Apakah obat itu terlalu sulit untuk didapatkan?”
“Anakmas benar. Sebab obat yang dapat melawan segala bisa itu, sepengetahuanku adalah
bisa Ular Gundala,” sahut Ki Asem Gede sambil mengangguk.
“Ular Gundala?” ulang Mahesa Jenar.
“Aku pernah mendengar nama ular itu,” sela Mantingan.
“Ya, ular Gundala,” tegas Ki Asem Gede. “Ada dua macam ular Gundala. Yaitu ular Gundala
Seta dan Ular Gundala Wereng. Kedua-duanya mempunyai jenis bisa yang tak terlawan.
Tetapi kedua-duanya mempunyai sifat yang berlawanan. Bisa ular Gundala Wereng, bekerja
seperti pada umumnya bisa, meskipun ketajamannya berlipat-lipat. Tetapi bisa ular Gundala
Putih bekerja sebaliknya. Kalau kedua jenis ular bisa itu berbenturan maka akhirnya akan
menjadi tawar. Karena itulah maka bisa ular Gundala Putih-lah yang dapat menjadi obat yang
sangat mujarab untuk menawarkan segala macam bisa, meskipun kalau bisa itu berdiri sendiri
akan mempunyai akibat yang berbeda.”
“Itu adalah pengertian secara umum saja. Sebab disamping itu masih ada sebab-sebab lain,
kenapa bisa ular Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut ceritera, ular Gundala adalah
semacam senjata dari para Dewa. Ular Gundala Wereng adalah senjata dari Sang Batara Kala,
sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata Batara Wisnu.
Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka memancarlah bunga-bunga api di udara.
Kalau sinarnya putih kebiru-biruan, itulah pancaran dari ular Gundala Seta, senjata Wisnu.
Sedangkan ular Gundala Wereng memancarkan cahaya merah membara agak kehitamhitaman,” jelas Ki Asem Gede.

Wajah Ki Asem Gede masih membayangkan kekecewaan. Bahkan mendekati putus asa.
Tetapi ketika Mahesa Jenar mendengar ceritera ini, ia menjadi teringat kepada sahabat
karibnya semasa mereka masih muda. Pada saat mereka baru menginjak ambang pintu
kedewasaan. Yaitu seorang yang kemudian terkenal bergelar Ki Ageng Sela, yang pada masa
anak-anaknya bernama Anis atau beberapa orang memanggilnya Nis dari Sela.
Sela adalah seorang yang luar biasa. Geraknya cepat melampaui kilat. Bahkan sampai
beberapa orang mengatakan bahwa ia mewarisi kecepatan bergerak ayahnya yang juga
bergelar Ki Ageng Sela, yang menurut ceritera dapat menangkap petir.
Pada suatu kali, ketika Ki Ageng Sela sedang menyepi di tepi sendang Jalatunda, tiba-tiba ia
disambar oleh semacam sinar putih kebiru-biruan. Untunglah bahwa ia dapat bergerak cepat
luar biasa, sehingga ia dapat menghindari sambaran sinar itu. Bahkan ia masih juga sempat
menangkapnya.
Tetapi demikian tangannya menyentuh benda itu, terkejutlah ia bukan kepalang. Sebab pada
saat itu tangannya terasa telah menangkap seekor binatang yang bulat panjang.
Untunglah bahwa sebelumnya ia pernah mendengar ceritera tentang seekor ular yang pandai
terbang dan bercahaya. Ular yang diceriterakan menjadi penggembala hujan. Maka secepat
kilat benda yang ditangkapnya itu sebelum sempat menggigitnya, dibantingnya ke tanah.
Adalah suatu keuntungan bahwa binatang itu tidak dihantamkan pada sebatang pohon atau
batu. Sebab kalau demikian, binatang itu pasti akan remuk. Saat itu, ia dapatkan binatang itu
masih utuh, meskipun terbenam lebih dari sejengkal ke dalam tanah.
Kemudian bangkai ular itu diambilnya. Ternyata ular itu adalah seekor ular yang aneh.
Panjangnya dibanding dengan besarnya dapat dikatakan terlalu pendek. Sisiknya berwarna
putih mengkilap agak kebiru-biruan. Pada bagian kepalanya tergoreslah semacam lukisan
jamang, sedangkan pada ujung ekornya melingkarlah warna kuning keemasan.
Ketika ular aneh itu dibawa pulang, terlihatlah binatang itu oleh Ki Ageng Warana. Melihat
bangkai ular itu, Ki Ageng Warana terperanjat, apalagi ketika ia mendapat keterangan dari
Sela. Maka segera orang tua itu minta izin kepada Sela untuk mengambil bisanya.
Sela yang menganggap binatang itu hanya sebagai barang yang aneh, sama sekali tidak
keberatan. Ia tidak mengira kalau karena itu ia mendapat semacam obat yang tak ada
bandingnya. Obat penawar segala macam bisa yang bagaimanapun tajamnya. Racun dari bisa
binatang maupun tumbuh-tumbuhan.
Oleh Ki Ageng Warana, binatang itu diperas bisanya. Dengan mempergunakan keahliannya,
ia dapat menampung bisa itu. Kemudian dengan berbagai ramuan, bisa itu berhasil
dipadatkan. Tetapi hanya tinggal kecil sekali, hanya kira-kira sebesar biji kacang tanah. Biji
sari bisa ular ajaib itu dihadiahkan kepada Ki Ageng Sela. Meskipun Ki Ageng Warana minta
sebagian kecil, Ki Ageng Sela pun sama sekali tidak keberatan.
Dengan biji bisa itu, Ki Ageng Warana telah membebaskan dirinya sendiri dari berbagai
macam bisa. Juga Ki Ageng Sela dan bahkan Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib Nis
dari Sela, mendapat kesempatan untuk menikmati kasiatnya pula.

Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu direndamnya dalam air, yang kemudian dengan
mempergunakan duri yang telah direndam di dalam air itu, untuk menusuk simpul-simpul
jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam bisa.
Mahesa Jenar sebagai sahabat paling dekat Ki Ageng Sela, tidak hanya mendapat kesempatan
membebaskan diri dari segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia juga mendapat hadiah dari
sahabatnya, sebagian dari biji bisa itu.
037
DENGAN biji bisa itu Ki Ageng Warana telah membebaskan dirinya sendiri dari berbagai
macam bisa. Juga Ki Ageng Sela dan bahkan Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib Nis
dari Sela, mendapat kesempatan untuk menikmati kasiatnya pula.
Oleh Ki Ageng Warana, biji bisa ular itu direndam dalam air, yang kemudian dengan
mempergunakan duri yang telah direndam didalam air itu, untuk menusuk simpul-simpul
jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam bisa.
Mahesa Jenar, sebagai sahabat paling dekat Ki Ageng Sela, tidak saja mendapat kesempatan
membebaskan diri dari segala pengaruh bisa dan racun, tetapi ia mendapat hadiah dari
sahabatnya sebagian dari biji bisa itu.
Maka, diceriterakannya semua itu kepada Ki Asem Gede. Tentang ular yang bersinar putih
kebiru-biruan serta tentang biji bisa Ular itu. Barangkali biji bisa itu dapat dipergunakan
untuk mengobati kaki Wirasaba sebagaimana bisa ular Gundala Seta.
Ki Asem Gede dan Mantingan mendengar ceritera itu dengan penuh perhatian. Wajah Ki
Asem Gede sebentar tampak berkerut, sebentar terkejut, kemudian sebentar menjadi cerah,
untuk seterusnya muram kembali. Tetapi kemudian tiba-tiba jadi bersinar terang.
"Anakmas," kata Ki Asem Gede kemudian setelah Mahesa Jenar selesai berceritera, " Ki
Ageng Warana adalah raja dari segala tabib. Sayang aku sampai sekarang belum pernah
berkesempatan bertemu dengan beliau. Sebab beliau adalah seorang yang aneh. Sebentar
nampak, sebentar menghilang. Berbahagialah anakmas Nis dari Sela dapat bertemu dengan
orang tua yang aneh itu. Dan berbahagia pulalah Anakmas Mahesa Jenar bersahabat dengan
Anakmas Sela. Sebab menurut ciri-ciri yang Anakmas ceriterakan itu, ular yang menyambar
demikianlah yang bernama ular Gundala."
“Tetapi Ki Ageng Warana tidak menamakan ular itu ular Gundala, tetapi disebutnya ular
Gundala seta.” Mahesa Jenar menjelaskan.
Tiba-tiba cahaya mata Ki Asem Gede menjadi cerah secerah matahari pagi yang memercik
diatas rumput-rumput hijau.
“Ya itulah Anakmas.... Memang terdapat beberapa dongeng mengenai ular ajaib itu.Sebagai
senjata dewa-dewa, ia disebut Ular Gundala. Tetapi sebagai penggembala air dilangit ia
disebut ular Candrasa Seta,” katanya hampir berteriak.
Kemudian Mahesa Jenar mengambil sebuah tabung bambu kecil yang diikatkan di bagian
dalam pakaiannya. Tetapi meskipun obat itu tak pernah terpisah dari tubuhnya, bahkan ia

pernah mendapat tusukan di simpul jalan darahnya oleh Ki Ageng Warana, namun ia masih
belum pernah melihat bukti kasiatnya.
Ki Asem Gede menerima benda itu dengan dada berdebar. Diamat-amatinya benda itu dengan
saksama.
“Anakmas Mahesa Jenar, marilah kita lihat kasiat benda ini,” katanya. Kemudian Ki Asem
Gedepun segera mengambil sebuah cawan tembikar dan bumbung berisi bisa. Segera biji bisa
ular itu direndamnya di dalam air, lalu diteteskannya bisa dari dalam bumbungnya ke dalam
air rendaman itu, setelah biji bisanya disisihkan kedalam tempat yang lain.
Apa yang terjadi sangatlah mengejutkan. Air di dalam cawan itu menjadi seakan-akan
menggelegak dan mendidih. Maka setelah timbul beberapa gumpal asap, air di dalam cawan
itu menjadi surut. Akhirnya sesaat kemudian air itu menjadi tenang kembali.
Semuanya memandang peristiwa itu tanpa berkedip. Kemudian berkatalah Ki Asem Gede,
“Ini adalah suatu benturan langsung antara dua jenis bisa tanpa perantara. Maksudnya adalah,
bahwa kedua jenis bisa itu tidak bekerja atas sesuatu zat, misalnya yang satu membekukan
sedang yang lain mencairkan darah. Dan anakmas dapat menyaksikan sendiri betapa hebatnya
bisa Ular Gundala atau Candrasa itu.”
Mahesa jenar termenung sejenak. Lalu katanya, “Kalau begitu, dapatkah Ki Asem Gede
mengobati kaki kakang Wirasaba?”
“Akan aku coba, tetapi harus perlahan-lahan. Sebab bisa di dalam tubuh Wirasaba telah
bekerja terlalu lama. Kalau tubuhnya itu tidak mempunyai daya tahan yang luar biasa, ia telah
lama binasa. Karena itu aku tidak berani mengobatinya sekaligus. Benturan yang berlebihan
di dalam tubuhnya antara dua jenis bisa itu akan dapat membunuhnya. Dan untuk itu akan
memerlukan waktu,” jawab Ki Asem Gede.
Akhirnya Ki Asem Gede minta kepada Mahesa Jenar untuk diizinkan meminjam biji bisa itu.
Ia akan mencoba sedikit demi sedikit mengobati kaki Wirasaba yang bertahun-tahun tak dapat
dipergunakan.
Sementara itu malam menjadi semakin dalam. Bunyi jangkrik terdengar saling bersahutan
dengan kemersik daun yang digerakkan oleh angin malam sejuk. Sementara itu, Ki Asem
Gede atas nama anak menantunya mempersilahkan kedua tamunya itu untuk beristirahat.
Tetapi malam itu Mahesa Jenar sama sekali tidak berhasrat untuk tidur. Ketika ia sudah
membaringkan dirinya, teringatlah kembali semua peristiwa yang dialaminya pada hari-hari
terakhir. Maka barulah terasa penat-penat di bagian-bagian anggota badannya.
Selain itu terngianglah kembali semua ceritera Samparan pada saat terakhir sebelum
menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Tentang Lawa Ijo, tentang pertemuan yang
akan diadakan oleh golongan hitam, tentang pusaka-pusaka Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten,
dan tentang seorang yang disebut oleh Samparan bernama Pasingsingan. Semuanya itu
masing-masing bagi Mahesa Jenar memerlukan perhatian-perhatian khusus.

038
SEBENARNYA kalau Lawa Ijo atas petunjuk Pasingsingan ingin mendapat pusaka Kiai
Nagasasra dan Sabuk Inten dengan memasuki Gedung Perbendaharaan Istana, ia pasti akan
kecewa. Sebab kedua pusaka itu sedang jengkar meninggalkan tempat penyimpanannya. Tak
seorang pun yang mengetahui, kemana perginya dan siapa yang membawanya.
Sedangkan kepada Pasingsingan sendiri, Mahesa Jenar tak habis-habis heran. Bahkan hampir
tak masuk akal, kalau sampai Pasingsingan mempunyai seorang murid semacam Lawa Ijo.
Mengenai pertemuan golongan hitam itu pun akan merupakan suatu peristiwa yang cukup
menarik.
Kecuali itu, bila Lawa Ijo telah menyatakan diri untuk mengambil bagian dalam pertemuan
itu, pastilah bahwa pagi-pagi ia telah mempersiapkan diri. Ini berarti bahwa Lawa Ijo selalu
berusaha untuk memperdalam segala ilmunya sampai sedalam-dalamnya. Apalagi di bawah
asuhan seorang sakti yang bernama Pasingsingan.
Lalu bagaimanakah dengan dirinya? Dengan terbunuhnya salah seorang anggota gerombolan
Lawa Ijo, bahkan saudara muda seperguruannya, berarti Mahesa Jenar sudah berhadapan
langsung dengan golongan itu. Golongan Lawa Ijo yang bersarang di hutan Mentaok.
Karena itulah maka Mahesa Jenar mulai menilai dirinya kembali. Sebenarnya ia tidak ingin
lagi mempergunakan tenaganya dan ilmu tata berkelahi yang pernah dipelajarinya untuk
memecahkan soal. Tetapi berhadapan dengan gerombolan Lawa Ijo, soalnya menjadi lain.
Terhadap gerombolan itu, dan gerombolan hitam umumnya, ia tak dapat berbuat lain, kecuali
harus mempersiapkan diri dalam keadaan siaga tempur.
Maka, dengan tak sesadarnya Mahesa Jenar mengamat-amati tangannya dengan jari-jarinya
yang kokoh kuat. Telah berapa jiwa melayang karenanya, selama ia berusaha menegakkan
keadilan dan kemanusiaan. Dan sekarang, tangan ini harus siap membunuh pula, juga untuk
menegakkan keadilan dan kemanusiaan. Bahkan alangkah menariknya untuk mengetahui pula
kejadian-kejadian dalam pertemuan yang akan diselenggarakan oleh golongan hitam itu, pada
saat purnama naik, bulan terakhir tahun ini.
Maka dengan tidak sengaja pula, Mahesa Jenar bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam
ruangan itu. Malam sudah begitu dalam dan sepi. Kecuali suara-suara binatang malam yang
sekali-kali memecah sunyi.
Pada saat yang demikian tiba-tiba saja timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mencoba
kembali kekuatan tenaganya. Mungkin akan berguna nanti. Kalau ada kesempatan, bukankah
suatu hal yang baik sekali untuk membinasakan segala tokoh-tokoh hitam pada saat mereka
berkumpul? Tetapi mereka pun bukanlah kumpulan anak-anak kecil yang dapat ditakut-takuti
oleh seekor anjing yang sedang menggonggong.
Belum lagi Mahesa Jenar mendapat sasaran untuk memulai, tiba-tiba didengarnya sayupsayup suara yang bergetar panjang, mendirikan bulu roma. Suara itu menggetarkan udara
seperti getaran gelombang pantai. Bagi penduduk Pucangan, suara itu memang sering
terdengar. Bahkan hampir setiap malam, apabila kademangan itu telah terbenam dalam sunyi
malam. Setiap penduduk kademangan yang mendengar suara mengerikan itu tubuhnya tentu
akan menggigil karenanya.

Tetapi sebaliknya adalah Mahesa Jenar. Mendengar suara itu tiba-tiba timbullah
kegembiraannya. Dengan lincahnya ia segera meloncat turun ke halaman. Untuk beberapa
saat ia berdiri mendengarkan dari mana arah suara yang menggeletar itu. Mahesa Jenar
merasa bahwa ia akan mendapat kawan berlatih yang baik. Maka kemudian dengan tidak
berpikir panjang lagi. Segera ia meloncat dan seperti kilat berlari ke arah suara yang menarik
hati itu, agak jauh di luar pedesaan.
Ketika sekali lagi suara itu terdengar semakin panjang, Mahesa Jenar menjadi bertambah
gembira, sehingga ia semakin mempercepat langkahnya. Tampaklah ia kemudian seperti
bayangan yang terbang dalam kegelapan. Setelah beberapa lama berlari, Mahesa Jenar
menghentikan langkahnya. Dari sinilah arah suara tadi terdengar. Dengan hati-hati dan penuh
kewaspadaan, ia mengamat-amati keadaan di sekitarnya, yang penuh semak-semak dan
rumput-rumput ilalang yang tumbuh liar.
Tiba-tiba telinga Mahesa Jenar yang tajam menangkap suara berdesir dari dalam semaksemak itu. Cepat ia membalikkan diri ke arah suara itu, dan bersiaga. Apa yang dicari, kini
telah muncul dari balik batang-batang ilalang.
Mahesa Jenar tersenyum, ketika dilihatnya seekor harimau loreng sangat besar, hampir
sebesar kerbau, memandangnya dengan keheran-heranan. Matanya yang kehijaua-hijauan
memancar seperti lentera yang menyorot kepadanya. Untuk beberapa saat harimau itu berdiri
mematung. Agaknya harimau itu heran, manusia manakah yang telah mengantarkan dirinya
sendiri untuk menjadi santapan malamnya.
Ketika harimau itu perlahan-lahan maju ke depan, darah Mahesa Jenar berdesir juga.
Alangkah besar dan garangnya. Dan dengan tidak sesadarnya, kembali Mahesa Jenar
mengawasi tangannya serta jari-jarinya yang kokoh kuat.
Pada telapak tangan Mahesa Jenar, seolah-olah terbayang apa yang pernah terjadi pada saat
terakhir, sebelum gurunya melenyapkan diri dan kemudian ternyata wafat. Pada saat ia
mendapat warisan ilmu yang sebenarnya sangat hebat. Suatu ilmu yang dapat dikatakan
tersimpan di tangan Mahesa Jenar. Sebab kalau ia ingin menerapkan ilmu itu, haruslah
dipergunakan sisi telapak tangannya.
Meskipun pada dasarnya ilmu itu mempergunakan kekuatan jasmaniah, tetapi tidaklah
demikian seluruhnya. Bertahun-tahun Mahesa Jenar melatih diri meyakinkan ilmu itu, yang
mempergunakan unsur-unsur gerak pendahuluan 10 macam. Sebelum itu ia masih harus
membiasakan keadaan jasmaniahnya. Setiap pagi dan sore menghantamkan sisi telapak
tangannya pada bermacam-macam benda. Dari pasir, kayu, sampai ke batu. Sepuluh unsur
gerak pendahuluan itu hanyalah sekadar patokan untuk menekan lawannya sampai
sedemikian rupa sehingga pada saat yang terakhir dimana keadaan sudah memungkinkan,
dilontarkanlah pukulan dengan sisi telapak tangan.
Tetapi pukulan itu tidak akan memenuhi harapan, bila saat itu tidak dibarengi dengan suatu
kekuatan batin yang luar biasa besarnya, serta pemusatan tenaga. Inilah sebenarnya yang sulit
dilaksanakan. Untuk dapat melakukan ini semua, Mahesa Jenar harus bekerja keras beberapa
tahun lamanya.

