Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Bima
Museum Asi Mbojo sebagai salah satu Peninggalan Kerajaan di Bima
- Sejarah Asal Usul
Jaman
Naka (Prasejarah)
Kebudayaan masyarakat Bima pada
jaman Naka masih sangat sederhana. Masyarakat belum mengenal system ilmu
pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan perindustrian
serta perniagaan maupun pelayaran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka
mencari dan mengumpulkan kekayaan alam yang ada disekitarnya seperti
umbi-umbian, bijian dan buah-buahan. Selain mencari dan mengumpulkan makana
untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga gemar berburu. Dalam istilah ilmu arkeologi
mereka yang mengumpulkan makanan dari hasil kekayaan alam disebut masyarakat
pengumpul (Food Gathering).
Kehidupan masyarakat pada jaman
Naka selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Masyarakat pada
jaman Nakan sudah memiliki kepercayaan. Kepercayaan yang mereka anut pada masa
itu di sebut Makakamba dan Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah
disebut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Menurut keyakinan mereka pada masa
itu, alam beserta isinya diciptakan oleh Maha Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan.
Tempat bersemayamnya di mata air, pohon-pohon besar atau batu-batuan besar. Dan
tempat persemayamannya Marafu tersebut
adalah Parafu Ro Pamboro.
Pada saat itu juga mereka melakukan
upacara pemujaan terhadap Makakamba dan Makakimbi di tempat bersemayamnya parafu
Ro Pamboro. Upacara yang mereka lakukan disebut “Toho Dore”. Dalam upacara
tersebut dibacakan mantra atau do’a serta persembahan dan dalam tradisi upacara
Toho Dore diberikan sesajen dan penyembelihan hewan. Upacara tersebut dipimpin
oleh seorang pemimpin yang disebut Naka.
Naka adalah bukan hanya sebagai
seorang pemimpin agama tetapi Naka juga merupakan pemimpin dalam kehidupan
sehari-hari. Naka tersebut sangat dihormati, sehingga masyarakat pada masa itu,
selain menyembah marafu, mereka juga sangat menghormati arwah leluhur terutama
arwah Naka.
Jaman
Ncuhi (Proto Sejarah)
Setelah jaman Naka Berakhir,
Masyarakat Bima memasuki jaman baru yakni jaman cuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar
abad ke-8 M, masyarakat Bima mulai berhubungan dengan para pedagang dan musafir
yang berasal dari daerah lain, para pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa,
Sulawesi Selatan, Sumatera dan Ternate, pada saat itulah masyarakat Bima sudah
mengenal system ilmu pengetahuan dan Teknologi, pertanianm peternakan dan
pelayaran.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai
berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah.
Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan
Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai
Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal
kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan pemimpin mereka pada saat itu disebut
Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi
juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi, masyarakat masih menganut
terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah
berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa
dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus
berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan
Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama masyarakat Bima melakukan hubungan
dengan para pedagang dan musafir dari daerah luar semakin intim. Sehingga para
pedagang dan musafir dari seluruh pelosok nusantara, terutama para pedagang dan
musafir dari Jawa Timur semakin bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa
Timur mendirikan perkampungan di pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa
Kecamatan Donggo sekarang. Sampai sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat
disaksikan sebagai peninggalan sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu
disebut situs yang oleh masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah
seorang tokoh pedagang dan musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu
bernama Sang Bima. Sang Bima tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para
Ncuhi, yaitu ncuhi Dara.
Dengan keadaannya masyarakat Bima sekian lama
semakin maju. Kehidupan masyarakat semakin bertambah makmur dan sejahtera dan
mereka hidup rukun dan damai. Tetapi asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju
tetap diamalkan dan falsafah Maja Labo Dahu tetap dijunjung tinggi.
Untuk meningkatkan persatauan dan kesatuan,
seluruh Ncuhi mengadakan Mbolo Ro Dampa di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara.
Dalam keputusan Mbolo Ro Dampa:
Ø Masyarakat dan seluruh
Ncuhi, mengangkat Ncuhi Dara sebagai pemimpin masyarakat Bima.
Ø Ncuhi Parewa diangkat
menjadi pemimpin di wilayah Selatan, yaitu di kecamatan Belo, Woha dan Monta
sekarang.
Ø Ncuhi Bangga Pupa
diangkat menjadi pemimpin di wilayah Utara, yaitu di kecamatan Wera sekarang.
