SABUK SASRA NAGA INTEN (SH MINTARDJA) Bagian 120-241
*Novel Karya SH Mintardja*
059
APALAGI di tengah hutan Tambakbaya. Orang-orang yang mencari kayu, baik kayu bakar
maupun untuk perumahan, tidak akan menebang kayu di tengah rimba yang demikian
lebatnya. Lebih-lebih tidak jauh dari tempat itu, baru saja terjadi pertarungan yang dahsyat
antara Mahesa Jenar dan Lawa Ijo. Berkali-kali terdengar Lawa Ijo bersuit atau berteriak
nyaring. Mustahil kalau suara-suara itu tak didengarnya.
Tetapi ternyata suara itu terus terdengar. Bahkan semakin lama semakin jelas. Makin
nyatalah, bahwa sumber suara itu tidak begitu jauh. Yang lebih mengherankan lagi, suara
berdentangnya pohon yang ditebang itu, bagaikan nada-nada lagu yang mempesona.
Rupanya Pasingsingan heran juga mendengar suara itu. Diangkatnya wajahnya yang
terlindung dibalik topengnya dan tampaklah ia mendengarkan suara itu dengan saksama.
Dalam keadaan yang demikian, suasana berubah menjadi sunyi. Suara berdentangnya pohon
ditebang itu menjadi bertambah jelas seakan-akan memenuhi seluruh rimba. Gemanya
bersahut-sahutan disegala arah sehingga amat sulitlah untuk mengetahui dengan pasti sumber
suara itu.
Sebentar kemudian suara itu menjadi agak kendor dan semakin perlahan-lahan pula. Tetapi
sementara itu disusullah dengan mendengungnya suara baru yang juga seharusnya tak
mungkin terjadi.
Di tengah-tengah rimba yang liar pekat, dan yang diliputi oleh suasana perkelahian dan hawa
pembunuhan itu, menggemalah sebuah lagu. Dandanggula yang diungkapkan oleh sebuah
suara yang indah. Lagu itu sedemikian mempesona, sehingga semua orang yang
mendengarnya menjadi lupa akan segala-galanya kecuali lagu itu sendiri.
Jaka Soka dan Mahesa Jenar adalah orang yang cukup masak. Tetapi meskipun demikian
tampak juga bahwa mereka dihinggapi oleh perasaan-perasaan yang aneh. Dandanggula itu
terdengar begitu jelas sehingga kata demi kata dapat dimengerti dengan baik. Bunyi syair dari
tembang itu adalah:Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu buwanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja (Kusw)Tak seorang pun yang mengetahui tanggapan Pasingsingan atas lagu itu dengan pasti, sebab
wajah orang itu tertutup oleh kedok. Tetapi melihat sikapnya, ia sama sekali tidak senang
mendengarnya, meskipun lagu itu dibawakan oleh suara yang merdu dan syairnya
mengandung nasihat yang baik. Sebagaimana seseorang harus berusaha menyelamatkan dunia
ini dengan banyak memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang luas tentang cinta manusia untuk
memberantas kejahatan. Serta dengan mengendapkan cipta untuk mengetahui batas antara
baik dan buruk. Disertai doa kepada Tuhan untuk kebahagiaan.
Kemudian malahan Pasingsingan menjadi gelisah ketika ia mendengar lagu itu diulang
kembali. Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap ke utara dan dengan garangnya ia menggeram.
Sedang kata-katanya sangat mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti halilintar
meledak di atas kepala masing-masing. Termasuk Mahesa Jenar dan Jaka Soka.
”Setan tua...! Apa maksudmu mengganggu urusanku? Baiklah. Hanya sayang kali ini aku
tidak ada waktu untuk melayanimu. Karena itu lain kali aku akan menemuimu, kalau aku
tidak sedang membawa beban seperti kali ini. Sampai ketemu Pandan Alas!” kata
Pasingsingan. Setelah itu tanpa diketahui arahnya, tahu-tahu Pasingsingan telah lenyap dari
pandangan mereka beserta Lawa Ijo.
Lenyapnya Pasingsingan itu tidak begitu menarik perhatian Mahesa Jenar dan Jaka Soka.
Seperti berjanji, mereka setelah mendengar nama Pandan Alas, segera meloncat ke utara,
kearah mana Pasingsingan tadi menghadap. Mereka menduga, bahwa dari sanalah sumber
suara tadi datangnya. Sebab kebetulan Mahesa Jenar dan Jaka Soka berbareng ingin melihat
wajah orang aneh itu.
Tetapi setelah agak jauh mereka menyusup, yang mereka temui hanyalah bekas luka pada
pokok sebuah pohon raksasa. Meskipun mereka hanya menemui bekasnya saja, namun telah
cukup menggetarkan hati mereka. Sebab menurut pendengaran mereka, waktu Ki Ageng
Pandan Alas menebang pohon itu hanyalah sebentar saja, sedang yang mereka lihat bekasnya
adalah luar biasa.
Sebatang pohon raksasa yang besarnya lebih dari empat pemeluk, ternyata telah luka hampir
separonya. Sedang tatal kayu bekas tebangan itu, berbongkah-bongkah hampir sebesar kepala
anjing. Sungguh mengagumkan. Apalagi ketika disamping pohon itu, yang mereka ketemukan
hanyalah sebuah kampak kuno dari batu, yang diikat pada setangkai dahan basah sebagai
pegangannya.
”Luar biasa,” desis Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. ”Aku tidak dapat mengira kekuatan apa yang telah
membantu orang itu, sehingga ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tampaknya ia sedang berpikir keras. Akhirnya setelah
dipertimbangkan bolak-balik ia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu serta
mengurungkan maksudnya menculik gadis yang memiliki keris Sigar Penjalin milik Ki Ageng
Pandan Alas.
”Mahesa Jenar, ternyata aku salah duga kepadamu. Karena itu baiklah kali ini aku mengaku
kalah dan mengurungkan niatku menculik gadis cantik itu. Aku merasa bersyukur, bahwa kau
tidak mempergunakan ilmumu yang menurut Paman Pasingsingan disebut Sasra Birawa,
ketika melawan aku. Kalau demikian halnya, maka aku kira aku pun akan jadi lumat. Juga
benar apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo, bahwa Pandan Alas benar-benar berada di segala
tempat. Sekarang baiklah aku pergi dulu. Sampai lain kali,” kata Jaka Soka kepada Mahesa
Jenar.
060
SELESAI mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya Jaka Soka alias Ular Laut
yang terkenal sebagai bajak laut yang bengis itu meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan.
Tinggallah kini Mahesa Jenar seorang diri. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai masalah dan
persoalan. Tetapi yang penting adalah mengatur rombongan itu kembali. Dan kemudian
membicarakan kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut.
Ketika Mahesa Jenar sampai di tempat rombongan, ia melihat bahwa beberapa orang telah
tampak mulai agak tenang kembali. Terutama para pengawal. Malahan ada diantaranya yang
sudah dapat mengatur barang-barangnya. Meskipun demikian mereka masih saja nampak
ketakutan. Ternyata ketika mereka mendengar gemerisik daun yang disebakkan oleh Mahesa
Jenar, mereka masih terkejut juga. Tetapi ketika mereka melihat, bahwa yang datang adalah
Mahesa Jenar, perasaan mereka nampak lega. Malahan ada yang berlari-lari menyambut dan
langsung berjongkok dan menyembahnya. Terutama sepasang suami-istri yang telah minta
kepadanya untuk membawa bebannya. Kedua orang itu menyembah sambil menangis minta
diampuni.
Segera Mahesa Jenar pun menenangkan mereka, serta segera minta agar para pengawal
menyalakan api. Sebentar kemudian beberapa orang telah mengumpulkan kayu, serta apipun
segera dinyalakan.
Mereka, seluruh anggota rombongan, telah duduk mengelilingi api yang menyala-nyala dan
menjilat-jilat ke udara. Daun-daun di atas nyala api itu bergerak-gerak seperti menggapaigapai kepanasan. Malam pun segera turun dengan cepatnya. Pepohonan serta dedaunan
nampak seperti diselimuti oleh warna yang hitam kelam. Di sana-sini mulai terdengar kembali
suara-suara binatang malam.
Pada wajah-wajah di sekeliling api itu, masih menggores rasa cemas dan takut.
Kejadian-kejadian siang tadi sangat berkesan di hati mereka. Pertarungan-pertarungan dahsyat
dan kejadian-kejadian yang aneh terjadi berturut-turut seperti peristiwa-peristiwa dalam
mimpi yang menakutkan.
Terutama gadis cantik yang hampir-hampir saja menjadi sumber bencana. Ia masih saja
merasa bahwa dirinya bersalah sehingga rombongan itu mengalami kekacauan, ia, bahkan
hampir dimusnahkan, kalau tidak secara kebetulan ada seorang perkasa yang melindunginya.
Karena itu ia masih saja belum berani memandang wajah-wajah kawan seperjalanannya.
Sejenak kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh Mahesa Jenar yang berkata kepada orangorang dalam rombongan itu. “Kawan-kawan, bahaya tidak lagi bakal datang, setidak-tidaknya
malam ini. Karena itu tenanglah dan beristirahatlah. Aku kira kalian sehari penuh masih
belum juga makan. Sekarang kesempatan itu ada. Sesudah itu kalian bisa tidur nyenyak
seperti tadi malam.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, mereka serentak diperingatkan oleh rasa lapar yang
semula tak dihiraukan. Segera diantara mereka membuka bekal-bekal mereka, tetapi tidak
sedikit diantara anggota rombongan itu yang sudah tidak punya rasa lapar lagi. Juga sesudah
itu, tak seorang pun yang dapat merasa kantuk.
Sejenak kemudian mulailah Mahesa Jenar berunding dengan para pengawal, tentang
bagaimana baiknya rombongan tersebut.
Menurut pendapat Mahesa Jenar, sebaiknya rombongan itu tidak meneruskan perjalanan.
Sebab kalau pada langkah pertamanya mereka sudah menemui kesulitan, kelanjutannya pun
akan tidak menguntungkan.
Kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan adalah banyak sekali. Lawa Ijo, terang,
bahwa ia tidak berdiri sendiri. Ia adalah seorang pemimpin dari sebuah gerombolan yang
cukup besar. Hanya sekarang gerombolan itu seakan-akan sedang dibekukan. Tetapi, kalau
sampai mereka mendengar, bahwa kepala mereka dilukai, mereka pasti tidak akan tinggal
diam. Karena itu, selagi masih ada waktu, sebaiknya rombongan itu besok pagi berangkat
kembali ke tempat semula.
Tak seorang pun diantara mereka yang dapat menolak pendapat ini. Memang pada umumnya
mereka telah dihinggapi perasaan takut yang luar biasa. Untunglah, bahwa pada saat itu
datang Mahesa Jenar menolong mereka. Kalau tidak, mereka pasti sudah jadi bangkai.
Tetapi dalam suasana yang demikian, mendadak gadis cantik yang merasa dirinya bersalah,
berkata kepada Mahesa Jenar, “Tuan, aku terpaksa tidak dapat menerima saran Tuan untuk
kembali. Sebab aku memang tidak punya tempat untuk kembali. Tetapi aku juga tidak dapat
memaksa rombongan ini berjalan terus. Karena itu, baiklah kalau rombongan ini berjalan
kembali dengan para pengawal, aku akan berjalan sendiri melanjutkan perjalanan ke Pliridan.
Hanya sebagai bekal perjalanan, aku minta kerisku tadi dikembalikan kepadaku. Sebab kalau
aku bertemu seorang seperti pemuda yang akan menculik aku, sebaiknyalah kalau aku bunuh
diri.”
Gadis itu mengucapkan kata-katanya dengan mata sayu diwarnai oleh hatinya yang putus asa.
Ia merasa tidak berhak lagi berkumpul dengan orang-orang serombongannya. Sebab ia telah
merasa berbuat kesalahan yang tak termaafkan.
Mahesa Jenar dan beberapa orang tampak mengerutkan keningnya. Memang dalam keadaan
terjepit, ada diantara mereka yang sampai hati mengumpati gadis itu. Tetapi dalam keadaan
yang demikian, timbul pulalah perasaan iba terhadapnya.
061
GADIS itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Matanya yang bulat, nampak
mengambang air mata yang ditahan sekuat-kuatnya.
Tak ada jalan buat kembali, ujarnya lirih.
Dalam kata-kata itu, ternyata bahwa ada sesuatu rahasia yang menyelubungi diri gadis itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang diri gadis itu, yang sampai
saat itu masih belum dikenal namanya.
Siapakah sebenarnya kau ini? Serta apakah hubunganmu dengan Ki Ageng Pandan Alas?
tanya Mahesa Jenar kemudian.
Gadis itu mengangkat mukanya sedikit. Lalu jawabnya, Tuan, sebenarnya aku sama sekali
tidak mengenal siapakah Ki Ageng Pandan Alas itu. Kalau aku memiliki keris yang tuan
hubungkan dengan nama Pandan Alas, adalah diluar pengetahuanku. Aku menerima keris itu
dari almarhum ibuku, sedangkan ibu menerimanya dari kakek. Seorang petani miskin yang
sedang merantau mencari daerah baru, dan sekarang menurut almarhum ibuku, kakek itu
tinggal di daerah Pliridan. Dan sama sekali tak bernama Pandan Alas, tetapi bernama Ki
Santanu, sedangkan aku sendiri dinamai oleh ayahku, Rara Wilis.
Mahesa Jenar mendengarkan jawaban gadis yang bernama Rara Wilis itu dengan seksama.
Pengakuannya, bahwa ia sama sekali tak mengenal Ki Ageng Pandan Alas semakin menarik
perhatian Mahesa Jenar. Mendadak berkilatlah dalam hatinya, suatu keinginan untuk
mengetahui rahasia yang menyelubungi gadis itu. Sehingga berkatalah Mahesa Jenar,
Bapak-bapak para pengawal, serta saudara-saudara seperjalanan. Barangkali aku mempunyai
suatu cara yang dapat memenuhi kehendak kalian. Sebaiknya kalian kembali dengan para
pengawal, mungkin tak akan banyak menemui halangan, sedangkan gadis ini, yang berkeras
hendak melanjutkan perjalanan dan menemui kakeknya, biarlah aku antarkan saja. Sebab
perjalanan ke Pliridan bukanlah suatu pekerjaan yang ringan.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu melonjaklah kegirangan di hati Rara Wilis.
Tiba-tiba matanya yang berkaca-kaca itu jadi berkilat-kilat. Tetapi sebentar kemudian kembali
perasaan kegadisannya menguasai dirinya, sehingga wajahnya jadi kemerah-merahan, serta
kembali ia menundukkan mukanya.
Mahesa Jenar pun menangkap perubahan wajah Rara Wilis. Dan tidak disadarinya hatinya
pun bergoncang. Sebaliknya beberapa orang lain menjadi kecewa mendengar keputusan
Mahesa Jenar untuk tidak menyertai mereka kembali. Sebab bersama sama dengan Mahesa
Jenar, mereka semua merasa bahwa keamanan mereka terjamin.
Sementara itu kembali Mahesa Jenar berunding dengan para pengawal, serta memberi
petunjuk mengenai beberapa kemungkinan. Sehingga akhirnya terdapat suatu keputusan,
bahwa mereka semuanya akan kembali dengan para pengawal, sedangkan Mahesa Jenar
sendiri akan mengantar Rara Wilis sampai ke Pliridan.
Demikianlah pada malam itu hampir tak seorang pun dapat tidur, kecuali beberapa orang,
karena lelah lahir dan batin, seakan-akan terlena sambil bersandar di pokok pepohonan.
Berbeda dengan siang tadi, dimana hari seakan-akan berlari demikian cepatnya, malam itu
rasa-rasanya tak bergerak. Suara binatang malam, serta desiran angin rimba terasa sangat
menjemukan dan menakutkan. Mereka semua mengharap agar malam lekas berakhir.
Sehingga cepat-cepat mereka dapat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Baru setelah mereka mengalami kejemuan yang luar biasa, terdengar ayam rimba berkokok
bersahut-sahutan. Dari celah-celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah membayang warna
merah di langit. Segera orang-orang itu semua mengatur barang-barangnya dan menyiapkan
diri untuk menempuh perjalanan yang berlawanan dengan yang ditempuhnya kemarin, kecuali
Rara Wilis yang setelah menerima kembali kerisnya akan melanjutkan perjalanannya ke
Pliridan, diantar oleh Mahesa Jenar sendiri.
Maka setelah semuanya bersiap, serta setelah para pengawal dan mereka yang mengadakan
perjalanan sekali lagi mengucapkan terimakasih kepada Mahesa Jenar, mulailah mereka
berangkat kembali. Di depan sendiri berjalan pengawal tua itu dengan senjata di tangan. Baru
setelah rombongan itu lenyap dibalik pepohonan, Rara Wilis beserta Mahesa Jenar pun
berangkat melanjutkan perjalanan ke barat, ke daerah Pliridan.
Di perjalanan, tidak banyak yang mereka percakapkan, kecuali apabila Mahesa Jenar
memandang perlu untuk memberitahukan tempat-tempat berbahaya atau binatang binatang
berbisa.
Tetapi perjalanan Mahesa Jenar sekarang bertambah laju, karena tidak harus bersama-sama
dengan rombongan yang besar. Sekali dua kali Mahesa Jenar pun harus berlaku seperti
pemimpin rombongan pengawal, menuntun bahkan menggendong Rara Wilis apabila jalan
sangat sulit, meskipun keduanya agak segan-segan. Tetapi terpaksalah hal itu dilakukan.
Sebab memang sekali dua kali mereka menjumpai rintangan yang berat.
Demikianlah mereka berjalan terus seakan-akan tak mengenal lelah. Bagi Rara Wilis,
perjalanan ini, meskipun melewati daerah hutan yang tak kalah liarnya dengan yang ditempuh
kemarin, tetapi rasanya tidak begitu berat. Bahkan setelah lebih dari setengah hari ia berjalan,
sama-sekali tak terasa lelah olehnya, haus ataupun lapar.
Perjalanan yang begitu sulit itu bagaikan sebuah tamasya, diantara kehijauan ladang serta
keindahan taman. Gemerisik daun kering yang dilemparkan oleh angin, terdengar merdu.
Rara Wilis sendiri tidak begitu menyadari, kenapa hatinya menjadi sedemikian bening dan
cerah.
Tidak banyak hal yang mereka temui di perjalanan. Ketika malam datang, mereka beristirahat
di bawah sebuah pohon yang cukup besar. Setelah rumput-rumput liar di bawah pohon itu
dibersihkan, segera Rara Wilis merentangkan tikarnya, sedangkan Mahesa Jenar
mengumpulkan kayu dan kemudian menyalakan api.
Malam itu pun dilampauinya dengan tak ada sesuatu yang terjadi. Pagi-pagi setelah mereka
mempersiapkan diri, segera perjalanan pun dilanjutkan.
Perjalanan itu masih harus melampaui satu malam lagi. Maka pada hari ketiga itu, Rara Wilis
serta Mahesa Jenar menempuh perjalanan yang terakhir untuk mencapai daerah Pliridan.
062
MATAHARI telah miring ke barat, hutan Tambakbaya semakin lama semakin bertambah
tipis. Pepohonan tidak lagi selebat dan liar seperti daerah pedalaman. Sementara itu terasa
debaran jantung yang aneh dalam dada Rara Wilis. Telah lebih sepuluh tahun ia tak berjumpa
dengan kakeknya. Sekarang, ia ingin mencarinya di daerah yang tak dikenalnya.
Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan hutan. Di depan mereka tinggallah
beberapa grumbul kecil yang tidak begitu berarti.
“Inilah daerah Pliridan,” gumam Mahesa Jenar hampir kepada dirinya sendiri.
Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang berjalan di depan jadi terhenti. Beberapa
macam perasaan bercampur aduk di otaknya. Sekali ia menarik nafas panjang. Alangkah lega
hatinya setelah hutan yang lebat itu dapat dilewatinya.
Tetapi sementara itu lalu kemana ia mesti pergi?
Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar. Wajahnya yang cerah itu menjadi agak
suram oleh kebimbangan hatinya. Mahesa Jenar dapat menangkap perasaan Rara Wilis.
“Rara Wilis, dapatkah kau menunjukkan di daerah manakah kira-kira kakekmu tinggal?”
tanya Mahesa Jenar. Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia sama sekali tak
mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya mendengar, bahwa kakek itu tinggal di
daerah Pliridan.
Mahesa Jenar juga menjadi agak bimbang. Ia beberapa tahun yang lalu pernah mengenal
daerah ini. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang, ternyata mengalami banyak perubahan.
“Tuan,” kata Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan, “Aku sama sekali tidak
membayangkan kalau demikianlah keadaan daerah Pliridan. Menurut gambaran angananganku. Pliridan adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh persawahan dan ladang. Tetapi
ternyata daerah ini hanyalah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-gerumbul liar.”
“Tetapi aku kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis. Beberapa tahun yang lalu, desadesa seperti yang kau bayangkan itu memang pernah ada. Entahlah kenapa sekarang keadaan
itu berubah. Meskipun demikian aku yakin, bahwa di sekitar daerah ini masih juga didiami
orang. Karena itu baiklah kita coba mencarinya.”
Di wajah Rara Wilis masih saja membayang kebimbangan hatinya, bahkan kebimbangan itu
kemudian berubah menjadi suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat menemui
kakeknya? Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan dapat terus-menerus menemaninya.
Melihat perubahan wajah Rara Wilis, Mahesa Jenar pun menangkap perasaannya, karena itu
ia mencoba menghiburnya.
“Rara Wilis, tak usah kau merasa takut. Aku masih mempunyai perasaan kuat, bahwa di sini
masih didiami orang. Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia mengantar kau pulang
ke rumah ayahmu.”
Tetapi akibat perkataan itu adalah sebaliknya dari yang diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar
menjadi terkejut sekali ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air mata. Meskipun
sudah ditahan sekuat-kuatnya.
Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan. Sekali lagi ia merasa demikian tumpulnya
perasaannya. Ia pernah mengalami suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda.
Yaitu pada waktu ia berhadapan dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu juga ia menjadi
kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan.
Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di hadapannya tanpa sebab. Justru pada saat ia
berusaha untuk menghiburnya. Karena itu perasaannya menjadi tidak enak sekali.
Tetapi setelah ia mempunyai sebuah pengalaman yang tak menyenangkan, ia tidak lagi mau
menebak-nebak. Maka terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik adalah
menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis. Mendapat pikiran yang demikian,
Mahesa Jenar menjadi agak lega sedikit. Dan dengan hati-hati sekali ia mencoba bertanya.
“Rara Wilis, aku telah mencoba untuk menenangkan hatimu, tetapi justru akibatnya adalah
sebaliknya. Karena itu, dapatkah aku menanyakan, apakah sebabnya kau menangis?”
Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia melangkah beberapa kali ke samping, dan kemudian
menjatuhkan dirinya duduk di rumput-rumput liar. Dari matanya masih saja terurai tetesantetesan airmata. Baru setelah beberapa saat, ia menjawab dengan kata-kata yang tersekatsekat.
“Tuan, aku merasa bersyukur, bahwa aku dapat berjumpa dengan seorang yang demikian baik
hati seperti Tuan. Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan terima kasihku yang
tak terhingga. Tetapi sangatlah menyesal Tuan ..., bahwa kalau aku tak dapat menemukan
kakekku, aku tak dapat kembali kepada ayahku. Meskipun ayahku dahulu tergolong orang
yang berada, tetapi tak adalah tempat bagiku di sana.”
Mahesa Jenar menjadi semakin menebak-nebak tentang keadaan gadis aneh itu. Rupanya
banyak rahasia yang menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh perjalanan yang
sedemikian berbahayanya.
“Rara Wilis,” tanya Mahesa Jenar kemudian, “aku bukanlah ingin terlalu banyak mengetahui
tentang dirimu, tetapi bagiku kau adalah seorang gadis yang diselubungi oleh kabut rahasia
yang kelam.”
“Mungkin Tuan benar,” jawab Rara Wilis, “Tetapi buat tuan tidaklah sepantasnya kalau aku
menyembunyikan sesuatu rahasia.”
Mata Rara Wilis yang bulat tetapi sayu itu memandang Mahesa Jenar, seperti mata kanakkanak yang minta perlindungan. Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang
harus dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta duduk diatas rumput-rumput liar.
Setelah diam sejenak, Rara Wilis memulai ceritanya. “Tuan, ayahku adalah seorang yang
banyak mempunyai pengaruh di daerah Pegunungan Kidul. Meskipun daerah itu tandus dan
kering, tetapi ayahku mempunyai peternakan yang cukup, sehingga dapatlah ia digolongkan
orang berada. Tetapi ibuku adalah keturunan orang yang miskin. Kakekku semasa masih
tinggal di Pegunungan Kidul, tidaklah lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan upah
yang sangat kecil. Meskipun demikian kakek termasuk orang yang tidak mau menjadi beban
orang lain. Sepuluh tahun yang lalu kakek yang merasa kehidupannya semakin hari semakin
sulit, terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman. Memang sebelum itupun kakek adalah
seorang perantau. Mungkin ini disebabkan oleh kehidupannya yang sulit, sehingga pada saatsaat tertentu, yaitu pada saat paceklik, kakek pergi meninggalkan kampung untuk beberapa
bulan. Tetapi sejak 10 tahun yang lalu, kakek tidak kembali pulang.”
063
RARA WILIS pun bercerita bahwa pada masa kanak-kanak, "apabila kakek berada di rumah,
selalu digendongnya kemana ia pergi. Kepergiannya tidak terlalu lama mempengaruhi
perasaanku. Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan aku. Tetapi akhir-akhir ini terjadilah
peristiwa-peristiwa yang merusak kehidupan damai itu. Beberapa tahun yang lalu, di
kampung halamanku, datanglah seorang perempuan dari Bagelen. Kelakuannya tidaklah
seperti lazimnya perempuan-perempuan di daerah kami. Di daerah kami banyak pendekar
yang ternama, termasuk ayahku yang bernama Ki Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang
perempuan jadi pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang itu. Ternyata ia
adalah seorang pendekar perempuan, yang tidak diduga-duga. Ia pun telah dapat mengalahkan
beberapa pendekar ternama di daerah kami."
Rara Wilis berhenti sejenak. Alisnya tampak berkerut. Ia mencoba mengingat kembali
peristiwa-peristiwa yang pernah berlaku.
"Tuan ...," sambungnya beberapa saat kemudian. "Keanehan perempuan itu tidak saja pada
kependekarannya, tetapi juga pada tingkah lakunya. Kadang-kadang ia bersikap garang dan
kasar seperti halnya pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-kadang ia menjadi
lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang wanita."
Rara Wilis kembali berhenti bercerita sejenak.
"Rupanya gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang telah memecahkan kebahagiaan rumahtangga kami. Sebab ternyata hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin hari semakin
rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang hanya dapat bekerja di dapur dan meladeni seorang
suami seperti apa yang dilakukan perempuan-perempuan lain di desa kami. Ibuku tidaklah
dapat memberi saran, nasihat atau apapun semacam itu kepada ayahku sebagai seorang
pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati laki-laki. Dan karena itulah maka semakin
dekat ayahku dengan perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku. Rupanya hal itu
dapat dilihat oleh penduduk di daerah kami, sehingga menimbulkan suasana yang kurang
menyenangkan. Tetapi lebih daripada itu, ayah pun perangainya seakan-akan berubah. Ia pun
kemudian mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum minuman keras dan hal-hal kasar
lainnya. Kepadaku pun ayah menjadi semakin jauh pula."
Lagi-lagi Rara Wilis berhenti sejenak. "Alangkah benciku kepada perempuan itu, seperti ia
juga sangat benci kepadaku. Bahkan ia selalu menyakitiku tanpa ada pembelaan dari ayah,
apalagi ibu yang hanya dapat memelukku dan menangisi. Waktu itu, tak banyak yang dapat
aku ketahui, selain pada suatu hari datanglah beberapa orang pendekar terkenal, yang dulu
adalah sahabat-sahabat ayahku. Tanpa kuketahui sebab-sebabnya, mereka bertempur melawan
ayahku serta perempuan pendatang itu. Rupanya ayahku memang seorang pendekar pilihan
dan perempuan itu pun tak kalah garangnya. Sehingga meskipun ayah dan perempuan itu
dikerubut, tetapi dapat juga memberi perlawanan yang berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak
dapat berbuat lain, kecuali memelukku dan menangis sejadi-jadinya di belakang dapur rumah
kami. "
"Akhirnya ...," lanjut Rara Wilis, "bagaimanapun kuatnya ayahku serta perempuan pendatang
itu, namun tidaklah dapat menahan arus kemarahan pendekar-pendekar ternama di dareh kami
yang demikian banyak jumlahnya. Sehingga sejak itu, ayahku pergi dengan perempuan
pendatang itu, dan tidak pernah kembali. Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan
yang tak terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga bersikap baik sekali. Bahkan para
pendekar yang mengerubut ayahku, bersikap manis sekali kepada ibuku. Bahkan istri-istri
mereka selalu berusaha untuk dapat bercakap-cakap dan menghibur ibuku. Tetapi rupanya
ibuku lebih suka mengurung dirinya serta membenamkan diri dalam duka." Kata Rara Wilis,
"beberapa tahun kemudian membayanglah puncak kesedihan yang bakal terjadi. Ibuku sakit.
Semakin lama sakit itu semakin keras dan seolah-olah sudah terasa, bahwa sakit itu tak akan
dapat diobati. Ternak kami yang sekian banyaknya, kekayaan kami, tidak dapat membendung
arus kematian yang semakin lama semakin deras bergulung-gulung menghantam tebingtebing kehidupan ibuku.
Maka setelah beberapa tahun kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup mata, serta
meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin itu kepadaku, sebagai suatu bukti
bahwa aku adalah keturunan Ki Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi sama sekali bukan Ki
Ageng Pandan Alas dari Wanasaba. Maka akupun akhirnya merasa, bahwa aku tidak dapat
hidup tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku mendapat warisan yang cukup
banyak, tetapi semuanya itu tak berarti bagi hidupku yang kering."
Rara Wilis mengakhiri ceriteranya dengan sedu-sedan yang seperti meledak dari rongga
dadanya.
Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu dengan penuh haru. Rupanya
kegersangan hati gadis itulah yang mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat
berbahaya, mencari kakeknya, sekadar untuk dapat menyangkutkan cinta serta harapannya.
Mungkin ia mengharapkan kakeknya suka kembali ke kampung halaman, untuk bersamasama hidup dalam suasana yang hanya dapat dikenangnya kembali.
Tetapi meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta sepenuhnya merasakan betapa keringnya
hidup tanpa sangkutan cinta, namun ia tidak dapat berbuat suatu untuk menenangkan hati
gadis cantik itu. Oleh karenanya ia menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia berdiri lalu
berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.
Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan perjalanannya yang sunyi mengarungi
langit. Cahayanya yang masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas punggung-punggung
bukit.
Mahesa Jenar masih saja berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya. Dalam hatinya
berkecamuk perasaan heran yang tiada habis-habisnya. Bagaimana mungkin seorang ayah
dapat melupakan putrinya, hanya karena seorang perempuan yang tak dikenal asal-usulnya,
sehingga ia telah melepaskan hari depan gadisnya serta hari depan garis keturunannya?
Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi agak tenang, Mahesa Jenar pun
segera mempersilahkannya untuk berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar masih
mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di daerah ini.
064
PERJALANAN di daerah ini tidaklah sesulit berjalan di hutan. Mereka hampir tidak pernah
menemui rintangan-rintangan yang berarti.
Setelah mereka berjalan beberapa saat, tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti. Matanya memandang
ke satu arah dengan tajamnya, dan sejenak kemudian ia meloncat beberapa langkah, lalu
berjongkok, mengamati sesuatu.
Rara Wilis terkejut bercampur heran melihat tingkah laku Mahesa Jenar. Ia pun segera berlari
dan ikut serta mengamati arah yang sama. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Karena itu dengan
herannya ia bertanya, "Tuan, adakah Tuan melihat sesuatu? "
"Rara Wilis .... Lihat rumput-rumput ini," jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis memandang rumput yang ditunjuk oleh Mahesa Jenar itu dengan seksama, tetapi
ia tetap tidak melihat sesuatu. "Ada apa dengan rumput-rumput itu?," tanyanya.
"Lihatlah, rumput ini rebah dan patah-patah. Lihatlah di tempat itu, juga terdapat hal yang
sama, juga di sebelah sana dan sana. Kau tahu artinya? Apalagi di tempat yang tanahnya agak
gembur ini."
Rupanya otak Rara Wilis pun tidak begitu tumpul, sehingga ia berteriak menebak. "Telapak
kaki manusia ...?"
Ya, sahut Mahesa Jenar. Telapak kaki yang masih agak baru. Pasti seseorang baru saja
melewati daerah ini. Mungkin ia adalah penduduk daerah Pliridan ini, atau mungkin....
Mahesa Jenar tidak melanjutkan perkataannya. Tetapi Rara Wilis dapat menangkap
kelanjutannya. Mudah-mudahan bukanlah penjahat-penjahat itulah yang sengaja dikirim
untuk mematai-matai perjalanan kita, katanya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri sejenak. Otaknya bekerja keras untuk mencoba
menebak, siapakah kira-kira yang meninggalkan bekas tapak kaki yang masih segar itu.
Menurut pendapatnya, ada empat kemungkinan, yaitu penduduk setempat, Jaka Soka,
Pasingsingan, atau Ki Ageng Pandan Alas. Diam-diam ia membandingkan telapak kaki itu
dengan telapak kakinya sendiri.
Ternyata telapak kaki itu agak lebih dalam. Menurut pendapatnya, pastilah orang itu adalah
orang yang gemuk sekali, atau orang yang membawa beban agak berat. Tiba-tiba terlintaslah
dalam benaknya, bahwa Pasingsingan adalah kemungkinan yang paling dekat, sebab
Pasingsingan dalam perjalanannya kembali ke Pasiraman mendukung Lawa Ijo yang terluka.
Dan tidaklah mustahil kalau jalan ini dilewati, sebab arah perjalanannya sesuai dengan arah
jalan ini.
Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Ia tidak ingin menggelisahkan hati gadis itu. Karena itu ia
menjawab," Tidaklah begitu penting Rara Wilis, tetapi sebaiknya kita beralih jalan."
Rara Wilis mengerutkan dahinya, otaknya memang cukup cerdas, karena itu ia menjawab,
"Kalau Tuan sampai menganggap perlu untuk menempuh jalan lain, pastilah ada sesuatu yang
sangat penting. Katakanlah Tuan, supaya aku tidak usah menebak-nebak."
Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain, kecuali mengatakan segala sesuatu yang berkecamuk
di dalam otaknya. Rara Wilis pun sependapat dengan pikiran itu. Maka mereka memutuskan
untuk mencari jalan lain.
Demikianlah mereka meninggalkan dan menjauhi jalan setapak yang paling mungkin dilalui
orang. Mereka membelok ke arah selatan, menyusup gerumbul-gerumbul kecil menuju ke
arah pepohonan yang agak lebat di depan mereka. Mungkin di daerah itu terdapat mata air,
atau tempat yang aman untuk bermalam, atau sukurlah kalau didiami orang.
Ketika mereka sampai, ternyata tempat itu tidak juga ditinggali manusia. Memang, di sana
terdapat sebuah mata air yang mengalirkan air cukup deras, dan ditampung dalam sebuah
telaga yang hijau bening.
Pada saat itu, matahari telah sampai di garis cakrawala. Sinarnya sudah tidak lagi dapat
menembus takbir gelapnya malam, yang turun perlahan-lahan, tetapi pasti akan menelan
bumi.
Mehesa Jenar segera mengadakan persiapan untuk bermalam. Hanya untuk kali itu, menurut
pertimbangan Mahesa Jenar, sebaiknyalah kalau tidak menyalakan api, meskipun Mahesa
Jenar sadar bahwa andaikata bekas-bekas kaki tadi benar-benar bekas kaki Pasingsingan,
pastilah ia tidak sengaja akan menjebaknya. Sebagai orang seperti Pasingsingan, apabila
dikehendaki tentu tidak akan meninggalkan jejak sedemikian jelasnya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar harus selalu tetap waspada. Dipersilahkan Rara Wilis untuk
beristirahat, berbaring di atas tikar yang masih saja dibawanya ke mana-mana. Sedang
Mahesa Jenar sendiri duduk bersandar pohon sambil memperhatikan suasana di sekitarnya.
Alam pun segera menjadi hitam. Untunglah, bahwa bulan yang remaja menghiasi langit
diantara taburan bintang-bintang. Sehingga sinarnya yang remang-remang dapat menembus
dedaunan yang tidak begitu lebat seperti lebatnya hutan.
Mata Mahesa Jenar yang tajam itu selalu menembus keremangan malam untuk menangkap
tiap-tiap gerakan yang mungkin mencurigakan. Tetapi tiba-tiba saja mata itu terbanting ke
tubuh seorang gadis cantik yang berbaring diam di depannya. Dengan demikian jantungnya
berdesir cepat tanpa sadar.
065
MAHESA JENAR pernah bertemu, melihat dan berkenalan dengan puluhan bahkan ratusan
gadis cantik. Bahkan ia pernah berkenalan dengan seorang yang menurut pendapatnya
memiliki kecantikan yang sempurna, yaitu Nyai Wirasaba.
Tetapi tidaklah pernah ia merasakan suatu getaran yang aneh seperti dirasakannya pada
malam itu.
Diam-diam Mahesa Jenar memandangi tubuh yang terbaring seperti sebuah golek kencana itu.
Dari ujung kakinya, tangannya, dadanya sampai ke rambutnya yang bergerak-gerak dibelai
angin malam yang berhembus lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai manusia biasa, Mahesa Jenar juga kadangkadang membayangkan suatu rumahtangga yang tenteram dan lumrah. Tetapi segera Mahesa
Jenar dapat langsung memandang ke dirinya sendiri. Ia tidak lebih dari seorang perantau yang
akan menjelajahi desa demi desa, hutan demi hutan, untuk mengabdikan keyakinannya. Untuk
itu, maka masih banyaklah yang harus dikerjakan.
Karenanya, oleh kesadarannya tentang dirinya, maka segala perasaan-perasaan yang berdesir
di hatinya terhadap gadis cantik itu segera didesak sekuat-kuatnya.
Maka dengan serta merta direnggutkannya pandangannya dari tubuh Rara Wilis, dan segera
dilemparkan kembali ke arah bayang-bayang daun dan ranting-ranting yang selalu bergerakgerak, seolah-olah sedang mengganggunya. Angin malam yang berdesir di dedaunan masih
saja menyapu wajahnya, dan sekali-sekali terdengar di kejauhan ringkik kuda liar yang
terkejut mendengar teriakan-teriakan anjing hutan.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja ia terbanting kembali ke dalam suasana yang
kini sedang dihadapi. Suatu daerah asing yang diliputi oleh suasana yang membahayakan.
Segera diangkatnya kepalanya, serta diperhatikannya keadaan di sekelilingnya dengan
saksama. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang luas, Mahesa Jenar
mendapatkan suatu firasat, bahwa ada sesuatu yang mencurigakan.
Mendadak telinganya yang tajam itu mendengar suara berdesir lambat sekali. Tetapi Mahesa
Jenar sudah cukup mendapat gambaran bahwa seseorang datang mendekatinya. Orang itu
pasti bukanlah orang yang mempunyai ilmu yang terlalu tinggi. Sebab gerak serta
pernafasannya tidaklah dikuasainya dengan baik.
Karena itu sekaligus Mahesa Jenar dapat mengetahui dari arah mana orang itu datang. Tetapi
ia tidak segera mengadakan tindakan apa-apa. Ia ingin mengetahui lebih dahulu, apakah kirakira maksud orang itu mengintainya. Karena itu ia tetap duduk di tempatnya, serta bersikap
seperti tak mengetahuinya. Meskipun dalam keadaan yang demikian ia sudah bersiaga untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Suara berdesir itu pun semakin lama semakin jelas, serta suara tarikan nafasnya semakin
memburu pula. Tetapi pada jarak tertentu suara itu tidak lagi maju. Rupanya orang itu baru
mempersiapkan diri untuk menyerang.
Mendadak Mahesa Jenar terkejut ketika mendengar suara itu mundur dan menjauh. Segera
Mahesa Jenar tahu, bahwa orang itu tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya mengintai saja.
Hal yang demikian itu malahan akan dapat mengandung bahaya yang lebih besar. Karena itu
segera Mahesa Jenar bangkit dan dengan beberapa loncatan saja ia sudah berdiri di samping
orang yang mengintainya.
Orang itu terkejut. Mahesa Jenar yang dikira tidak mengetahui kehadirannya, kini tiba-tiba
sudah ada di sampingnya. Karena itu tidaklah mungkin ia dapat melepaskan diri. Dengan
demikian ia menghentikan langkahnya, dan tidak ada jalan lain kecuali mendahului
menyerang. Orang itu segera mengangkat goloknya, dan dengan sekuat tenaga dibabatnya
pundak Mahesa Jenar.
Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi terkejut pula. Ternyata meskipun
orang itu tidak dapat menguasai pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai
keistimewaan pula.
Mendengar desing golok yang terayun deras sekali, Mahesa Jenar barulah dapat mengukur
kekuatan tenaga orang asing itu. Ketika golok itu sudah hampir menyinggung tubuhnya,
segera Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta meloncat selangkah ke samping. Dengan demikian
golok yang tak mengenai sasarannya itu terayun deras sekali, sehingga oran gyang
memegangnya agak kehilangan keseimbangan.
Dalam keadaan yang demikian Mahesa Jenar segera meloncat maju dan menangkap
pergelangan tangan orang itu, langsung diputarnya ke belakang. Dengan sekali dorong, orang
itu telah jatuh tertelungkup dan tidak dapat bergerak lagi, kecuali berdesis menahan sakit.
"Kau siapa?," tanya Mahesa Jenar geram. Tetapi orang itu tidak menjawab. Demikianlah
sampai Mahesa Jenar mengulangi pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar menjadi
jengkel dan menekan punggung orang itu semakin kuat serta memutar tangan yang terpuntir
itu semakin keras, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
"Kalau kau tak menjawab, tanganmu akan aku patahkan," desak Mahesa Jenar.
Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki tangan sehingga dengan terpaksa
menjawab, "Aku adalah Sagotra."
"Apa maksudmu mengintai kami? " desak Mahesa Jenar lebih lanjut. Kembali orang itu diam
saja. Mahesa Jenar menjadi semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih keras lagi,
sehingga orang itu mengaduh lebih keras pula.
"Jawablah! Atau tanganmu betul-betul patah." Mahesa Jenar makin geram.
"Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih banyak lagi, jawabnya. Rupa-rupanya ia
harus merahasiakan tugasnya betul-betul, sehingga sampai ke ajalnya kalau perlu.
"Keadaanku sudah pasti, berkata atau tidak berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu
biarlah aku mati dengan menggenggam rahasia," sambung orang itu.
Mahesa Jenar kagum juga melihat kejantanan orang itu, sampai berani menantang maut.
Tetapi ia ingin untuk mendapat keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti tidak baik.
Maka setelah mendapat suatu cara ia berkata, "Baiklah, kalau kau tidak mau berkata. Aku
hormati kejantananmu. Tetapi janganlah tanggung-tanggung. Aku ingin melihat pameran
kesetiaan. Kau pernah mendengar cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat Ngangrang
Salaka...? "
Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka, tengkuk orang itu serentak
meremang. Jantungnya berdegup hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar. Ngangrang Salaka
adalah sejenis semut ngangrang yang luar biasa buas serta rakusnya. Binatang apapun yang
sampai terperosok ke sarangnya pasti hancur dimakannya. Keluarga semut itu membuat
sarang di bawah pohon-pohon yang sudah membusuk, dengan memerlukan tanah 10 atau 15
langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak terpaut banyak dengan semut ngangrang
biasa, hanya warnanya yang merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak.
Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai akibat pada orang itu. Dengan
demikian ia melanjutkan, "Kalau kau belum pernah mendengar, baiklah kau akan aku
perkenalkan dengan semut itu. Tetapi sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku patahkan dulu
supaya kau tidak dapat lari darinya."
Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan tangan orang itu. Tetapi
segera pula menangkap lipatan lutut kaki kanan, sedangkan tangan Mahesa Jenar siap
mematahkan pergelangan kaki kirinya, dijepitkan pada lipatan lutut kaki kanan.
"Jangan..., jangan...!" teriak orang itu tiba-tiba. "Bunuhlah aku dengan cara lain. Tetapi aku
jangan kau siksa di sarang semut Salaka"
.
"Itu adalah urusanku. Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya membunuh
kau," jawab Mahesa Jenar.
066
TAMPAKNYA Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan ucapannya itu, karenanya maka
kembali orang itu berteriak, "Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan cara lain."
Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. "Seorang yang telah berani menyatakan dirinya
sebagai pengemban tugas, seharusnya tidak takut menghadapi segala macam bahaya."
"Aku sama sekali tidak takut mati. Tetapi cara kematian yang demikian adalah mengerikan
sekali. Lepaskan aku dan biarlah aku bunuh diri," teriak orang itu.
Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi keterangan yang diperlukan harus
didapatnya. Maka katanya, Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan untuk memilih
jalan kematian.
Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya terjadi pergolakan hebat di dalam dirinya.