039
LATIHAN-LATIHAN itulah yang sangat terasa berat. Pada taraf permulaan Mahesa Jenar
harus melatih mengatur pernafasan, kemudian pemusatan pikiran dan terakhir
menggabungkan segenap kekuatan lahir batin. Semua itu untuk disalurkan lewat sisi telapak
tangannya.
Dalam pelaksanaannya tidaklah mesti 10 unsur gerak itu dilakukan berurutan. Tetapi unsur
yang hanya sekadar merupakan patokan yang dapat dibolak-balik, diambil beberapa
bagiannya saja menurut kebutuhan. Bahkan dapat dimasuki dan digabungkan dengan unsurunsur gerak yang lain.
Setelah Mahesa Jenar menjalani semua latihan-latihan itu, hasilnya sangat hebat. Tangan
Mahesa Jenar, bila dikehendaki seolah-olah dapat berubah menjadi palu besi yang sangat
berat.
Tetapi meskipun demikian, sampai saat itu Mahesa Jenar belum pernah mempergunakan
ilmunya itu untuk melawan sesama manusia. Ia baru mencoba menghantam-hancurkan kayu
dan bahkan batu. Tetapi terhadap sesama manusia, Mahesa Jenar masih belum sampai hati
mempergunakannya. Sebab, akibatnya dapat dibayangkan.
Namun sekarang Mahesa Jenar merasa berhadapan dengan lawan yang tak dapat diabaikan.
Apalagi Lawa Ijo adalah murid Pasingsingan. Lebih-lebih kalau Pasingsingan sendiri ikut
campur dalam urusan ini.
Karena itu, Mahesa Jenar memutuskan, bahwa ia harus mempersiapkan ilmunya itu. Ilmu
yang pernah dipelajarinya dengan sungguh-sungguh dan bersusah payah.
Sekarang, ia mendapat sasaran yang tepat. Seekor harimau loreng yang sangat besar sekali,
yang pasti sangat mengganggu penduduk di sekitar daerah ini. Sebab seekor harimau yang
hampir sebesar kerbau ini tentu akan senang menangkap ternak para petani.
Meskipun kekuatan jasmaniah harimau sebesar itu, jauh berlipat dari kekuatan jasmaniah
manusia biasa, Mahesa Jenar yakin bahwa ia akan dapat mengatasinya, dengan ilmunya yang
oleh gurunya disebut Sasra Birawa.
Sementara itu, Mahesa Jenar segera tersadar oleh suara gemersik kaki harimau yang berdiri
tidak jauh di hadapannya. Harimau itu telah merunduk sangat rendah, dan siap menerkam.
Sambil mengaum keras, harimau itu dengan garangnya meloncat akan menerkam Mahesa
Jenar. Kedua kaki depannya menjulur hampir lurus dengan tubuhnya. Kuku-kukunya yang
tajam siap merobek-robek mangsanya. Sedang taring-taringnya yang tajam-runcing,
menyeringai. Mengerikan sekali.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang yang telah terlatih baik untuk menghadapi setiap
kemungkinan dan segala macam bahaya. Maka ketika dilihatnya harimau itu meluncur
menerkamnya, dengan cekatan Mahesa Jenar merendahkan diri dan meloncat ke samping.
Harimau itu kembali mengaum dengan hebatnya. Rupanya ia sangat marah ketika mangsanya
terlepas dari terkamannya. Tetapi selama harimau itu masih mengapung di udara, ia sama
sekali tak dapat mengubah geraknya.

Ketika harimau itu mendarat di tanah, ia menjadi terkejut sekali. Tidak saja karena sasarannya
telah menghindarkan diri, tetapi juga karena tiba-tiba saja terasakan sesuatu yang
menghantam punggungnya, dan bahkan seperti melekat dengan eratnya.
Setelah Mahesa Jenar berhasil menghindarkan diri, maka tepat pada saat harimau itu
menjejakkan kakinya di atas tanah, dengan kecepatan luar biasa Mahesa Jenar meloncat ke
atas punggung harimau itu, dan menghantamnya sekali. Seterusnya kedua tangannya dengan
eratnya berpegangan pada leher harimau itu.
Tetapi harimau adalah binatang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau
disebut raja hutan. Apalagi seekor harimau yang sedang marah, seperti yang sedang dihadapi
oleh Mahesa Jenar.
Harimau itu menggeliat dengan sepenuh tenaga untuk melepaskan pegangan Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar dengan eratnya mencengkeram leher harimau itu, sehingga tangan itu
tidak terlepas.
Akhirnya harimau yang sudah mencapai puncak kemarahannya itu meloncat tinggi. Setelah
terjun kembali, segera menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Bagaimanapun eratnya
pegangan Mahesa Jenar, tetapi mengalami hal yang demikian tak urung tangannya terlepas
juga. Bahkan ia terlempar ke samping, sampai beberapa langkah dan jatuh berguling-guling.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki keuletan yang luar biasa.
Demikian Mahesa Jenar jatuh terguling beberapa kali, segera ia meloncat dan tegak kembali
tepat pada saatnya. Sebab pada saat itu, harimau yang marah itu telah siap kembali menerkam.
Tetapi setelah mengalami kegagalan, rupanya harimau itu mendapat suatu pengalaman,
bahwa dengan suatu terkaman dari jarak yang jauh, ia tak berhasil menguasai mangsanya.
Maka kali ini harimau itu tidak lagi merunduk lalu meloncat. Perlahan-lahan tetapi pasti,
harimau itu mendekati lawannya.
Mahesa Jenar bertambah berhati-hati melihat perubahan sikap harimau itu. Untuk melawan
langsung seekor harimau sangatlah berbahaya. Kuku-kukunya serta gigi-gigi yang tajam itu
dapat merobek kulitnya. Maka diputuskannya untuk segera mengakhiri perkelahian.
Mahesa Jenar segera bersikap. Tanpa mempergunakan unsur-unsur pendahuluan untuk
menekan lawannya. Ia berdiri di atas satu kakinya, menghadap langsung pada harimau itu.
Satu kaki lainnya diangkat dan ditekuk ke depan. Sebelah tangannya menyilang dada,
sedangkan tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi.
Mahesa Jenar secepatnya mengatur peredaran nafasnya, memusatkan pikiran dan
menyalurkan segala kekuatan lahir dan batin ke sisi telapak tangannya. Maka ketika harimau
itu mengaum dahsyat, serta dengan garangnya menerkamnya, Mahesa Jenar pun telah siap
dan terdengar ia berteriak nyaring.
Ia memutar kaki yang diangkatnya itu setengah lingkaran dan membuat satu loncatan kecil
kesamping. Berbareng dengan itu, tangan kanannya terayun deras sekali menghantam tengkuk
harimau itu. Akibatnya adalah dahsyat sekali. Harimau itu mengaum lebih keras lagi
dibarengi dengan gemeretak tulang patah.
Sekejap kemudian harimau itu melenting tinggi, dan sesaat lagi terdengarlah gemuruh
tubuhnya jatuh ke tanah, tidak bergerak lagi selama-lamanya. Harimau itu mati karena patah

tulang lehernya oleh kekuatan tangan Mahesa Jenar yang telah mempergunakan ilmu Sasra
Birawa.
Sesaat kemudian malam menjadi sunyi kembali. Yang terdengar, kecuali tarikan nafas
Mahesa Jenar, adalah suara-suara binatang malam dan belalang bersahutan.
Di langit, bintang-bintang gemerlapan, seperti permata yang ditaburkan di atas selembar
permadani biru kelam.
040
DENGAN tajamnya Mahesa Jenar mengawasi lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi itu.
Ia dapat sedikit berbangga hati, bahwa sampai sekarang ia mendapat kebahagiaan untuk
memiliki ilmu gurunya yang dahsyat itu. Seandainya yang dikenai itu manusia biasa, maka
dapatlah dibayangkan, bahwa manusia itu akan hancur lebur tanpa sisa.
Belum lagi Mahesa Jenar puas menikmati kemenangannya, tiba-tiba terdengarlah suara
gemersik ilalang di belakangnya. Cepat-cepat ia memutar tubuhnya dan segera bersiaga.
Tetapi ketika ia melihat siapakah yang berdiri di belakangnya, ia menjadi terkejut bukan
kepalang. Kalau misalnya Lawa Ijo yang berada di situ, ia tidak akan seterkejut pada saat itu.
Ternyata yang berdiri di belakangnya, dengan wajah cerah, secerah bintang yang gemerlapan
di langit, adalah Nyai Wirasaba.
Dalam beberapa saat Mahesa Jenar tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, sedang Nyai
Wirasaba tertunduk malu. Tetapi kemudian, Mahesa Jenar berhasil menguasai perasaannya,
dan dengan sedikit tergagap ia bertanya. “Nyai Wirasaba, kedatangan Nyai sangat
mengejutkan aku.”
Nyai Wirasaba masih diam tertunduk. Sampai Mahesa Jenar meneruskan, “Apakah yang Nyai
maksudkan, sehingga Nyai memerlukan datang kemari?”
Akhirnya Nyai Wirasaba menjadi seperti tersadar dari sebuah mimpi. Memang kedatangannya
pun adalah seperti peristiwa dalam mimpi.
Nyai Wirasaba, pada saat sebelum perkawinannya, sangat mengagumi suaminya karena
ketangguhan, kejantanan serta keberaniannya. Tetapi kemudian suaminya menjadi lumpuh,
sehingga tak ada lagi yang dapat dikaguminya. Meskipun demikian ia tetap mencintainya.
Tiba-tiba muncullah seorang yang menurut anggapannya sangat mengagumkan pula, berani
dan bersifat jantan. Ketika Mahesa Jenar keluar dari ruang tidurnya dan berdiri di halaman,
sebenarnya Nyai Wirasaba sudah berada di halaman pula, untuk membeningkan pikirannya
yang kusut. Mendadak pada saat itu terdengarlah aum harimau di kejauhan.
Ketika dilihatnya Mahesa Jenar, menjadi gembira dan berlari ke arah suara itu, tanpa sadar ia
segera mengikutinya untuk sekadar dapat menyaksikan sikap jantan Mahesa Jenar.
Meskipun ia tidak berlari secepat Mahesa Jenar, arah suara harimau yang mengaum berkalikali itu telah menuntunnya sampai ke tempat pertarungan itu. Apalagi ketika ia menyaksikan
bagaimana Mahesa Jenar membunuh lawannya. Hatinya menjadi melonjak dan tak dapat
dikuasainya lagi.

Karena itulah, ketika ia mendengar pertanyaan Mahesa Jenar, ia menjadi agak bingung. Tetapi
kemudian dijawabnya juga dengan penuh kejujuran. “Aku tidak tahu, kenapa aku kemari.”
“Tidak tahu?” sahut Mahesa Jenar heran.
“Ya, aku tidak tahu. Mungkin hanyalah terdorong oleh keinginanku menyaksikan suatu
peristiwa yang dapat mengungkat kembali suatu kenang kenangan yang indah pada masa
muda.”
“Apa yang Nyai Wirasaba lakukan adalah sangat berbahaya. Bagaimana kalau aku tidak dapat
memenangkan pertandingan ini? Barangkali Nyai Wirasaba pun akan menjadi santapan
macan loreng itu,” kata Mahesa Jenar kemudian.
“Tidak mungkin. Aku yakin kalau harimau itu akan terbunuh,” jawab Nyai Wirasaba.
“Nyai Wirasaba yakin?” tanya Mahesa Jenar. Matanya memancarkan berbagai pertanyaan.
Kembali Nyai Wirasaba tertunduk diam. Dia sendiri tidak tahu kenapa ia mempunyai
perasaan demikian.
“Nah, sebaiknya Nyai Wirasaba sekarang pulang. Adalah berbahaya sekali bagi Nyai untuk
tetap berada disini.” Mahesa Jenar menasehati seperti anak kecil yang kemalaman bermain.
Tetapi Nyai Wirasaba tetap tak bergerak. Bahkan tiba-tiba saja perasaannya terbang ke alam
angan-angan yang pahit. Tiba-tiba saja ia rindukan kembali masa gadisnya beberapa tahun
lampau. Saat-saat pertemuan dan perkenalannya dengan Ki Wirasaba, serta cita-citanya untuk
dapat menimang seorang anak laki-laki yang segagah, seberani dan sejantan ayahnya. Tetapi
sekarang, selama Wirasaba lumpuh, hampir seluruh bagian bawah tubuhnya, selama itu pula
ia tak dapat mengharap menimang seorang anak laki-laki seperti yang dirindukannya.
Kembali perasaan Nyai Wirasaba melonjak dan tak dapat dikendalikan, sehingga tiba-tiba ia
tersedan.
Mahesa Jenar adalah seorang laki-laki yang mempunyai perbendaharaan pengalaman yang
luas sekali. Tetapi meskipun ia pernah berkenalan dengan banyak sekali wanita, ia sendiri
belum pernah bergaul terlalu rapat.
Sehingga wanita baginya adalah makhluk yang asing, yang mempunyai perasaan di luar
kemampuannya untuk menjajaginya. Apalagi ia sendiri belum beristri. Maka ketika dilihatnya
Nyai Wirasaba menangis, hatinya menjadi bingung kalang kabut.
Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia sendiri tidak
merasakan adanya suatu kesalahan yang dapat menusuk perasaan. Karena itu untuk beberapa
saat ia hanya dapat berdiri diam seperti patung, sedangkan perasaannya bergolak menebaknebak, apakah sebabnya Nyai Wirasaba menangis. Akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan
yang sangat ditakutinya.
041
KARENA pengetahuan Mahesa jenar tentang perasaan seorang wanita sangat sempit, maka ia
telah mempunyai tanggapan yang salah terhadap Nyai Wirasaba.

Karena itulah ia bertambah cemas.
“Nyai, aku telah mengorbankan harga diriku dengan tidak menerima tantangan Ki Wirasaba,
sekedar untuk mengembalikan suasana ketenteraman rumah tangga kalian. Dan sekarang,
ketenteraman yang sudah hampir pulih kembali itu akan terganggu pula, apabila kita berdua
pada malam begini berada di tempat ini. Karena itu pulanglah dan lupakanlah segala angan
angan itu,” kata Mahesa Jenar dengan suara gemetar.
Nyai Wirasaba adalah seorang wanita yang berperasaan halus, sehalus rambut dibelah tujuh.
Ditambah pula sudah beberapa tahun ia meladeni suaminya yang cacat kaki, sehingga ia
menjadi semakin perasa.
Maka ketika ia mendengar perkataan Mahesa Jenar, ia terperanjat. Meskipun Mahesa Jenar
sama sekali tak bermaksud jahat, dan perkataannya itu diucapkan dengan jujur menurut
perasaannya, tetapi akibatnya seperti sembilu yang lansung membelah ulu hati Nyai
Wirasaba. Sebagai seorang wanita yang dididik oleh seorang saleh seperti Ki Asem Gede,
maka sudah tentu ia mementingkan sifat-sifat keutamaan seorang wanita. Diantaranya sifat
setia dan bakti kepada suaminya.
Dengan demikian, maka perkataan Mahesa Jenar telah menggelorakan darahnya. Ia merasa
tersinggung dengan anggapan itu. Meskipun ia sangat mengagumi keperwiraan seseorang,
namun ia menjadi gusar juga karena tuduhan itu. Maka dijawabnya kata-kata Mahesa Jenar
itu dengan suara yang bergetar.
“Tuan, aku telah mengagumi keperwiraan Tuan, keberanian dan kejantanan Tuan. Dan
dengan tidak sadar pula aku telah mengikuti Tuan sampai ke tempat ini untuk menyaksikan
keperwiraan Tuan. Hal ini mungkin disebabkan aku terlalu mengagumi kejantanan suamiku
pada masa muda kami berdua. Dengan menyaksikan kejantanan Tuan, aku mendapat suatu
jembatan yang dapat menghubungkan kembali kepada kenangan masa silam. Suatu masa
yang penuh dengan harapan dan cita-cita. Tetapi Tuan telah menuduh aku dengan tuduhan
yang menyakitkan hatiku.” Suara Nyai Wirasaba tersekat di kerongkongan oleh air matanya
yang mendesak.
Mendengar jawaban itu Mahesa Jenar tidak kurang terperanjatnya. Tetapi ia tetap tidak dapat
mengerti, Kalau demikian halnya, mengapa seorang wanita seperti Nyai Wirasaba sampai
bersusah payah mengikutinya. Karena Mahesa Jenar adalah seorang yang berdada terbuka
serta tidak suka menyembunyikan perasaannya, maka berkatalah ia, “Tetapi sampai demikian
perlukah Nyai Wirasaba pergi ke tempat ini pada malam begini?”
Sekali lagi dada Nyai Wirasaba yang penuh itu terguncang. Ia menjadi bertambah gusar
mendengar kata-kata Mahesar Jenar itu. Tetapi seperti halnya Mahesa Jenar yang tak dapat
menjajagi perasaannya, Nyi Wirasaba pun tidak tahu sama sekali akan ketulusan hati Mahesa
Jenar. Bahkan ia menyangka bahwa dalam kesempatan itu Mahesa Jenar ingin memancingmancing untuk meraba-raba perasaannya. Karena itu dengan marahnya ia berkata, “Tuan, aku
tidak menyangka bahwa hati Tuan ternyata palsu. Maka baru sekarang aku mengerti kenapa
suamiku berkata, bahwa tak mungkin seseorang menyabung nyawanya tanpa pamrih. Tetapi
Tuan jangan mimpikan air mengalir ke udik.”