Ø Ncuhi Bolo diangkat
menjadi pemimpin di wilayah Barat, yaitu di kecamatan Bolo dan Donggo sekarang.
Ø Ncuhi Doro Woni
diangkat menjadi pemimpin di wilayah Timur, yaitu di kecamatan Wawo dan Sape
sekarang.
Gabungan dari seluruh wilayah Dana Mbojo,
diberi nama Babuju. Sesuai dengan nama tempat dalam Mbolo Ro Dampa. Nama Mbojo
berasal dari kata Babuju.
Jaman
Kerajaan (Masa Klasik)
Kerajaan bima terletak di pantai
timur Pulau Sumbawa. Asal mula kerajaan ini diperkirakan telah ada sejak
periode Hindu, namun sayangnya data sejarah berkenaan dengan kerajaan ini padan
masa Hindu sangat minim. Data sejarah tertulis yang tersedia hanya pada fase
kerajaan Bima telah konversi ke Islam pada tahun 1620 M. Sumber sejarah Bima
adalah artefak, prasasti, dan manuskrip. Sumber-sumber tersebut menceritakan
tentang fase sejarah sejak masa prasejarah hingga masuknya islam. Ada dua
prasasti yang ditemukan disebelah barat teluk Bima, satu berbahasa Sangsekerta
dan satunya lagi berbahasa Jawa Kuno. Ini menunjukkan bahwa, kedua bahasa
tersebut ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain prasasti, juga banyak
terdapat naskah-naskah kuno yang ditulis di era Islam, sehingga bisa digunakan
untuk mengungkap sejarah di era tersebut. Naskah kuno berbahasa melayu tersebut
menceritakan kehidupan sejak abad ke-17 hingga 20 M. selain bahasa melayu,
sebenarnya bahasa Bima juga cukup berkembang. Namun, bahasa ini belum mencapai
taraf bahasa tulis.
Bo Sangaji kai, sebuah naskah kuno
milik kerajaan Bima yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, bahwa Sang Bima pertama kali berlabuh di
pulau Satonda, kemudian bertemu dengan seekor naga bersisik emas. Sang naga
melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama putri Tasi Sari Naga. Sang
Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan dua orang putra yang bernama
Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima tersebut kelak menjadi
cikal bakal keturunan raja-raja Bima. Setelah Sang Bima bertemu dengan putri
Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri dari penguasa setempat (Ncuhi) di
pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata dengan pulau Jawa. Sang
Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat dalam kitab
Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk
kesatuan wilayah di bawah pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima
berada di Jawa Timur, Sang Bima mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud
dan Indra Kumala. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan
Indra Kumala dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi
melakukan Mbolo Ro Dampa untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima
dan Dompu. Hasil kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai
sangaji atau raja di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau
raja di Dompu.
Indra Zamrud di Tuha Ro Lanti atau dinobatkan
menjadi sangaji atau raja pertama di Bima. Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu
pengetahuan dalam pemerintahan. Maka, berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat
Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah
dipegang oleh Ncuhi, tetapi dipegang oleh sangaji atau raja.
Sejak berdirinya kerajaan sekitar pertengahan abad
11 M, dana Mbojo memiliki dua nama, yaitu nama Mbojo dan Bima. Masa pertumbuhan
masa kerajaan Bima, setelah dilantik menjadi sangaji atau raja, untuk membangun
kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para Ncuhi, terutama Ncuhi Dara, Ncuhi
Parewa, Ncuhi Bolo, Ncuhi Bangga Pupa dan Ncuhi Doro Woni. Nama jabatan pada
masa kerajaan terebut yaitu jabatan seperti Tureli Nggampo atau Rumabicara
(Perdana Menteri), Tureli (Menteri), Rato Jeneli, Gelerang dan Jabatan lain
yang mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo. Tureli Nggampo atau
Rumabicara yang terkenal, yaitu bernama Bilmana.
Dengan Kepemimpinan mereka,
Kerajaan Bima terus berkembang dan menjadi pelabuhan dagang yang cukup
diperhitungkan. Kenyataan ini sejalan dengan catatan yang terdapat dalam kitab
Negarakertagama yang menyebutkan bahwa, kerajaan Bima sudah memiliki pelabuhan
besar pada tahun 1365 M. jadi catatan dalam Bo Sangaji kai ini sesuai dengan
catatan Negarakertagama.
Jaman
Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa
dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan.
Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa,
karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora
Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i
yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I terpaksa
meninggalkan istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran
kemudian muncul dengan kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam
dapat mempengaruhi dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa
kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima,
melalui beberapa tahap sebagai berikut:
ü Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang
dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri
dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang
memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang
dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak
mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan Trenggono.