Baru ketika Mahesa Jenar menekan pergelangan kakinya ia berteriak, Baiklah aku berkata
asal aku dibebaskan dari siksaan ngangrang Salaka.
Baiklah..., berkatalah, jawab Mahesa Jenar.
Lalu dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia melangkah satu langkah surut.
Mengalami perlakuan yang demikian, orang itu ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu maksud
lawannya yang dengan begitu saja telah melepaskan tangkapannya. Sehingga untuk beberapa
saat ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai Mahesa Jenar menegurnya, Duduklah dan
berkatalah.
Kembali ia tersentak mendengar tegur Mahesa Jenar. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di
hadapan Mahesa Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk menghadapi orang yang
menamakan dirinya Sagotra.
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak berkedip. Rupanya ia sedang
mencoba memahami sikapnya. Mula-mula Sagotra menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah
seorang yang bengis dan kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat di dalam tata pergaulannya.
Tetapi kemudian seperti orang yang sama sekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia
dilepaskan.
Kalau hal itu disebabkan karena keyakinan akan kemenangannya, pastilah ia tidak bersikap
sedemikian lunak. Mungkin ia sudah diangkatnya tinggi-tinggi, diputar di udara, lalu
dibantingnya ke tanah. Barulah setelah setengah mati, disuruhnya ia berkata. Atau
mungkinkah segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai berkata? Sebab menurut
pertimbangannya, tidaklah mungkin orang yang melakukan pengintaian seperti apa yang
dilakukannya itu akan dilepaskan, karena akibatnya akan membahayakan. Mengingat hal itu,
Sagotra menjadi ngeri.
Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati Sagotra.
"Sagotra," berkatalah. "Aku hanya ingin keteranganmu, lebih daripada itu tidak."
Sagotra sama sekali tidak mengerti maksud Mahesa Jenar. Tetapi meskipun demikian
ketakutannya menjadi jauh berkurang. Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya, pastilah
Mahesa Jenar bukan orang yang bengis dan kejam. Karena itu Sagotra menjadi malu kepada
diri sendiri. Bahwa orang yang dipercaya untuk melakukan tugas ini dapat luluh hatinya
hanya oleh gertakan saja.
Tetapi disamping itu ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang mempunyai sifat-sifat yang
tak pernah dijumpainya dalam tata pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa kengerian
dan kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya kembali, yang tidak pernah
merasakan betapa indahnya hidup manusia yang dapat menikmati terbitnya fajar, serta
bulatnya bulan. Serta betapa tenteramnya hidup ini apabila ia berkesempatan mengagungkan
alam. Lebih-lebih penciptanya, Tuhan Yang Maha Agung. Hal yang demikian tidaklah pernah
dialami selama Sagotra hidup di dalam sarang gerombolannya, dimana setiap saat hanyalah
berlaku hukum kekerasan dan pembunuhan bagi mereka yang tidak mentaati peraturan.
"Tuan," katanya kemudian, "Benarkah Tuan yang bernama Rangga Tohjaya?"
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan.
"Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan," lanjutnya.
Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan.
"Sekarang aku sudah kau ketemukan," kata Mahesa Jenar.
"Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan Tuan jauh diatas dugaanku. Sehingga
Tuan tanpa menoleh dapat melihat kedatanganku."
"Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau temukan aku? Bahkan kau hanya
mengintip lalu pergi?"
Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya, "Memang, aku hanya mendapat perintah
untuk menemukan tempat Tuan. Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab kami yakin, bahwa
untuk menangkap Tuan diperlukan 10 sampai 20 orang yang tergolong tingkat atasan dalam
gerombolan kami."
"Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?" tanya Mahesa Jenar kemudian.
Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama gerombolannya, mungkin sangat
tidak menguntungkan baginya. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang sama sekali
tidak memancarkan rasa permusuhan, hatinya agak tenang sedikit.
Meski dengan jantung berdegup, berkatalah Sagotra, "Tuan, sebenarnya aku sama sekali tidak
berani menyebut nama gerombolanku, sebab aku tahu bahwa Tuan mempunyai persoalan
yang mendalam dengan pemimpinku. Meskipun demikian, karena sikap Tuan yang tak pernah
aku temui dalam gerombolan kami, menimbulkan kepercayaan pada diriku, bahwa Tuan
mempunyai kepribadian lain daripada orang-orang kami."
Orang itu berhenti sejenak untuk meyakinkan kata-katanya sendiri. Lalu sambungnya,
"Tuan... kami adalah gerombolan Lawa Ijo."
Pengakuan itu sama sekali tidak mengejutkan hati Mahesa Jenar. Memang ia sudah
mempunyai dugaan bahwa kemungkinan terbesar orang itu datang dari gerombolan Lawa Ijo
atas perintah Pasingsingan. Hanya kecepatan mereka bertindak itulah yang mengagumkan.
"Sagotra, kata Mahesa Jenar kemudian, Aku dengar gerombolan kini sedang dibekukan.
Benarkah itu?"
"Benar, Tuan. Tetapi meskipun demikian, kami, beberapa orang tetap dalam tugas kami.
Sedang orang lain yang tidak diperlukan diperkenankan untuk sementara meninggalkan
sarang kami. Tetapi kami 25 orang yang merupakan anggota inti di bawah pimpinan Wadas
Gunung, saudara muda seperguruan Lawa Ijo, harus selalu bersiap untuk setiap saat
bertindak," kata Sagotra.
067
Mendengar nama Wadas Gunung, Mahesa Jenar jadi teringat kepada Watu Gunung, yang
menurut Samparan juga merupakan saudara muda seperguruan dengan Lawa Ijo. Karena itu ia
bertanya," Sagotra, kenalkah kau dengan Watu Gunung?"
"Ya, pastilah aku kenal. Ia adalah saudara kembar Wadas Gunung. Dan kedua-duanya saudara
seperguruan Lawa Ijo. Aku juga sudah mendengar kabar yang dibawa oleh Ki Pasingsingan,
bahwa Watu Gunung telah Tuan binasakan ketika ia sedang mengunjungi kampung
kelahirannya. Serta karena itu pulalah sekarang kami 20 orang di bawah pimpinan Wadas
Gunung sendiri sedang mencari Tuan," jawab Sagotra.
Mendengar keterangan terakhir dari Sagotra ini hati Mahesa Jenar tergoncang pula, 20 orang
sedang mencarinya. Sementara itu Sagotra melanjutkan, "Tetapi anehlah Tuan, bahwa kali ini
Ki Pasingsingan salah hitung. Hal seperti ini belum pernah terjadi. Kami telah mendapat
petunjuk untuk mencegat Tuan di suatu tempat. Menurut perhitungan Ki Pasingsingan, pada
hari ini menjelang malam Tuan pasti sampai ke tempat itu. Tetapi ternyata perhitungan itu
meleset. Dan tuan telah mengambil jalan lain menghindari tempat yang telah kami persiapkan
untuk menjebak Tuan. Karena itu, kami lima orang telah disebarkan untuk mencari Tuan."
Mahesa Jenar mendengarkan keterangan Sagotra dengan penuh perhatian. Akhirnya ia
bertanya,
"Kapan kah Pasingsingan sampai ke sarang gerombolanmu? "
"Kemarin lusa, " jawab Sagotra.
"Kemarin lusa? " ulang Mahesa Jenar dengan herannya. Sulit baginya untuk membayangkan
kecepatan berjalan Pasingsingan. Ditambah lagi ketika ia teringat telapak kaki yang masih
tampak baru, yang ditemuinya sore tadi. Mahesa Jenar menjadi bertambah heran lagi.
Kemudian Mahesa Jenar bertanya, "Adakah orang lain yang kau temui lewat jalan yang
seharusnya aku lalui?"
"Tidak Tuan, tidak ada. Kalau ada, pastilah orang itu kami tangkap. Sebab pasti orang itu
kami sangka Tuan, karena diantara kami tidak ada yang pernah mengenal wajah Tuan, kecuali
hanya ciri-ciri Tuan yang digambarkan oleh Ki Pasingsingan."
Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. "Adakah pihak ketiga yang sengaja memberi tanda
kepadanya supaya mengambil jalan lain? Ia jadi bingung menimbang-nimbang. Tetapi sampai
sekian lama tak dapat ia memecahkan teka-teki itu. Satu-satunya kemungkinan yang
membayang di kepala Mahesa Jenar hanyalah Ki Ageng Pandan Alas. "
Belum lagi masalah telapak kaki bisa dipecahkan, mereka melihat di arah sebelah selatan
warna merah membayang di udara. Pasti di sana ada orang yang menyalakan api. Segera
Mahesa Jenar ingat, bahwa Wadas Gunung beserta 20 orangnya sedang bersiap
menghadangnya. Tetapi menilik arahnya, pasti bukan mereka.
"Sagotra...," kata Mahesa Jenar kemudian. "Kawan-kawanmukah yang menyalakan api itu? "
Sagotra memandang pula ke arah warna merah yang mewarnai keremangan malam. Ia
menggeleng perlahan. Lalu jawabnya, "Bukan Tuan. Itu pasti bukan kawan-kawan. Mereka
menghadang Tuan tidak di arah itu."
"Lalu siapakah menurut pendapatmu yang menyalakan api itu?"
Sagotra tampak berpikir sejenak dan akhirnya ia menjawab, "Tuan, mungkin itu adalah orang
tua yang agak kurang waras, yang merupakan satu-satunya penghuni daerah ini."
"Satu-satunya?" sahut Mahesa Jenar agak terkejut. "Jadi didaerah ini tidak lagi ditinggali
manusia kecuali orang tua itu?"
Sagotra menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Tuan. Memang daerah ini sekarang sama sekali kosong, kecuali seorang itu, " jawab
Sagotra kemudian.
068
"KENAPA orang itu tidak pergi?" tanya Mahesa Jenar. "Tidakkah dia takut menghadapi
keganasan gerombolan-gerombolan itu? Ataukah dia sedemikian hebatnya sehingga tak
seorang pun berani mengganggunya...?"
" Tidak, Tuan.... Ia sama sekali tidak memiliki kepandaian apa-apa. Aku sendiri pernah
datang mengunjunginya. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, orang itu agak kurang waras.
Ia merasa bahwa ia sama sekali tidak mempunyai milik, sehingga menurut perhitungannya
tidak akan ada orang yang datang mengganggunya, " sahut Sagotra.
Mahesa Jenar mendengar keterangan Sagotra dengan saksama. Ia mulai menghubung
hubungkan keterangan itu dengan kakek Rara Wilis. Mungkinkah orang tua itu adalah Ki
Santanu...?
"Siapakah nama orang tua itu?" tanya Mahesa Jenar tiba-tiba.
Sagotra menggelengkan kepalanya. Tak ada orang yang mengetahui nama sebenarnya. Aku
juga pernah menanyakan kepadanya, tetapi ia hanya menyebutkan panggilan yang biasa
diperuntukkannya saja.
"Ya, siapa panggilan itu?" desak Mahesa Jenar
"Orang memanggilnya dengan sebutan Ki Ardi."
"Ardi? "ulang Mahesa Jenar. Sagotra mengangguk.
Tiba-tiba terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa Ardi dapat berarti Gunung. Sedang
kakek Rara Wilis pun berasal dari daerah pegunungan. Ah, apakah salahnya kalau ia
berkenalan dengan orang tua itu?
"Sagotra...," katanya kemudian, "Dapatkah kau menunjukkan jalan ke rumah Ki Ardi itu?"
Sagotra diam-diam menimbang-nimbang. Ia menjadi agak kebingungan. Tentang dirinya
sendiri, ia belum mendapat penyelesaian. Sekarang ia mendapat pekerjaan baru,
mengantarkan Mahesa Jenar ke rumah orang tua itu. Tetapi sesudah itu lalu bagaimana?
Mestikah ia harus bunuh diri, atau Mahesa Jenar akan membunuhnya...? Serta bagaimanakah
kalau ia bertemu dengan kawan-kawannya yang juga sedang mencari Mahesa Jenar?
Mahesa Jenar melihat kebingungan hati Sagotra serta sedikit banyak menangkap perasaannya.
Tetapi disamping itu mendadak timbul pula kebimbangan di hatinya sendiri. Lalu bagaimana
dengan Sagotra itu kemudian? Kalau orang itu dilepaskan, maka soalnya akan
berkepanjangan. Pastilah ia akan melaporkan semuanya kepada Wadas Gunung dengan
keduapuluh kawannya. Dan ini berarti suatu pekerjaan yang sangat berat. Sedangkan untuk
membunuhnya, tidaklah terlintas dalam angan-anannya. Sebab orang seperti Sagotra bukanlah
seorang yang pantas untuk menerima hukuman yang demikian berat. Sebab ia tidaklah lebih
dari seorang pesuruh.
Karena itu kemungkinan satu-satunya adalah membawa Sagotra itu seterusnya, sampai
keadaan terasa aman. Mendapat pikiran yang demikian itu, maka Mahesa Jenar segera
mengambil keputusan.
"Sagotra, barangkali kau segan untuk melakukan permintaanku, menunjukkan jalan ke rumah
Ki Ardi, sebab kau merasa bahwa tak ada gunanya kau berbaik hati kepadaku. Tetapi
ketahuilah Sagotra, aku terpaksa memutuskan untuk membawamu kemana aku pergi, demi
keamananku. Kalau aku seorang diri, barangkali aku segera melepaskanmu. Lalu sesudah itu
aku dapat menyelamatkan diriku secepat-cepatnya. Tetapi sekarang aku sedang melindungi
seorang gadis. Karena itu, janganlah membantah perintahku. Janganlah kau takut, bahwa
sesudah semuanya selesai aku akan membunuhmu. Sebab bagiku kau tidak lebih dari sebuah
alat yang tak perlu dirusak. "
Kalau yang berkata demikian itu Wadas Gunung, atau salah seorang dari rombongannya, hati
Sagotra pasti tidak akan banyak terpengaruh. Sebab ia tahu pasti, bahwa kata-kata yang
demikian itu sama sekali tak berarti. Bagi Wadas Gunung serta kawan-kawan
segerombolannya, tidak ada batas antara sahabat yang setia pada hari ini, serta lawan yang
harus dibinasakan hari esok.
Tetapi yang berkata demikian adalah orang lain. Orang yang baru saja dikenalnya, bahkan
yang telah diserangnya dengan sekuat tenaga untuk dibunuh. Namun demikian orang itu
masih berkata kepadanya, bahwa ia masih boleh mengharap untuk dapat menyaksikan
matahari terbit esok pagi. Dan kata-kata ini mempunyai kesan yang jauh berlainan dengan
segala pujian, janji dan segala macam yang pernah keluar dari pemimpin-pemimpin
rombongannya. Karena itu hati Sagotra bergoncang hebat. Tanpa sadar, Sagotra meloncat,
lalu bersujud di muka Mahesa Jenar sampai mencium tanah. Dan anehnya, sejak ia
meninggalkan masa kanak-kanaknya, serta kemudian terperosok dalam dunia yang hitam
kelam, baru sekaranglah orang yang bernama Sagotra itu sampai meneteskan air mata. Bukan
saja karena ia terlepas dari terkaman maut. Sebab hal yang demikian itu telah seringkali
dialami.
Dalam segala kegiatannya sebagai anggota gerombolan penjahat, banyak tangkapantangkapan maut yang dapat dihindari Sagotra. Tetapi ia tidak pernah merasa terharu sama
sekali mengalami peristiwa-peristiwa itu, bahkan yang ada di dalam benaknya adalah dendam
yang membara, serta kebanggaan dan kesombongan.
Mahesa Jenar menyaksikan sikap Sagotra itu dengan penuh keheranan. Ia tidak dapat
menangkap seluruh perasaan yang bergelut dalam dada orang itu, sehingga tampak sangat
menggelikan. Bahwa orang itu tinggi tegap, berkumis tebal serta berkulit hitam mengkilap,
tetapi menangis tersedu-sedu.
"Sagotra, agak aneh kelakuanmu itu bagiku. Seorang laki-laki macam kau yang dengan sikap
jantan berani menentang maut, kini tiba-tiba menangis macam anak-anak, " kata Mahesa
Jenar.
"Tuan...," jawab Sagotra sambil mengangkat kepalanya, "Tak pernah selama hidupku
merasakan sesuatu yang demikian mengharukan seperti kali ini."
069
SAGOTRA merasakan bahwa ternyata bukanlah kekerasan melulu yang dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan ini. "Meskipun Tuan bermodalkan kekuatan
yang tiada taranya, tetapi sikap Tuan adalah suatu penguasaan mutlak atas diriku. Seandainya
Tuan tidak berbuat demikian, mungkin dalam kesempatan-kesempatan yang ada aku pasti
akan menyerang Tuan, atau setidak-tidaknya aku ingin mati sebagai seorang laki-laki sejati.
Tetapi sekarang, hidup matiku bulat-bulat di tangan Tuan. Juga seandainya Tuan ingin
menyaksikan aku mati di sarang semut Salaka, tidaklah menjadi masalah lagi bagiku," kata
Sagotra.
Mahesa Jenar terharu juga mendengar kata-kata Sagotra. Tetapi meskipun demikian, ia tetap
berhati-hati. Sebab kata-kata itu keluar dari mulut seorang penjahat yang cukup mempunyai
ikatan yang sempurna.
Tidak mustahil bahwa cara-cara yang demikian sering dilakukan untuk mengurangi
kewaspadaan lawan. Hanya karena kejadian itu tampaknya meyakinkan, maka Mahesa Jenar
pun tidak perlu lagi terlalu mencurigainya. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri,
hanyut oleh arus perasaan masing-masing.
Sementara itu nyala api di sebelah selatan itu pun tampak semakin terang. Angin malam pun
terasa demikian dingin menggigit tulang.
"Sagotra, marilah kita pergi," kata Mahesa Jenar kemudian, memecahkan kediaman mereka.
"Mari Tuan," jawab Sagotra.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak serta memandang ke arah Rara Wilis berbaring.
"Tetapi mestikah gadis itu aku bangunkan? " desis Mahesa Jenar.
"Atau kita menunggu sampai besok, " sahut Sagotra.
"Tidakkah ada bahayanya? Apakah tidak mungkin salah seorang kawanmu datang pula ke
tempat ini? Dengan demikian kaupun pasti akan mendapat kesulitan, " jawab Mahesa Jenar.
Sagotra diam menimbang-nimbang. Memang mungkin sekali salah seorang dari kawannya
datang pula ke tempat ini meskipun mula-mula mereka berpencaran.
"Jadi bagaimana pendapat Tuan?" tanya Sagotra lagi.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia pun sedang berpikir, bagaimana sebaiknya. Kalau
pada saat itu ia langsung bersama-sama Rara Wilis, pergi ke arah api itu, tidakkah ada
kemungkinan orang-orang yang sedang mencarinya pergi ke arah api itu juga?
"Sagotra, tidakkah kawan-kawanmu juga akan pergi ke arah api itu?"
"Aku kira tidak, Tuan. Pasti mereka tahu bahwa arah itu adalah arah rumah Ki Ardi,"
jawabnya.
Tetapi mungkin pula mereka berpikir bahwa di sana akan dapat mereka temukan kami, yang
dapat diperhitungkan, bahwa kami akan pergi ke arah api itu.
Sagotra mengangguk kecil. Memang masuk akal pula bahwa kawan-kawannya mempunyai
perhitungan yang demikian. Jadi bagaimanakah sebaiknya...?
Kembali mereka diam menimbang-nimbang. Memang tidaklah mudah menghindari
gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 20 orang, justru di wilayah mereka sendiri. Sagotra
yang merupakan salah seorang dari gerombolan itu pun masih belum dapat menemukan,
bagaimanakah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghindari kawan-kawannya.
"Tuan..." akhirnya Sagotra bertanya, "Adakah sesuatu kepentingan Tuan dengan orang itu?"
Mendapat pertanyaan yang demikian, Mahesa Jenar agak menjadi repot untuk menjawabnya.
Pastilah ia tidak akan dapat mengatakan bahwa ia sedang mencari seseorang ada
hubungannya dengan keris Sigar Penjalin. Sebab pastilah ia mendapat jawaban bahwa orang
itu bernama Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak, Wanasaba.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat bahwa kakek Rara Wilis itu menyebut dirinya Ki Santanu.
Karena itu segera ia menjawab, "Sagotra, sebenarnya kedatanganku ke daerah Pliridan ini
adalah untuk mencari seseorang yang bernama Ki Santanu. Kalau aku dapat bertemu dengan
Ki Ardi, mungkin aku akan dapat menanyakan kepadanya tentang orang-orang yang pernah
tinggal di daerah ini. Mungkin ia mengenal orang yang bernama Ki Santanu itu."
Sagotra tampak mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat orang-orang yang
pernah tinggal di daerah ini. Sebab ia dalam melakukan tugasnya banyak berhubungan pula
dengan penduduk, sehingga hampir semua dikenalnya. Tetapi nama Santanu belum pernah
dikenalnya.
"Tuan, barangkali aku dapat mengenal semua orang di sini sedemikian baiknya, seperti juga
Ki Ardi. Tetapi nama itu belum aku dengar. Mungkin disamping namanya ia mempunyai
sebutan lain, atau barangkali Tuan dapat mengatakan kepadaku bagaimanakah ciri-ciri orang
itu? " jawab Sagotra.
Mahesa Jenar menggeleng perlahan-lahan. Katanya, "Aku sendiri belum pernah mengenal
wajahnya. Ia adalah kakek gadis itu. Nah, mungkin kau dapat bertanya kepadanya. Marilah
kita tengok ia, barangkali sudah bangun."
Sagotra tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berjalan di belakang Mahesa Jenar. Tetapi
mendadak terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Cepat seperti kilat, Mahesa Jenar meloncat ke
arah tikar yang masih terbentang. Tetapi Rara Wilis sudah tidak ada lagi terbaring diatasnya.
Jantung Mahesa Jenar bergelora hebat sekali.
Sadarlah ia bahwa ia telah berbuat suatu kelengahan. Di daerah yang berbahaya serta
mengandung banyak rahasia ini, ia telah terlalu lama meninggalkan Rara Wilis seorang diri.
Segera ia berdiri tegak serta mengangkat kepalanya. Memusatkan pikiran serta segenap
pancainderanya untuk menangkap tiap-tiap gerakan maupun suara di sekitarnya. Tetapi tidak
ada yang tampak selain daun dan ranting yang digoyangkan angin, serta tak ada yang
didengar selain gemersik dedaunan itu, serta tarikan nafas Sagotra.
070
MAHESA JENAR adalah seorang yang cukup matang. Ia memiliki ketenangan pikiran serta
kecepatan bertindak. Tetapi meskipun demikian, kali ini hampir kehilangan semua sifatsifatnya itu. Pada saat ia menghadapi Pasingsingan, ia masih tetap sadar dan dapat menguasai
pikiran sepenuhnya. Tetapi sekarang ia menghadapi suatu peristiwa yang belum pernah
dirasakan.
Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai suatu peristiwa yang langsung menusuk
perasaannya yang paling dalam. Dalam ketidaksadarannya tiba-tiba Mahesa Jenar berlari
kesana kemari sambil memanggil-manggil nama Rara Wilis.
Melihat sikap Mahesa Jenar yang demikian itu, Sagotra menjadi heran bercampur cemas,
sehingga terpaksa ia pun turut berlari-lari kian kemari. Tetapi sebagai orang yang lebih tua,
tahulah Sagotra bahwa Mahesa Jenar tidak hanya merasa bertanggung jawab atas hilangnya
Rara Wilis, tetapi pastilah ada suatu perasaan yang jauh lebih dalam daripada itu. Dan
memang demikianlah kiranya.
Mahesa Jenar mencoba mendesak perasaan-perasaan yang menyentuh-nyentuh hatinya
terhadap Rara Wilis, tetapi ternyata perasaan itu telah menyangkut di hatinya sedemikian
eratnya.
Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai hilangnya sebagian dari jiwanya sendiri.
Sampai beberapa saat masih saja Mahesa Jenar memanggil-manggil Rara Wilis. Tetapi tidak
ada suara yang menyambutnya. Sehingga ketika Mahesa Jenar sudah pasti, bahwa Rara Wilis
telah lenyap, menggelegaklah darahnya. Tubuhnya bergetar, serta giginya gemeretak. Tibatiba saja ia ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya untuk menyalurkan
amarahnya.
Dalam keadaan yang demikian, dengan penuh kemarahan Mahesa Jenar menyalurkan segala
kekuatannya ke sisi telapak tangannya, disilangkannya tangan kirinya di muka dada, serta
diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi. Dengan sekali loncat ia telah berdiri disamping
sebuah batu seperut kerbau. Maka dengan menggeram hebat sekali, dihantamnya batu itu
sampai pecah berserakan.
Sagotra adalah seorang penjahat yang telah banyak makan garam. Telah banyak sekali ia
menyaksikan betapa hebatnya Lawa Ijo. Tetapi ketika ia menyaksikan apa yang telah
dilakukan oleh Mahesa Jenar, tubuhnya menjadi gemetar. Pada saat ia menyaksikan Lawa Ijo
terluka parah, sama sekali ia tidak percaya, bahwa luka itu disebabkan oleh karena pukulan
tangan saja. Ia menyangka, bahwa orang yang telah melukainya pasti mempergunakan senjata
rahasia atau sebangsanya.
Tetapi sekarang, ketika ia berkesempatan untuk menyaksikan sendiri, akibat dari pukulan
orang yang telah melukai Lawa Ijo itu, bulu tengkuknya serentak berdiri. Kalau misalnya saja,
pukulan itu dikenakan kepalanya, pastilah akan hancur berserakan pula lebih dari batu itu.
Diam-diam Sagotra mengucap syukur dalam hatinya, bahwa Mahesa Jenar tidak masuk dalam
jebakan mereka. Sebab kalau sampai hal itu terjadi, maka akibatnya pasti hebat sekali.
Meskipun gerombolannya berjumlah 20 orang, serta diantaranya ada orang-orang seperti
Wadas Gunung, Carang Lampit yang mempunyai kepandaian hampir setingkat Wadas
Gunung, Bagolan yang terkenal mempunyai aji welut putih, serta beberapa orang lagi, tetapi
sulitlah kiranya untuk dapat menangkap Mahesa Jenar. Andaikata itu bisa terjadi, pastilah
lebih dari separo diantaranya sudah tak lagi sempat menyaksikan datangnya fajar.
Tetapi belum lagi Sagotra habis berangan-angan, tiba-tiba matanya terbelalak lebar, tubuhnya
semakin gemetar lagi, serta peluh dingin mengalir membasahi seluruh badannya. Pada saat
itu, Mahesa Jenar yang tidak puas dengan pelepasan amarahnya, mendadak meloncati Sagotra
dan langsung memegang leher orang itu, sambil menggeram, "Setan, rupanya kau telah
memancing aku untuk menjauhi Wilis."
Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, nafas Sagotra telah terasa sesak. Ingin ia
menjawab, tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, karena ketakutannya yang amat
sangat. Ia tahu betul, bahwa dalam keadaan yang demikian dapat saja Mahesa Jenar bertindak
diluar kesadarannya.
Wajah Mahesa Jenar yang lunak, kini telah berubah menjadi merah membara dibakar oleh
kemarahannya. Kedua tangannya yang memegang leher Sagotra semakin lama semakin
menekan.
Kini nafas Sagotra benar-benar menjadi sesak. Tangan Mahesa Jenar itu terasa demikian erat
mencekik lehernya, sampai akhirnya ia merasa, bahwa akhir hidupnya telah tiba, justru karena
hal yang sama sekali tak diketahuinya. Tetapi ketika telah terasa, bahwa harapan untuk hidup
sudah tidak ada lagi, hatinya malahan menjadi tenang.
"Tuan, aku tidak akan menghindarkan diri dari hukuman yang akan Tuan jatuhkan atas diriku.
Sebab hal yang demikian adalah wajar sekali. Tetapi yang aku sangat sedih adalah justru
kematianku disebabkan oleh suatu hal yang sama sekali tak kumengerti. Sebab aku sama
sekali tak sengaja menjauhkan Tuan dari gadis itu. Maka, kalau Tuan benar-benar akan
membunuhku, bunuhlah aku sebagai salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo yang ingin
mencelakakan Tuan, " kata Sagotra suara susah payah.
Ternyata kata-kata yang diucapkan dalam keadaan yang putus asa itu, dapat menyentuh
kesadaran Mahesa Jenar. Apalagi ketika Mahesa Jenar sejenak memandang wajah Sagotra
yang kasar, jelek dan kotor, tetapi yang dari matanya memancar keputus-asaan dan
kekosongan. Bahkan lama-kelamaan berubah menjadi seperti mata kanak-kanak yang belum
pernah dijamah dosa.
Demikianlah, maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar dijalari kembali oleh sifat-sifatnya,
serta sedikit demi sedikit pikirannya dapat bekerja kembali. Sejalan dengan itu pegangan
tangannya pun menjadi semakin kendor dan kendor, sehingga akhirnya dilepaskanlah leher
Sagotra itu sama sekali.
"Maafkanlah aku," Sagotra, bisik Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu kembali hati Sagotra melonjak hebat sekali. Hampir saja air matanya
tidak lagi dapat ditahannya.
"Sagotra...," kata Mahesa Jenar selanjutnya, yang bagaimanapun masih ingin mendapat lebih
banyak penjelasan, "Benarkah kau tidak berbuat itu?"
"Tuan, memang aku dapat memahami tuduhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa
kedatanganku sama sekali tak ada hubungannya dengan hilangnya gadis itu. Kecuali kalau hal
ini dilakukan oleh orang-orang segerombolanku di luar rencana semula," jawab Sagotra.
071
Mahesa Jenar menundukkan kepala. Tetapi ia dapat mempercayai kata-kata Sagotra. Sebab
andaikata hal itu dilakukan oleh kawan-kawan Sagotra, bahkan Jaka Soka sekalipun, ia pasti
akan dapat menangkap suara ataupun gerak dari orang itu, sebab untuk mengalahkan Sagotra
ia sama sekali tidak perlu memusatkan segala perhatiannya. Apalagi jarak mereka dengan
Rara Wilis berbaring tidaklah demikian jauhnya. Karena itu ia menduga, bahwa hal ini
dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehebatan luar biasa pula.
Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang, ketika ia mengingat betapa cepatnya Pasingsingan
bertindak. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tikar yang masih terbentang itu. Tiba-tiba
Mahesa Jenar melihat bungkusan Rara Wilis masih juga ada di situ. Ia jadi teringat, bahwa
dalam bungkusan itu terdapat sebilah keris pusaka Ki Ageng Pandan Alas, yaitu Kiai Sigar
Penjalin.
Tetapi alangkah terkejut serta kecewanya ketika ternyata keris itu telah lenyap pula. Akhirnya
seperti orang yang dicopoti segala tulangnya. Ia duduk lemas diatas tikar Rara Wilis.
Sagotra yang masih saja mengikutinya kemana ia pergi, duduk pula di atas tikar di belakang
Mahesa Jenar. Tetapi sama sekali ia tidak berani menegurnya.
Angin malam masih saja berhembus silir, yang bagi Mahesa Jenar terdengar sebagai sebuah
lagu sedih yang mengiringi ratapan hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa tanpa disengaja
ia telah menguntai butiran-butiran mutiara harapan yang kini telah terenggut dan berderai
berserakan.
Alangkah dalam luka yang dideritanya. Dua masalah yang sekaligus menghancurkan
perasaannya. Sebagai seorang laki-laki langsung ia telah dihinakan. Sebuah
pertanggungjawaban yang digenggamnya telah dirampas oleh orang tanpa dapat berbuat apaapa, dan sekaligus yang hilang itu adalah sebagian dari jiwanya pula.
Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba seperti orang bermimpi Mahesa Jenar mendengar
alunan lagu Dandanggula sayup-sayup sampai. Mendengar lagu itu, geragapan Mahesa Jenar
berdiri. Meskipun lagu itu tidak begitu jelas, tetapi segera Mahesa Jenar mengenal, bahwa
Dandanggula itu telah dibawakan oleh seorang yang oleh Pasingsingan beberapa hari yang
lalu disebut Pandan Alas.
Seperti juga beberapa hari yang lalu, suara itupun bergulung-gulung berkumandang
memenuhi segala penjuru. Sehingga sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk mengetahui dengan
pasti arah suara itu.
Mahesa Jenar segera berdiri tegak, kepalanya sedikit diangkat ke atas dengan memusatkan
pancainderanya untuk menangkap getaran Dandanggula yang lamat-lamat sampai ke
telinganya. Pada saat itu, perasaan Mahesa Jenar sedang bergolak hebat, karena hilangnya
Rara Wilis.
Karena itu, seakan-akan Mahesa Jenar mendapat suatu tenaga rohaniah tambahan yang cukup
besar, sehingga kemampuan Mahesa Jenar pun seakan-akan bertambah. Dengan demikian,
setelah beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri, hampir seperti orang bersamadi, perlahanlahan ia dapat menangkap arah suara yang sayup-sayup sampai ke telinganya itu.
Maka ketika ia telah mendapat suatu kepastian dari mana arah suara itu, cepat seperti kilat ia
meloncat dan kemudian menyusup gerumbul menuju arah barat.
Sagotra bertambah heran menyaksikan kelakuan Mahesa Jenar, disamping keheranannya
mendengar suara lagu Dandanggula itu. Karena itu ia pun segera berlari mengikuti Mahesa
Jenar, sehingga mereka berdua seolah-olah sedang bermain kejar-kejaran.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah keluar dari gerumbul kecil itu, serta dengan cekatan
sekali ia melompat keatas gundukan tanah yang agak tinggi untuk dapat menangkap setiap
gerak di padang rumput yang terbuka itu. Sebab mustahil kalau sampai ada orang di padang
terbuka yang sedemikian itu sampai terlepas dari pengawasannya yang seakan-akan
mempunyai kelebihan dibanding mata orang biasa.
Tetapi sampai beberapa saat, sama sekali ia tidak melihat suatu apapun. Sedang suara
Dandanggula itupun telah berhenti.
Sementara itu, bulan pun telah rendah sekali, hampir sampai ke garis cakrawala, sehingga
malam menjadi semakin kelam. Mahesa Jenar menjadi semakin mengeluh dalam hati.
Dirasanya betapa picik pengetahuan serta rendah ilmu yang dimilikinya, sehingga dalam
keadaan seperti ini sama sekali ia tidak berdaya.
Pada mulanya ia merasa, bahwa cukuplah kiranya bekal yang dimiliki untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang dalam perantauannya. Tetapi ternyata
menghadapi tokoh-tokoh macam Pasingsingan, Ki Ageng Pandan Alas, ia tidak lebih dari
seorang anak kecil yang baru pandai berdiri.
Tiba-tiba saja ia menangkap bayangan yang membayang tepat di hadapan wajah bulan yang
hampir lenyap itu. Heranlah Mahesa Jenar, kenapa baru saat itu ia menangkap bayangan yang
berada di tempat terbuka.
Dalam keremangan bulan yang masih memancarkan sinarnya yang terakhir itu Mahesa Jenar
dapat melihat dengan jelas bayangan dari dua orang, laki-laki dan perempuan. Ia hampir pasti
bahwa perempuan itu adalah Rara Wilis, sedang laki-laki yang membimbingnya itu tampak
bertubuh kurus tinggi.
Melihat hal itu berdebarlah jantungnya cepat sekali. Tetapi ketika ia hampir saja melompat
mengejar bayangan itu, tiba-tiba ia menjadi tertegun heran. Kedua orang itu melambaikan
tangannya kepadanya, seakan-akan menyampaikan ucapan selamat tinggal.
072
TERASA ada suatu kesan yang aneh meraba-raba hati Mahesa Jenar. Mula-mula timbul suatu
perasaan yang sakit, ketika ia melihat Rara Wilis bersama-sama dengan seorang laki-laki yang
tidak dikenalnya. Tetapi ketika Mahesa Jenar teringat akan lagu Dandanggula yang baru saja
didengarnya, segera teringat pulalah ia akan Ki Ageng Pandan Alas. Lebih-lebih ketika
ternyata laki-laki itu dengan tangannya yang lain melambaikan sebilah keris yang tampak
seperti membara di keremangan malam.
Tahulah Mahesa Jenar, bahwa itulah Sigar Penjalin yang sudah berada di tangan pemiliknya.
Juga mau tidak mau pastilah ia menghubungkan nama Ki Santanu dengan Ki Ageng Pandan
Alas. Maka dengan sedih serta hati yang kosong, diluar sadarnya Mahesa Jenar mengangkat
tangannya pula untuk melambaikan salam perpisahan.
Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama dengan lenyapnya butiran-butiran yang
pernah berkilau di hatinya.
Sekali lagi Mahesa Jenar lemas seperti kehilangan segala tulang-belulangnya. Sebagaimana
manusia biasa, ia merasa betapa sedihnya perpisahan yang terjadi secara tiba-tiba itu.
Terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi, sejak pertama kalinya ia tertarik
kepada wajah Rara Wilis yang terselip diantara beberapa orang yang akan menyeberang hutan
Tambakbaya. Terbayang pula bagaimana pada malam pertama gadis cantik itu ketakutan
mendengar teriakan-teriakan binatang hutan, serta bagaimana Jaka Soka berusaha untuk
menculiknya, sehingga terpaksalah ia ikut serta dalam perkelahian antara para pengawal
dengan Jaka Soka. Dengan terpaksa pula ia harus berhadapan untuk kedua kalinya dengan
Lawa Ijo. Juga terbayang dengan jelas, bagaimana selanjutnya ia harus mengantar Rara Wilis
seorang diri ke daerah Tambakbaya yang rasanya bagaikan tamasya yang tak akan terlupakan.
Juga pada saat terakhir dimana ia menunggui gadis itu, yang tidur dengan nyenyaknya karena
lelah. Kakinya, tangannya, dadanya yang penuh berisi serta rambutnya yang bergerak-gerak
dibelai angin.
Mahesa Jenar terduduk di rerumputan liar sambil menutup mukanya dengan kedua belah
tangannya. Ingin ia segera melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi semakin keras ia
berusaha, semakin jelas gambaran-gambaran itu menerawang di hatinya.
Sagotra juga masih saja berada di belakang Mahesa Jenar, dapat merasakan kesedihan Mahesa
Jenar sepenuhnya. Meskipun selama ini perasaannya dikuasai oleh nafsu untuk membunuh,
merampas dan sebagainya, tetapi sebagai manusia ia pun pernah merasakan tali batin yang
pernah menjeratnya.
Tetapi sampai sekian, yang tak dimengertinya, kenapa Mahesa Jenar sama sekali tak berbuat
apa-apa ketika ia menyaksikan bayangan yang tiba-tiba muncul di depan wajah bulan yang
hampir tenggelam itu. Meskipun ia tahu betapa hebatnya orang yang membawa Rara Wilis
itu, tetapi ia mengagumi Mahesa Jenar sebagai manusia luar biasa. Sehingga meskipun
dengan agak ragu-ragu ia beranikan diri untuk bertanya, "Tuan, kenapa Tuan tidak bertindak
ketika mereka menampakkan diri di hadapan Tuan?"
Mahesa Jenar baru merasa bahwa ia berkawan, ketika ia mendengar sapa itu. Perlahan-lahan
ia menoleh, serta menjawabnya, "Sagotra, tidakkah kau tahu siapa dia? Sehingga tak akan
bergunalah kalau aku mengejarnya."
"Siapakah orang itu, Tuan?" tanya Sagotra ingin tahu.
"Ki Ageng Pandan Alas," jawab Mahesa Jenar.
"Ki Ageng Pandan Alas...?" ulang Sagotra terkejut. "Jadi dialah orangnya yang mempunyai
kesaktian sejajar dengan Ki Pasingsingan? "
Mahesa Jenar mengangguk perlahan, sedang Sagotra dengan penuh ketakjuban menggelenggelengkan kepalanya. Itulah sebabnya maka orang itu berhasil mengambil Rara Wilis tanpa
diketahui oleh orang seperti Mahesa Jenar.
"Kenapa Rara Wilis ia ambil?" tanyanya lebih lanjut. "Adakah hubungan antara mereka? "
"Aku tidak tahu, Sagotra," jawab Mahesa Jenar. "Tetapi yang aku ketahui adalah Rara Wilis
membawa keris Sigar Penjalin."
"Itulah pusaka Ki Ageng Pandan Alas," potong Sagotra.
"Ya," sambung Mahesa Jenar. "Tetapi Rara Wilis mengatakan, bahwa keris itu berasal dari
kakeknya yang bernama Ki Santanu."
Tiba-tiba saja karena kata-katanya sendiri Mahesa Jenar teringat pada nama yang disebutkan
Sagotra, yaitu Ki Ardi. Apalagi ketika ia memandang ke arah selatan, masih tampaklah di
sana bayangan warna merah di udara. Maka timbullah kembali keinginannya untuk bertemu
dengan orang itu. Sebab darinya ia ingin mendapat beberapa keterangan tentang orang-orang
yang pernah tinggal di daerah itu. Karena itu katanya kepada Sagotra, "Sagotra, marilah
antarkan aku kepada Ki Ardi."
"Masih adakah gunanya?" sahut Sagotra.
"Aku tidak tahu, Sagotra. Tetapi antarkan aku ke sana," jawab Mahesa Jenar.
Maka dengan tidak menjawab lagi Sagotra langsung berdiri serta bersama-sama Mahesa Jenar
menempuh jalan ke arah selatan menuju rumah Ki Ardi.
Demikianlah malam menjadi gulita, karena kedipan bintang-bintang di langit tidak mampu
menyibakkan gelapnya malam.
Mereka berjalan tanpa lagi banyak berbicara. Sagotra yang tampaknya sudah agak biasa
berjalan di daerah ini, berjalan di depan. Sedang Mahesa Jenar, meskipun belum banyak
mengerti tentang daerah yang dilalui, tetapi ia mempunyai pandangan yang tajam sekali,
sehingga tidaklah banyak menemui kesulitan.
Demikianlah maka setapak demi setapak mereka mendekati arah api yang masih menyalanyala.
Maka setelah mereka berjalan beberapa lama, melewati padang ilalang, serta menyusup
gerumbul-gerumbul kecil yang berserakan disana-sini, sampailah mereka di sebuah bukit
kapur yang kecil. Mahesa Jenar serta Sagotra tidak langsung menampakkan diri, tetapi dari
jarak beberapa depa mereka masih berdiri di semak-semak. Dari situlah mereka menyaksikan
tempat kediaman Ki Ardi
073
KI ARDI sendiri yang pada saat itu sedang berada disamping api yang menyala nyala, sedang
memahat sebuah batu besar. Ternyata rumah Ki Ardi tidaklah lebih dari sebuah goa di bukit
kecil itu, yang langsung menghadap ke batu besar yang sedang dipahatnya.
Ketika Mahesa Jenar mengamat-amati pahatan Ki Ardi itu, ia menjadi kagum. Di atas batu
yang besar itu dipahatkan gambar seekor ular naga besar, yang tampaknya sedang marah.
Kepalanya menengadah ke atas, serta mulutnya menganga lebar. Disela-sela giginya yang
runcing mengerikan itu tampaklah lidahnya menjulur keluar. Sedang ekor naga itu terurai ke
belakang, berlekuk-lekuk. Di belakang serta di depan ular yang sedang marah itu, tampaklah
dua ekor yang tak kalah garangnya, siap menerkam. Kuku-kuku serta taring-taring harimau
itu tampak tajam menakutkan.
Sebelum itu Mahesa Jenar telah sering melihat pahatan-pahatan batu serta patung-patung yang
bagus buatannya di kota-kota. Bahkan candi-candi yang termasyur pun telah sering pula
dikunjungi. Namun pahatan Ki Ardi itu tidak pula kalah indahnya. Garis-garisnya tegas dan
mantap, sehingga pahatan itu dapat mengungkapkan watak serta keadaan binatang-binatang
itu sejelas-jelasnya.
Mereka yang menangkap pahatan itu segera akan dapat merasakan, bahwa seolah-olah
sebentar lagi akan terjadi pergulatan dahsyat antara naga raksasa itu melawan dua ekor
harimau yang ganas.
Sagotra yang hampir sepanjang hidupnya tak pernah mengenal arti bentuk semacam itu, tak
begitu dapat mengenal betapa tinggi nilai pahatan Ki Ardi. Yang tampak olehnya pada saat itu
tidaklah lebih gambar seekor naga yang hendak bertempur melawan dua ekor harimau. Tidak
nampak olehnya mata naga itu sedemikian menyala karena marahnya, sedang kedua harimau
itu telah begitu bernafsu untuk menguasai lawannya.
Mahesa Jenar yang mengagumi keindahan pahatan itu, tidak jemu-jemu selalu
memandanginya dengan saksama. Baris demi baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi
lebih dari itu, mendadak ia terperanjat. Hatinya bergoncang hebat, sampai diluar sadarnya ia
meloncat maju. Melihat hal itu, Sagotra menjadi terkejut pula. Apalagi yang menyebabkan
Mahesa Jenar berbuat demikian? Tidak pula kalah kagetnya Ki Ardi sendiri, sampai-sampai ia
terlonjak.
Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan naga itu tidak lain daripada lukisan Keris
Nagasasra. Ketika tanpa disengaja ia menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11,
maka Nagasasra itu sekaligus mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.
"Nagasasra Sabuk Inten...?" desis Mahesa Jenar.
Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai dirinya, menjadi ketakutan, sampai tubuhnya
gemetar. Tanpa menduga-duga, tiba-tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa
suara.
Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan Mahesa Jenar bergantian memandang
kepada Ki Ardi dan hasil pahatannya yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten. Melihat bentuk
Naga yang hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang hanya berbeda ukurannya
saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya melihat keris itu, sedang dapur Sabuk Inten
yang menyamai lekuk keris Kiai Sabuk Inten pun menimbulkan dugaan pada Mahesa Jenar
bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua duanya, yang kebetulan pada saat ia meninggalkan
Demak, kedua keris itu sedang lenyap dari gedung perbendaharaan.
Apalagi telah didengarnya pula dari Samparan bahwa ada kepercayaan golongan hitam,
bahwa kedua keris itu telah mempunyai keturunan atau rangkapannya masing-masing yang
justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum dapat diketahui dengan pasti adalah
yang diperebutkan itu benar-benar rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari
perbendaharaan Kerajaan Demak.
Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa Jenar. Tetapi tidaklah mungkin kalau hal ini
hanyalah suatu kebetulan. Atau malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam
yang juga sedang memperebutkan keris itu? Sedemikian besar keinginannya untuk
memilikinya, sehingga terwujud dalam pahatannya sebagai ungkapan perasaannya. Malahan
tiba-tiba Mahesa Jenar teringat pada kata-kata Samparan beberapa hari yang lalu sebelum
menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di kalangan hitam terdapat nama sepasang suamiistri Sima Rodra.
Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di Gunung Tidar. Namun tidak mustahil
kalau si suami pergi merantau dalam usahanya menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau
demikian halnya, anehlah kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa di daerahnya bermukim
salah seorang saingannya. Kalau saja Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah hal yang wajar.
Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir jelas sekali. Dua ekor harimau yang
dikatakan itu adalah suami Sima Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga yang
melukiskan Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk Inten.
Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian dari dugaannya. Kalau saja orang itu
benar-benar Sima Rodra, pastilah ia mempunyai ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo.
Karena itu ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran, sebab dalam keadaannya yang sekarang
ini, dimana jiwanya sedang bergolak, maka tidaklah mustahil baginya, segera mengambil
keputusan untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja ia terdesak.
Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa diduga-duga, menguasai orang itu, sehingga
tidak usah terjadi pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa lawannya untuk memberi
keterangan tentang kedua keris itu.
Maka setelah Mahesa Jenar mendapat kepastian pikiran, segera dengan gerakan kilat ia
meloncat menangkap dengan tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang
dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit Ki Ardi terasalah bahwa
tangan itu sedemikian kendornya, serta tak bertenaga. Sehingga Mahesa Jenar malah terkejut.
074
Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata
baru saat itulah ia dapat mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya,
perhatiannya telah terikat oleh pahatan orang itu.
Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia tidaklah pendek. Umurnya telah agak
lanjut, dan ini ditandai oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika
Mahesa Jenar memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan keheran-heranan atas
kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi terkejut. Meskipun orang itu matanya yang tampaknya
sedemikian bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga nampaklah
dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin dalam, seakan-akan sumur itu akan
mengisap hanyut. Mahesa Jenar menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas,
sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin cepat.
Sadarlah Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia sama sekali tidak berhadapan dengan seorang
yang mengutamakan kekuatan jasmaniah. Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan
batin yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat mempengaruhi orang lain.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga
segera tangan Ki Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut.
Sagotra sama sekali tidak tahu maksud serta akibat perbuatan Mahesa Jenar itu, sehingga ia
masih saja berdiri diam seperti patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya tiba-tiba
Mahesa Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata, Maafkan aku Ki Ardi,
aku telah salah duga terhadap Bapak.
Ki Ardi masih saja memandanginya dengan sorot mata keheranan. Bahkan kesan-kesan
ketakutannya pun masih ada. Dan inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening.
Orang yang mempunyai pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan sorot matanya saja,
tetapi yang seakan-akan tidak sadar akan kekuatannya sendiri, sehingga masih saja berkesan
ketakutan.
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Bagaimanapun, ia adalah seorang
bekas prajurit pengawal raja yang sudah sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar
kewajaran. Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar, bahwa pastilah ada suatu
rahasia yang menyelubungi orang tua itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan.
Mungkin ia sengaja berbuat demikian supaya orang tidak mengenal atau menduga, bahwa
sebenarnya ia mempunyai kelebihan dari orang lain.
Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar berkata, Maafkan, aku yang salah duga
terhadap Bapak.
Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerak-gerak dan terdengarlah suaranya kecil
bergetar, "Tuan, apakah salahku sehingga Tuan menyakiti aku?"
Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh penyesalan atas kelancangannya. Maka
jawabnya, "Bapak, sama sekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang berbuat kesalahan
terhadap Bapak."
Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya matanya yang sudah cekung itu merenung jauh
sekali menembus gelap malam. Kembali Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakanakan dapat menelan segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan Tambakbaya.
Ingin ia menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng Pandan Alas yang diduganya juga Ki
Santanu. Tetapi Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan jasmaniah
luar biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat melukai sebatang pohon yang
besarnya lebih dari empat pemeluk, hampir separonya. Sedangkan orang tua ini mempunyai
tubuh yang kendor dan sama sekali tak bertenaga. Apalagi baru beberapa saat berselang Ki
Ageng Pandan Alas pergi bersama-sama Rara Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan
bisa terjadi. Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk berpikir.
Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan baik-baik bertanya, mengenai
pahatan itu.
"Bapak..., yang kau lakukan mendorong keinginanku untuk mengetahui pahatan yang sedang
Bapak buat itu," kata Mahesa Jenar.
Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa Jenar. "Adakah dengan membuat
pahatan ini aku telah berbuat kesalahan terhadap tuan? " jawab orangtua itu.
"Tidak Bapak," sahut Mahesa Jenar cepat-cepat, " Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah yang
sedang Bapak pahat itu? "
Kembali orang itu heran. Kemudian dengan langkah yang lambat serta agak kebongkok
bongkokan orang itu berjalan menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati
dengan seksama.
Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta matanya menjadi cerah. "Pahatanku sudah hampir selesai.
Apa yang tadi tuan tanyakan?"
"Pahatan itu.... Apakah yang sedang Bapak pahat?" tanya Mahesa Jenar.
"Tidakkah Tuan tahu.... " kata orang tua itu sambil mendekati pahatannya. Dan kemudian
diraba-rabanya hasil kerjanya itu dengan mesra. "Bukankah ini seekor naga? Katakanlah
Tuan, apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?"
"Tentu, tentu," jawab Mahesa Jenar dengan cepat
.
"Lalu apa yang Tuan tanyakan?" tanya orang tua itu.
"Maksudku, apakah yang Bapak lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda
yang pernah Bapak lihat sebelumnya?"
Orang tua itu semakin heran. "Adakah Tuan pernah melihat sesuatu benda yang mirip dengan
pahatanku ini?"
Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula ia ingin mengatakan tentang keris Nagasasra yang
mempunyai bentuk yang sama dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan itu
hanyalah kebetulan saja. Kesamaan cita dalam cipta yang sampai sedemikian dekatnya
dengan aslinya. Kesamaan yang sedemikian itu pastilah yang satu diilhami oleh yang lain atau
malahan salinan sepenuhnya. Tetapi akhirnya diurungkannya keinginan itu. Karena tidak akan
banyak gunanya. Sebab pastilah orang tua itu sengaja merahasiakan.
Akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata, "Tidak... Bapak, tetapi apa yang Bapak pahatkan
adalah suatu bentuk yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah melihat seekor naga yang
sedemikian?"
075
Ki Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum. "Belum, Tuan. Aku
belum pernah melihat seekor naga pun. Yang pernah aku lihat hanyalah ular-ular kecil yang
sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Tetapi aku pernah mendengar dongeng dongeng
tentang seekor naga. Nah, menurut gambaran angan anganku sedemikianlah kira-kira
bentuknya."
Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia nampaknya bangga serta bahagia sekali
atas hasil kerjanya.
"Tuan...," katanya kemudian, "Silakan Tuan berdua duduk. Aku ingin menyelesaikan
pekerjaan ini, sekarang juga. Sebab tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu silakan
Tuan mendengarkan dongeng tentang naga yang sedang aku pahatkan ini."
Tanpa menunggu jawaban, Ki Ardi segera mulai dengan kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan
Sagotra segera mengambil tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya
gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh dahan-dahan yang sedang
dimakan api.
Sambil memahat, Ki Ardi mulai berceritera.
"Naga ini menurut ceritera dilahirkan dalam dua alam yang berbeda tempatnya. Tetapi dalam
pahatanku ini, tidaklah kedua-duanya aku lukiskan, tetapi aku ingin mendapat satu bentuk
kesatuan dari dua ekor naga itu. Seekor naga dilahirkan di samodra, sedangkan satu lagi
dilahirkan di angkasa. Tetapi diatas bumi ini mereka bertemu dan bersahabat. Keanehan dari
kedua ekor naga itu adalah, yang seekor bersisikkan emas, sedangkan yang seekor, di leher,
perut serta ekornya berbalutkan intan permata. Pada suatu hari, raja yang sedang berkuasa
diatas bumi ini, merasa disusahkan oleh seorang putrinya," kata Ki Ardi mengawali ceritanya.
"Putri itu," lanjut Ki Ardi, "jatuh cinta kepada seorang yang sama sekali tak dikehendaki oleh
ayahandanya. Sebab laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-laki itu
berasal dari bintang kemukus yang sering membawa bencana. Hanya karena laki-laki itu
terlalu sakti, maka tidak ada yang berani mengganggunya. Maka pada suatu ketika bertemulah
raja itu dengan kedua ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini.
Raja itu kemudian minta kedua ekor naga itu untuk mengusir laki-laki yang mengganggu
puterinya. Kedua ekor naga itu menyanggupinya. Didatanginya laki-laki yang berasal dari
bintang kemukus itu. Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan diselesaikan dengan
damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa yakin akan kesaktiannya, sehingga akhirnya
terjadilah pertempuran yang maha dahsyat. Kedua ekor naga itu pun ternyata mempunyai
kesaktian yang luar biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir di kedua belah tangannya
menyerang dengan ganasnya, sedangkan naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya
menyembur api yang menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan permata itu, dari
kedua matanya memancar sinar yang beracun."
"Tetapi karena kesaktian mereka masing-masing, senjata-senjata itu hampir tidak banyak
berguna. Laki-laki bintang itu ternyata tidak saja mampu bertempur di atas daratan. Sekalisekali ia terjun pula ke dasar lautan. Tetapi naga yang lahir di dalam samodra itu tidak
membiarkannya.
Disusullah ia ke dasar lautan dan bertempurlah mereka di sana. Air laut pun menjadi bergolak
seakan-akan mendidih. Kalau laki-laki itu jemu bertempur di lautan, terbanglah ia ke angkasa.
Dan bertempurlah mereka di udara."
"Demikian dahsyat pertempuran itu sampai langit menjadi gelap, hanya kadang-kadang saja
memancar kilat dan petir disela oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari
mulut naga bersisik emas itu."
"Demikianlah pertempuran itu berlangsung sampai 40 hari, 40 malam. Tetapi masih saja
belum ada yang nampak akan kalah. Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit.
Sekali waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa," cerita Ki Ardi.
Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia berjalan mundur menjauhi
pahatannya. Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya berkerut.
"Tuan, pahatanku telah selesai. Apakah kata tuan tentang ini?" kata orangtua itu kepada
Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan keindahan pahatan itu menjawab, "Bagus,
Ki Ardi."
Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya, "Baru sekarang aku mendapat pujian atas hasil
kerjaku. Selama ini tidak pernah seorang pun, jangankan pujian-pujian, sedang perhatian saja
tidak pernah aku dapatkan. Sagotra dengan kawan-kawannya yang sering berkeliaran di
daerah ini, sama sekali tidak dapat menikmati hasil pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu
sekarang?"
Sagotra yang sejak tadi berdiam diri, menjadi agak bingung untuk menjawab pertanyaan Ki
Ardi itu. Maka ia menjawab sekenanya saja, "Bagus, Ki Ardi."
Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban Sagotra. "Apa yang bagus?"
Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mau kalah. "Nagamu
itu Ki Ardi, kalau saja bersisikkan emas benar-benar, serta berbalutkan intan permata,
mungkin umurmu tidak lebih dari malam ini."
Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. "Pastilah itu terjadi kalau nagaku benar-benar
seperti dongeng yang pernah aku dengar itu. Tetapi sesudah kau bunuh aku, kau juga akan
mati ditelan nagaku ini."
Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat. "Orang tua gila. Kalau kau tanyakan pendapat orang
lain mengenai pahatanmu itu, pastilah kau mengharap orang itu memujinya. Tetapi
pahatanmu itu sebenarnya sangatlah jelek," gerutu Sagotra.
076
Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia sudah biasa bergaul dengan Sagotra serta kawankawannya Lawa Ijo yang lain.
"Sebaiknya kau makan dulu, baru menilai pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu,
nanti kau akan mendapatkan jagung bakar. Makanlah itu, baru kau memberikan pendapatmu,"
kata Ki Ardi kepada Sagotra.
Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya Mahesa Jenar di situ. Karena itu pura-pura saja
ia tidak mendengar. Bahkan ia berkata terus, "Ki Ardi, aku lebih suka mendengar
dongenganmu daripada menyaksikan pahatanmu itu."
Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah aku
lanjutkan dongeng itu, tetapi aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?"
Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa Jenar tersirap, sedang Sagotra menjadi bingung,
bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban,
akhirnya Mahesa Jenar yang menjawab, "Ki Ardi aku dan Sagotra secara kebetulan saja
bertemu di perjalanan. Dan Sagotra telah berbaik hati mengantarkan aku ke arah api yang
Bapak nyalakan."
Ki Ardi mengangguk-angguk kecil. "Anehlah kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang
dilakukan oleh Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan merampas terhadap siapa saja
yang dijumpainya di daerah ini, " lanjutnya.
"Ki Ardi, jangan kau membual. Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang
baik, potong Sagotra dengan nada tidak senang."
Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada keras, Ki Ardi nampak agak takut juga.
Maka katanya membetulkan, "Maaf Sagotra... maksudku bukan tidak baik, aku hanya ingin
bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan saja ceriteraku."
Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk di hadapan Mahesa Jenar, juga di dekat api.
Sebentar kemudian mulailah ia melanjutkan ceriteranya.
"Kedua ekor naga itu, yang telah berumur 40 hari 40 malam, belum dapat menguasai
lawannya. Karena itu pertempuran semakin bertambah sengit. Seluruh penduduk bumi
menjadi ketakutan. Tidak ada tempat untuk mengungsikan diri. Sebab pertempuran itu terjadi
di seluruh permukaan bumi, di seluruh lautan, dan diseluruh langit. Raja bumi itu pun menjadi
bertambah prihatin. Apalagi putrinya setiap hari selalu menangis saja. Tetapi untuk
mengabulkan permintaan putri itu, tidak terlintas di dalam pikiran ayahanda raja. Karena itu ia
tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Akhirnya ia terpaksa menunggu saja akan kesudahan
pertempuran yang maha dahsyat antara laki-laki dari bintang kemukus itu dengan dua ekor
naga yang dimintai bantuan.
Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus, di laut timbul gelombang sebesar
gunung, di darat bertiup angin topan yang dahsyat. Sedangkan di udara, petir menyambarnyambar guruh dan bunga-bunga api yang maha panas. Sampai hari yang ke-100, keadaan
masih belum berubah, hati raja bertambah gelisah pula.
Maka pada hari yang ke 101, dengan tidak disangka-sangka menghadaplah seekor naga yang
amat sederhana, ke hadapan raja. Naga itu berwarna agak kehitam-hitaman. Matanya berkilatkilat seperti bintang. Dengan rendah hati naga itu berkata kepada raja, Paduka yang
memerintah kerajaan bumi, perkenankanlah hamba mengabdikan diri kepada Paduka serta
diperkenankan membantu kedua saudara hamba yang sedang bertempur melawan laki-laki
yang berasal dari bintang kemukus.
Tentu saja permintaan itu dikabulkan oleh raja. Maka dengan senang hati, naga itu langsung
menuju ke medan pertempuran yang saat itu sedang terjadi di daratan. Kedatangannya
menimbulkan perbawa yang luar biasa, sehingga dengan tiba-tiba saja pertempuran itu
berhenti sejenak.
Melihat kedatangan naga ini, mereka bertiga yang sedang bertempur menjadi heran. Maka
bertanyalah naga yang bersisik emas, Hai naga yang sangat sederhana, tanpa menunjukkan
tanda-tanda kebesaran apapun, apakah maksud kedatanganmu?
Naga itu menjawab, Saudaraku, aku datang untuk membantumu.
Mendengar jawaban itu, naga berbalut intan merasa tidak senang. Lalu katanya, Saudaraku
hanyalah mereka yang dapat menunjukkan tanda kebesarannya.
Alangkah sedih hati naga yang kehitam-hitaman itu, ditambah lagi laki-laki dari bintang
kemukus itu memakinya pula. Kau yang mirip sebatang pohon roboh itu akan turut serta
dalam permainan ini...?
Tetapi disabarkannya hati naga yang sederhana itu. Jwabnya, Terserahlah kata-kata kalian
atas diriku. Tetapi aku ingin menunjukkan pengabdianku.
Kalau demikian kerjakanlah itu sendiri, kata naga bersisik emas.
Ya, kerjakanlah sendiri, sahut naga yang bersalutkan intan.
Baiklah, jawab naga yang kehitam-hitaman itu. Silakan kalian beristirahat.
Mendengar kata-kata Naga Hitam itu, alangkah marahnya laki-laki bintang yang merasa
dirinya sangat sakti. Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung diserangnya naga
hitam itu dengan kedua belah tangannya yang memegang petir. Tetapi apa yang
disaksikannya sangatlah mengagumkan. Naga hitam itu melingkar cepat sekali dan dengan
sekali menggerakkan ekornya kedua petir itu pun telah dapat direbutnya, dan dengan suara
menggelegar petir-petir itu dibantingnya di punggung gunung sampai pecah berserakan.
Laki-laki bintang itu terkejut menyaksikan hal yang demikian. Tetapi ia pun tidak kurang
saktinya. Segera kedua tangannya itu bergerak menangkap guruh yang sedang berkeliaran di
langit. Maka dengan sekuat tenaga, guruh itu pun dihantamkan ke kepala lawannya. Naga itu
melihat guruh yang dengan suara gemuruh mengarah ke kepalanya, segera menyemburkan
angin kencang dari mulutnya, sehingga guruh itu pun terlontar kembali ke arah laki-laki
bintang itu.
077
KARENA kecepatannya menghindar, laki-laki itu tidak hancur karena senjatanya sendiri.
Dengan kejadian-kejadian itu, laki-laki bintang kemukus yang merasa dirinya tak terkalahkan
itu menjadi marah sekali. Dikeluarkannya segala kesaktian serta kepandaiannya yang terakhir
untuk menyerang naga hitam itu. Maka segera terjadilah pertempuran yang tak terkira
dahsyatnya.
Tidak hanya lautan menjadi bergolak, topan mengalir dengan derasnya, serta petir
menyambar-nyambar, tetapi segera hutan-hutan menjadi terbakar. Lautan mendidih serta
gunung-gunung terlempar berserak-serakan. Kedua lawan yang sedang mengadu tenaga itu
telah mempergunakan apa saja yang dapat dipegangnya untuk dijadikan senjata.
Maka semakin ketakutanlah segenap penduduk negeri bumi itu. Pada hari yang ketujuh,
pertempuran itu bertambah seru dan cepat. Laki-laki bintang kemukus itu telah mengalami
perkelahian 100 hari melawan dua ekor naga yang cukup sakti. Tetapi tenaganya masih tetap
segar.
Sekarang ia baru tujuh hari bertempur melawan seekor naga yang dikatakannya sebagai
sebatang pohon yang roboh saja, namun ia merasa bahwa tenaganya telah mulai kendor. Ia
telah mencoba mengerahkan segala kesaktiannya, tetapi tidaklah banyak hasilnya.
Sekali waktu ia berhasil menangkap ekor naga hitam itu. Lalu dengan tangannya yang kokoh
kuat itu, diputarnya naga itu di udara, sehingga menimbulkan angin putaran yang luar biasa.
Baik di darat maupun di lautan. Banyak gunung dan pulau-pulau yang terangkat dan
terlempar bertebaran.
Tetapi naga itu tidak pula kehilangan akal. Tubuhnya yang kehitam-hitaman itu tiba-tiba
menyala-nyala, sehingga ketika tangan laki-laki bintang itu merasa panas, terpaksa naga itu
dilepaskan dan terlontar ke udara. Timbullah suatu pemandangan yang mengerikan. Suatu
lingkaran api berputar-putar di udara.
Sebentar kemudian berubahlah naga itu menjadi gumpalan api yang bergulung-gulung
menghantam lawannya. Laki-laki bintang itu menjadi agak kebingungan. Maka segera ia
menghindar dengan terjun ke dasar Samodra. Namun api-api itu pun menyusulnya ke dasar
samodra, dengan api masih tetap menyala, sehingga air lautan menjadi mendidih karenanya.
Segera laki-laki itu meninggalkan lautan, dan terbang ke udara. Naga itu juga tetap
mengejarnya.
Kemana laki-laki itu pergi, gumpalan api itu tetap menyusul di belakangnya, sehingga
akhirnya laki-laki bintang kemukus itu merasa bahwa ia tak mampu lagi menandingi naga
hitam yang dapat menyalakan api dari tubuhnya, jauh lebih panas daripada api yang keluar
dari mulut naga yang bersisik emas, dan jauh lebih berbahaya dari sorot beracun di kedua
belah mata naga yang berbalut intan permata.
Maka tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke asalnya. Segera laki-laki bintang itu pun terbang
lebih tinggi, dan akhirnya lenyaplah ia berlindung di balik kabut beracun yang memancarkan
cahaya yang menyilaukan, yang menyelubungi dunianya, yaitu bintang kemukus.
Setelah melihat lawannya kembali ke asalnya, naga hitam itu merasa bahwa tugasnya telah
selesai. Segera ia turun kembali ke bumi untuk menemui kedua naga yang bersisik emas dan
berbalut intan. Mudah-mudahan setelah ia menunjukkan jasanya, sudilah kiranya kedua naga
itu mengaku sebagai saudara.
Tetapi alangkah kecewanya, ketika ia sampai di bumi, kedua ekor naga itu sudah tidak ada
lagi.
Maka menghadaplah naga hitam itu kepada baginda raja bumi untuk menanyakan kalau-kalau
kedua ekor naga itu sudah mendahuluinya menghadap. Di sepanjang jalan, naga hitam itu
selalu bersyukur di dalam hati, mereka dalam keadaan telah hampir pulih kembali. Orangorang sudah tidak lagi ketakutan.