Sekarang Mahesa Jenar yang merasa dadanya terguncang. Ia tidak dapat membayangkan
bahwa wanita cantik seperti Nyai Wirasaba itu dapat sedemikian marahnya sehingga
mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan demikian pedihnya. Karena itu, seluruh
tubuh Mahesa Jenar menggigil karena ia berusaha menahan diri. Disamping itu ia mulai
merasa bahwa mungkin perkataan-perkataannya telah menyinggung perasaan Nyai Wirasaba.
Maka dalam kebingungan itu, ia hanya dapat berdiri terpaku seperti patung.
Tak ada sepatah katapun yang diucapkan. Sampai Nyai Wirasaba menyambung pula,
“Tuan, barangkali Tuan menyangka bahwa suamiku hanya dapat bermain main dengan suatu
permainan yang jelek dengan Samparan. Tetapi ketahuilah Tuan, bahwa aku mengharap ia
lekas sembuh. Dan sesudah itu aku tidak tahu apakah aku masih dapat mengagumi
ketangkasan Tuan di hadapan suamiku.”
Sekali lagi dada Mahesa Jenar terguncang. Ia adalah seorang laki laki yang mengutamakan
keperwiraan seorang ksatria. Ia sudah menahan dirinya sekian lama sejak ia menerima
sindiran-sindiran Wirasaba di hadapan Mantingan dan Ki Asem Gede. Seandainya Nyai
Wirasaba tidak langsung menyinggung harga dirinya sebagai seorang laki-laki, mungkin ia
masih dapat menahan dirinya, meskipun dadanya akan menjadi sesak.
Tetapi sekarang, Nyai Wirasaba yang karena marahnya, telah langsung merendahkan harga
dirinya sebagai seorang laki-laki dengan memperbandingkannya dengan Wirasaba. Karena
itulah maka Mahesa Jenar tidak dapat lagi membendung aliran perasaannya yang semakin
deras mendesak dan telah cukup lama tertahan. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk
menyambut tantangan itu dengan sebaik mungkin, meskipun nafasnya menjadi berdesakan.
“Mudah-mudahan Ki Wirasaba lekas sembuh. Dan aku akan mencoba melayaninya,
meskipun barangkali aku tidak akan dapat memberi kepuasan... dan ....”
Sebenarnya masih banyak yang akan diucapkan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak tahu bagaimana
melakukannya. Sedangkan yang keluar dari mulutnya adalah, “Nyai, kalau ada kesalahanku
maafkanlah, tak ada gunanya aku lebih lama tinggal di sini. Perkenankanlah aku pergi.
Tolong pamitkan kepada mereka berdua, dan lain kali aku mengharap dapat bertemu kembali.
Juga kepada Ki Wirasaba, sampaikan salamku, sampai bertemu apabila ia telah sembuh
kembali.”
Belum lagi Mahesa Jenar mengucapkan seluruh kata-katanya, terdengar suara Nyai Wirasaba
hampir berteriak, “Salahkulah kalau aku sampai datang kemari, apapun sebabnya, karena aku
seorang wanita.”
Kemudian diluar dugaan Mahesa Jenar, Nyai Wirasaba segera berlari meninggalkan tempat
itu.
Mahesa Jenar terpaku di tempatnya. “Alangkah tumpulnya perasaanku. Sungguh aku tidak
mengerti, apa yang baru saja terjadi,” gumamnya.
Belum lagi Mahesa Jenar menemukan jawaban, didengarnya dari arah samping suara
gemersik rumput kering. Cepat ia memutar tubuhnya menghadap ke arah suara itu.
042

TERNYATA apa yang dijumpainya mengejutkannya pula. Orang yang datang itu adalah Ki
Dalang Mantingan. Sesaat darah Mahesa Jenar jadi berdegupan. Kalau ada orang ketiga yang
menyaksikan hadirnya Nyai Wirasaba di tempat itu, dapatlah menimbulkan bermacammacam kemungkinan. Tetapi karena ia percaya bahwa sahabatnya itu tidak akan menjelekkan
namanya, maka segera ia pun dapat menguasai dirinya kembali.
Sementara itu terdengar Mantingan berkata, “Adimas, maafkanlah kalau kedatanganku sangat
mengejutkan Adimas.”
“Tidak. Tidak seberapa Kakang Mantingan. Tetapi sudah lamakah kakang berada di sini?”
jawab Mahesa Jenar sambil menggeleng lemah.
“Sudah... Sudah lama. Aku menyaksikan semua yang terjadi. Sejak Adimas membunuh
harimau itu dengan tangan, sampai perselisihan paham yang terjadi antara Adimas dan Nyai
Wirasaba,” sahut Mantingan.
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya sambil kembali menggeleng lemah. Kemudian
katanya, “Aku tidak mengerti kenapa hal-hal serupa itu bisa terjadi. Kau dengar seluruh
pembicaraan kami Kakang?”
“Seluruhnya. Aku datang ke tempat ini bersamaan waktunya dengan Nyai Wirasaba,” jawab
Mantingan.
“Kau tahu bahwa aku di sini?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Ya, sebab ketika aku mendengar aum harimau dan terbangun dari tidurku, aku tidak melihat
Adimas di pembaringan. Segera aku pergi mencarinya. Ketika aku turun ke halaman, aku
melihat Nyai Wirasaba sedang berlari dengan kencangnya ke arah suara harimau itu. Tentu
saja aku tidak dapat membiarkan hal semacam itu. Segera aku pun pergi menyusulnya. Dan
seterusnya seperti apa yang terjadi di sini.”
Mendengar keterangan Mantingan, Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
untuk beberapa saat mereka berdiam diri, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai
kembali Mantingan berkata, “Adimas, sebenarnya apa yang terjadi hanyalah karena kesalahpahaman belaka.”
“Apa pendapat Kakang tentang hal itu?” sela Mahesa Jenar.
“Maafkanlah kalau aku katakan, bahwa tidak banyak yang Adimas ketahui tentang perasaan
seorang wanita. Sebaliknya Nyai Wirasaba menerima keterbukaan dada Adimas itu dengan
kemasgulan dan kegusaran. Sebenarnya tak ada persoalan apa-apa antara Adimas dan Nyai
Wirasaba. Karena itu tak ada alasan bagi Adimas untuk tergesa-gesa pergi.”
Mahesa Jenar diam sejenak. Ia mencoba mencerna keterangan Ki Dalang Mantingan.
Tetapi akhirnya kembali ia menggeleng lemah. Katanya, “Kakang Mantingan, aku kira lebih
baik aku pergi. Banyak hal yang tidak menguntungkan apabila aku tetap tinggal di sini.
Kakang tahu bahwa aku bukanlah seorang yang sabar dan pradah untuk menerima perangsang
perangsang yang dapat membakar perasaanku. Aku juga masih belum tahu apakah Wirasaba
sudah puas dengan kematian Samparan.”

Kembali mereka berdiam diri. Udara malam yang lembab di daerah pegunungan mengalir
dibawa arus angin perlahan-lahan. Dan dalam keheningan itu kembali suara-suara malam
bertambah jelas.
Sebenarnya sangatlah berat perasaan Mantingan untuk melepas Mahesa Jenar pergi.
Meskipun baru beberapa hari ia mengenalnya, namun seolah-olah hatinya telah tergenggam
erat dalam tali persahabatan. Karena itu ia berusaha keras untuk menahan Mahesa Jenar.
“Adimas,” katanya sejenak kemudian mengusik sepi malam, “kalau Adimas berkeras untuk
meninggalkan tempat ini, bukankah lebih baik Adimas pergi ke Prambanan? Kakang Demang
Penanggalan akan merasa berbahagia kalau Adimas sudi tinggal beberapa hari di rumahnya.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab ajakan itu. Memang pernyataan yang demikian itu
mungkin sekali. Tetapi mengingat kemungkinan-kemungkinan lain, dimana Ki Asem Gede
turut berkepentingan, adalah kurang pada tempatnya. Sedangkan ia sama sekali tidak mengerti
persoalannya. Tidaklah enak perasaan Mahesa Jenar untuk meninggalkan keluarga Ki Asem
Gede dan kemudian tinggal pada keluarga Mantingan.
Dengan demikian suasana menjadi kaku, seperti garis-garis karang di tebing-tebing
pegunungan yang merupakan lukisan-lukisan hitam di atas dasar kebiruan langit yang ditaburi
bintang-bintang.
Akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu ketetapan. Ia harus pergi meninggalkan daerah itu.
“Kakang Mantingan, terpaksa aku tidak dapat mengubah keputusanku. Banyak hal yang dapat
aku lakukan kalau aku melanjutkan perjalananku. Mungkin aku dapat menemukan sarang
Lawa Ijo di hutan Mentaok atau gerombolan orang-orang berkuda yang membuat upacaraupacara aneh dengan mengorbankan gadis-gadis itu.”
Sampai sekian Mantingan sudah menduga bahwa sulitlah baginya untuk tetap menahan
Mahesa Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar meneruskan, “Kakang Mantingan, meskipun aku
bukan lagi seorang prajurit, namun aku masih tetap ingin mengabdikan diriku. Sebab
pengabdian yang sebenarnya tidak harus melulu ditujukan kepada raja, tetapi sebenarnyalah
bahwa pengabdian harus ditujukan kepada rakyat. Karena itu aku akan merasa berbahagia
sekali kalau aku dapat berbuat sesuatu untuk ketenteraman hati rakyat. Nah kakang
Mantingan, sampai sekian saja pertemuan ini.”
Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan Mantingan. Betapa kagumnya ia terhadap Mahesa
Jenar yang telah menemukan garis tujuan bagi hidupnya. Meskipun ia sendiri juga selalu
berusaha untuk melakukan hal-hal yang serupa, yaitu membasmi kejahatan, tetapi apa yang
dilakukannya itu adalah diluar kesadaran bagi sesuatu tujuan yang besar. Karena itu apa yang
dilakukannya adalah suatu perbuatan sepotong-sepotong tanpa suatu garis penghubung dari
yang satu dengan yang lain.
Kemudian terdengar kembali Mahesa Jenar berkata, “Kakang Mantingan, sampai di sini kita
berpisah. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi. Kalau Kakang Mantingan tidak
berkeberatan, di akhir tahun ini, dua hari sebelum purnama penuh, kita bertemu di sekitar
Banyu Biru dan Rawa Pening. Bukankah pada saat itu akan terjadi sesuatu yang penting?”

Seperti diperingatkan akan kelalaiannya, Mantingan menjawab, “Baiklah Adimas. Baiklah
kita menyaksikan pertemuan para tokoh-tokoh sakti dari aliran hitam itu. Sementara itu masih
ada waktu bagiku untuk sedikit menambah pengetahuanku yang sangat picik ini. Sesudah itu
aku juga akan segera kembali ke Wanakerta. Mudah-mudahan aku diizinkan oleh guruku, Ki
Ageng Supit.”
043
“AKU kira Ki Ageng Supit tidak akan keberatan, selama apa yang kita lakukan tidak
bertentangan dengan garis kebijaksanaan negara. Nah, Kakang Mantingan, selamat tinggal.
Salamku buat Ki Asem Gede dan Demang Penanggalan.”
Dengan perasaan yang sangat berat Mantingan melepas Mahesa Jenar pergi. Sebenarnya
Mahesa Jenar pun merasa betapa beratnya meninggalkan daerah ini, meskipun ia mengalami
banyak hal yang tak menyenangkan. Tetapi justru karena itu ia akan tetap terkenang pada
sahabat-sahabatnya, dimana ia sendiri sedang mengalami kesulitan.
Kini kembali Mahesa Jenar dengan pengembaraannya. Mula-mula ia berjalan menyusur jalan
yang dilaluinya ketika ia mengikuti Ki Asem Gede. Tetapi ia tidak mau terus sampai ke
Prambanan. Karena itu, ketika jalan ini akan memasuki belukar, ia mengambil jurusan lain. Ia
memilih jalan yang membelok ke barat, menyeberangi Sungai Opak. Meskipun ia sama sekali
belum mengenal daerah yang dilaluinya, tetapi sedikit banyak ia mengenal ilmu perbintangan
yang diharapkan dapat menuntunnya ke arah yang dikehendaki.
Demikianlah Mahesa Jenar sebagai seorang perantau berjalan dari desa ke desa, dari
kademangan yang satu ke kademangan yang lain. Dilewatinya desa-desa Semboyan, Kalimati,
Temu Agal, terus ke selatan, lewat daerah Si Lempu dan Cupu Watu. Terus kembali
membelok ke barat tanpa berhenti.
Maka pada saat fajar menyingsing sampailah Mahesa Jenar ke depan mulut hutan yang lebat,
yang terkenal dengan nama Alas Tambak Baya.
Sampai daerah ini Mahesa Jenar berhenti sejenak. Dipandanginya hutan lebat yang terbentang
di hadapannya. Meskipun hutan itu tidak begitu besar, tetapi sangat berbahaya. Di dalamnya
bersarang banyak jenis binatang berbisa. Karena itu jarang orang yang lewat. Sebab kecuali
binatang-binatang berbisa yang dengan sekali sengat dapat membunuh seseorang, juga di
dalam hutan itu banyak bersarang penyamun-penyamun dan perampok-perampok.
Hanya rombongan yang agak besar dengan kawalan yang kuat sajalah yang berani
menyeberangi hutan ini. Kebanyakan mereka adalah pedagang-pedagang dari pesisir utara
yang membawa barang-barang untuk dipertukarkan dengan hasil-hasil hutan. Tetapi
meskipun rombongan-rombongan itu telah menyewa beberapa orang pengawal yang
dianggapnya kuat, namun tidak jarang diantara mereka yang tak berhasil keluar lagi dari
hutan ini.
Pada saat nama Lawa Ijo sedang cemerlang beberapa saat yang lalu, daerah ini pun
merupakan daerah pengaruhnya. Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menarik diri dan melepaskan
semua hak-haknya atas beberapa daerah. Ternyata apa yang dilakukan oleh Lawa Ijo adalah
memusatkan perhatian dan waktunya untuk memperebutkan dan menemukan pusaka-pusaka
Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten, di samping persiapan-persiapan untuk menghadapi
pertemuan puncak dari tokoh-tokoh sakti aliran hitam.

Karena itu timbullah kesan seakan-akan kekosongan pemerintahan di wilayah pengaruh Lawa
Ijo. Penjahat-penjahat kecil yang semula harus tunduk pada setiap peraturan yang dibuat oleh
Lawa Ijo, sekarang merasa bebas dan dapat berbuat sekehendak hati mereka. Tidak jarang
terjadi bentrokan-bentrokan dan pertempuran-pertempuran antara satu golongan dengan
golongan yang lain, untuk memperebutkan rezeki.
Demikianlah kira-kira isi hutan lebat yang bernama Tambak Baya, yang sebenarnya hanya
merupakan anak dari induk hutan yang lebih besar dan dahsyat, yaitu Alas Mentaok.
Tetapi, meskipun seakan-akan Lawa Ijo telah menghentikan sebagian besar dari kegiatannya,
namun tak segolongan pun dari para penjahat kecil yang berani melakukan pekerjaannya di
hutan induk yang lebat ketat itu. Sebab bagaimanapun, mereka masih menghormati pusat
kebesaran kerajaan Lawa Ijo.
Sementara itu Mahesa Jenar masih tegak memandang kehijauan hutan di hadapannya, yang
berkilat-kilat terkena cahaya matahari, karena pantulan embun pagi yang sedang mulai
menguap. Dalam keheningan udara pagi, hutan itu tampaknya seakan-akan tubuh raksasa
yang sedang terbujur lelap. Mengerikan.
Untuk menyeberangi hutan itu Mahesa Jenar memerlukan waktu beberapa hari, sampai
dijumpainya pedesaan kecil di daerah Pliridan. Sesudah itu ia akan sampai ke bagian hutan
yang bernama Beringan dan di bagian selatan yang penuh dengan rawa-rawa, bernama
Pecetokan. Untuk melampaui kedua daerah ini pun diperlukannya waktu beberapa hari pula.
Kalau ia ingin menemui padukuhan, ia harus menyusup ke selatan, ke daerah Nglipura dan
Mangir.
Mengingat itu semua, Mahesa Jenar merasa perlu untuk mendapat bekal makanan
secukupnya. Maka sebelum memasuki hutan itu diperlukannya untuk singgah di pedukuhan
yang terdekat untuk membeli bahan makanan sekadarnya. Disamping itu ia mengharap pula
bahwa di dalam hutan itu pun akan tersedia bahan makanan, terutama daging.
Di sebuah gardu di tepi sebuah desa, dilihatnya banyak orang sedang berjualan. Rupanya
gardu itu merupakan tempat berkumpul bagi mereka yang akan menyeberangi hutan. Mereka
menunggu sampai jumlah yang cukup, kemudian bersama-sama mengupah beberapa orang
yang kuat untuk mengawal mereka sampai ke Nglipura, Mangir atau daerah Begelen di
seberang hutan Mentaok setelah melintasi pegunungan Manoreh.
Lalu lintas ini mulai ramai kembali sejak Lawa Ijo melepaskan beberapa daerah pengaruhnya.
Sedangkan terhadap perampokan-perampokan kecil, para pengawal bersama-sama para
pedagang dalam jumlah yang cukup besar, merasa mampu untuk menandingi perampokperampok itu.
Diantara mereka yang berkumpul di situ terdapat beberapa orang saudagar, beberapa orang
yang barangkali akan mengunjungi sanak saudara di tempat yang jauh. Mereka semua
menyandang senjata. Ada yang membawa tombak, kapak, pedang yang berjuntai di pinggang,
keris, dan sebagainya.

Yang menarik perhatian Mahesa Jenar, diantara mereka ada seorang gadis yang cantik.
Menilik pakaiannya, ia pasti termasuk salah seorang dari keluarga yang cukup. Tetapi melihat
wajahnya, tampaklah betapa suram dan sayu. Mungkin ada sesuatu masalah yang
memaksanya untuk melawat demikian jauhnya sehingga terpaksa harus menyeberangi hutan
Tambak Baya.
044
SELAIN gadis itu, Mahesa Jenar juga tertarik kepada seorang muda yang berwajah tampan
dan bersih. Umurnya tak banyak terpaut dengan umurnya sendiri. Pemuda itu berpakaian rapi
seperti seorang pedagang kaya. Kainnya lurik berwarna cerah, sedangkan bajunya agak gelap
berkotak-kotak. Dari celah-celah bajunya tampaklah timang emasnya berteretes intan. Serasi
benar dengan kulitnya yang kuning bersih. Namun agaknya ia terlalu berani dengan
menonjolkan kekayaannya melewati daerah yang berbahaya itu.
Kedatangan Mahesa Jenar diantara mereka sama sekali tidak menarik perhatian. Baik bagi
mereka yang akan mengadakan perjalanan maupun para pengawal yang tampaknya telah siap.
Sebab, keadaan Mahesa Jenar dengan pakaiannya yang kusut serta janggut dan kumisnya
yang serba tak teratur itu, tampak seperti seorang perantau yang biasanya memang mencari
kesempatan untuk dapat berbareng dengan rombongan-rombongan yang demikian.
Para pengawal sudah sering melihat hal yang serupa. Dan dari para perantau semacam ini
sama sekali tak dapat diharap untuk menambah upah mereka. Tetapi karena biasanya para
perantau itu tidak pernah mengganggu, maka para pengawal pun tak pernah merasa keberatan,
malahan hampir tak peduli. Bahkan dari para perantau ini dapat pula diambil keuntungannya,
dengan menambah jumlah orang dalam rombongan itu, yang juga berarti menambah satu
tenaga apabila sesuatu terjadi.
Mula-mula Mahesa Jenar sama sekali tak menaruh perhatian atas rombongan itu, sebab ia
tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Tetapi karena diantara orang-orang itu agaknya ada
yang menarik perhatiannya, maka ia pun mencoba untuk mendekati mereka dengan berpurapura membeli beberapa macam makanan.
Semakin dekat semakin jelaslah kedukaan yang menggores di wajah gadis cantik itu. Menurut
dugaan Mahesa Jenar, gadis itu umurnya berkisar diantara 20 tahun. Menilik sikap, kata-kata
dan beberapa gerak-geriknya, gadis itu adalah gadis yang manja. Tetapi karena itu pulalah
maka Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. Mengapa gadis manja ini menempuh
perjalanan yang berbahaya?
Pada saat itu Mahesa Jenar masih belum tahu, apakah gadis itu mempunyai kawan
seperjalanan diantara rombongan itu. Sedangkan pemuda tampan itu pun semakin menarik
perhatiannya pula.
Meskipun pemuda itu berwajah tampan dan bersih serta bersikap sopan, tetapi ketika Mahesa
Jenar sempat memandang matanya, ia menjadi curiga. Mata yang redup dan selalu bergerakgerak bukanlah mata orang baik-baik. Bibirnya yang tipis dan selalu menyungging senyum
yang aneh itu pun telah menyatakan bahwa ia mempunyai sifat yang tidak berterus terang dan
meremehkan orang lain.