ü Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim
para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu
kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama
Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di
Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
ü Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14
Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam
mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama
Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di Sape dan mereka
tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh
Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang
berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta
pengikutnya memeluk agama Islam. Sejak itu mereka mengganti
nama La Ka’I menjadi Abdul
kahir, La Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai menjadi Jalaluddin, Bumi
Jara Mbojo di Sape menjadi Awaluddin, Manuru
Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Sejak La Ka’i memeluk agama Islam, maka rakyat juga ikut
berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Catatan:
Sejarah Berdiri,
Runtuh dan Perkembangan Islam di Kerajaan Bima
Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
Kehadiran sang Bima pada abad 11
M, ikut membantu para ncuhi dalam memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara
dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang
Bima sudah kembali ke kerajaan Medang di Jawa Timur, namun tetap mengadakan
hubungan dengan ncuhi Dara. Karena istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
Sebelum
mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah di bawah
pimpinan ncuhi Dara. Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang Bima
mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Dana
Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra
Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk
mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra
Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau
dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11
M, Dana Mbojo memiliki dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para
ncuhi bersama rakyat diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam
musyawarah di Babuju. Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama
Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian
kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima. Dalam
masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku
yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah
menjadi nama daerah bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan
pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta
bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan
Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis,
terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou
Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa
yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki
Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung
Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar
Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang), sedangkan
yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang Donggo
Timur).
Proses Masuk dan
Berkembangnya islam di Kerajaan Bima
Kerajaan Gowa Tallo
memegang peranan penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat itu, pada
abad ke 17 M, Belanda telah menguasai sebagian besar jalur perdangangan bagian
barat. Untuk mencegah jalur timur direbut Belanda, Maka Gowa mengirim expedisi
untuk menaklukkan kerajaan pada pantai timur yaitu lombok dan bima.
Kerajaan-kerajaan ini berhasil ditaklukkan dan di Islam kan oleh Gowa pada
tahun 1609 M . Seiring dengan masuknya islam maka peradaban tulis juga
berkembang.
Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke
Abdul Kahir bersama pengikut didampingi oleh beberapa orang gurunya dari
Sulawesi Selatan kembali menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka
mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan
dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo
Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan Sape.
Dari puncak Kalodu, Islam semakin bersinar terang
menyelimuti kegelapan Bumi Bima. Seluruh rakyat menyambut gembira instruksi
Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk Islam. Salisi semakin berang.
Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan menyerang Pasukan Abdul Kahir.
Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape hingga mencapai puncaknya di Wera.
Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan hingga menewaskan Panglima Perang
Rato Waro Bewi di Doro Cumpu desa Bala kecamatan Wera. Berkat kerja sama
dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir dan teman seperjuangannya dapat
diselamatkan ke Pulau Sangiang yang selanjutnya dijemput perahu-perahu
dari Makassar.
Di Makassar, Empat serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin,
Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih taktik perang. Di tanah ini pula
mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga setelah segala persiapan dimatangkan,
Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi penyerangan terhadap Salisi. Dalam
sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim untuk menaklukkan Salisi
namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam dua ekspedisi ini. Untuk
ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru berhasil. Pada tanggal 5 Juli
1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir berhasil memasuki Istana Bima dan
dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu
(Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin terus mengejar
Salisi hingga ke Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan Kesultanan
Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma Bicara)
pertama dan diberi gelar Manuru Suntu, dimakamkan di kampung Suntu
(Halaman SDN 3 Bima sekarang).
Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi sejarah berdirinya
sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus berkiprah dalam percaturan
sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah pada setiap tanggal 5 Juli
diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah menjadi takdir sejarah pula,
bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya yang bernama Abdul Kahir I dan
berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera Kahir). Dua tokoh sejarah itu
kini tidur dengan tenang untuk selama-lamanya di atas bukit Dana Taraha Kota
Bima. (Sumber : Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan
Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera
Mahkota, Alan Malingi )
Penyebab Berakhirnya Kerajaan Bima
Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih
Kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih
memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia. Siti Maryam, salah
seorang Putri Sultan, menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada pemerintahan dan
kini di jadikan Museum. Di antara peninggalan yang masih bisa di lihat adalah
Mahkota, Pedang dan Funitur.
Sumber :
Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan
Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya Sang Putera
Mahkota, Alan Malingi.
No comments