Agak berbanggalah hatinya kalau ia mendengar beberapa orang menyebut-nyebutnya sebagai
pahlawan yang berhasil mengusir laki-laki bintang kemukus yang membawa bencana wabah
berbahaya. Tetapi kebanggaan itu disimpannya dalam hati, sebab ia merasa bahwa apa yang
dilakukannya adalah amal pengabdian semata.
Ketika ia menghadap raja bumi, alangkah terkejutnya waktu ia melihat upacara penyambutan
yang luar biasa. Ia bahkan menjadi malu dan kaku.
Ketika ia berkesempatan menghadap baginda, yang pertama ditanyakan adalah kedua ekor
naga yang bersisik emas dan berbalut intan. Tetapi dengan menyesal, baginda bersabda, Naga
Hitam.., kedua saudaramu itu telah meninggalkan kerajaan bumi di luar pengetahuan kami,
seorang menteri yang melihatnya, menanyakan kemana mereka pergi. Naga bersisik emas
menjawab bahwa ia akan pergi tanpa tujuan, sebab ia telah merasa bersalah menghinakan
engkau. Sedangkan naga yang berbalut intan berkata bahwa ia minta maaf kepadamu. Juga
mereka merasa malu sekali bahwa mereka tak dapat memenuhi janjinya, mengusir laki-laki
dari bintang itu.
Naga hitam itu menjadi sedih sekali. Hampir saja ia meneteskan air mata. Untunglah bahwa ia
sadar, kalau ia sedang berada diantara mereka yang menyambutnya dengan penuh kebesaran.
Dari baginda, naga hitam itu mendapat hadiah sebuah gua yang indah sekali, yang berdinding
emas dan bertahtakan intan berlian. Tetapi naga hitam itu masih saja senang berkeliaran di
rawa-rawa dan hutan-hutan, sebagai daerah permainannya masa kanak-kanak.
Sekali waktu masih terasa kesedihan hatinya mengenang kedua ekor naga yang pergi
meninggalkannya.
078
KI ARDI menghentikan ceritanya sejenak. Ia membetulkan duduknya sambil kembali
mengamat-amati pahatannya, seolah-olah ingin memahami kesesuaian antara bentuk
pahatannya serta isi ceriteranya.
Sagotra meskipun orang yang kasar, namun rupanya ia gemar juga mendengarkan dongeng
tentang kesaktian-kesaktian. Karena itu ketika beberapa saat Ki Ardi masih belum
melanjutkan ceriteranya, ia berkata, "Ki Ardi ceriteramu bagus sekali. Tetapi rupanya kau
sengaja menjengkelkan kami dengan memutus-mutus ceritera itu."
Sekali lagi Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. Lalu jawabnya, "Sabarlah Sagotra, pastilah
ceritera itu aku lanjutkan.... Nah dengarlah baik-baik."
"Naga hitam itu sepanjang waktunya masih dipergunakan untuk mengharap pada suatu saat
bertemu kembali dengan kedua Naga yang dirasanya senasib. Apalagi setelah keduanya
mengaku bersalah terhadapnya."
"Tetapi akhirnya yang paling menyedihkan adalah, ketika ia mendengar kabar bahwa
terjadilah kerusuhan-kerusuhan di istana raja bumi. Banyak bangsawan dan kesatria saling
bertengkar, bertempur, bahkan saling membunuh. Soalnya adalah karena mereka berebut
untuk mendapatkan putri baginda yang pernah jatuh cinta pada laki-laki bintang kemukus.
Sedemikian hebatnya perebutan itu sehingga para bangsawan dan kesatria tidak malu-malu
lagi mempergunakan laskar pengikut masing-masing untuk mencapai maksudnya. Sehingga
memang kadang-kadang terjadilah pertempuran-pertempuran kecil diantara mereka."
"Hampir saja naga hitam itu marah, dan mengambil keputusan untuk memusnahkan sekalian
bangsawan dan kesatria, malahan kerajaan bumi sekaligus. Tetapi untunglah bahwa ia dapat
menyabarkan diri. Sebab ia pun pernah merasa berjuang untuknya."
"Adapun naga yang bersisik emas serta naga yang bersalut intan memang sebenarnya pergi
meninggalkan kerajaan bumi karena menyesal dan malu. Mereka pergi merantau tanpa arah
dan tujuan, dengan maksud untuk bertapa dan menjauhkan diri dari masalah-masalah lahiriah.
Sebab ternyata tanda-tanda kebesaran yang mereka miliki tidaklah dapat dipergunakan untuk
mengatasi lawan yang cukup sakti, bahkan tidak berguna sama sekali."
"Kabar kepergian kedua ekor naga itu menggemparkan kerajaan-kerajaan di luar bumi. Yaitu
kerajaan di bawah tanah, di bawah lautan dan di lapisan-lapisan langit. Serentak mereka
menyebar panglima-panglimanya untuk menemukan serta membujuk kedua ekor naga untuk
berpihak kepada mereka masing-masing."
"Dengan perhitungan kesaktian kedua ekor naga itu digabungkan dengan kesaktian-kesaktian
yang telah ada pastilah dapat mengalahkan kerajaan bumi, walaupun dibantu oleh naga hitam
yang sakti."
"Pada suatu saat sampailah ia di suatu daerah yang kelam. Daerah yang sama sekali tak
dikenal."
Kembali Ki Ardi berhenti. Dan kembali pula ia memandangi pahatannya. Sebentar kemudian
katanya, Nah, pada bagian inilah ceritera itu aku ambil sebagai bahan pahatanku ini. Daerah
kelam itu dikuasai oleh dua ekor harimau raksasa yang berkulit hitam legam. Ternyata kedua
ekor harimau ini pun ingin dapat menguasai kedua ekor naga itu. Baik secara halus ataupun
secara kasar."
"Ketika ternyata kedua ekor naga itu menolak bekerja sama dengan mereka, terjadilah suatu
perselisihan. Sehingga akhirnya pertempuranpun tak dapat dihindarkan. Sebenarnya kedua
ekor harimau itu tak dapat menguasai lawannya, kalau saja daerah mereka tidak
menguntungkan.
Daerah kelam yang penuh rahasia itu sangat membingungkan kedua ekor naga itu. Sehingga
akhirnya naga itu pun hanya bertahan apabila diserang. Tetapi setelah ia terjebak ke dalam
daerah itu, sulit bagi mereka untuk mencari jalan keluar."
Sampai sekian Ki Ardi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya legalah hatinya, seolah-olah
ia telah melahirkan suatu rahasia yang selama ini disimpannya.
Tetapi sementara itu Sagotrapun mendesak, "Tidakkah Ki Ardi akan mengakhiri dongeng
itu?"
"Mengakhiri...? Bagaimana aku akan mengakhiri? Kejadian itu memang baru sampai sekian,"
jawab Ki Ardi.
"Baru sampai sekian...?" tanya Sagotra heran.
Mahesa Jenar pun tidak kalah herannya. Apalagi ketika dilihatnya perubahan garis wajah Ki
Ardi. Kesan-kesan kejenakaan yang selama ini selalu tersembul diantara tawanya, lenyap
sama sekali. Bahkan ketika Mahesa Jenar memandang matanya, yang sejak semula sudah
mengagumkan, kini seakan-akan dunia ini ada di dalamnya.
Tetapi rupanya Sagotra tidak melihat perubahan itu, sehingga masih saja ia mendesak, "Ki
Ardi... katakanlah akhir dari dongeng itu. Nanti aku akan memuji pahatanmu itu pula."
Ki Ardi tersenyum, tetapi senyumnya kosong. Malahan tiba-tiba ia berkata sambil berdiri,
"Tunggulah Sagotra, akhir dari cerita ini masih agak lama. Sekarang aku akan masuk
sebentar. Kawanilah Tuan ini."
Rupanya Sagotra ingin lekas-lekas mendengar akhir ceritera itu sehingga ia menggerutu tak
habis-habisnya. Meskipun demikian Ki Ardi seolah-olah tidak mau lagi mendengarkan. Ia
berjalan perlahan- lahan masuk ke dalam goa dan sejenak kemudian lenyaplah ia ditelan
gelap.
Mahesa Jenar yang melihat perubahan itu, menjadi curiga. Tetapi ia sama sekali tak
menunjukkan kecurigaannya. Hanya saja karena mungkin segala sesuatu dapat terjadi, maka
haruslah ia bersiaga.
Apalagi ketika sampai beberapa lama, Ki Ardi masih juga belum muncul. Kecurigaan Mahesa
Jenar semakin bertambah. Kembali terasa betapa bodohnya, sehingga ia dapat dipermainkan
oleh keadaan. Ataukah ia sudah berubah menjadi seorang penakut, yang selalu diliputi oleh
perasaan was-was dan curiga...?
Sagotra pun akhirnya merasa tidak sabar, hanya masalahnya yang berbeda. Maka segera ia
pun berdiri dan memanggil-manggil Ki Ardi. Tetapi tidak ada terdengar orang menyahut.
Tampaknya Sagotra telah terbiasa bergaul dengan Ki Ardi. Tampaknya telah pula Sagotra
terbiasa masuk-keluar rumahnya. Maka, ketika panggilannya tiada mendapat sambutan,
segera Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah menuju ke mulut goa. Dan sejenak kemudian
ia pun telah lenyap ditelan gelap.
079
SAAT itu, Mahesa Jenar tinggal duduk seorang diri disamping api yang masih menyala-nyala.
Bayangan-bayangan yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak. Kadang-kadang
membesar bagai akan menerkam, dan kadang-kadang mengecil seperti akan lenyap.
Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia. Dan ini sangat menggelisahkan Mahesa
Jenar. Aneh, bahwa pada saat itu ia merasa kehilangan ketenangan.
Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata terjadi. Tiba-tiba dengan tak diketahui
arahnya, di atas bukit kapur kecil itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang berdiri tegap.
Meskipun cahaya api itu samar-samar mencapainya, tetapi tidak dilihatnya wajah orang itu
dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar yang berpandangan sangat tajam.
Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri. Ia tidak tahu maksud orang itu. Tetapi pastilah ia
tergolong orang sakti, sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah hadir di
situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala kemungkinan, segera Mahesa Jenar memusatkan
pikirannya, mengatur pernafasannya serta menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak
tangannya, meskipun ia belum bersikap.
Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih. Bunyi tertawanya lunak dan
menyenangkan. Ketika kemudian orang itu berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut, sampai
tubuhnya gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring.
"Mahesa Jenar, tidak perlu kau kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak bermaksud apa-apa.
Maafkan kalau aku mengejutkan engkau."
Ternyata suara itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru saja. Suara itu adalah suara Ki Ardi.
Jadi ternyata benarlah dugaannya, bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.
Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang tampaknya seperti membara di
kegelapan malam. Jantung Mahesa Jenar serasa akan berhenti.
"Kalau begitu, Tuan adalah Ki Ageng Pandan Alas," sahut Mahesa Jenar tergagap.
"Ya... sengaja aku bersembunyi di sini untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang
aku sangsikan keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda, tidaklah
tergolong dalam aliran hitam. Dan sementara ini, Pasingsingan memelihara murid
kesayangannya yang kau lukai, biarlah aku mengurus keluargaku pula. Kau sementara ini
dapat tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang bukit ini. Baru
setelah itu kau lanjutkan perjalanmu.
Sayanglah jagung itu kalau tak ada yang memetiknya," ujar orang itu.
Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah maju mendekati bukit kapur itu. Tetapi segera
Ki Ardi yang ternyata juga Ki Ageng Pandan Alas mencegahnya.
"Mahesa Jenar, aku masih belum mempunyai waktu untuk menemuimu. Yang penting kau
ketahui adalah tak perlu Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia sudah berubah pikiran,
tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah ia menyimpan rahasia. Juga kau tak perlu
menjelentrehkan ceritera yang baru saja aku ceritakan. Aku percaya bahwa pasti kau tahu
maksudnya, kalau aku katakan bahwa Naga Hitam itu kemudian dikenal dengan nama Kyai
Sengkelat."
"Nah, Mahesa Jenar," kata Ki Ardi kemudian, baiklah aku pergi dahulu, aku harap kita dapat
bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.
Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng Pandan Alas telah pergi dengan
cepatnya dan segera lenyap ditelan gelap.
Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali Mahesa Jenar merasa, bahwa apabila ia
berhadapan dengan tokoh-tokoh itu, alangkah kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki
Pasingsingan dan yang pernah didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang
setingkat dengan mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum juga yang terkenal dengan
sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu
yang kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga yang terkenal dengan sebutan
yang aneh Titis Angentan yang berasal dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian seperti
Adipati Blambangan Wirabumi yang hanya dapat dikalahkan oleh Raden Gajah pada waktu
itu.
Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan dirinya, teringatlah ia akan pesan Ki Ageng
Pandan Alas tentang dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat. Cepatcepat ingatan Mahesa Jenar bekerja. Akhirnya diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi
itu dengan cerita yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga yang bersisik emas dan
bersalut intan pastilah yang dimaksud Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang pada
waktu itu, untuk menyembuhkan penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada suatu
malam bertempur di udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama Kyai Condong
Campur.
Tetapi kedua keris itu tak dapat menyelesaikan tugasnya, malahan Kyai Sabuk Inten agak
mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya. Sementara itu Kyai Sangkelat yang dapat
mengusir Kyai Condong Campur sehingga menjelma menjadi bintang kemukus yang masih
mendendam kepada umat manusia dengan memancarkan bermacam-macam kuman penyakit.
Juga jelaslah sudah sekarang dimana Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada.
Pastilah kedua keris itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Dengan
menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas minta kepadanya untuk
menemukan kembali kedua keris itu. Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan
penuh tanggung jawab.
Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa. Ia masih saja menggerutu. Orang itu
gila, dimana ia bersembunyi, gumamnya.
"Tuan... orang itu tidak ada di dalam rumahnya. Sudah aku aduk sampai ke sudut-sudutnya
tetapi aku tak bisa menemukannya. Memang kalau orang itu sedang kambuh gilanya, rumah
ini sering ditinggalkan begitu saja sampai berhari-hari. Mungkin kini tiba-tiba sakitnya itu
datang lagi, kata Sagotra kepada Mahesa Jenar."
080
"Sudahlah Sagotra," jawab Mahesa Jenar "janganlah kau pikirkan orang tua itu. Biarlah ia
mendapatkan kepuasan dengan caranya sendiri. Sekarang baiklah kita bicarakan masalah kita
sendiri, masalahmu dan masalahku."
Tiba-tiba tersadarlah Sagotra terhadap keadaannya, sehingga membelitlah kembali
kegelisahan hatinya.
"Sagotra," kata Mahesa Jenar melanjutkan, "apakah kau akan kembali kepada kawankawanmu ?. Kalau demikian pertimbanganmu, sekarang aku kira belum begitu terlambat.
Tentang diriku terserah kepadamu. Apakah akan kau laporkan kepada kawan-kawanmu
apakah tidak."
Tampaklah Sagotra diam-diam menimbang-nimbang dipikirkannya setiap segi yang mungkin
menguntungkan dan yang mungkin mencelakakan. Bagaimanakah akibatnya kalau ia kembali
kedalam gerombolannya. sedangkan kalau tidak lalu kemanakah ia akan pergi ?. Setelah
Sagotra berkenalan dengan seorang seperti Mahesa Jenar, terasalah betapa miskinnya hidup
dalam sarang gerombolan. Meskipun ia tidak pernah merasakan kekurangan akan sandang
dan pangan, tetapi ternyata bukanlah itu-itu melulu yang diperlukan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup. Karena itu, timbulah keinginannya untuk dapat menemukan suatu
kehidupan baru.
"Tuan," katanya kemudian, "sebenarnya aku tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali
kepada gerombolanku. Tetapi karena selama ini aku hanya mengenal penghidupan yang
sedemikian, aku menjadi bingung, bagaiman aku harus memulai penghidupan baru. Atau
barangkali kalau tuan menghendaki, aku dapat ikut serta dengan tuan kemana tuan pergi."
Mendengar permintaan Sagotra, Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan. Sudah wajarlah
kalau Sagotra merasa canggung untuk memulai suatu macam penghidupan yang lain daripada
selama ini dilakukannya. Tetapi iapun tidak akan dapat menerima Sagotra selalu bersamanya.
Sebab banyaklah hal-hal yang tidak boleh dimengerti oleh orang lain, yang harus dikerjakan.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat suatu pikiran yang dapat menolong menemukan jalan
keluar. Katanya "Sagotra, kau tidak dapat terus menerus bersamaku. Sebab akupun tidaklah
tahu pasti akan masa depanku. Tetapi aku mau menunjukkan kau suatu jalan keluar yang
barangkali dapat kau tempuh, apabila benar-benar kau menghendaki jalan keluar dari
penghidupanmu yang hitam sekarang ini. Dan sekaligus kau dapat menolong aku pula,
maukah kau ?"
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak dapat berkedip. Permintaan
Mahesa Jenar untuk menolongnya adalah suatu penghormatan baginya. Karena itu
dijawabnya kemudian "Tuan, apa yang tuan perintahkan pasti akanaku lakukan dengan
sepenuh kemampuan yang ada padaku. Nah katakankah tuan."
"Sagotra," kata Mahesa Jenar selanjutnya "tolonglah aku menyampaikan kabar kepada
sahabatku. Pergilah kau menyeberang hutan Tambak Baya. Terserahlah jalan mana yang akan
kau ambil. Tetapi arahnya adalah arah diamana kau temukan aku tadi, sedikit agak ke utara.
Kau akan sampai disebuah desa diseberang hutan Tambak Baya yang bernama Cupu Watu.
Dari sana kau langsung menuju kearah timur. Lewat sebuah candi yang terkenal dengan nama
Candi Tara, bekas tempat pemujaan dewi Tara. Dari sana kau langsung menuju Prambanan.
Temuilah Demang yang bernama Panaggalan. Sampaikan salam keselamatanku kepadanya.
Dan katakanlah aku mengharap kedatangan adiknya Ki Dalang Mantingan di daerah Rawa
Pening, dua hari sebelum purnama penuh, pada bulan terakhir tahun ini."
"Katakanlah bahwa Ki Dalang Mantingan sudah tahu kepentingannya. Selanjutnya atas
tanggunganku mintalah perlindungan kepadanya untuk dapat hidup dalam lingkungan
keluarga Kadenmangan itu. Asal kau mau mencurahkan segala ketulusan serta keihlasan hati,
pastilah kau akan diterima dengan baik."
Sagotra agak berbimbang sebentar mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Memang ia selalu
ragu-ragu untuk dapat mempercayai dirinya sendiri. tetapi ia tidak mau mengecewakan
Mahesa Jenar. Karena itu ia berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan memenuhi permintaan itu
sedapat-dapatnya.
Maka setelah segala petunjuk-petunjuk yang diperlukan telah diberikan oleh Mahesa Jenar,
segera Sagotrapun bersiap untuk menempuh suatu perjalanan yang cukup berbahaya bagi
dirinya. Tetapi sebenarnya Sagotra bukanlah seorang penakut. Dan ia termasuk tokoh yang ke
6 sesudah Wadas Gunung, Carang Lampit dan sebagainya diantara ke-20 orang yang sedang
mencegat Mahesa Jenar. Karena itu setelah berketetapan hati untuk menempuh perjalanan itu,
maka iapun tak pula mengenal gentar.
Karena perjalanan didaerah hutan itu akan berlangsung beberapa hari, meskipun dengan agak
malu-malu sedikit diperlukannya juga mengambil beberapa ontong jagung sebagai bekal
perjalanannya.
Dan berangkatlah Sagotra pada malam itu juga supaya tidak terlambat. Sebab apabila
ditunggu sampai besok pastilah beberapa lawannya sudah mencarinya.
Sepeninggal Sagotra, Mahesa Jenar segera merasa betapa sepinya tinggal seorang diri
ditengah padang, dibawah sebuah bukit kapur. Tetapi bagaimana juga ia ingin memenuhi
permintaan Ki Ageng Pandan Alas untuk tinggal kira-kira seminggu di tempat itu.
081
RUPANYA Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang pula pada tanaman-tanamannya kalau tak
ada yang memetiknya. Tetapi karena menunggu jagung itulah maka Mahesa Jenar terpaksa
terikat dalam keadaan yang sulit.
Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal seluruh daerah di sekitar bukit
kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak terdapat
tanaman jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat sebuah blumbang
yang berair jernih.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi.
Merebus jagung dan membakar daging hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi
tanaman jagung, kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya.
Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi sebuah tugas yang besar, yaitu
membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian
disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu dua hari lagi pasti sudah
masak untuk dipetiknya.
Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah rencananya.
Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari
apabila malam tiba, seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang tajam
menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara. Suara itu semakin lama
semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa
Jenar tidak tahu siapakah kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak menimbulkan
hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa Jenar menyelinap masuk ke dalam goa.
Dari sana, dari dalam gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka
mendekati perapian.
Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan mendekati perapian. Di muka
sendiri berdiri seorang gagah tegap. Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak
kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat dan berkumis lebat.
Di belakang mereka berjalan beberapa orang yang tampak garang-garang.
Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa Jenar berdegupan. Segera teringatlah
ia akan wajah seseorang yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah
Mahesa Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar Watu Gunung, yaitu
Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah orang yang berjalan paling
depan itu Wadas Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan gerombolan
Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.
Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak perlu, ia akan menghindari
bentrokan-bentrokan yang akan terjadi.
Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan nyaringnya. “Ardi..., Ki Ardi...!”
Mahesa Jenar jadi bimbang. Perlukah panggilan itu dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah
segera dikenal bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia berdiam diri
saja.
Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi lagi, teriaknya. “Ardi..., hai Ki
Ardi. Jangan main-main. Kali ini waktu kami hanya sedikit. Kami hanya ingin mendapat
beberapa ontong jagung untuk makan kami besok. Sesudah itu kami akan pergi.”
Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.
“Orang tua gila. Masih saja ia suka bermain gila dalam waktu yang begini.”
“Ki Ardi...! Kami sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan
selagi kami tergesa-gesa,” teriak yang tinggi kurus itu kemudian.
Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban. Rupanya Wadas Gunung menjadi
jengkel.
“Carang Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil saja persediaan
makanan yang ada. Aku masih ingin menunggu setan itu sampai tiga hari,” kata Wadas
Gunung. Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung. Rupanya dalam menunggu
kedatangannya, rombongan itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan
yang ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang. Apakah yang akan
dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat berbahaya. Apabila benarbenar ada diantara mereka yang masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi perkelahian.
Dan perkelahian melawan beberapa orang, di ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan
baginya.
Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang Lampit dan Bagolan itu memasuki
goa, Mahesa Jenar telah lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang
tiba-tiba itu sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan yang pendek
bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan, bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru
setelah beberapa saat Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia, “Siapakah
kau yang berada di rumah Ki Ardi?”
“Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.
Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya, “Sudah sejak lama aku mengenal Ki
Ardi. Tetapi tak pernah aku mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”
“Aku kira tidak ada perlunya untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,” jawab
Mahesa Jenar
Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi sementara itu ia pun tidak
habis-habisnya mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang
cocok dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena itu tiba-tiba saja ia
bertolak pinggang dan dari mulutnya berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang
menusuk-nusuk ulu hati, seperti suara jeritan hantu kubur.
Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai tertawanya, tahulah Mahesa Jenar,
bahwa Wadas Gunung telah mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi
segala kemungkinan.
082
SETELAH beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan demikian suara itu berhenti,
berteriaklah Wadas Gunung itu dengan suaranya yang nyaring.
“Hai, seluruh rombongan yang sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya.
Pantaslah, bahwa orang ini dapat memperpanjang umurnya sampai sembilan hari, karena ia
disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi bagaimanapun akhirnya orang itu dapat kami temukan
juga. Nah, sekarang pandanglah orang ini dengan baik, amatilah dengan saksama, sebab
sebentar lagi ia harus kita binasakan. Sekarang kita boleh mengaguminya sebagai seorang
yang perkasa, yang telah berhasil membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan yang dapat
melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami adalah setinggi gunung, sedalam lautan.
Sekarang bersiaplah dan jangan lepaskan orang ini. Juga setelah orang ini binasa, harus
dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah berusaha membebaskan orang ini dari tangan kita.”
Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang anggota gerombolan itu
mempersiapkan diri dan mencabut senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka
bersenjatakan sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan anggota
rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua. Di tangan kirinya ia
memegang pisau belati panjang, sedang tangan kanannya menggenggam sepotong carang
pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih dari lima jengkang.
Bagolan, di kedua belah tangannya menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung
sendiri ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa Jenar. Ia pun memegang
dua buah senjata di kedua belah tangannya. Yaitu belati panjang.
Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai menimbang diri. Hatinya terasa
berdegupan juga. Sebab orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan
sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi kini mereka menggenggam
senjata masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di manakah tempat yang
paling menguntungkan untuk melawan mereka ?
Di mulut goa, ia tidak akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau ujungujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit baginya untuk menghindar. Maka
lebih baik baginya apabila bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan
kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar membantunya.
Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar mendapat serangan, segera ia meloncat dengan
kecepatan yang luar biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan tahu-tahu
Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat api yang menyala-nyala. Secepat kilat
tangannya memegang dua batang kayu yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang
cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala kemungkinan.
Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua orang sangat heran sampai terdiam
seperti patung. Dengan loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan
begitu saja sudah dapat ditembus.
Menyaksikan buruannya telah berada di luar jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali.
Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada anak buahnya segera untuk
mengepung kembali.
Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking,
dan Tembini, langsung menyerang. Meski dikurangi Sagotra, tujuh tokoh itu merupakan
tenaga gabungan yang luar biasa kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak
gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa Jenar
dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera melihat bahaya yang akan datang.
Sudah pasti Mahesa Jenar tidak akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang
yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar mencari akal. Maka
dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua cabang kayu di
tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah penyerang-penyerangnya. Segera
bara-bara api serta potongan-potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan
mengarah kepada lawan-lawannya.
Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tak
terlintas di dalam pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas.
Karena itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api. Mereka yang sempat
menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang mereka yang tidak lagi mempunyai
kesempatan, segera berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing.
Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan waktu. Segera ia melompat serta
memutar kedua potong kayunya, menyerang keenam orang yang masih belum sempat
mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil yang cukup baik. Kayu di
tangan kirinya dengan derasnya menyambar Cemara Aking.
Melihat serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka
yang dapat dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan kedua pisau belati
panjangnya yang disilangkan di muka kepalanya.
Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga tangan Cemara Aking tidak
mampu untuk melawannya. Ia tak berhasil menghindarkan kepalanya dari benturan kayu
Mahesa Jenar.
Segera pemandangannya menjadi kuning berputaran, serta kepalanya seolah-olah ditindih
batu yang besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang
dan akhirnya ia terduduk lemah.
Dalam saat yang bersamaan pula, tangan kanan Mahesa Jenar sempat menyambar lambung
Carang Lampit. Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang cukup pula sehingga
ia berhasil mengurangi tekanan serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun
demikian lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah banyak mengurangi
kebebasan geraknya.
Melihat kedua kawannya dikenai dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi
bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta keseganan yang merambati hatinya.
Segera iapun membuka sebuah serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.
083
MAHESA JENAR dengan gerakan yang sedikit saja, dengan menarik tubuhnya miring tanpa
mengubah letak kakinya, telah dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan
tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut lawannya. Melihat
serangannya gagal serta malahan mendapat serangan balasan, segera Wadas Gunung meloncat
ke samping.
Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak, dengan sebuah tombak terkait.
Melihat kilatan senjata yang dengan cepatnya mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak
terkejut. Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai kegesitan yang luar biasa. Tetapi
segera Mahesa Jenar melihat kekurangan lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya
akan berhasil, ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak lagi
mempunyai tenaga cadangan.
Melihat hal itu segera Mahesa Jenar dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata
tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Tangan
Tembini bergetar hebat sampai terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa
Jenar. Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya sehingga terseretlah
tombak Tembini itu, dan terlepas dari tangannya.
Tetapi belum lagi Mahesa Jenar menangkap tombak pendek itu, Bagolan orang yang pendek
bulat, dengan garangnya meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa
Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang memegang kayu dimana
tombak Tembini menancap, pastilah belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum
Bagolan mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya, Mahesa Jenar dengan
kekuatan yang hampir penuh melemparkan kayu di tangan kirinya ke arah Bagolan.
Kayu itu meluncur cepat, sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis
serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan Mahesa Jenar terlalu deras dan
keras. Maka ketika terjadi benturan yang hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta
terlempar bersama kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak terhingga
pada telapak tangan Bagolan.
Dengan demikian maka terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari mengambil
bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap itu Mahesa Jenar telah dapat mencabut
tombak berkait Tembini yang menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang cukup
baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang. Meskipun pada saat itu segera datang pula
serangan Wadas Gunung dan Seco Ireng bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat
pula satu demi satu dipunahkan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api yang dinyalakan Mahesa Jenar
sudah tidak lagi menyala.
Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang berpandangan tajam sekali. Ia melawan
kerubutan itu dengan berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan kadangkadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-orang sembarangan. Ternyata
Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang
Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung.
Untunglah orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya tidaklah berbahaya sekali.
Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan
Watu Gunung dulu mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini dan Cemara
Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja, karena kepalanya masih pening sekali.
Disamping itu mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari
segala jurusan.
Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan dahsyatnya, dimana masing-masing pihak
berusaha untuk mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur membayanglah warna fajar.
Langit yang kelam menjadi kemerah-merahan, sedangkan bintang fajar memancar dengan
cemerlangnya.
Melihat cahaya merah itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Apabila sebentar lagi
langit menjadi terang, akan sulitlah kedudukannya. Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa
bahwa tenaganya sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Melawan 6 orang cukup kuat,
ditambah lagi yang lain-lain yang telah pula mulai bergerak mengeroyoknya, adalah suatu
pekerjaan yang barangkali diluar kemampuan tenaganya yang biasa.
Tekanan yang kuat dari Wadas Gunung, serangan yang tiba-tiba dari Tembini yang telah
bersenjatakan pisau belati panjang, gempuran-gempuran bola bertangkai Bagolan, sambaransambaran carang ori yang tidak kalah berbahayanya, serta tusukan-tusukan parang Seco Ireng
yang dahsyat adalah bahaya-bahaya yang setiap saat dapat merenggut jiwanya.
Dalam keadaan gelap, mereka masih agak ragu-ragu mempergunakan senjata itu, sebab
Mahesa Jenar selalu berusaha untuk membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari sudah
terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan mampu melawan sampai tengah hari
saja. Karena itu mengingat keselamatan diri, tugas yang masih harus diselesaikan serta
pertimbangan yang sebaik-baiknya, adalah membinasakan gerombolan hitam itu.
084
TERLINTAS dalam pikiran Mahesa Jenar untuk segera menyelesaikan pertempuran ini
sebelum fajar. Adapun cara satu-satunya adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra
Birawa, di sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan kemahirannya mempergunakan
segala macam senjata dengan tangan kirinya. Dan untunglah pada saat itu ia memegang
sebuah tombak berkait. Dengan mempergunakan gabungan kedua macam kekuatan itu ia
memperhitungkan bahwa ia akan dapat mengakhiri pertempuran sebelum cahaya matahari
yang pertama.
Tetapi belum lagi ia melaksanakan maksudnya, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat
mengejutkan dan tak terduga-duga.
Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo siap untuk menyerang Mahesa Jenar bersamasama, terjunlah seseorang ke kancah pertempuran. Meskipun Mahesa Jenar tidak
berkesempatan untuk mengenal orang baru itu dengan seksama, tetapi sepintas ia melihat
bahwa orang itu berperawakan sedang, serta bersenjatakan sebuah kapak sangat besar.
Tampaknya ia tidak begitu lincah, tetapi mendengar desing ayunan kapaknya dapat diduga
betapa besar tenaganya.
Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memutar kapaknya, dan langsung menyerang pengikutpengikut Wadas Gunung. Sejenak kemudian terjadilah dua lingkaran pertempuran yang amat
dahsyat. Dengan hadirnya orang baru, yang masih belum sempat dikenalnya, Mahesa Jenar
merasa bahwa pekerjaannya menjadi berkurang. Sebab mau tidak mau perhatian Wadas
Gunung sebagai pemimpin rombongan menjadi terpecah, sehingga ia tidak lagi dengan
sepenuhnya mengadakan tekanan kepada Mahesa Jenar. Apalagi ternyata luka di lambung
Carang Lampit tidak dapat dianggap ringan. Di arah luka itu terasa makin lama semakin sakit.
Karena itu gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah dan hampir tak berarti. Demikian
juga keadaan Cemara Aking.
Di dalam dua lingkaran pertempuran itu, Mahesa Jenar harus melawan tokoh-tokoh
gerombolan Lawa Ijo yang sudah tidak begitu penuh lagi kekuatannya, sedang anggotaanggota gerombolan itu terpaksa tidak dapat turut serta mengeroyok Mahesa Jenar, sebab
mereka harus melayani pendatang baru yang dengan garangnya menghantam mereka dengan
kapaknya.
Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa Jenar pun merasa masih belum waktunya
mempergunakan ilmunya Sasra Birawa. Sebab ia merasa bahwa bersama dengan orang baru
itu ia akan dapat mematahkan kekuatan Wadas Gunung.
Perhitungan Mahesa Jenar memanglah tepat. Meskipun orang baru itu tidak begitu lincah,
tetapi tiba-tiba sambaran kapaknya selalu diikuti dengan berdesingnya angin maut. Anggotaanggota gerombolan Lawa Ijo yang mencoba menangkis ayunan kapak itu, senjatanya
terlepas dan terpatahkan.
Melihat keadaan itu Wadas Gunung menjadi marah sekali. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan
Mahesa Jenar yang bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi kepadanyalah ia
menyimpan dendam. Karena itu dengan teriakan nyaring ia memerintahkan Bagolan untuk
melawan orang berkapak itu.
Mendengar perintah Wadas Gunung segera Bagolan dengan loncatan panjang meninggalkan
gelanggang dan segera terjun ke lingkaran pertempuran lain. Ternyata Bagolan pun
mempunyai tenaga raksasa. Sehingga dalam pertempurannya melawan orang berkapak itu
seringkali terjadi benturan-benturan yang dahsyat antara bola besi bertangkai dengan kapak
raksasa itu.
Bagaimanapun perkasanya orang berkapak itu, ketika ia harus melawan keroyokan yang
sedemikian banyaknya ditambah lagi dengan seorang tokoh seperti Bagolan, akhirnya tampak
juga bahwa ia agak terdesak.
Sebaliknya Mahesa Jenar yang lawannya berkurang lagi seorang menjadi semakin leluasa
bergerak. Tetapi dalam pada itu segera ia melihat kerepotan orang yang bersenjatakan kapak
itu. Maka segera iapun menjadi cemas.
Meskipun ia sama sekali belum mengenalnya, tetapi pada saat ia melibatkan diri dalam
pertempuran itu, adalah sangat menguntungkannya. Karena itu ia tidak dapat membiarkan saja
ketika ia melihat orang berkapak itu terdesak.
Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar berpikir bahwa sebaiknya pertempuran tidak
terbagi. Ia dan orang berkapak itu harus berada dalam satu lingkaran pertempuran
menghadapi seluruh gerombolan. Dengan demikian ruang pertempuran menjadi bertambah
sempit.
Mendapat pikiran yang demikian segera Mahesa Jenar memutar tombaknya, dan dengan
gerakan kilat ia meloncat menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat sekali ia
meloncat kesamping orang yang bersenjata kapak itu, sambil berkata, “Ki Sanak, baiklah kita
bekerja bersama. Kau hadapi separo lingkaran, aku separo. Disamping itu kita pergunakan
setiap kesempatan untuk menghantam lawan.”
Orang berkapak itu tidak menjawab tetapi ia tahu maksud Mahesa Jenar, maka segera ia pun
menempatkan diri beradu punggung dengan Mahesa Jenar.
Kembali hati Wadas Gunung terperanjat melihat kelincahan Mahesa Jenar. Mengertilah ia
sekarang kenapa Pasingsingan memaksanya membawa 20 orang anak buahnya bersama-sama
untuk menangkap satu orang saja. Ternyata buruannya memang bukan orang biasa. Tetapi
Wadas Gunung adalah orang yang berpengalaman cukup, sehingga ketika ia melihat sikap
Mahesa Jenar dan orang berkapak itu saling membelakang, tahulah ia maksudnya.
Untuk mencegah kesulitan-kesulitan selanjutnya, cepat-cepat ia memerintahkan untuk
menghantam lawan sebelum mereka mencapai keseimbangan dalam bekerja bersama. Ia
sendiri beserta tokoh-tokoh rombongan itu segera melancarkan serangan-serangan yang
berbahaya. Tetapi karena perubahan keadaan yang demikian cepatnya itu, tidak semua anak
buah Wadas Gunung dapat mengikuti jalan pikiran pimpinannya, sehingga dalam
pelaksanaannya terjadilah kekacauan.
Karena lawan mereka berkumpul pada satu titik, maka ketika mereka akan menyerang
bersama-sama, terjadilah desak-mendesak diantara mereka, sehingga mereka tidak leluasa
mempergunakan senjata masing-masing. Dalam keadaan yang demikian, segera Mahesa Jenar
mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
085
MAHESA JENAR segara meloncat maju, dan memutar tombak berkaitnya seperti balingbaling. Kemudian dengan gerakan yang sangat mengejutkan lawannya, Mahesa Jenar
langsung menyerang beberapa orang yang berdiri di hadapannya. Mendapat serangan yang
tak terduga-duga ini, tak seorang pun sempat mengelak diri, sehingga dalam satu ayunan
Mahesa Jenar sekaligus dapat melukai 4 orang anggota gerombolan Lawa Ijo, dan
melemparkan beberapa senjata dari tangan pemiliknya.
Melihat kejadian itu, tergetarlah hati para anggota gerombolan Lawa Ijo, sehingga hampir
serentak mereka berdesakan mundur. Untunglah bahwa para pemimpin gerombolan itu cepat
bertindak. Serentak mereka berloncatan maju dan dengan dahsyatnya mereka melakukan
serangan-serangan balasan.
Melihat orang ini tampil, segera Mahesa Jenar menarik diri serta menyesuaikan
kedudukannya dengan orang yang bersenjatakan kapak, yang ternyata telah pula memutar
kapaknya untuk melindungi dirinya dan sekali-sekali menyambar mereka yang berani
mendekatinya.
Dalam siasat perkelahian ternyata Wadas Gunung pun tak kalah cerdiknya. Untuk memecah
kerja sama lawannya, segera Watu Gunung memerintahkan untuk melumpuhkan kedudukan
yang lemah. Karena itu berkumpullah tokoh-tokoh mereka untuk menyerang orang berkapak
itu bersama-sama.
Tetapi maksud ini pun segera diketahui oleh Mahesa Jenar, karena itu katanya kepada orang
berkapak itu, “Ki Sanak, baiklah kita selalu bergerak, supaya tak dapat mereka patahkan batas
diantara kita.”
Kali ini orang berkapak itu pun tidak menjawab, tetapi rupanya ia pun mengerti maksud
Mahesa Jenar. Maka ketika Mahesa Jenar mulai dengan loncatan loncatannya kesana-kemari,
orang itu pun selalu menyesuaikan dirinya, meskipun ia tidak selincah Mahesa Jenar.
Melihat perubahan cara bertempur Mahesa Jenar, Wadas Gunung mengeluh dalam hati.
Belum lagi rencananya dapat berjalan lancar, ia harus sudah menghadapi keadaan baru.
Sehingga kembali timbul kekacauan di barisannya. Kesempatan ini pun dipergunakan oleh
Mahesa Jenar dan orang berkapak itu. Dengan deras sekali kapak raksasa itu terayun, dan tiga
buah senjata melesat dari tangan pemiliknya, dan sekaligus dua orang tersobek dadanya.
Disamping itu dengan lincahnya pula Mahesa Jenar mengadakan serangan. Tombaknya
mematuk-matuk membingungkan. Dalam serangan ini pun ia berhasil melukai dua orang
sekaligus. Bahkan dalam serangan berikutnya, pundak Tembini tergores oleh tombaknya
sendiri.
Mengalami hal itu, Tembini menjadi marah bukan buatan. Matanya merah menyala. Tetapi
baru saja ia akan meloncat menerkam lawannya dengan kedua pisau belatinya, mendadak
Wadas Gunung yang tidak pula kalah marahnya menyaksikan Tembini dilukai, telah
mendahuluinya mengadakan serangan yang dahsyat sekali.
Mendapat serangan Wadas Gunung dengan penuh kekuatan, segera Mahesa Jenar menarik
diri, meloncat kecil kesamping, dan dengan satu putaran mengait senjata-senjata di tangan
Wadas Gunung. Tetapi Wadas Gunung pun cukup siaga. Segera ia menarik kedua tangannya.
Sayang bahwa ia agak terlambat sehingga satu dari pisaunya tak dapat dipertahankan
sehingga jatuh dari tangannya.
Wadas Gunung adalah seorang pemarah yang keras hati. Bahkan karena marahnya, kadangkadang ia kehilangan perhitungan. Juga pada saat itu. Ia pun menjadi mata gelap. Dengan
sebuah pisau yang masih ada di tangannya, ia meloncat menyerang Mahesa Jenar sejadijadinya.
Serangan ini ternyata sangat menguntungkan Mahesa Jenar, sebab belati Wadas Gunung lebih
pendek dari tombak berkait yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Karena itu Mahesa Jenar sama
sekali tidak menghindar. Hanya tombaknya yang dijulurkan menanti terkaman Wadas
Gunung.
Melihat mata tombak mengarah ke dadanya, Wadas Gunung terperanjat. Tetapi ia telah
terlanjur meloncat keras sekali. Maka segera ditariknya pisaunya untuk menangkis tombak
Mahesa Jenar. Tetapi tangan Mahesa Jenar adalah tangan yang perkasa, sehingga pukulan
pisau Wadas Gunung, yang tak dapat dilakukan dengan sepenuh tenaga, karena ia sendiri baru
dalam keadaan meloncat, tidaklah banyak artinya.
Tetapi pada saat terakhir, Bagolan telah berusaha menyelamatkan pemimpinnya. Dengan
sekuat tenaga ia melemparkan bola besinya ke arah kepala Mahesa Jenar. Melihat bola besi
bertangkai itu melayang ke arahnya sedemikian kerasnya, maka mau tidak mau Mahesa Jenar
harus berusaha menghindar dengan menggerakkan kepalanya. Dan tepat pada saatnya,
kembali Tembini yang meskipun sudah terluka, menunjukkan kegesitannya bergerak.
Dengan satu loncatan Tembini memukul tombak berkait Mahesa Jenar yang sedang berusaha
menghindari bola besi itu, sekuat-kuat tenaganya. Maka terdengarlah suara berdentang senjata
beradu. Oleh pukulan Tembini dengan kedua buah pisau belati panjangnya, ujung tombak
Mahesa Jenar berhasil digerakkan. Meskipun demikian Wadas Gunung tak dapat
membebaskan dirinya sama sekali, sehingga ujung tombak berkait itu merobek paha
kanannya.
Sambil mengerang kesakitan, Wadas Gunung meloncat beberapa langkah mundur. Tetapi
karena kesakitan yang amat sangat, ia pun beberapa kali terhuyung-huyung hampir jatuh.
Kejadian itu rupanya sangat berpengaruh pada semangat bertempur Wadas Gunung.
Meskipun ia menyesal sekali tak dapat membalaskan dendam adiknya serta pemimpinnya,
tetapi tak adalah yang dapat dilakukan. Ia juga menjadi marah sekali kepada orang berkapak
yang telah mencampuri urusannya. Selain itu juga kepada Sagotra, salah seorang anak
buahnya, ia menjadi marah sekali, serta berjanji dalam hatinya, bahwa anak itu diketemukan
pastilah akan dikupas kulit kepalanya. Sebab dalam keadaan yang sedemikian sulit, ia sama
sekali tidak menampakkan dirinya.
Dalam keadaan yang demikian tidak ada jalan lain bagi Wadas Gunung kecuali harus
menyelamatkan diri, meskipun hanya untuk sementara, sampai dapat tersusun kekuatan untuk
membalas dendam. Karena itu segera ia bersiul keras dan dengan segera pula anak buahnya
berloncatan mengundurkan diri dari gelanggang perkelahian.
Bagolan, yang ternyata mempunyai tenaga raksasa, segera mendukung Wadas Gunung, dan
dengan cepatnya berlari menjauhi lawannya. Sementara itu, yang lain berusaha melindungi
apabila mereka dikejar.
086
MELIHAT lawan-lawannya berlari, Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha mengejarnya.
Orang berkapak itu juga tidak.
Pada saat itu, warna langit di sebelah timur sudah semakin terang. Bayangan pepohonan serta
bentuk-bentuk batang-batang ilalang menjadi semakin jelas. Juga wajah orang berkapak itu
menjadi jelas.
Kalau sebelumnya, kecuali karena gelapnya malam, juga karena Mahesa Jenar tidak sempat
mengamati orang berkapak itu, kini ia dapat dengan jelas melihat wajahnya.