Karena itulah maka Mahesa Jenar kemudian membatalkan niatnya untuk mendahului
rombongan itu. Ia merasa tertarik untuk mengikuti iring-iringan itu. Ketajaman perasaannya
mengatakan bahwa ada hal yang tidak wajar pada pemuda tampan itu.
Ternyata Mahesa Jenar tidak perlu menunggu lama, sebab sebentar kemudian terdengarlah
aba-aba dari pimpinan pengawal yang sudah setengah umur untuk menyiapkan kawankawannya yang terdiri dari kira-kira 10 orang, untuk segera berangkat, mumpung hari masih
pagi.
Semakin curigalah Mahesa Jenar terhadap pemuda itu, karena kemudian tampak sikapnya
yang semakin sopan berlebih-lebihan. Dengan sangat cekatan ia membantu kawan-kawan
dalam rombongan itu, terutama gadis cantik yang juga menarik perhatian Mahesa Jenar itu.
Sebentar kemudian siaplah semuanya. Beberapa orang pengawal membawa beban masingmasing, disamping senjata mereka. Dan hampir setiap orang dalam rombongan itu membawa
bungkusan besar dan kecil. Tetapi tidak demikianlah pemuda itu. Kecuali pakaian yang
melekat di tubuhnya, tak sehelai benang pun dibawanya. Namun di tangannya tergenggam
sebatang tongkat yang agak panjang, berwarna hitam mengkilap.
Kembali terdengar pemimpin rombongan itu memberikan aba-aba. Sesaat kemudian mulailah
iring-iringan itu bergerak. Jumlah orang yang ikut serta dalam rombongan itu, kecuali para
pengawal, kira-kira berjulmah 25 orang. Diantaranya hanya terdapat tiga orang wanita. Dua
diantaranya berjalan dengan suami masing-masing. Sedangkan gadis cantik yang menarik
perhatian Mahesa Jenar, ternyata hanya seorang diri.
Mahesa Jenar segera mengikuti rombongan itu. Dan dengan tidak diduganya sama sekali,
seorang wanita yang berjalan dengan suaminya, memanggilnya. Mahesa Jenar ragu-ragu
sebentar. Tetapi agar tidak mencurigakan, ia mendatangi wanita itu.
“Bapak, sukakah Bapak membawa beberapa bebanku ini? Nanti aku akan memberi sekadar
upah,” kata wanita itu kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar bimbang sebentar. Hatinya menjadi geli.
“Barangkali kau mau menentukan berapa besarnya upah yang kau minta?” sambung
suaminya.
Cepat-cepat Mahesa Jenar membungkuk hormat. Lalu jawabnya, “Akh .., terserahlah kepada
Tuan. Berapapun besarnya upah yang akan Tuan berikan, pasti akan sangat menyenangkan.
Dengan demikian aku akan dapat membeli sekadar oleh-oleh buat anak-anakku.”
045
SUAMI-ISTRI itu mengangguk-angguk. Lalu diserahkannya beberapa bebannya kepada
Mahesa Jenar.
Hal ini sebenarnya menguntungkan Mahesa Jenar, sebab dengan demikian ia dapat mendekati
rombongan itu tanpa suatu kecurigaan. Tetapi ia terpaksa mendongkol juga. Sebenarnya ia
lebih senang jalan berlenggang daripada membawa beban yang cukup berat itu. Meskipun
sebenarnya Mahesa Jenar bertubuh kuat, namun ia pun harus ber-pura-pura merasa berat.

Setelah beberapa saat mereka mengikuti jalan setapak di tengah-tengah rimba liar itu,
mulailah perjalanan mereka agak sulit. Beberapa kali pemimpin rombongan itu
memperingatkan supaya mereka berhati-hati terhadap segala jenis serangga, lebih-lebih ular.
Rupanya pemimpin rombongan itu sudah amat berpengalaman menempuh perjalanan
demikian. Karena itu tampaklah betapa bijaksana ia membawa orang-orang yang di bawah
tanggung jawabnya itu. Apabila jalan amat sulit, tidak segan-segan ia menolong, bahkan
menggendong para wanita dalam rombongan itu. Meskipun pemimpin rombongan itu
rambutnya telah berwarna dua, tapi ia masih tampak sehat, tangkas dan kuat.
Demikianlah rombongan itu berjalan sangat pelan, sehingga kemajuan yang dicapainya amat
lambat pula.
Pada hari itu, perjalanan tak menemui gangguan apapun. Ketika matahari hampir terbenam,
segera pemimpin rombongan memerintahkan tiga orang pengawal berpencar untuk
mendapatkan tempat berkemah yang aman. Sebentar kemudian tempat itu pun telah
diketemukan, dan mulailah rombongan itu mengatur tempat peristirahatan buat malam
harinya. Dengan senjata masing-masing mereka membersihkan rumput-rumput liar dan akarakar pohon-pohon besar untuk kemudian dibentangkan tikar.
Sebenarnya Mahesa Jenar sangat merasa tidak sabar berjalan bersama dengan rombongan ini.
Kalau ia berjalan sendiri, mungkin jarak yang ditempuhnya adalah 2 atau 3 kali lipat. Tetapi
sekarang, setelah ia terikat dengan rombongan itu, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada
mengikuti dengan menahan diri.
Ketika malam telah gelap, para pengawal segera menyalakan api. Sebentar kemudian lidah
api itu pun telah menjilat-jilat ke udara. Panas yang dipancarkan terasa nyaman sekali pada
malam yang dingin itu. Dan sebentar kemudian, karena kelelahan, beberapa orang telah jatuh
tertidur.
Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tak tertarik untuk tidur. Meskipun ia juga merasakan lelah.
Oleh pemilik barang yang dibawanya, Mahesa Jenar mendapat pinjaman sehelai tikar. Dan di
atas tikar itu ia merebahkan dirinya.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Binatang-binatang hutan mulai keluar dari
sarangnya. Suaranya terdengar bersahut-sahutan. Ada yang aneh kedengarannya, tetapi ada
pula yang mengerikan, seperti teriakan bayi yang kehausan air susu ibunya.
Dalam keremangan cahaya api, mata Mahesa Jenar yang tajam melihat betapa gadis cantik itu
menjadi ketakutan. Sebentar-sebentar ia duduk, sebentar berbaring. Tetapi sebentar kemudian
ia membenamkan kepalanya diantara bungkusan-bungkusan kecil yang dibawanya. Sebab
tidak ada seorang pun di dalam rombongan itu yang dapat dimintai perlindungan seperti
kedua wanita yang lain, kecuali bulat-bulat ia menggantungkan dirinya kepada para pengawal.
Tetapi yang terlebih menarik perhatian adalah si pemuda tampan. Tampak sekali betapa
gelisahnya. Ia sama sekali tak membawa apapun, kecuali tongkatnya. Karena itu ia sama
sekali tak berbaring.
Sebentar ia duduk, sebentar kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. Baru setelah lewat
tengah malam, tampaknya ia agak tenang. Ia duduk di atas sebuah batu dan bersandar pada

sebatang kayu. Tidak lama kemudian tampaklah pernafasannya berjalan perlahan dan teratur.
Rupanya ia tertidur.
Melihat pemuda yang aneh itu tertidur, Mahesa Jenar pun menjadi agak tenang. Dan tidak
atas kehendaknya sendiri, Mahesa Jenar pun tertidur pulas.
Malam kemudian menjadi bertambah kelam. Setitik demi setitik embun mulai menggantung
di dedaunan. Suara binatang hutan sudah mulai berkurang. Hanya kadang-kadang saja masih
terdengar aum harimau yang kemudian disusul jerit ngeri beberapa ekor anjing hutan.
Tetapi dalam keadaan bagaimanapun, para pengawal itu tetap pada tugasnya. Mereka
bergiliran tidur. Tiap-tiap kali tiga orang yang tetap bangun dan dengan penuh tanggung
jawab melakukan tugasnya. Selain itu pemimpin rombongan itu pun kadang-kadang bangun
menemani mereka yang kebetulan sedang mendapat giliran. Sedangkan mereka yang telah
merasa mengupah orang untuk menjaga dirinya, merasa bahwa keadaan mereka telah aman.
Karena itu mereka tidak lagi merasa perlu untuk tetap bangun semalam suntuk.
Ketika malam sudah menjadi semakin jauh, telinga Mahesa Jenar yang tajam sekali itu,
mendengar suatu suara yang aneh. Meskipun pada saat itu ia sedang tertidur, tetapi suara itu
dapat didengarnya, bahkan telah menyadarkannya.
Perlahan-lahan ia membuka matanya sedikit. Dan apa yang dilihatnya dari celah-celah
kelopak matanya adalah sangat mengejutkan sekali. Tetapi meskipun demikian ia tidak segera
bertindak.
Dilihatnya pada waktu itu, tiga orang yang bergiliran jaga dan duduk di dekat perapian, telah
menggeletak tak bergerak. Sedangkan disampingnya berjongkok si pemuda tampan.
“Alangkah hebatnya pemuda ini,” pikir Mahesa Jenar. Ia dapat merobohkan ketiga-tiganya
tanpa banyak ribut-ribut. Untunglah bahwa telinganya telah terlatih baik untuk menghadapi
segala kemungkinan.
Melihat hal yang demikian, Mahesa Jenar menjadi semakin waspada. Apalagi ketika pemuda
tampan itu kemudian berdiri dan memandang berkeliling. Dan apa yang diduganya adalah
benar.
Perlahan-lahan pemuda itu berjalan berjingkat ke arah gadis cantik yang sedang tidur dengan
nyenyaknya. Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa pemuda tampan itu akan melarikan gadis
yang sedang lelap itu.
Melihat hal yang sedemikian, ia tidak dapat tinggal diam. Meskipun ia sendiri tidak akan
bertindak langsung, tetapi seharusnyalah bahwa ia berusaha untuk mencegahnya.
046
PERLAHAN-LAHAN dan hati-hati sekali tangannya meraba-raba mencari sebuah kerikil
kecil. Ketika sudah didapatnya, maka dengan hati-hati pula kerikil itu dijentikkan ke arah kaki
pemimpin pengawal yang sedang tidur pula.
Rupanya pengawal itu mempunyai perasaan yang tajam pula. Ketika ia merasa tubuhnya
tersentuh kerikil yang dilemparkan Mahesa Jenar, ia pun segera terbangun. Maka apa yang
pertama-tama dilihatnya adalah ketiga orangnya yang sedang bertugas telah menggeletak.

Sesudah itu lalu dilihatnya si pemuda tampan berjalan hati-hati ke arah gadis yang sedang
tidur lelap.
Melihat hal itu, kepala pengawal itu segera dapat menghubungkan persoalannya. Maka
marahlah ia bukan kepalang. Mukanya menjadi merah seperti darah. Dengan cekatan sekali ia
bangun dan meloncat dengan garangnya. Tanpa bertanya lagi tangannya segera terayun ke
arah tengkuk si pemuda tampan.
Tetapi adalah di luar dugaan sama sekali, meskipun gerak pemimpin pengawal itu cukup
cepat dan tanpa diduga-duga, namun dengan suatu gerakan miring yang sederhana, pemuda
itu dapat menghindarinya.
“Hebat...” pikir Mahesa Jenar. Pemuda ini cekatan luar biasa. Siapakah ia sebenarnya?
Ketika pemimpin pengawal itu merasa bahwa pukulannya dapat dielakkan dengan mudah, ia
menjadi semakin marah. Dengan geramnya ia melompat maju sekaligus tangannya
menyambar leher. Tetapi kembali serangannya itu gagal. Dengan mencondongkan tubuhnya,
pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri, bahkan sekaligus kakinya mengait kaki
lawannya. Untunglah bahwa orang tua itu masih lincah juga, sehingga dengan satu loncatan ia
dapat melepaskan diri.
Melihat cara orang itu menghindari serangannya, si pemuda tampan menjadi tertawa kecil.
“Bagus... Pak, kau masih juga pandai bermain bajing loncat,” kata pemuda itu.
Sementara itu, para pengawal yang lain, serta orang-orang yang sedang tidur nyenyak itu pun
terbangun mendengar keributan-keributan itu. Beberapa orang menjadi gugup dan bertanyatanya. Tetapi para pengawal yang lain, yang melihat pemimpinnya bertempur, segera ikut
serta melibatkan diri tanpa banyak berpikir.
Sejenak kemudian terjadilah suatu pertempuran yang sengit. Pemuda itu seorang diri harus
bertempur melawan tujuh orang. Tetapi ternyata pemuda itu benar-benar tangguh luar biasa.
Melawan tujuh orang yang telah berani menyatakan dirinya menjadi pengawal perjalanan di
daerah yang berbahaya, sama sekali ia tidak tampak mengalami kesulitan. Dengan tangkasnya
ia berloncatan ke sana kemari diantara pepohonan hutan. Tongkat hitamnya berputar-putar
melindungi tubuhnya. Meskipun para pengawal itu mempergunakan bermacam-macam
senjata, ada yang memakai pedang, ada yang mempergunakan tombak, gada besi dan
sebagainya, tetapi semuanya itu tampaknya tidak banyak berguna.
Beberapa orang lain pun kemudian dapat menerka apa yang akan dilakukan oleh pemuda itu.
Karena dalam keadaan demikian, mereka merasa senasib, maka merekapun menjadi marah.
Beberapa orang kemudian segera bangkit dan menyatakan kesetiakawanan mereka, untuk
menangkap pemuda tampan itu.
Tetapi adalah aneh sekali. Pemuda itu tampaknya licin seperti belut. Geraknya cepat dan
lincah sekali, bahkan mirip dengan gerak seekor ular yang melilit-lilit diantara pepohonan,
tetapi sejenak kemudian menjulur melakukan serangan yang berbahaya. Malahan setelah
mereka bertempur beberapa lama, tampaklah bahwa pemuda itu tetap menguasai keadaan.
Bahkan beberapa saat kemudian ia masih sempat tertawa-tawa dan berteriak nyaring.

“Jangan kalian turut campur. Aku inginkan gadis itu.”
“Jahanam,” bentak kepala pengawal, “aku telah menyanggupkan diri melindungi semua yang
menjadi tanggung jawabku. Bagaimanapun hebatnya kau, aku akan tetap melawan sampai
kemungkinan terakhir.”
Kembali pemuda itu tertawa, katanya, “Aku akan menghitung sampai bilangan 10. Siapa yang
tidak mau minggir, bukan salahku kalau ia binasa.”
Mendengar ancaman itu beberapa orang merasa ngeri juga sehingga bulu roma mereka
berdiri.
“Satu ... dua ... tiga .....” Pemuda itu mulai menghitung bilangan.
Sampai bilangan ini, telah banyak diantara mereka yang meloncat keluar dari gelanggang.
Bagaimanapun perasaan kesetiakawanan mereka namun karena mereka tidak langsung
berkepentingan, maka mereka merasa lebih baik minggir daripada turut menjadi korban.
Karena itu, setelah bertempur beberapa lama, terasalah bahwa pemuda itu adalah pemuda
yang perkasa.
Sampai bilangan ketujuh, tak ada lagi seorang pun yang berani membantu ketujuh pengawal
yang sedang bertempur mati-matian itu. Sehingga pertempuran itu semakin nampak berat
sebelah. Tetapi dalam pada itu Mahesa Jenar merasa kagum dan hormat kepada ketujuh
pengawal itu, yang tidak lagi menghiraukan keselamatan diri mereka dalam melakukan
kewajiban.
Sejenak kemudian Mahesa Jenar merasa tak sampai hati melihat keadaan yang demikian,
maka segera ia melompat dan masuk ke dalam arena pertempuran. Tetapi sampai sedemikian
jauh ia sama sekali tidak merasa perlu memperlihatkan kepandaiannya. Ia berkelahi dengan
cara yang nampaknya sama sekali tak teratur dan sekaligus untuk mengetahui sampai dimana
keperkasaan lawannya.
Pemuda tampan itu, ketika melihat Mahesa Jenar masuk ke dalam kancah perkelahian,
terpaksa menghentikan hitungannya dan berkata kepada Mahesa Jenar, “Hai orang tolol, kau
jangan bermain-main di situ. Menyingkirlah.”
Mahesa Jenar pura-pura tak mendengar seruan itu. Dengan gerak yang bodoh ia menyerang
terus bersama-sama ketujuh orang pengawal itu. Beberapa saat kemudian, kembali pemuda itu
mengulangi seruannya, tetapi juga kali ini Mahesa Jenar tidak mempedulikannya. Ia berkelahi
dengan gerak sekenanya saja. Bahkan ia menyerang pemuda itu dengan segenggam tanah
yang dilemparkan ke mukanya, karena ia memang tidak bersenjata.
Akhirnya pemuda itu menjadi gusar. “Bagus, kalau kau tak mau berhenti, aku akan
melanjutkan hitunganku, lalu sesudah itu kalian akan mampus semua. Dan gadis itu akan aku
bawa pulang tanpa seorang pun dapat menghalangi,” kata pemuda itu.
Mendengar teriakan pemuda tampan itu, gadis cantik yang menjadi sasarannya menjerit ngeri,
tetapi suaranya hilang ditelan oleh kelebatan rimba.

047
AKHIRNYA si pemuda sampai juga pada hitungan yang ke 10. Sesudah itu ternyata ia benarbenar akan melakukan apa yang dikatakan. Secepat kilat ia maju menggempur lawannya.
Tongkatnya berputaran cepat bukan main, seolah-olah berubah menjadi segulung awan hitam
yang menakutkan.
Mahesa Jenar melihat gelagat ini, tetapi ia masih saja bertempur tanpa aturan.
Pertempuran itu segera berubah menjadi semakin cepat dan dahsyat. Tongkat hitam itu
melayang menyambar-nyambar tak henti-hentinya. Tetapi sampai sekian lama tak seorangpun
yang dapat dikenainya. Si pemuda sendiri kemudian menjadi heran, kenapa tongkatnya tak
menyelesaikan pertempuran sebelum fajar. Menilik kepandaian ketujuh orang yang
mengeroyoknya, ia sudah dapat memastikan bahwa sedikitnya empat diantaranya harus sudah
binasa, apalagi si perantau tolol itu.
Tetapi karena sampai sedemikian jauh ia masih belum mampu menjatuhkan seorang pun,
Mahesa Jenar, yang dalam mata si pemuda merupakan orang tolol yang berani, sangat
mengganggu perkelahian itu. Sekali waktu ketika tongkatnya melayang ke arah tengkuk salah
seorang lawannya, tiba-tiba perantau tolol itu melemparkan pasir ke arah mukanya, sehingga
ia terpaksa memejamkan matanya. Dengan demikian maka calon korbannya itu sempat
menghindarkan diri.
Pada saat lain, ketika hampir saja tongkatnya berhasil menyodok leher, si pemuda tolol itu
kakinya terantuk batu, sehingga jatuh tertelungkup menimpa lawan yang hampir binasa itu.
Dengan demikian mereka jatuh bergulingan. Dan juga kali ini tongkatnya tak menemukan
sasaran.
Si pemuda akhirnya marah kepada Mahesa Jenar. “Hai orang tolol. Jangan berbuat gila di sini.
Kalau kau tak mau lekas minggir, kaupun akan kubinasakan. Bahkan kaulah yang pertamatama akan mengalami nasib jelek,” teriaknya geram.
Mendengar seruan itu, sadarlah Mahesa Jenar bahwa pemuda itu sudah benar-benar marah.
Maka tidak sepantasnya lagi kalau ia bermain-main saja. Maka segera ia pun mempersiapkan
diri untuk menyambut setiap serangan yang benar-benar akan dilancarkan kepadanya.
Sementara itu, terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan mereka semua. Tidak saja para
pengawal dan mereka yang melakukan perjalanan, tetapi juga pemuda itu dan Mahesa Jenar.
Tiba-tiba dalam suasana keributan pertempuran, diantara kesepian rimba itu, menggetarlah
suara tertawa nyaring yang semakin lama terdengar semakin mengerikan.
Segera, semua yang mendengar suara itu mengenal, bahwa itulah suara maharaja yang
kekuasaannya terbentang meliputi seluruh hutan Mentaok dan bagian-bagiannya. Ia adalah
yang sangat ditakuti dengan namanya yang seram, Lawa Ijo.
Bahkan kali ini suara tertawa itu sedemikian mengerikan, seperti memenuhi seluruh rimba
dan mengepung mereka dari segala penjuru. Demikian hebatnya pengaruh suara tertawa itu,
seperti mengguncang-guncang dada. Sehingga arahnya pun tak dapat diketahui dari manakah
sumber suara itu. Beberapa orang menjadi bingung dan ketakutan, bahkan ada yang menjadi
lemas dan hampir pingsan. Tidak ketinggalan para pengawal pun segera nampak sangat

cemas. Sebab munculnya Lawa Ijo setelah beberapa lama lenyap itu, adalah sangat tiba-tiba
dan tak disangka-sangka.
Mahesa Jenar yang mempunyai telinga sangat tajam, dengan saksama memperhatikan suara
itu. Meskipun perlahan-lahan, akhirnya dapat diketahui dari manakah asalnya.
Tetapi rupanya pemuda tampan itu pun bukan orang biasa. Pendengarannya ternyata sangat
tajam. Untuk mengetahui arah suara itu, diangkatnya wajah. Meskipun tidak secepat Mahesa
Jenar, ia pun akhirnya dapat mengetahui sumber suara itu. Maka segera ia pun bersiaga
menghadap ke arah suara itu, sambil berteriak.
“Hai Lawa Ijo, kau jangan main gila di hadapanku. Ayo keluarlah dari sarangmu. Apakah
yang sebenarnya kau kehendaki dengan memperdengarkan suara tertawamu yang memuakkan
itu?”
Mendengar seruan pemuda itu, semua orang, termasuk Mahesa Jenar, menjadi bertanya-tanya
dalam hati. “Siapakah dia, yang telah berani menantang Lawa Ijo ini?”
Sementara itu suara tertawa Lawa Ijo pun semakin lama semakin surut, dan akhirnya mereka
dikejutkan oleh sebuah bayangan yang melayang turun dari dahan yang cukup tinggi. Tetapi
yang sama sekali tak diduga-duga, kecuali oleh Mahesa Jenar dan pemuda tampan itu,
ternyata Lawa Ijo bertengger di atas dahan yang hanya berjarak tidak lebih dari 20 depa
dengan mereka.
Samar-samar oleh cahaya api yang masih menyala, tampaklah bahwa Lawa Ijo pun
sebenarnya masih muda. Usianya tidak juga terpaut banyak dengan pemuda tampan itu
maupun dengan Mahesa Jenar. Tubuhnya kekar kuat, matanya hitam mengkilat memancarkan
sinar kekejaman dan kebengisan. Sedangkan di bawah hidungnya melekatlah kumis yang
lebat hitam melintang menyeramkan.
Meskipun pada saat itu Lawa Ijo tersenyum, tetapi senyumnya sama sekali tidak menambah
manis wajahnya, bahkan beberapa orang yang melihatnya menjadi gemetar ketakutan, seakanakan melihat senyuman malaikat pencabut nyawa yang berhasil melakukan tugasnya dengan
baik.
048
PERLAHAN-LAHAN, setapak demi setapak, Lawa Ijo berjalan mendekati pemuda tampan
itu. Di pinggangnya membelit kain berwarna putih dengan lukisan hijau di atasnya. Pastilah
itu gambar yang menyeramkan. Kelelawar dengan kepala serigala. Sedangkan di tangan
kanannya tergenggam sebilah pisau belati panjang.
Ternyata pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar. Meskipun demikian ia tidak mau
merendahkan Lawa Ijo. Tangannya segera memutar tongkat hitamnya, dan tiba-tiba dari
dalamnya ia mencabut sebilah pedang kecil yang lentur.
Melihat hal itu Lawa Ijo tertawa, tetapi kali ini tertawanya pendek. Lalu ia berkata, “Ular Laut
gila, kau jangan main gagah-gagahan di daerah ini.”
Mendengar kata-kata Lawa Ijo, sekali lagi Mahesa Jenar terkejut. “Inilah agaknya yang
disebut Samparan dengan panggilan Ular Laut yang memiliki wajah tampan dan bernama

Jaka Soka. Karena itulah maka dengan enaknya ia dapat melawan tujuh orang, bahkan lebih
dari itu. Dan dengan beraninya pula ia menantang Lawa Ijo,” pikir Mahesa Jenar.
Mendengar ucapan Lawa Ijo, Jaka Soka sama sekali tidak menjadi takut. Malahan kembali
bibirnya yang tipis itu menyungging senyum aneh.
“Daerah inikah yang kau maksud?” jawab Jaka Soka.
“Jaka Soka, kau jangan mencari perkara. Kau tahu bahwa seluruh hutan Mentaok dan bagianbagiannya serta segala isinya adalah daerah wewenangku,” sambung Lawa Ijo.
“Hem... telah berapa bulan atau berapa tahun kau merendam diri di sarangmu? Dan tahu-tahu
sekarang masih mengatakan daerah ini daerah wewenangmu. Lawa Ijo, menurut pikiranku
daerah ini sekarang merupakan daerah tak bertuan,” gumam Jaka Soka.
“Kau jangan mengigau Soka. Aku belum pernah melepaskan hak yang pernah aku miliki.
Kalau beberapa waktu terakhir aku tidak pernah berbuat sesuatu, itu bukannya aku tak lagi
berwenang di daerah ini. Hanya saja, dalam waktu-waktu itu aku tak merasa perlu untuk
berbuat apa-apa. Anggapanmu bahwa daerah ini daerah tak bertuan itu sama sekali salah,
selama aku masih bernafas. Nah sekarang tinggalkan daerah ini,” perintah Lawa Ijo.
Jaka Soka sama sekali tak terpengaruh oleh kata-kata Lawa Ijo itu. Bahkan kemudian ia
tertawa kecil.
“Lawa Ijo, kau jangan berlagak seperti seorang yang paling berkuasa. Apa dasarmu kau
berani memerintah aku untuk meninggalkan daerah ini? Kau masih belum menunjukkan
bahwa kau memiliki sepasang pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Juga belum pasti
bahwa kau akan berhasil memenangkan semua pertandingan yang akan kami selenggarakan
akhir tahun ini. Jadi pada saat ini kau dan aku masih belum mempunyai sangkut paut apapun,”
jawab Jaka Soka.
Lawa Ijo menarik alisnya yang tebal itu tinggi-tinggi sambil mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, “Lalu bagaimana seharusnya?”
“Seharusnya kau tak usah mengganggu aku. Tetapi kalau kau tetap tak menghendaki aku
melakukan perbuatan-perbuatan di daerah ini, seharusnya kau paksa aku pergi,” jawab Jaka
Soka.
Kembali Lawa Ijo tertawa pendek.
“Kau masih seperti masa-masa lampau. Setelah kau capai tingkatmu yang hampir sempurna
sekarang ini, seharusnya kau tak lagi banyak bernafsu untuk berkelahi. Dan apakah artinya
pertempuran diantara kita. Beberapa waktu yang lampau kita pernah berkelahi sampai
beberapa hari. Dan tidak seorangpun dari kita yang kalah. Kalau pada saat ini kami kembali
bertempur, menurut pendapatku hasilnya akan sama saja. Karena itu baiklah kita hormati
persetujuan yang pernah kita buat mengenai daerah kerja kita masing-masing,” kata Lawa Ijo.
Jaka Soka menjadi bimbang. Dahinya berkerut dan otaknya berputar cepat. Melihat Jaka Soka
ragu, Lawa Ijo menambahkan, “Atau kalau kau merasa tidak perlu lagi dengan persetujuan
itu, baiklah dihapus saja sama sekali. Aku tak keberatan kau melakukan kegiatan di wilayah

ini, tetapi kau jangan menyalahkan aku kalau aku akan melakukan kegiatan di Nusa
Kambangan dan di lautan. Sebab aku pun pernah menjadi bajak laut pada usia 14 tahun.”
Dahi Jaka Soka semakin berkerut. Dan akhirnya pecahlah tertawanya. “Memang, kau
penjahat tak tanggung-tanggung Lawa Ijo. Baiklah kalau demikian aku mengalah,” katanya.
“Tetapi....” Jaka Soka berhenti berbicara, tetapi matanya merayap kepada gadis cantik yang
duduk gemetar dan ketakutan.
Lawa Ijo pun mengerti maksud Jaka Soka. Sahutnya sambil tersenyum, “Soka, kemana kau
pergi, selalu kau bawa pulang gadis-gadis. Apakah sarangmu masih belum penuh?”
Jaka Soka tertawa lirih, jawabnya, “Alangkah bodohnya kau. Nusa Kambangan cukup luas
untuk menampung semua gadis dari pulau Jawa ini. Dan atas gadis ini kau tidak keberatan?”
Mendengar percakapan mereka, gadis itu menjadi semakin ketakutan. Tubuhnya menggigil
dan keringat dingin telah membasahi tubuhnya. Sekarang di hadapan kedua penjahat terkenal
itu, rombongan yang berjumlah 10 orang dengan mereka yang telah tersadar dari pingsannya
pun tidak mungkin dapat menghalangi maksud Ular Laut yang gila itu. Meskipun orang-orang
lain juga merasa ketakutan dan ngeri, tetapi sebesar-besarnya mereka hanya harus
menyerahkan barang-barang mereka. Tetapi gadis itu harus menyerahkan dirinya.
Satu-satunya harapan baginya adalah kalau Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, melarang Jaka
Soka berbuat sesuatu di daerah ini. Sebab Lawa Ijo sendiri, menurut berita yang tersiar, tak
pernah menculik atau menghendaki seorang gadis.
Tetapi alangkah kecewanya gadis itu, bahkan hampir saja ia jatuh pingsan ketika didengarnya
Lawa Ijo berkata sambil tertawa pendek, “Jaka Soka, sebenarnya aku sama sekali tak
mengubah pendirianku. Tetapi sebagai seorang sahabat, baiklah aku hadiahkan gadis itu
kepadamu. Aku sama sekali tak berkepentingan dengannya, sebab aku mempunyai
kepentingan lain.”
Mendengar jawaban Lawa Ijo, Jaka Soka menjadi gembira sekali. “Lawa Ijo, memang hanya
itulah yang sebenarnya aku kehendaki dari rombongan ini. Hanya barangkali kau anggap aku
bersalah, bahwa aku tidak minta izinmu dahulu. Nah, sekarang kau telah mengizinkan,”
katanya.
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa. “Terserahlah kepadamu, Soka,” katanya.
Mendengar keputusan Lawa Ijo, gadis itu semakin putus asa. Tak ada lagi harapan baginya
untuk melepaskan diri dari tangan penjahat itu.
049
MAHESA JENAR selalu memperhatikan perkembangan keadaan dengan cermat. Ia
dihadapkan pada satu persoalan yang juga cukup rumit. Di sini, tanpa diduga-duga ia telah
bertemu dengan Lawa Ijo yang sengaja akan dicarinya. Tetapi di sini juga, ada seorang yang
dapat mengganggu pertemuan itu. Yaitu Jaka Soka yang ternyata mempunyai kekuatan
seimbang dengan Lawa Ijo.
Kalau pada saat itu Mahesa Jenar membuat perhitungan dengan Lawa Ijo, ia sendiri belum
tahu pasti siapakah yang akan menang. Apalagi kalau kemudian Jaka Soka ikut campur, maka

masalahnya akan merugikan. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, melawan dua orang adalah
pekerjaan yang berat sekali, bahkan mungkin diluar kuasanya.
Tetapi diluar itu ia menghadapi soal baru. Jaka Soka menghendaki untuk membawa gadis itu
pulang ke Nusa Kambangan. Apakah hal yang demikian dan berlangsung di bawah hidungnya
akan dibiarkan saja? Andaikan ia bertindak, dalam hal ini pun ada kemungkinan ia terlibat
dalam pertempuran melawan kedua orang itu. Sebagai seorang prajurit pilihan, Mahesa Jenar
sama sekali tidak mengenal takut. Kalau ia sampai berpikir demikian, masalahnya adalah atas
dasar perhitungan cara dan bagaimana untuk mencapai maksudnya.
Selagi Mahesa Jenar sibuk berpikir, Jaka Soka dengan matanya yang redup dan senyum aneh
yang menghiasi bibirnya yang tipis, telah mulai bergerak dan berjalan perlahan-lahan ke arah
gadis cantik itu. Sementara itu Lawa Ijo berteriak bergurau, “Jaka Soka, sebenarnya aku iri
hati melihat ketampanan wajahmu. Tetapi kau rupanya adalah seorang tampan yang sial.
Sebab gadis-gadis yang kau kehendaki menjadi pingsan kegirangan, karena akan mendapat
pasangan yang setampan kau ini.”
Jaka Soka sama sekali tak mendengar perkataan Lawa Ijo itu. Ia sedang kegirangan akan
mendapat gadis yang demikian cantiknya, melebihi semua gadis yang pernah dilihatnya.
Tetapi terjadilah suatu hal diluar perhitungannya. Dalam keputus-asaan, gadis itu
memutuskan untuk lebih baik membunuh dirinya. Ia sama sekali tidak mau dinodai
kehormatannya oleh iblis-iblis yang demikian itu. Maka secepat kilat ia mengambil keris dari
dalam bungkusan yang dibawanya, dan segera ia menarik keris itu dari warangkanya.
Jaka Soka sama sekali tidak mengira bahwa hal yang demikian akan terjadi. Karena itu ia
terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ia masih belum tahu, maksud yang sebenarnya gadis
itu menarik keris. Karena itu ia harus berhati-hati. Tetapi tiba-tiba saja ia melihat keris itu
melayang menuju kearah dada gadis itu sendiri.
Jaka Soka tersadar. Karena itu harus dicegahnya. Tetapi sayang jaraknya masih terlalu jauh.
Sehingga terloncatlah teriakan dari mulutnya yang berbibir tipis itu dengan noda yang cemas.
Cemas akan kehilangan gadis itu. “Jangan .... Jangan lakukan itu.”
Tetapi teriakannya itu menggetar tanpa sesuatu pengaruh apapun atas gadis yang sudah
bertekad untuk mati daripada jatuh di tangan bajak laut yang berwajah tampan itu.
Tiba-tiba tampaklah sebuah bayangan melontar dengan cepatnya menyambar pergelangan
tangan gadis itu, sehingga keris yang digenggamnya tidak sampai menembus dadanya. Gadis
itu terkejut bukan kepalang. Demikian juga semua yang menyaksikan. Bahkan Jaka Soka dan
Lawa Ijopun menjadi terkejut dan heran melihat orang dapat bergerak demikian cepatnya.
Itulah Mahesa Jenar yang telah mencoba untuk menyelamatkan jiwa gadis cantik itu. Dan
sekaligus keris itupun telah berpindah ketangannya pula. Tetapi belum lagi debar jantung
mereka berhenti, kembali mereka terkejut, terutama Mahesa Jenar sendiri, Jaka Soka dan
Lawa Ijo, ketika mereka melihat keris yang sekarang sudah berada di tangannya.
“Kiai Sigar Penjalin,” desis mereka hampir bersamaan.

Itulah nama keris yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Keris yang berbentuk lurus. Satu sisinya
melengkung hampir setengah lingkaran, sedangkan sisi yang lain datar seperti kebiasaan
keris. Mirip seperti batang penjalin yang dibelah dua dan diruncingkan ujungnya. Yang
mengejutkan mereka adalah, keris itu terkenal sebagai pusaka seorang sakti yang mempunyai
nama sejajar dengan Pasingsingan. Yaitu Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak Wanasaba.
Demikian terkejutnya Mahesa Jenar sampai tangannya yang memegang keris itu gemetar.
Maka setelah agak reda sedikit dan nafasnya mulai teratur, Mahesa Jenar berdiri dengan
teguhnya memandang tajam kepada Jaka Soka. “Apakah yang kau kehendaki dari gadis ini?”
tanya Mahesa Jenar.
Getar hati Jaka Soka sementara itu telah turun. Tetapi sekarang otaknya dihinggapi oleh suatu
pertanyaan. Perantau tolol itu, kenapa tiba-tiba saja dapat berbuat sedemikian cepatnya,
sehingga jiwa gadis cantik itu tertolong. Selain itu, gadis itu ternyata memiliki keris Kiai
Sigar Penjalin. Apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pandan Alas?
Jaka Soka berpaling kepada Lawa Ijo untuk mendapat pertimbangan. Ternyata Lawa Ijo pun
pada saat itu sedang berpikir keras. Ia memandang keris Sigar Penjalin yang berada di tangan
Mahesa Jenar itu tanpa berkedip. Baru setelah beberapa saat kemudian ia berkata,
“Jaka Soka, menurut pendapatku sebaiknya kita tidak membuka suatu persoalan dengan Ki
Ageng Pandan Alas. Sebab dengan membawa keris Sigar Penjalin, gadis itu mempunyai
hubungan dengan Ki Ageng Pandan Alas.”
Jaka Soka dalam hati kecilnya membenarkan juga keterangan Lawa Ijo itu. Sebab ia pun tahu
bahwa Ki Ageng Pandan Alas termasuk orang yang aneh. Ia selalu berada di mana saja
merantau dari satu tempat ketempat lain.
Namun demikian, ia sayang juga melepaskan gadis cantik yang sudah sekian lama diikutinya.
Sebab dalam pengamatannya, belum pernah ia menemukan gadis secantik itu. Kalau kali ini
ia tak berhasil membawanya pulang, maka seumur hidupnya belum tentu ia akan
menjumpainya lagi.
Sebaliknya, gadis cantik itu sama sekali tidak menduga bahwa keris yang dibawanya
mempunyai pengaruh yang sedemikian hebatnya. Ia sendiri belum pernah mendengar nama
Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak. Keris yang dibawanya adalah keris peninggalan ibunya
pada saat ibunya menghembuskan nafas terakhir.
050
MENURUT ibunya, keris itu adalah keris kakeknya, seorang petani miskin yang pada saat itu
sedang merantau mencari daerah baru yang lebih subur, yang barangkali dapat dipakai
sebagai tempat tinggal yang baru. Dan menurut ibunya, kakeknya sekarang berada di desa
Pliridan. Daerah antara hutan Tambak Baya dan Beringan, bagian dari hutan Mentaok. Suatu
daerah yang baru dibuka oleh beberapa orang, yang nampaknya subur untuk daerah pertanian.
“Lawa Ijo,” kata Jaka Soka kemudian setelah berpikir sejenak. “Memang aku sebenarnya
segan terhadap orang tua itu. Tetapi menurut pikiranmu apakah ia mengetahui bahwa gadis itu
aku bawa pulang ke Nusa Kambangan?”

“Soka,” jawab Lawa Ijo, “Pandan Alas itu tidak ubahnya seperti hantu yang berada di mana
saja, pada saat apa saja. Ia seolah-olah memiliki seribu mata dan seribu telinga yang
bertebaran di seluruh tanah ini.”
“Tetapi ternyata sekarang ia tak ada di tempat ini,” potong Jaka Soka
“Kau jangan berkeras membawa gadis itu, Soka. Meskipun seandainya Pandan Alas pada saat
ini tidak melihat dan mengetahui, tetapi perbuatan itu kau lakukan di hadapan saksi-saksi
yang pada suatu ketika pasti akan terdengar pula oleh hantu yang bertelinga seribu itu. Kalau
sudah demikian halnya, kau tidak akan dapat lagi hidup tenteram dan berlindung di mana pun
di dunia ini.”
Jaka Soka terdiam. Tampak alisnya berkerut-kerut. Tiba-tiba terdengarlah ia menjawab
dengan jawaban yang sama sekali tidak terduga-duga. Semua yang mendengar menjadi
terkejut, seperti tanah tempat mereka berpijak itu runtuh.
“Lawa Ijo, kau benar. Memang aku seharusnya tidak berbuat itu di hadapan saksi-saksi.
Karena itu maka akan aku bunuh semua orang yang menyaksikan peristiwa ini, kecuali kau,”
kata Jaka Soka dengan suara mantap.
Baru mendengar kata-kata itu, dan belum lagi Jaka Soka berbuat sesuatu, orang-orang yang
mendengarnya seolah-olah telah terbang nyawanya. Lawa Ijo yang matanya memancarkan
sinar kebuasan dan kebengisan itu pun terkejut mendengar keputusan Jaka Soka untuk
membunuh sekian banyak orang itu.
“Jaka Soka, sebaiknya kau pikir masak-masak apa yang akan kau lakukan itu. Apalagi hal itu
terjadi di daerah kuasaku,” kata Lawa Ijo memperingatkan.
“Lawa Ijo, kau tidak akan tersangkut dalam perkara ini. Dan percayalah, bahwa apabila tak
seorang pun yang hidup diantara orang-orang ini, maka bagaimanapun tajamnya telinga
Pandan Alas, ia tak mungkin dapat mendengarnya,” jawab Jaka Soka.
Dahi Lawa Ijo tampak berkerut. Rupanya ia berpikir keras. Tetapi bagaimanapun, ia tetap
tidak dapat mengerti jalan pikiran Jaka Soka. Mengorbankan sekian banyak orang hanya
untuk mendapatkan seorang gadis. Seandainya taruhan itu untuk memperebutkan sebuah
pusaka atau harta benda yang tak ternilai, agaknya Lawa Ijo masih dapat mengerti.
Mereka yang mendengarkan percakapan itu, hatinya diliputi oleh suasana ketegangan yang
hebat. Mereka mengharap Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, tak mengizinkan Jaka Soka
berbuat demikian kejamnya hanya untuk memanjakan nafsunya. Mereka rela andaikata
kemudian Lawa Ijo merampas segala harta benda mereka, asal nyawa mereka diselamatkan.
Bahkan ada diantaranya yang mulai menyesali gadis cantik itu. Karena gadis itulah maka
nyawa mereka terancam.
Sampai beberapa saat Lawa Ijo tidak berkata-kata. Ia menjadi bimbang. Sebenarnya lebih
baik baginya untuk tidak menambah lawan. Apalagi seorang sakti seperti Ki Ageng Pandan
Alas.
Tetapi untuk menolak permintaan Jaka Soka pun akan mempunyai akibat yang tak
menyenangkan. Sebab ia tahu betul tabiat kawannya ini. Semua kehendaknya harus dapat

terlaksana. Apalagi kalau ia sedang tergila-gila kepada seorang gadis. Bagaimanapun
kejamnya Lawa Ijo, namun tak akan terlintas dalam pikirannya untuk berbuat demikian,
hanya untuk seorang gadis. Sebab ia sama sekali memang tidak pernah tertarik kepada gadis
seperti itu. Baginya, gadis-gadis demikian hanyalah akan mempersulit diri saja.
“Lawa Ijo, seharusnya kau tak usah takut kepada Pandan Alas. Sebab Paman Pasingsingan
tentu tidak akan tinggal diam andaikata Pandan Alas salah duga terhadapmu mengenai
masalah ini,” sambung Jaka Soka ketika Lawa Ijo lama tak menjawab.
Mendengar desakan terakhir ini, Lawa Ijo tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
bagi mereka yang menyaksikan, anggukan kepala Lawa Ijo itu bagaikan melihat jatuhnya palu
keputusan hukuman mati bagi mereka semua.
Maka terjadilah kegemparan diantara mereka. Beberapa orang telah menangis merintih-rintih
minta diampuni dan diselamatkan jiwanya. Mereka bersumpah untuk tidak membuka mulut
tentang peristiwa ini kepada siapa pun. Beberapa orang lagi jatuh pingsan, dan yang lain
menggigil ketakutan.
Dalam keadaan yang demikian, terasalah kesetiakawanan mereka hancur lumat demi
keselamatan masing-masing. Bahkan ada diantara mereka yang sampai hati terang-terangan
mengumpati gadis yang sama sekali tak bersalah itu.
tidak benar-benar berhasrat untuk mengalahkan Wirasaba.
051
DALAM keributan itu, tiba-tiba gadis cantik itu berdiri tegak. Kepalanya terangkat dan
dadanya menengadah. Lenyaplah kesan-kesan ketakutan dan kecemasan yang membayang di
wajahnya. Dari mulutnya yang mungil itu terdengarlah suaranya yang gemetar.
“Saudara-saudara seperjalanan... aku minta maaf kalau kehadiranku diantara saudara-saudara
menyebabkan saudara-saudara menemui kesulitan. Tetapi ketahuilah bahwa orang ini tidak
akan berguna membunuh saudara-saudara sekalian, sebab aku telah memutuskan untuk bunuh
diri.”
Kemudian gadis itu berpaling kepada Mahesa Jenar. Lalu katanya, “Ki Sanak, aku berterima
kasih kepadamu, atas usahamu menyelamatkan jiwaku. Tetapi adalah lebih berharga jiwa dari
sekian banyak orang termasuk ki sanak sendiri, daripada aku seorang. Karena itu berikanlah
keris itu kembali kepadaku.”
Sudah tentu Mahesa Jenar tidak dapat berpangku tangan menyaksikan semua itu terjadi. Ia
telah berjanji kepada dirinya sendiri, mengabdikan diri bagi kedamaian hati rakyat dan
kemanusiaan. Sebab dengan demikian ia telah mengabdikan dirinya pula kepada tanah
tumpah darah dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mahesa Jenar sangat terharu mendengar ucapan gadis yang menyediakan diri sebagai tumbal
keselamatan sekian banyak orang. Tetapi belum lagi ia sempat menjawab, terdengar suara
Jaka Soka.
“Perantau tolol. Jangan kau serahkan kepadanya, supaya aku selamatkan jiwamu. Berikan saja
keris itu kepadaku.”

Tetapi Mahesa Jenar sudah mendapat suatu ketetapan. Apalagi ketika ia mendengar bahwa
Jaka Soka akan membunuh semua orang yang ada, hanya untuk merampas seorang gadis.
Sedangkan gadis itu sendiri sama sekali tidak menghendakinya.
Karena itu, dengan sikap seekor banteng, Mahesa Jenar melangkah, lalu berdiri diantara gadis
yang pucat itu. Wajahnya memancarkan kebulatan tekadnya, apapun yang akan dihadapi.
Meskipun ia harus melawan Jaka Soka dan Lawa Ijo sekaligus. Dengan tenangnya pula ia
menjawab kata-kata Jaka Soka.
“Jaka Soka yang dikenal sebagai seorang Bajak Laut yang menakutkan. Buat apa aku
mengharap kau membebaskan jiwaku. Kalau aku terpaksa berkubur di tengah-tengah hutan
Tambak Baya ini. Karena aku membela kebenaran, aku sama sekali tidak akan menyesal.
Karena itu selagi aku masih bernafas, kau tak akan dapat menyentuh gadis yang belum aku
kenal sebelumnya ini.”
Jawaban Mahesa Jenar ini hebat akibatnya. Muka Jaka Soka segera berubah menjadi merah
membara, dibakar oleh kemarahannya. Kalau tadi ia melihat orang itu dapat bergerak begitu
cepat, baginya bukanlah ukuran bahwa orang itu cukup berharga untuk dilawannya. Apalagi
sebelum itu, perantau tolol itu telah melawannya bersama-sama dengan ketujuh orang
pengawal, dan sama sekali tak menunjukkan keistimewaan apa-apa. Meskipun demikian,
dalam hati Jaka Soka mengakui, bahwa orang itu benar-benar orang tolol yang berani.
Selain itu, kata-kata Mahesa Jenar ternyata mempunyai akibat yang mengejutkan pula
terhadap para pengawal. Dengan tak terduga sama sekali, pemimpin pengawal yang telah
agak lanjut usia itu tiba-tiba meloncat ke samping Mahesa Jenar. Dengan penuh tanggung
jawab ia berkata, “Jaka Soka, akupun pernah mendengar kebesaran namamu. Dan sekarang
aku sempat menyaksikan pula. Bahkan sekaligus aku dapat mengetahui betapa biadabnya
Bajak Laut dari Nusa Kambangan ini. Karena itu, bagaimana aku berani berlagak di
hadapanmu. Tetapi karena kali ini aku sedang dibebani oleh suatu tanggung jawab, maka
bersama-sama perantau yang belum aku kenal ini, aku bersedia menjadi banten. Apa artinya
sisa umurku yang tinggal beberapa tahun lagi, kalau dilumuri oleh suatu pengkhianatan akan
tugas yang dibebankan di pundakku.”
“Cukup!” potong Jaka Soka. Tetapi suaranya terputus sampai sekian, karena getaran
kemarahannya. Wajahnya menjadi semakin merah. Giginya gemeretak, sedangkan matanya
seolah-olah memancarkan api, seperti perapian yang masih menyala-nyala. Apalagi ketika
dilihatnya kesembilan pengawal yang lain pun tiba-tiba serentak berdiri dengan teguhnya
menggenggam senjata masing-masing demikian eratnya. Seakan-akan teguhnya ingin
mengatakan, bahwa gugurlah mereka dalam tugasnya dengan senjata di tangan.
Tetapi kembali terjadi hal yang sama sekali tak diduga-duga. Orang yang dianggapnya
sebagai perantau tolol yang menumpang berjalan, bahkan ada diantara mereka yang
memberikan beban dengan menyanggupinya untuk memberi upah sekedarnya itu, berkata
dengan lantangnya kepada pemimpin pengawal itu.
“Bapak ..., Bapak telah lanjut usia. Apalagi orang yang dilawan bukan sembarang orang.
Karena itu minggirlah. Biarlah aku yang berumur sebaya melawannya, untuk mewakili
mereka yang berhati kecil, sekecil hati kelinci, sehingga kehilangan rasa kesetiakawanan
mereka. Bahkan ada yang sampai hati menyalahkan gadis ini pula. Tetapi karena aku tidak

sepantasnya mempergunakan keris Sigar Penjalin milik seorang sakti ini, baiklah keris ini aku
titipkan kepadamu. Janganlah gadis ini diberi kesempatan untuk bunuh diri sebelum kita
semua binasa.”
Karena pengaruh perbawa kata-kata Mahesa Jenar itu, maka orang tua itu seolah-olah diluar
sadarnya menerima keris Sigar Penjalin. Sementara itu Lawa Ijo rupanya benar-benar tak mau
terlibat dalam persoalan ini. Karena itu ia bersikap sebagai seorang penonton saja, yang
kemudian malahan perlahan-lahan duduk pada sebuah akar pohon.
Sedang Jaka Soka kini telah sampai pada puncak kemarahannya. Meskipun demikian ia masih
ingat pada harga dirinya. Segera pedang kecilnya disarungkan ke dalam tongkat hitam manis,
dan melemparkan tongkat itu kepada Lawa Ijo.
“Lawa Ijo, tolong bawakan tongkatku ini,” kata Jaka Soka dengan nada geram. Lalu katanya
kepada Mahesa Jenar, “Setan. Kau berani meremehkan aku. Aku harap kau maju bersamasama, supaya cepat selesai pekerjaanku. Membunuh kalian. Semua. Tak seorang pun akan aku
sisakan.”
052
SEGERA sesudah itu Jaka Soka bersiap untuk menghancur-lumatkan orang yang telah berani
menghinanya. Sementara itu Mahesa Jenar pun telah bersiap pula. Sebab ia tahu benar bahwa
lawannya itu adalah orang yang mendapat sebutan Ular Laut yang Ganas dari Nusa
Kambangan.
Mereka yang menyaksikan adegan itu, hatinya berdegub, dipenuhi oleh bermacam-macam
persoalan. Meskipun ada juga yang merasa tersentuh oleh sindiran Mahesa Jenar, bahwa tak
seorang pun diantara mereka yang berani membela gadis yang sedang dalam kesulitan itu.
Bahkan ada pula yang mengumpatinya, kecuali para pengawal yang merasa memikul
tanggung jawab.
Tetapi tak seorang pun dari mereka yang menaruh setitik harapan kepada perantau yang tolol
meskipun berani itu. Bahkan ada yang menganggap kelakuan Mahesa Jenar itu hanya akan
menambah kemarahan Jaka Soka, sehingga akan mempercepat kematian mereka tanpa
pertimbangan lagi.
Gadis cantik itu sendiri memandang Mahesa Jenar sebagai orang yang aneh. Setelah
menyaksikan Mahesa Jenar bersama-sama dengan para pengawal tak dapat memenangkan
perkelahian melawan pemuda tampan yang ternyata bernama Jaka Soka itu, tiba-tiba sekarang
ia, si perantau itu, ingin melawannya seorang diri.
Disamping perasaan itu, timbul pula suatu perasaan lain yang asing dalam diri gadis itu. Suatu
perasaan dimana ia ingin mendapatkan perlindungan dari orang yang aneh itu lebih daripada
yang lain-lain, juga lebih daripada para pengawal itu sendiri, meskipun ia tidak tahu apakah
orang itu akan dapat melakukannya. Sesaat kemudian, kembali terdengar Jaka Soka
menggeram hebat.
“Sebenarnya sayanglah tanganku ini dikotori oleh darah kelinci seperti tampangmu itu. Tetapi
karena kau adalah kelinci yang paling tak tahu diri, maka terpaksa aku ingin menguliti
tubuhmu.”

Kata-kata itu benar-benar menyeramkan. Tetapi lebih-lebih lagi ketika orang-orang itu
melihat tangan Ular Laut itu menjulur dengan dahsyatnya ke arah tulang-tulang iga Mahesa
Jenar. Rupanya Jaka Soka yang seakan sedang gila dibakar oleh kemarahannya itu, ingin
membunuh lawannya dengan pukulan yang pertama.
Mereka yang menyaksikan gerak Jaka Soka itu tersirat darahnya. Beberapa orang
memejamkan matanya, sebab menurut dugaan mereka tulang-tulang iga perantau tolol itu
segera akan rontok seluruhnya. Bahkan beberapa orang segera memegangi dada masingmasing, se-olah-olah tulang iga merekalah yang akan lepas berderai-derai.
Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar telah benar-benar siap dan waspada. Sebab ia
tahu bahwa lawannya bukanlah lawan biasa, tetapi ia adalah seorang pemuda yang
mempunyai nama di kalangan aliran hitam.
Meskipun demikian ia kagum juga melihat kegesitan Ular Laut itu. Melihat serangan yang
datang dengan dahsyatnya, segera Mahesa Jenar dengan cepatnya pula mengelak ke samping.
Seterusnya ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Karena itu, ketika ia berhasil
membebaskan diri dari serangan pertama Jaka Soka, segera ia membuka serangan pula.
Sebuah serangan dengan kakinya menyambar perut lawannya.
Tetapi Jaka Soka bukan anak kemarin sore. Ketika ia merasa bahwa serangannya yang
pertama gagal, segera ia mengubah sikapnya dan dengan satu gerakan melingkar ia berhasil
mengelakkan serangan Mahesa Jenar.
Sebaliknya Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang berpengalaman. Melihat lawannya
menghindar, cepat-cepat ia memotong arah dan tahu-tahu ia sudah berada di muka Jaka Soka
kembali, sekaligus menyerang dengan tangkasnya ke arah leher lawannya. Jaka Soka menjadi
terperanjat bukan buatan. Apalagi sebelumnya ia memandang orang itu sebagai seorang yang
tak berarti meskipun mempunyai cukup keberanian. Dengan demikian kewaspadaannya jadi
berkurang.
Karena itu, ketika dengan tak diduganya sama sekali lawannya itu dapat bergerak dengan
lincahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri. Mau tidak mau ia harus melawan serangan itu
dengan sebuah pertahanan yang rapat, kalau ia tidak mau binasa.
Karena itu terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Mahesa Jenar telah mempergunakan
sebagian besar tenaganya, sedangkan Jaka Soka pun telah mengerahkan kekuatannya pula.
Akibatnya adalah hebat sekali. Tubuh Mahesa Jenar bergetar hebat dan ia terdorong surut
kebelakang. Jaka Soka pun terlempar beberapa depa, dan kemudian meski sudah berusaha, ia
tak berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya. Sehingga ia jatuh beberapa kali berguling,
barulah ia berhasil meloncat tegak kembali.
Mengalami hal ini, dada Jaka Soka serasa akan pecah. Darahnya mendidih dan menggelagak
sampai kepala. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa lawannya, yang dalam pandangannya
semula tidaklah lebih dari seekor kelinci yang tidak tahu diri itu, ternyata memiliki tenaga
yang demikian dahsyatnya. Karena itu, matanya menjadi semakin menyala.
Tahulah Jaka Soka sekarang, kenapa tadi ia sama sekali tidak berhasil membunuh seorang
pun dari para pengawal yang mengeroyoknya. Rupanya orang ini tidak saja kebetulan
menubruk kawan-kawannya, melemparnya dengan pasir pada saat tepat tongkatnya hampir
menyambar korban, kemudian jatuh bergulingan menimpa beberapa orang yang dadanya

hampir rontok oleh tongkatnya. Hal itu pastilah disengaja untuk menyelamatkan para
pengawal itu. Sebab ternyata bahwa orang itu mempunyai kepandaian yang luar biasa.
Mahesa Jenar sendiri terkejut pula mengalami benturan itu. Ternyata tenaga Jaka Soka pun
dahsyat, sehingga ia tergetar surut. Dalam hal ini Mahesa Jenar sadar, bahwa Jaka Soka
terlalu menganggapnya tak berarti, sehingga apabila Jaka Soka sungguh-sungguh
menggempurnya dengan segenap kekuatan dan ilmunya, maka keadaannya pasti akan lain.
Bahkan mungkin keadaannya akan berimbang.
Sesaat kemudian, baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar telah mempersiapkan diri kembali
untuk memulai perkelahian. Mereka berdua sadar, bahwa kekuatan mereka tidak terpaut
banyak. Maka kunci kemenangan dari pertempuran ini terletak dalam kepandaian serta
keprigelan mereka membawakan diri dalam keadaan-keadaan yang genting.
053
SEBENTAR kemudian perkelahian itu segera mulai kembali dengan sengitnya. Cara
berkelahi Jaka Soka itu benar-benar seperti ular. Melingkar, melilit lawannya dan mematuk
dengan jari-jarinya demikian dahsyatnya. Geraknya cepat dan licin tak terduga-duga.
Sedangkan Mahesa Jenar bersikap lebih tenang. Ia bertempur seperti seekor banteng yang
teguh, kokoh dan tangguh. Ia tidak begitu banyak bergerak, tetapi demikian tubuhnya
berkisar, menyambarlah udara maut ber-putar-putar.
Perkelahian itu berlangsung demikian dahsyatnya. Mereka bergerak sambar menyambar
diantara pepohonan hutan, sehingga terdengarlah suara berderak batang-batang patah kena
sambaran tangan mereka yang keras bagaikan besi.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu telah berlari-lari berpencaran. Sedang dalam otak
mereka berkecamuk seribu satu pertanyaan mengenai diri perantau aneh itu. Setelah mereka
menyaksikan betapa hebat tenaganya, serta betapa dahsyat caranya bertempur, mereka
menjadi kebingungan.
Adanya Jaka Soka diantara mereka, serta munculnya Lawa Ijo dengan tiba-tiba itu saja, telah
cukup memeningkan kepala mereka. Apalagi keputusan Jaka Soka untuk membunuh mereka
semua, karena mereka menyaksikan perbuatannya, menculik seorang gadis. Dan sekarang,
tiba-tiba di hadapan mereka muncul seorang lagi, yang semula mereka anggap sama sekali tak
berarti, tetapi ternyata dapat mengimbangi ketangkasan Jaka Soka. Karena itu, pastilah akan
muncul pula sebuah nama diantara mereka yang akan mengejutkan pula.
Nama orang yang mereka sangka perantau tolol itu.
Di saat yang sedemikian tegangnya, dimana berputar-putar udara yang bernafaskan maut,
pecahlah fajar di ujung Timur. Cahayanya yang kuning kemerah-merahan melimpah ke
persada bumi yang dipenuhi oleh segala macam pertentangan. Pertentangan-pertentangan
yang mudah diselesaikan, pertentangan-pertentangan yang sulit diselesaikan, bahkan kadangkadang terdapat pertentangan-pertentangan yang tak mungkin dipecahkan.
Meskipun cahaya kemerahan itu masih begitu lemah untuk dapat menerangi pedalaman hutan
yang lebat, tetapi berkas-berkas cahayanya yang menerobos dedaunan, sedikit banyak telah
dapat pula menyibak gelapnya malam, dan mengurangi kepekatan rimba, menggantikan

cahaya perapian yang telah terlalu lama padam. Maka makin lama semakin tampak jelaslah
dua bayangan yang sedang mati-matian mengadu tenaga itu.
Sementara itu Lawa Ijo telah mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Di dalam hati ia
memuji juga keuletan Jaka Soka yang pada akhir tahun ini akan bersama-sama mengadakan
semacam pertandingan dengan beberapa orang lainnya, termasuk dirinya.
Diam-diam ia merasa mendapat keuntungan dengan kejadian itu. Sebab dengan demikian ia
dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan Jaka Soka, yang pada akhir tahun ini pasti akan
menjadi salah seorang lawannya yang berat. Karena itu sejak pertempuran berkobar,
perhatiannya terikat kepada setiap gerak Jaka Soka.
Tetapi setelah pertempuran itu berlangsung agak lama, Lawa Ijo menangkap gerak-gerak
yang menarik perhatiannya dari lawan Jaka Soka. Maka segera perhatiannya beralih. Gerak
orang ini demikian tenang, kokoh dan tangguh. Pastilah ia bukan orang sembarangan. Sesaat
kemudian mendadak Lawa Ijo terkejut sekali sampai ia meloncat selangkah ke depan.
Matanya dengan tajamnya mengawasi setiap gerak Mahesa Jenar sampai matanya seolah-olah
mau meloncat dari kepalanya.
Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu pada gerak-gerak Mahesa Jenar. Gerakan-gerakan yang
pernah dilihatnya, bahkan pernah dialami kedahsyatannya. Maka dengan suatu gerakan yang
cepat sekali, secepat sambaran halilintar, ia meloncat maju ke tengah-tengah arena
pertempuran. Sementara itu dengan nyaringnya mulutnya berteriak, “Jaka Soka, minggirlah!”
Baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar serentak terkejut mendengar seruan itu. Apalagi ketika
mereka melihat bahwa Lawa Ijo telah meloncat ke tengah-tengah mereka. Maka sesaat
pertempuran itu terhenti, dan tanpa berjanji lebih dahulu, mereka bersama-sama meloncat
selangkah surut. Wajah Jaka Soka masih merah membara sebagai ungkapan kemarahan yang
menyala di dalam dadanya.
“Lawa Ijo, apalagi yang kau maui dariku sehingga kau hentikan perkelahian ini. Meskipun
aku tidak segera dapat membunuh orang yang sombong ini, tetapi aku sudah bertekad untuk
melayani sampai berapa hari pun, bahkan bertahun-tahun sampai salah seorang dari kami
hancur,” kata Jaka Soka.
“Kau benar Soka, tetapi sudah aku katakan, bahwa daerah ini adalah daerahku, sehingga
kaupun harus menurut angger-angger-ku,” sahut Lawa Ijo.
Jaka Soka memandang Lawa Ijo dengan mata yang menyalakan api kemarahan. “Apalagi
yang kau kehendaki dariku?” katanya.
“Aku tak menghendaki apa-apa lagi daripadamu, Soka, kecuali serahkan orang ini kepadaku,”
jawab Lawa Ijo.
Mata Jaka Soka bertambah berapi-api lagi.
“Lawa Ijo, apakah kau sudah memandang aku sedemikian rendahnya sehingga kau perlu
menolong aku?” kata Jaka Soka lagi.

054
LAWA IJO mendengus pendek. Sambil menggeleng ia berkata, “Sama sekali tidak, kawan.
Tetapi seperti yang kau katakan tadi, bahwa yang aku hadiahkan kepadamu hanyalah gadis itu
saja. Dan sekehendakmulah kalau yang lain-lain akan kau bunuh. Tetapi orang ini tidak.
Sebab aku sendirilah yang akan membereskannya.”
Mendengar ucapan Lawa Ijo itu, wajah Jaka Soka menjadi semakin menyala. Giginya
gemeretak dan tubuhnya menggigil menahan marah. Dengan suara gemuruh ia menjawab,
“Aku bukan perempuan yang perlu perlindungan laki-laki. Buat apa aku menerima hadiah
dari seekor kelelawar busuk seperti tampangmu itu? Lawa Ijo... jangan coba merendahkan
aku.”
Meskipun wajah Lawa Ijo nampaknya jauh lebih buas dari wajah Jaka Soka yang tampan itu,
namun ternyata kepala Lawa Ijo agak lebih dingin. Karena itu ia sama sekali tidak
menunjukkan kegusarannya mendengar kata-kata Jaka Soka itu. Bahkan ia masih menjawab
dengan tenang meskipun tampak pula kegarangannya.
“Jaka Soka, aku tidak peduli atas tanggapanmu terhadap permintaanku. Serahkan orang itu
kepadaku. Sebab aku mempunyai urusan yang lebih penting dari urusanmu. Urusanku
menyangkut nama baik dan harga diri perguruanku, sedang urusanmu hanyalah urusan
perempuan itu saja.”
Oleh keterangan Lawa Ijo yang terakhir itu, nyala kemarahan Jaka Soka menjadi surut.
Sedang pancaran matanya yang berapi-api itu pun segera redup dan membayangkan
keheranan. Tanyanya kemudian, “Kau katakan bahwa kau mempunyai urusan dengan orang
ini perkara perguruanmu?”
Lawa Ijo mengangguk.
Jaka Soka menjadi bertambah heran. Dan tanpa disengaja ia memandang Mahesa Jenar. Baru
sekarang ia memperhatikan lawannya itu dengan saksama. Tubuhnya tegap kekar. Dadanya
bidang. Meskipun ia berwajah lunak, tetapi pandangan matanya memancarkan kecermelangan
pribadinya.
“Pantas bahwa aku tak dapat menjatuhkannya. Siapakah orang ini?” pikir Jaka Soka.
Pertanyaan itu demikian saja meluncur dari mulut Jaka Soka.
Dan sekaligus semua telinga yang berada di sekitar arena itu segera memperhatikan. Sebab
pertanyaan yang demikian itu timbul pula di setiap hati orang menyaksikan pertempuran itu.
Bahkan diantara mereka telah timbul harapan baru, setelah mereka menyaksikan kridha orang
yang mereka anggap tidak lebih dari seorang perantau. Lebih-lebih sepasang suami-istri yang
telah merasa terlanjur menyuruh orang itu membawakan beban mereka.
Maka semua perhatian pada saat itu tertambat pada mulut Lawa Ijo yang akan menjawab
pertanyaan Jaka Soka.
Sementara itu terdengarlah Lawa Ijo tertawa pendek. Kemudian barulah ia menjawab, “Jaka
Soka... jangan kau terkejut kalau aku mengucapkan nama orang ini. Ia adalah orang yang

telah membunuh adik seperguruanku kemarin lusa. Watu Gunung. Dan yang tidak akan
pernah aku lupakan, orang ini pernah pula melukai bagian dalam dadaku.”
Berdebarlah setiap jantung mereka yang mendengar kata-kata ini. Pastilah orang ini bukan
orang sembarangan. Tidak terkecuali Jaka Soka. Sudah sejak lama ia mengenal Lawa Ijo. Dan
pernah pula ia berkelahi melawan orang ini. Tetapi tak pernah salah seorang dari mereka
berdua dapat mengatasi yang lain. Kalau orang ini pernah melukai Lawa Ijo pastilah ia
memiliki kesaktian yang tinggi.
Kemudian terdengarlah Lawa Ijo melanjutkan kata-katanya, “Sayang bahwa ia tidak bersikap
perwira. Ia menyerang aku pada saat aku sedang meloncat turun dari atap gedung
perbendaharaan istana Demak.”
Hati Mahesa Jenar melonjak mendengar sindiran Lawa Ijo. Ia sama sekali tak mau menerima
keterangan itu. Sebab pada saat ia menyerang Lawa Ijo, ia sedang berusaha untuk melindungi
Gadjah Alit yang justru diserang oleh Lawa Ijo dengan sikap yang tidak perwira. Kecuali
Lawa Ijo tidak menyerang dari depan, juga pada saat itu Gadjah Alit sedang dikerubut oleh
tiga orang. Tetapi meskipun demikian ia tidak merasa perlu melayani fitnah itu. Karena itu ia
diam saja.
Dalam pada itu, Jaka Soka pun segera teringat bahwa memang Lawa Ijo pernah bercerita
kepadanya, tentang luka yang dideritanya pada saat ia berusaha memasuki gedung
perbendaharaan di Demak. Karena itu sebelum Lawa Ijo menyebut nama Mahesa Jenar, ia
mendahului berteriak, “Lawa Ijo, kalau demikian inikah orangnya yang bernama Mahesa
Jenar dan bergelar Rangga Tohjaya yang terkenal itu?”
Mendengar nama itu tergetarlah perasaan mereka yang pernah mengenal kebesarannya.
Lebih-lebih para pengawal dan para pedagang yang datang dari pesisir utara. Tetapi dalam
pada itu, dalam dada masing-masing terbersitlah semacam harapan baru yang menjadi
semakin teguh, bahwa jiwa mereka akan tertolong. Karena itu menjadi semakin besarlah hati
mereka. Selain itu para pengawal kemudian telah bersiap pula terjun ke dalam pertempuran
seandainya Lawa Ijo dan Jaka Soka akan bersama-sama menyerang Rangga Tohjaya.
Tetapi rupanya Lawa Ijo tidak akan berbuat demikian.
“Jaka Soka, karena itulah aku minta kerelaanmu untuk membuat perhitungan dengan Rangga
Tohjaya ini. Sebab aku mempunyai dugaan, bahwa ia pun sedang mencari aku. Maka
sebaiknya kami tidak menyia-nyiakan pertemuan ini,” kata Lawa Ijo.
Sekarang, setelah mengerti persoalannya, Jaka Soka tidak lagi merasa direndahkan oleh Lawa
Ijo. Ia pun menganggap bahwa sikap Lawa Ijo yang demikian itu adalah wajar. Karena itu ia
menjawab, “Sekehendakmulah Lawa Ijo. Sebab daerah ini adalah daerahmu. Tetapi urusan
gadis itu akan tetap menjadi urusanku, meskipun aku akan menunggu sampai kau selesai.
Kalau kau tak berhasil dalam usahamu untuk membalaskan dendam adikmu, aku akan juga
membuat perhitungan dengan orang ini. Sebab ia dengan sengaja telah mempermainkan aku
ketika ia bersama-sama dengan para pengawal yang mengerubut aku.”
“Bagus. Sekarang minggirlah,” desis Lawa Ijo.

Sesudah itu maka Lawa Ijo menghadap ke arah Mahesa Jenar. Matanya yang sudah
memancarkan kekejaman serta kebengisan itu menjadi bertambah mengerikan.
“Tohjaya, bersiaplah. Aku akan membuat perhitungan,” ujar Lawa Ijo geram.
Mahesa Jenar tak menjawab sepatah kata pun. Mulutnya terkatup rapat, tetapi ia maju
beberapa langkah mendekati Lawa Ijo dengan sikap yang meyakinkan dan penuh kepercayaan
pada diri sendiri.
055
SEMENTARA itu langit telah menjadi semakin cerah. Angin pagi yang bertiup lambatlambat menggoyangkan daun-daun pepohonan dan membuat suara berdesir diantara cabangcabangnya. Suaranya merintih, seolah-olah suara lagu yang mengiringi ratapan hati setiap
orang yang menyaksikan permainan maut antara Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya
dengan Lawa Ijo. Dua orang yang sama-sama terkenal dari aliran yang berlawanan, yang pada
saat itu sedang mengadakan perhitungan hutang pihutang nyawa.
Namun betapa moleknya wajah pagi, tak seorang pun yang berada di sekitar arena
pertempuran itu sempat memperhatikan. Bahkan tak seekor burung pun di tempat itu yang
sempat berkicau menyambut datangnya matahari.
Seperti Jaka Soka, Lawa Ijo pun tak akan merendahkan dirinya melawan Mahesa Jenar
dengan mempergunakan senjata. Tetapi setelah ia mengembalikan tongkat hitam Jaka Soka, ia
tidak menitipkan belati panjangnya, melainkan dengan kekuatan jari-jarinya, belatinya itu
dipatahkan, dan kemudian dilemparkan jauh-jauh. Mau tidak mau, mereka yang menyaksikan
pertunjukan itu hatinya terguncang.
Segera setelah itu, maka dengan suatu suitan nyaring, Lawa Ijo mulai menyerang lawannya.
Kedua tangannya direntangkan dan jari-jarinya siap merobek tubuh lawannya. Dengan suatu
loncatan yang dahsyat, ia menyambar kepala Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar sadar bahwa apabila serangan ini mengenai sasarannya, maka ia yakin bahwa
kepalanya akan dapat berlubang sedalam jari. Sebelum ini, Mahesa Jenar pernah bertempur
dengan Lawa Ijo, karena itu ia tidak dapat mengira-ngirakan kekuatannya, meskipun ia yakin
bahwa selama ini pastilah Lawa Ijo telah mendapat tambahan yang tidak sedikit.
Melihat serangan Lawa Ijo yang dahsyat itu, segera Mahesa Jenar merendahkan dirinya, tetapi
sekaligus dengan tangannya ia menyerang perut lawannya dengan empat jari.
Sebenarnya Lawa Ijo sadar bahwa serangannya yang pertama pasti tak akan mengenai
sasarannya. Karena itu ia selalu waspada, sehingga ketika ia melihat serangan Mahesa Jenar,
dengan tangkasnya pula ia menghindarkan diri. Ia menarik sebelah kakinya ke belakang dan
berputar sedikit. Kemudian sambil merendahkan diri ia menghantam tangan Mahesa Jenar
dengan sikunya. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau tangannya disakiti. Ia segera menarik
serangannya dan mendadak ia meloncat setengah langkah surut, tetapi demikian kakinya
menjejak tanah, demikian ia melontarkan dirinya ke samping Lawa Ijo, dan dengan tumitnya
ia menghantam lambung.
Lawa Ijo terkejut melihat gerakan ini. Kaki Mahesa Jenar bergerak demikian cepatnya.
Tetapi Lawa Ijo pun mempunyai cukup pengalaman. Segera ia merendah hampir rata tanah.

 Tetapi demikian ia merendah, kakinya secepat kilat menyambar betis Mahesa Jenar.
Sekarang Mahesa Jenar yang berada dalam keadaan yang sulit, selagi satu kakinya terangkat.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar cukup tenang, sehingga dalam keadaan yang nampaknya
demikian sulitnya ia masih sempat mengelakkan diri. Dengan sebelah kakinya ia menjejak
tanah dan meloncat tinggi. Dengan satu gerakan kakinya, Mahesa Jenar dapat mengubah arah,
sehingga tubuhnya terjatuh kembali beberapa depa dari lawannya.
Lawa Ijo menjadi marah melihat serangan-serangannya yang dilakukan dengan segenap
tenaganya itu sama sekali tak berhasil. Karena itu segera ia pun menyerang kembali dengan
dahsyatnya. Tangannya, dengan sepuluh jari yang kokoh bergerak menyambar-nyambar dari
segala arah.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu berdiri terpaku seperti patung. Hati mereka
terpukau oleh pertunjukan maut yang sedang berlangsung dengan dahsyatnya.
Sebentar-sebentar terdengar suara gemeretak batang-batang kayu yang patah terhantam, baik
oleh Mahesa Jenar maupun oleh Lawa Ijo. Sedang tanah tempat mereka bertempur, seolaholah telah berubah sedemikian rupa sehingga menjadi bersih dari segala tumbuh-tumbuhan.
Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin hebat. Tampaklah betapa hebatnya
mereka berdua. Sampai sekian lama tidak nampak siapakah diantara keduanya yang lebih
unggul. Lawa Ijo bertempur dengan penuh dendam akan pembalasan, sedangkan Mahesa
Jenar bertempur dengan suatu tekad yang telah bulat pula, melenyapkan kejahatan sampai ke
akarnya.
Demikian dahsyatnya pertempuran itu, sehingga waktu berjalan cepat sekali. Dengan tak
terasa, matahari telah miring rendah di ufuk barat. Seolah-olah sengaja mempercepat jalannya
untuk menghindari kesaksian, bahwa di tengah-tengah hutan Tambak Baya telah terjadi suatu
pergulatan maut yang mengerikan.
Daerah pedalaman hutan yang selamanya tak pernah menerima cahaya matahari sepenuhnya
itu, kini telah kembali suram. Cahaya matahari yang sudah semakin lemah, tidak mampu lagi
menembus sepenuhnya kelebatan daun-daun pepohonan rimba yang liar dan pekat itu.
Dua orang perkasa yang sedang bertempur mati-matian itu pun nampak tenaganya semakin
lama menjadi semakin kendor. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki ketahanan
jasmaniah yang luar biasa. Baik Mahesa Jenar maupun Lawa Ijo memang pernah mengalami
pertempuran sampai berhari-hari. Kali ini mereka telah mengerahkan segala tenaga mereka.
Setelah hal itu berlangsung hampir sehari penuh, terasalah bahwa kemampuan mereka mulai
menurun.
Dalam hal ini, yang lebih merasa gelisah adalah Lawa Ijo. Perasaannya dibebani oleh dendam
yang tiada taranya. Sejak dirinya dilukai di halaman Kraton Demak, ia sudah berjanji di
dalam hatinya, bahwa pada suatu saat ia harus membinasakan orang yang telah melukainya
itu. Ditambah lagi, orang itu pula yang telah membunuh adik seperguruannya.
Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali menghancurlumatkan orang ini.
  
Tetapi ternyata, setelah sekian lama ia merendam diri serta mencecap ilmu gurunya yang
sakti, Pasingsingan, dengan penuh semangat, namun sudah sehari ia bertempur masih belum
ada tanda-tandanya bahwa ia akan dapat mengalahkan lawannya, apalagi membinasakan.
Karena itu ia menjadi tidak sabar lagi. Tujuannya hanyalah secepat mungkin membinasakan
Rangga Tohjaya. Dengan demikian barulah ia merasa puas.
056
UNTUK mencapai maksudnya itu, Lawa ijo meloncat mundur beberapa langkah dari
lawannya. Secepat kilat tangannya mengambil sebuah kantong kecil di ikat pinggangnya.
Segera cincin pemberian gurunya itu dikenakan di jari tangan kanannya. Tampaklah bahwa
cincin itu bermata batu akik merah menyala. Itulah batu akik yang dinamai Kelabang Sayuta.
Bentuk akik Kelabang Sayuta tidaklah seperti kebiasaan batu-batu akik yang diasah halus,
tetapi batu ini permukaannya kasar dan bahkan bergerigi tajam. Mahesa Jenar tertegun
melihat lawannya mengenakan cincin. Pasti itu bukan sembarang cincin. Tetapi belum lagi ia
sadar benar Lawa Ijo telah meloncat menyerangnya dengan garang.
Lawa Ijo telah mengerahkan segenap sisa tenaganya yang terakhir. Mahesa Jenar terkejut
diserang secara demikian. Lawa Ijo ternyata tidak lagi mempergunakan perhitungan,
melainkan asal saja ia membenturnya. Secepat kilat Mahesa Jenar menghindar ke samping,
tetapi seperti orang gila Lawa Ijo menerjangnya kembali. Demikian terjadi beberapa kali.
Dalam keadaan yang demikian, sebenarnya banyaklah kesempatan bagi Mahesa Jenar untuk
memukul Lawa Ijo. Meskipun demikian ia masih belum mempergunakan kesempatan itu,
sebab ia masih ingin mengetahui latar belakang dari tindakan-tindakan Lawa Ijo yang aneh
itu. Sebagai seorang yang telah banyak makan garam, seharusnya Lawa Ijo tidaklah
kehilangan akal sampai sedemikian itu.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga-duga maksud
lawannya. Sebab Lawa Ijo merangsang semakin hebat. Sehingga akhirnya terpaksa Mahesa
Jenar melayani pula dengan segenap tenaganya. Maka pertempuran itu menjadi semakin seru
dan aneh. Gerak Lawa Ijo menjadi semakin liar dan seolah-olah membabi buta namun tidak
kurang pula berbahayanya.
Akhirnya Mahesa Jenar tak dapat lagi menahan dirinya mengalami tekanan yang gila, kasar
dan liar itu. Karenanya, ketika ia melihat suatu kesempatan, maka segera ia meloncat maju,
dan dengan gerakan yang dahsyat ia menghantam pelipis lawannya. Melihat serangan yang
demikian hebatnya, Lawa Ijo sama sekali tak berusaha menghindarkan diri. Memang
kesempatan yang demikianlah yang ditunggunya setelah sekian lama ia berusaha membentur
tubuh lawannya, tetapi belum berhasil.
Dengan mengerahkan segala sisa tenaganya yang ada, Lawa Ijo melawan dengan sebuah
pukulan yang dahsyat pula, menghantam tangan Mahesa Jenar. Maka terjadilah suatu
benturan yang mengerikan. Mulutnya menyeringai menahan sakit, seolah-olah menjalar ke
seluruh bagian tubuhnya. Sendi-sendi tulangnya seakan-akan copot dari sambungannya.
Sesaat pandangannya jadi kabur berputar-putar.
Sementara itu mereka yang menyaksikan perkelahian dahsyat itu, darahnya serasa berhenti
mengalir, ketika mereka melihat keadaan Mahesa Jenar. Mereka menyaksikan suatu keadaan
 
yang tak terduga-duga. Pada saat terjadi benturan, tubuh Mahesa Jenar tergetar hebat,
sehingga ia terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling pula.
Ketika Mahesa Jenar berusaha untuk meloncat berdiri, tiba-tiba tangan kanannya terasa pedih
tak terhingga. Ketika ia mengamati tangan itu, ternyata terdapat sebuah goresan kecil.
Itulah luka akibat batu akik Kelabang Sayuta.!
Seterusnya, tidak hanya rasa perih itu saja, tetapi tiba-tiba mengalirlah rasa dingin yang
seakan-akan menjalar menurut peredaran darahnya ke seluruh tubuh, sehingga tubuhnya
menjadi gemetar dan seakan-akan beku. Wajah Mahesa Jenar segera berubah menjadi pucat
seputih mayat.
Jaka Soka yang selama itu, dengan enaknya melihat perkelahian itu, menjadi keheran-heranan
juga menyaksikan akibat dari benturan itu. Lama sekali tidak menduga bahwa Mahesa Jenar
yang sedemikian gagahnya, yang sudah bertempur hampir sehari penuh, dapat dirobohkan
justru pada saat ia menyerang dan dibalas dengan sebuah serangan pula.
Para pengawal rombongan, yang merasa telah mendapat perlindungan dalam melakukan
tugasnya, melihat kejadian itu dengan hati yang remuk. Pemimpin pengawal, dengan tidak
menghiraukan keselamatan diri, segera meloncat mendekati Mahesa Jenar yang masih
terduduk dan menggigil hebat.
Segera pemimpin pengawal itu berjongkok di samping Mahesa Jenar sambil meraba-raba
tangannya. Tetapi ketika ia menyentuh tangan Mahesa Jenar itu, alangkah terperanjatnya.
Tangan itu dingin seperti beku dan di beberapa tempat tampaklah semacam bisul-bisul yang
baru tumbuh. Segera pemimpin pengawal yang tua dan berpengalaman itu mengetahui bahwa
tubuh Mahesa Jenar telah terkena racun yang mengerikan. Maka segera ia dapat memastikan
bahwa racun ini pasti berasal dari cincin yang dipakai oleh Lawa Ijo, yang bermata batu akik
merah menyala, yang bernama Kelabang Sayuta.
Sejenak kemudian Lawa Ijo perlahan-lahan dapat menguasai dirinya kembali. Meskipun
masih agak pening, ia sudah dapat berdiri tegak. Maka ketika ia melihat Mahesa Jenar
terduduk di tanah dengan wajah yang pucat, ia menjadi bergembira. Dan tiba-tiba
terdengarlah suara tertawanya yang menakutkan seperti suara hantu yang memanggil-manggil
dari lubang kubur.
Semua yang mendengar suara itu tegaklah bulu romanya. Kekalahan Mahesa Jenar berarti
nyawa mereka akan lenyap. Sebab Jaka Soka telah mengambil keputusan untuk
menghilangkan jejak penculiknya.
057
HATI pengawal tua yang menahan tubuh Mahesa Jenar yang lemas itu, juga berdebar. Ia
menjadi sangat sedih. Bukan karena takut menghadapi kematian yang sudah membayang di
matanya, tetapi hatinya menjadi pedih sekali bahwa kemungkinan besar jiwa
Mahesa Jenar, seorang pahlawan yang tanpa menghiraukan dirinya sendiri telah berusaha
menyelamatkan rombongan yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya, tak akan tertolong
 lagi. Lebih-lebih ketika diingatnya bahwa Lawa Ijo telah melakukan perbuatan yang curang
dan keji, dengan mempergunakan racun yang keras sekali untuk menumbangkan lawannya.
Maka hati pengawal tua itu serasa menyala dibakar oleh kemarahan. Ia sudah mengambil
keputusan untuk melawan sampai mati. Seperti serangga menjelang api. Tetapi ketika ia akan
bangkit dan melawan dengan mengamuk sejadi-jadinya, tiba-tiba terasa hawa yang hangat
mengalir dalam tubuh Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut, tetapi ia tetap menahan dirinya. Hawa yang hangat itu ternyata
mengalir semakin deras dan bahkan hampir mencapai titik panas tubuh yang wajar.
Timbullah berbagai pertanyaan dalam dirinya. Apakah yang akan terjadi dengan Mahesa
Jenar ini? Sebentar kemudian bahkan panas itu dengan cepat naik melampaui batas panas
tubuh yang biasa. Hal ini menjadikan pengawal tua itu semakin bingung. Apalagi sampai
sekian lama Mahesa Jenar sendiri seolah-olah pingsan dan tidak bergerak sama sekali.
Memang Mahesa Jenar pada saat itu sedang kehilangan tenaga. Batu akik Kelabang Sayuta itu
mempunyai kekuatan mirip dengan bekerjanya racun. Bahkan hampir sekuat racun bisa ular
Gundala Wereng. Sehingga tubuh yang dikenainya, meskipun hanya segores kecil, akan
menjadi bengkak-bengkak seperti ditumbuhi oleh beribu-ribu bisul. Kemudian tubuh itu akan
lemas dan mengalami kelumpuhan menyeluruh, dan akhirnya disusul dengan kematian, dalam
waktu yang singkat.
Ketika kekuatan akik Kelabang Sayuta itu sedang bekerja didalam tubuh Mahesa Jenar
dengan mengikuti peredaran darah, tiba-tiba terjadilah suatu benturan yang dahsyat di dalam
tubuh itu. Sebab pada saat itu, ketika tersentuh rangsangan dari luar, bisa ular Gundala Seta
yang ada dalam tubuhnya mulai bekerja pula. Dalam pergolakan itu timbullah panas, sehingga
tubuh Mahesa Jenar menjadi melampaui titik panas yang wajar.
Bisa ular Gundala Seta mempunyai kasiat yang luar biasa. Lebih-lebih ular ini adalah senjata
Wisnu untuk melawan Kala, lambang dari keangkaramurkaan. Maka sedikit demi sedikit bisa
ular Gundala Seta yang memang sudah ada di dalam tubuh Mahesa Jenar itu mendesak
lawannya, menawar racun akik Kelabang Sayuta. Dengan demikian tubuh Mahesa Jenar
menjadi berangsur-angsur baik kembali.
Meskipun demikian Mahesa Jenar adalah orang yang cerdik. Ia tidak segera menunjukkan
keadaan itu. Sebab apabila sampai diketahui bahwa ia berangsur-angsur baik, tidak mustahil
Lawa Ijo akan segera bertindak. Membinasakannya sekaligus.
Dalam hal yang demikian ia masih saja berpura-pura tidak sadarkan diri dan membiarkan
tubuhnya ditahan oleh pengawal tua itu.
Lawa Ijo, dengan dada menengadah, memandang tubuh Mahesa Jenar. Matanya
memancarkan kepuasan hatinya. Ia tertawa berkepanjangan sampai Jaka Soka membentaknya.
“Hai Kelelawar Hijau yang busuk. Jangan kau tertawa demikian. Aku bisa jadi pening
mendengar suaramu yang memuakkan itu.”
Tetapi Lawa Ijo sama sekali tak mendengarnya. Ia sedang menikmati kemenangannya.

“Soka, lihatlah.... Orang ini yang diagung-agungkan oleh prajurit Demak. Di sini ia
menjumpai kematian sedemikian nistanya. Dan tak seorang pun akan sempat menguburnya.
Apalagi dengan suatu upacara keprajuritan, diiringi dengan tunggul-tunggul dan panji-panji.
Sebab orang-orang lain pun segera akan mengalami nasib yang sama karena tanganmu,” kata
Lawa Ijo.
Jaka Soka merasa diperingatkan akan tugasnya. Segera ia pun tersenyum aneh, sedangkan
matanya yang redup membayangkan tuntutan maut yang mengerikan.
“Bagus, Lawa Ijo. Kita akan sama-sama menikmati kemenangan. Dan tak seorang pun dapat
menahan aku membawa gadis cantik itu pulang ke Nusa Kambangan,” jawab Jaka Soka.
Tetapi sebentar kemudian, kepuasan mereka dipecahkan oleh suatu kenyataan yang sangat
aneh bagi Lawa Ijo. Tak pernah seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kematian,
apabila tubuhnya tergores sedikit saja oleh aji Klabang Sayuta. Tetapi apa yang disaksikan
sekarang adalah sama sekali tidak masuk akal.
Demikianlah ketika Mahesa Jenar merasa bahwa tubuhnya telah pulih kembali, segera dengan
kecepatan gerak laksana kilat menyambar, ia meloncat, dan tahu-tahu ia sudah berdiri
dihadapan Lawa Ijo. Semua yang menyaksikan hatinya tercekam, seperti melihat mayat yang
bangun dari kubur. Bahkan mereka seolah-olah melihat diri mereka sendirilah yang karena
pertolongan Tuhan Yang Maha Esa telah dibebaskan dari daerah mati.
Mahesa Jenar disamping rasa sukur yang tak terhingga, bahwa lantaran sahabat karibnya, Kiai
Ageng Sela, ia telah menerima anugerah Tuhan yang telah membebaskannya dari pengaruh
segala macam bisa. Namun ia juga menjadi marah bukan kepalang kepada Lawa Ijo.
Ternyata Lawa Ijo yang telah mematahkan pedangnya sendiri dengan jari-jari sewaktu
perkelahian akan dimulai, bukanlah benar-benar seorang jantan. Seperti juga Watu Gunung,
Lawa Ijo sama sekali tidak memperhatikan sikap kejujuran dalam segala masalah.
Wajah Mahesa Jenar berubah menjadi merah membara. Mulutnya terkatub rapat, tetapi
giginya gemeretak. Terhadap orang-orang yang demikian, tidak lagi ada sikap yang manis.
Maka karena marahnya yang meluap-luap, Mahesa Jenar tidak lagi dapat mengendalikan
dirinya sendiri. Sebelum Lawa Ijo sadar terhadap kejadian itu, Mahesa Jenar telah
mengangkat satu kakinya yang ditekuk ke depan, tangan kirinya disilangkan di atas dadanya,
sedangkan tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Secepat kilat Mahesa Jenar meloncat
maju, dan dengan sedikit merendahkan diri ia menghantam lambung lawannya dengan
ilmunya yang terkenal, Sasra Birawa.
058
LAWA IJO melihat segala gerak-gerik lawannya seperti dalam mimpi. Ia baru sadar ketika
tiba-tiba dilihatnya Mahesa Jenar meloncat dekat sekali di hadapannya, dan tangannya
melayang ke arah lambungnya. Tetapi segala sesuatunya telah terlambat. Terkena pukulan sisi
telapak tangan Mahesa Jenar yang dilambari ilmu Sasra Birawa itu rasanya bagaikan tertimpa
seribu gunung yang runtuh bersama-sama.

Demikian Lawa Ijo merasakan kedahsyatan Sasra Birawa, pandangannya terlempar dengan
derasnya seperti anak panah yang terlepas dari busurnya mengarah tepat ke sebatang pohon
raksasa yang berdiri kokoh kuat bagai benteng baja.
Mereka yang menyaksikan peristiwa itu menjadi bingung. Mereka tidak dapat mengerti
perasaan apa yang berkecamuk di kepalanya, seolah-olah terlepas dari kesadaran diri. Sebab
kejadian yang dilihatnya itu adalah hal yang tak dapat dibayangkan bisa terjadi.
Tetapi belum lagi tersadar, telah disusul pula oleh suatu peristiwa yang lain, yang tidak dapat
mereka mengerti pula. Beberapa orang menjadi sedemikian bingungnya sehingga pingsan.
Tubuh Lawa Ijo yang melayang demikian derasnya dan hampir-hampir membentur sebatang
pohon raksasa itu, tahu-tahu sudah berada dalam dukungan seorang yang berjubah abu-abu.
Tak seorang pun tahu dari mana dan kapan ia datang. Wajah orang itu sama sekali tidak
tampak, karena ia mengenakan topeng yang buatannya kasar dan jelek.
Semua orang memandang orang berjubah itu dengan tubuh gemetar.
Dalam pada itu, tiba-tiba Jaka Soka segera melangkah maju dan dengan hormatnya.
“Paman Pasingsingan, aku menyampaikan hormat setinggi-tingginya!” kata Jaka Soka kepada
orang berjubah itu.
Pasingsingan. Nama itu mendengung kembali di telinga Mahesa Jenar. Inilah rupanya Guru
Lawa Ijo yang telah datang untuk menolong muridnya. Maka mau tidak mau hatinya
tercekam pula.
Ia pernah mendengar kesaktian orang ini dari gurunya. Dan sekarang, ia telah berhadap -
hadapan dengan orang itu dalam keadaan yang tak menguntungkan.
“Rangga Tohjaya....” Tiba-tiba terdengar Pasingsingan berkata, tanpa menghiraukan salam
Jaka Soka. Suaranya berat, dalam dan tak begitu jelas seperti bergulung dalam perutnya,
karena pengaruh topeng yang dipakainya itu.
“Untunglah Lawa Ijo bukan sembarang orang, sehingga meskipun ia terluka parah, tetapi aku
yakin bahwa ia masih akan dapat hidup,” sambung Pasingsingan.
Orang itu berhenti sejenak. Matanya yang berada dibalik topengnya itu memandang
Mahesa Jenar dengan tajamnya.
“Hal itu adalah karena pertolonganku. Kalau tidak, ia pasti sudah binasa terbentur pohon ini.
Karena itu, kau aku anggap telah melakukan pembunuhan atas muridku,” lanjut Pasingsingan.
Kembali hati Mahesa Jenar melonjak. Ia tahu apa arti kata-kata itu. Dalam hal yang demikian,
tiba-tiba ia teringat kepada almarhum kedua gurunya yang merupakan angkatan yang sama
dengan Pasingsingan itu. Kalau saja mereka masih ada, pasti mereka tidak akan
membiarkannya berhadap-hadapan sendiri. Tetapi sekarang ia seorang diri menghadapinya.
Sebagai seorang prajurit pastilah Mahesa Jenar tidak selalu menggantungkan dirinya kepada
orang lain. Karena itu, meskipun ia tahu, bahwa kekuatannya tak seimbang, ia bertekad untuk
melawan mati-matian. Maka segera kembali ia memusatkan pikiran, mengatur jalan

pernafasannya dan mengumpulkan segala tenaganya pada sisi telapak tangannya, meskipun ia
belum bersikap.
Tiba-tiba terdengarlah Pasingsingan mendengus lewat hidungnya, “Hem..., kalau Sasra
Birawa itu gurumu yang mempergunakan, barangkali aku harus berpikir bagaimana
menghindarinya. Tetapi kalau hanya kau yang akan mencobakan pada tubuhku, barangkali
sebaiknya aku menyediakan diri sebelum aku membunuhmu!”
Mendengar kata-kata Pasingsingan itu, mau tidak mau hati Mahesa Jenar bergetar hebat.
Bukan karena ia takut mati. Tetapi kematian yang demikian pada saat ia diperlukan untuk
melindungi suatu rombongan yang akan binasa, adalah sayang sekali.
Tetapi apa boleh buat.
Sementara itu tampaklah Pasingsingan bergerak maju. Ia selangkah demi selangkah
mendekati Mahesa Jenar tanpa meletakkan Lawa Ijo dari dukungannya.
“Tohjaya, kau adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan kau telah beruntung mewarisi
ilmu saktinya Sasra Birawa. Karena itu lawanlah aku. Supaya kau mati dengan tangan
merentang, bukan mati sebagai seekor lembu yang disembelih,” kata Pasingsingan.
Mahesa Jenar yang sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada mati, kini seperti sudah
tidak mempunyai perasaan lagi. Tak perlu lagi ada pertimbangan-pertimbangan lain. Maka
segera ia pun bersiap untuk menerjang lawannya, menjelang saat matinya. Sementara itu
Pasingsingan berdiri dengan acuh tak acuh saja seperti tidak akan terjadi sesuatu atas dirinya.
Orang-orang lain yang berada di situ, sudah seperti orang linglung yang tak tahu apa-apa.
Perasaan mereka sudah terbanting-banting beberapa kali sampai hancur.
Meskipun ada diantara mereka yang matanya terbuka dan seolah-olah memandang Mahesa
Jenar dan Pasingsingan berganti-ganti, tetapi mereka tidak mengerti tentang apa yang
dilihatnya. Mereka tidak lagi dapat membayangkan, bahwa sebentar lagi Pasingsingan akan
dapat berbuat sekehendaknya atas Mahesa Jenar tanpa ada yang dapat merintanginya.
Tetapi sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh suara berdentangnya orang menebang pohon.
Ini adalah suatu keanehan baru, sesudah bertubi-tubi terjadi peristiwa-peristiwa yang aneh
berturut-turut.
Pada saat itu, meskipun matahari belum tenggelam, tetapi sinarnya sudah demikian lemahnya
sehingga tidak dapat lagi menembus rimbunnya daun-daun pepohonan rimba, sehingga di
dalam hutan itu sudah menjadi agak gelap. Pada saat yang demikian, tidaklah biasa seseorang
menebang pohon.

No comments

Powered by Blogger.