Dan ketika Mahesa Jenar melihat wajah orang itu, darahnya tersirap, seakan-akan ada sesuatu
masalah yang memukul rongga dadanya. Karena itu sampai beberapa saat ia berdiri diam
seperti patung.
Sedang orang berkapak itu, setelah melihat bahwa lawan-lawan Mahesa Jenar berlari, berdiri
seperti acuh tak acuh saja. Juga ketika ia melihat Mahesa Jenar memandangnya dengan wajah
yang membayangkan keruwetan hatinya, orang berkapak itu sama sekali tidak
mempedulikannya.
Akhirnya, setelah agak tenang hatinya, Mahesa Jenar segera mendekati orang itu sambil
berkata, ”Terimakasih atas segala pertolongan yang telah aku terima, sehingga aku
terbebaskan dari tangan mereka.”
Orang itu masih saja berdiri acuh tak acuh. Meskipun demikian ia menjawab pula, ”Tak usah
kau menyatakan terimakasih kepadaku. Ketahuilah bahwa kedatanganku membawa suatu
masalah yang harus kita selesaikan. Kalau aku menolongmu, itu adalah karena aku takut
bahwa masalah kita akan tetap merupakan masalah yang tidak selesai.”
Mendengar jawaban orang itu, sebenarnya Mahesa Jenar merasa sedikit tersinggung oleh
ketinggian hatinya. Tetapi meskipun demikian ia berusaha juga menyabarkannya. Katanya
pula, ”Bagaimanapun kali ini engkau telah melepaskan aku dari kekuasaan mereka.”
”Mungkin.... Tetapi belumlah pasti bahwa kau dapat melepaskan diri dari persoalan yang kau
hadapi sekarang,” jawab orang itu, masih dengan nada dingin.
Kembali Mahesa Jenar terpaksa menyabarkan dirinya. Meskipun hatinya bergetar hebat.
Sampai orang tadi melanjutkan, ”Kedatanganku kemari adalah pertama-tama karena
seseorang merasa mempunyai pinjaman sesuatu barang kepadamu. Dan tak seorangpun dapat
disuruhnya menyerahkan kembali. Akulah yang menyanggupkan diri untuk mengembalikan
barang itu kepadamu. Kedua, adalah karena masalahku sendiri. Masalah yang pada saat itu
kau putar-balikkan kenyataannya dengan mengumpankan seorang yang sama sekali tak
berarti. Kau kira bahwa dengan perbuatan yang demikian itu kau akan dapat
menyembunyikan kenyataan untuk seterusnya. Dengan kesombonganmu, menyediakan diri
dalam sayembara tanding itu, aku kira kau adalah seorang yang benar-benar jantan. Tetapi
menghadapi suatu masalah terakhir, kau melarikan diri.”
Darah Mahesa Jenar benar-benar bergolak hebat. Tuduhan-tuduhan yang datang bertubi-tubi
seperti mengalirnya sungai yang sedang banjir melanda dirinya tanpa diduga-duganya.
Sebenarnya Mahesa Jenar bukanlah termasuk seorang pemarah. Karena itu untuk menahan
diri, Mahesa Jenar menekankan giginya sampai gemeretak.
Apalagi ketika orang itu menyambung bicaranya, ”Nah, aku beri waktu kau sehari ini untuk
beristirahat. Aku kira kau masih lelah setelah mengalami pertempuran pagi ini. Sesudah hari
ini dan malam nanti, baiklah besok kita selesaikan masalah kita. Sayang aku tak dapat
menyaksikan sebaik-baiknya cara kau membela diri terhadap orang yang mengeroyokmu.
Sebab aku terlalu cemas menyaksikan pertarungan tadi. Kalau-kalau kau dapat dibinasakan,
maka aku akan tetap menyesali hidupku selama-lamanya. Tetapi mengingat apa yang telah
kau lakukan, serta apa yang baru saja terjadi, meskipun aku tidak menyaksikan dengan jelas,
kau adalah termasuk orang yang berkepandaian tinggi. Mungkin pula aku tak akan dapat
menyamai kepandaianmu. Tetapi bagaimanapun juga aku akan puas dengan penyelesaian
terakhir yang akan kita tentukan bersama.”
Hampir saja kemarahan Mahesa Jenar meledak. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat
menahan diri. Apalagi ketika tiba-tiba dilihatnya orang itu memutar tubuhnya, lalu berjalan
perlahan-lahan menjauhinya.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak dengan gemetar menahan diri. Dipandangnya
punggung orang itu dengan seksama. Alangkah tinggi hatinya. Tetapi sejenak kemudian
Mahesa Jenar telah dapat menenangkan hatinya. Ia dapat memahami kenapa orang itu harus
bersikap sedemikian, bahkan sudah hampir merupakan sebuah kesombongan yang besar.
Tetapi menurut keterangan yang pernah didengarnya, sebenarnya ia bukanlah seorang yang
jahat. Ia hanyalah seorang yang mempunyai dua alam yang terpisah. Alam angan-angan dan
alam kenyataan. Juga ceritera tentang masa mudanya, yang selalu dipenuhi dengan
perantauan-perantauan yang penuh dengan kejadian-kejadian yang hebat-hebat, tetapi
kemudian tak ada lagi kesempatan baginya untuk mengalami kembali, membuatnya seperti
orang yang tak tahu melihat kenyataan.
087
PERLAHAN-LAHAN Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali. Apa yang baru saja
terjadi dianggapnya sebagai suatu kesalahpahaman saja. Hanya ia masih belum menemukan
jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya.
Sementara itu matahari telah semakin tinggi menanjak kaki langit. Terasalah betapa segar
sinarnya menyentuh tubuh Mahesa Jenar yang kelelahan. Tiba-tiba saja terasa betapa
penatnya setelah semalam suntuk harus melayani 19 orang gerombolan Lawa Ijo. Juga terasa
betapa kantuknya. Alangkah nikmatnya kalau tubuhnya segera beristirahat, meskipun hanya
sejenak. Tapi baru saja Mahesa Jenar melangkah akan memasuki guanya, berdesirlah hatinya
mendengar seruling yang seperti membelai hatinya.
Segera ia menghentikan langkahnya dan melemparkan pandang ke arah suara seruling yang
berderai sesegar wajah pagi. Dilihatnya diatas sebuah batu hitam yang besar, orang berkapak
itu duduk meniup serulingnya. Kapaknya disandarkan pada batu tempat ia duduk.
Mahesa Jenar adalah juga seorang penggemar lagu. Ia sendiri sebenarnya pandai juga meniup
seruling. Karena itu, ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya. Maka ia
mengurungkan niatnya untuk beristirahat. Malahan ia berdiri bersandar bibir goa dan dengan
nyamannya mendengarkan lagu yang memancar begitu segar.
Dan diluar sadarnya ia bergumam, “Pantaslah kalau orang menyebutnya Seruling Gading.
Kepandaiannya meniup seruling hampir sampai pada tingkat sempurna. Ternyata apa yang
diceriterakan Ki Asem Gede sama sekali tidak berlebih-lebihan.”
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja ia teringat kepada masalah yang harus diselesaikannya
dengan Seruling Gading. Masalah yang ingin ia kuburkan sedalam-dalamnya. Yang kini tibatiba saja telah muncul kembali dalam bentuk yang justru lebih tegas. Karena itu ia menjadi
gelisah. Bukan karena ia harus berhadapan dengan Seruling Gading yang apabila ia tetap
dalam pendiriannya, akan merupakan suatu pertempuran yang tak dapat dianggap ringan,
tetapi seperti masalah yang pernah dihadapinya beberapa waktu yang lalu, ialah menang atau
kalah, ia akan tetap menyesali dirinya.
Berpikir tentang masalah itu, perhatiannya terhadap lagu itu jadi berkurang. Malahan kembali
terasa betapa penatnya setelah ia bekerja keras semalam suntuk. Karena itu timbullah kembali
keinginannya untuk beristirahat.
Maka segera ia pun melangkah masuk ke dalam goa, dan merebahkan diri diatas sebuah tikar
batang ilalang yang dibentangkan diatas sebuah batu panjang. Tetapi bagaimanapun ia
berusaha untuk melupakan, meskipun hanya sejenak, namun pikirannya tetap masih saja
melingkar-lingkar kepada Seruling Gading.
Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat sesuatu, sampai ia terloncat berdiri. Bukankah Seruling
Gading itu pada saat ia tinggalkan berada dalam keadaan lumpuh...? Dan bukankah Ki Asem
Gede telah meminjam biji bisa ularnya untuk mencoba menyembuhkan kelumpuhan itu...?
Ia jadi teringat pula kata-kata Seruling Gading bahwa ia mendapat suatu titipan untuknya.
Karena pada saat pikirannya sedang digelisahkan oleh sikap tinggi hati orang itu, sampai ia
tidak begitu memperhatikan kata-katanya. Titipan itu pastilah dari Ki Asem Gede untuk
mengembalikan biji bisa yang telah menyembuhkan kaki Seruling Gading.
Mengingat hal-hal itu semua, Mahesa Jenar menjadi bimbang. Apakah Ki Asem Gede tidak
mengatakan kepadanya bahwa barang yang dibawa untuknya itulah yang telah
menyembuhkan kakinya? Ataukah Ki Asem Gede takut bahwa dengan demikian si Tinggi
Hati itu akan semakin tersinggung?
Mula-mula Mahesa Jenar berhasrat untuk mengatakan hal itu, tetapi niat itu diurungkan.
Sebab kalau Ki Asem Gede saja tidak mau mengatakannya, pastilah ada sebabnya.
Tetapi sejenak kemudian, mendadak wajah Mahesa Jenar menjadi terang. Ia telah menemukan
suatu cara untuk menyelesaikan masalah itu, meskipun ia terpaksa sedikit menyombongkan
diri, serta mempunyai kemungkinan yang berlawanan dengan tujuannya.
Maka setelah mendapat pikiran yang demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya
tidak lagi digelisahkan oleh kehadiran Seruling Gading. Bahkan tiba-tiba kembali ia bisa
menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding-dinding goa.
Dalam tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin berceritera tentang derai air laut
yang membelai pantai.
Suaranya gemericik berloncat-loncatan. Alangkah riangnya. Seriang anak domba yang
dilepaskan di padang hijau, di bawah lindungan gembala yang pengasih.
Namun tiba-tiba hampir mengejutkan, nada itu melonjak berputaran melukiskan datangnya
topan yang dahsyat serta kemudian mengguruh menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat
datang bergulung-gulung menghantam keriangan wajah pantai.
Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar adalah, Seruling Gading dalam lagunya yang
gemuruh dahsyat itu, berhasil menyelipkan sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah
perahu kecil sedang berusaha mencapai pantai sambil melawan tantangan alam yang ganas
itu. Tetapi mendadak lagu itu berhenti sampai sekian, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut
pula karenanya.
Rupanya Seruling Gading dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri,
dalam perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan
gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian ia tetap berjuang untuk masa
depannya.
Untuk ketenteraman hidupnya. Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar memuji di dalam
hatinya. Hanya saja, perwujudan dari ketabahan Wirasaba dalam menghadapi tantangan hari
depannya, kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang kurang tepat, sehingga sifatnya yang
memang sudah tinggi hati itu, mencapai bentuk yang agak berlebih-lebihan. Sampai sekian,
Mahesa Jenar tidak sempat lagi terlalu banyak menilai Seruling Gading. Kelelahan dan
kantuknya tak dapat lagi ditahannya, sehingga sesaat kemudian ia jatuh tertidur.
088
SERULING GADING yang baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh, ditambah pula
dengan pertempuran yang baru saja dilakukan, tidak pula kalah lelahnya. Maka, ketika
matahari sudah melewati puncak langit, segera ia pun terserang kantuk pula.
Apalagi ketika angin silir mengusap tubuhnya. Terasa betapa nyamannya. Karena itu segera
Seruling Gading mencari tempat yang teduh, di bawah bayangan pohon yang rindang, untuk
merebahkan diri. Dan sejenak kemudian ia pun tertidur.
Baru ketika matahari hampir tenggelam, Seruling Gading terbangun oleh suara seruling.
Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia
sendiri demikian mahirnya meniup seruling sampai orang menyebutnya Seruling Gading.
Tetapi di sini, di padang rumput, di sela-sela hutan rimba, ia mendengar dengan telinganya
sendiri suara seruling yang demikian indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya.
Siapakah yang lebih pandai, selain ia sendiri, yang mendapat julukan Seruling Gading?
Siapakah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini...?
Lebih kagum lagi ketika ia mendengar, bagaimana orang yang meniup seruling itu berusaha
untuk mengulang kembali ceriteranya yang telah diungkapkan lewat nada siang tadi. Ceritera
tentang derai air laut yang membelai pantai, gemericik berloncat-loncatan. Bahkan ceritera itu
kini dilengkapi dengan desir angin yang bermain bersama burung-burung camar yang
beterbangan dengan lincahnya.
Tetapi dengan tiba-tiba pula, nada itu melonjak melingkar-lingkar bagaikan topan yang
dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak
mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu, terselip
pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil sedang menyusup
diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai.
Sampai sekian perasaan Seruling Gading menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah
meniup seruling sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna. Juga ia
sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha melukiskan kembali
ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda, tetapi mempunyai bentuk yang sama.
Tetapi tiba-tiba Seruling Gading terlonjak bangkit. Perahu kecil yang sedang berjuang matimatian untuk mencapai pantai itu, tiba-tiba terseret oleh deru gelombang dahsyat, serta
kemudian diputar oleh topan yang ganas. Sehingga nada lagu itu menjadi menjerit seperti
tangis anak-anak yang kehilangan ibunya.
Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling Gading tersinggung bukan main. Tahulah ia sekarang
maksudnya, bahwa peniup seruling ingin menghinanya sebagai seorang yang minta belas
kasihan, serta sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai seorang yang tinggi hati,
Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya tiba-tiba menjadi bergelora. Timbullah
keinginannya untuk menjawab hinaan itu, serta menghantam lewat nada pula.
Tetapi ketika ia ingin mengambil serulingnya dari dalam bajunya, kembali Seruling Gading
terperanjat, sampai menjerit nyaring karena marahnya. Serulingnya yang dibuat dari pring
gadhing, serta tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Ketika
sekali lagi ia memperhatikan warna suara yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya,
ternyata bahwa seruling itu adalah miliknya.
Kembali Seruling Gading menggeram. Dua kali ia dihinakan oleh orang yang meniup seruling
itu. Pertama-tama orang itu menuduhnya sebagai anak-anak yang berteriak-teriak minta belas
kasihan, sedang yang kedua, orang itu berhasil mencuri serulingnya tanpa diketahui.
Maka cepat-cepat ia berdiri. Diangkatnya kepalanya untuk mengetahui dari mana arah suara
seruling itu. Tetapi kembali darahnya meluap-luap. Suara seruling itu ternyata melingkarlingkar tak tentu arahnya. Meskipun sudah beberapa lama ia mencoba untuk mengetahui,
tetapi ia tidak berhasil. Semakin keras suara seruling itu, semakin ribut pulalah gemanya
bersahut-sahutan susul-menyusul dari segala arah. Sehingga semakin bingung pulalah
Seruling Gading.
Ia sendiri adalah seorang peniup seruling yang hampir sempurna pula. Tetapi ia tidak
memiliki tenaga lontar yang sedemikian membingungkan. Getaran yang dapat diisinya
dengan tenaga, hanyalah dapat untuk menghantam perasaan seseorang, sebagai suatu tenaga
kekerasan. Tetapi tenaga yang sedemikian lunak, namun memusingkan tidaklah dipunyainya.
Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang meniup dan sekaligus
mencuri serulingnya itu, pastilah bukan orang sembarangan. Meskipun demikian Seruling
Gading bukanlah orang yang lekas menjadi cemas dan takut. Tetapi ia adalah orang yang
tinggi hati dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri.
Apalagi ketika diingatnya bahwa satu-satunya orang yang berada di daerah itu hanya Mahesa
Jenar. Marahnya semakin menjadi-jadi. Sehingga ia tidak lagi bisa menguasai gelora
perasaannya, Seruling Gading itu berteriak keras, “Hai pengecut yang hanya berani menghina
dari tempat yang jauh dan tersembunyi, coba tampakkanlah dirimu...!”
Tetapi suaranya sendiri juga hanya menghantam bukit kecil di padang ilalang itu, serta
berpantulan susul-menyusul. Sedangkan suara seruling itu masih saja merintih-rintih hampir
putus asa.
Ketika suara teriakannya tidak mendapat sahutan, Seruling Gading semakin marah. Sekali lagi
ia berteriak bertambah keras. Tetapi juga suaranya tak mendapat sahutan.
Maka sedemikian marahnya Seruling Gading, serta ketidaktahuannya, kepada siapa
kemarahannya itu harus diarahkan. Tiba-tiba kapaknya diayunkannya deras sekali
menghantam sebatang pohon sebesar tubuh orang, yang berdiri di hadapannya.
Sedemikian besar tenaganya, sehingga pohon itu sekaligus berderak-derak patah dan roboh
seketika.
Bersamaan dengan robohnya pohon itu, terdengarlah suara memujinya dari kejauhan.
“Bagus..., bagus Wirasaba. Tenagamu memang tenaga raksasa.”
Seruling Gading terkejut mendengar suara itu. Segera ia membalikkan diri untuk mencari
siapakah yang telah memujinya. Tetapi juga ia tak dapat menemukan seseorang. Apalagi pada
saat itu matahari telah tenggelam. Yang tampak hanyalah bentuk-bentuk bukit-bukit kapur
dan puntuk-puntuk kecil yang dibalut oleh hitamnya malam.
089
RASANYA darah Seruling Gading sudah benar-benar mendidih. Ia merasa sebagai seorang
kanak-kanak yang sedang dipermainkan. Demikian bingung serta marahnya, akhirnya ia
berlari ke mulut goa di bukit kapur, dimana dilihatnya Mahesa Jenar siang tadi masuk.
Kembali di sana ia berteriak ke dalam goa. “Hai... pengecut yang tak tahu malu. Keluarlah.
Tak perlu kita menunggu esok. Marilah kita selesaikan masalah kita sekarang juga.”
Seruling Gading berteriak asal berteriak saja, tanpa mengharapkan jawaban. Sebab telah
sekian kali ia melakukannya, namun tidak ada jawaban.
Tetapi tiba-tiba saat itu terdengarlah orang menjawab, sehingga malahan Seruling Gading
terkejut sampai tersentak. Arah jawaban itu ternyata sama sekali tidak dari dalam goa, tetapi
malahan dari arah belakangnya, sehingga secepat kilat ia pun membalikkan diri.
“Wirasaba...” kata suara itu, “janganlah kau terlalu cepat berpanas hati. Sebab dengan
demikian itu, akan mudah menghilangkan ketenangan berpikir. Kalau kita tidak lekas-lekas
menjadi marah, mungkin kau tidak akan terlalu sulit mencari aku. Nah di sinilah aku.”
Mendengar kata-kata itu, serta ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu duduk di atas
batu hitam, tempat ia meniup seruling siang tadi, tubuhnya menjadi gemetar karena
kemarahan yang memuncak. Benar-benar ia dipermainkan.
Karena itu, tanpa berpikir panjang segera ia berlari ke arah bayangan di atas batu hitam itu.
Apalagi ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu benar-benar Mahesa Jenar, maka
menggeramlah Seruling Gading. “Setan, kau jangan mencoba menolong dirimu, menakuti aku
dengan permainan hantu-hantuan itu. Bagaimanapun juga aku tetap dalam pendirianku.
Menyelesaikan masalah kita dengan laku seorang jantan, sekarang juga.”
Sementara itu bulan yang sudah tidak bulat lagi mulai menampakkan dirinya, seperti
mengapung di langit, diantara mega-mega yang mengalir dihembus angin. Sinarnya yang
kuning berpencaran diantara batang-batang ilalang, serta bukit-bukit kapur.
Diantara cahaya bulan berkedipan, wajah-wajah bintang yang iri hati atas kurnia alam kepada
bulan itu, yang memiliki kecantikan yang sempurna.
Dalam taburan sinar bulan, tampaklah wajah Wirasaba yang merah menyala, membayangkan
kemarahan yang meluap-luap. Tangan kanannya menggenggam kapaknya erat sekali, siap
diayunkan untuk membelah kepala Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat gelagat itu. Karena itu ia pun segera mempersiapkan diri, meskipun
tampaknya ia tidak mengubah sikap duduknya. Bahkan masih dengan tersenyum ia berkata
tidak menjawab tantangan Seruling Gading. “Wirasaba..., maafkan kalau aku meminjam
serulingmu tanpa izinmu. Sebab aku tidak mau mengganggu membangunkan kau, nampaknya
kau terlalu nyenyak tidur. Mungkin kaupun sangat lelah setelah menempuh perjalanan yang
begitu jauh serta permainan pagi tadi yang sama sekali tak menyenangkan.”
“Cukup!” bentak Wirasaba. “Jangan kau coba lagi merendahkan aku. Sebaiknya kau jangan
terlalu yakin akan kehebatanmu dengan mengalahkan Samparan dan Watu Gunung, serta
dengan pertunjukanmu pagi tadi. Sebelum kau mampu melenyapkan diri dalam satu kedipan
mata, jangan kau merasa dirimu tak terkalahkan.
Sekarang bersiaplah kau. Ambillah senjatamu, tombak berkait yang kau pergunakan pagi tadi.
Biarlah kita lihat bersama bagaimanakah akhir persoalan kita.”
Mahesa Jenar melihat bahwa kemarahan Seruling Gading telah mencapai puncaknya.
Meskipun demikian ia masih ingin berusaha untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Baru kalau usahanya gagal ia akan melaksanakan rencananya.
“Wirasaba... baiklah tawaranmu aku terima, tetapi tidakkah kau ingin mendengarkan dari
mulutku keterangan-keterangan yang barangkali belum pernah kau dengar sebelumnya?” kata
Mahesa Jenar.
“Ha...?” teriak Wirasaba, “alangkah pengecutnya kau. Dengan pembelaan-pembelaan itu kau
ingin menghindari penyelesaian secara jantan. Kau barangkali ingin menjelaskan bahwa kau
sama sekali tak mempunyai pamrih apa-apa dengan memasuki sayembara tanding itu. Kau
tentu akan berkata, bahwa karena kau adalah sahabat mertuaku Ki Asem Gede. Tetapi pasti
kau tidak mengatakan bahwa kau takut menghadapi cara penyelesaian seperti yang aku maui.
Juga kau pasti tidak akan mengatakan bahwa kau telah mengumpankan Samparan untuk
membersihkan namamu, setelah kau tak berani menerima tawaranku.”
“Wirasaba...” potong Mahesa Jenar. “Bagaimana aku sempat mengumpankan Samparan,
sedang saat itu aku selalu berada di hadapanmu?”
“Ooo.... tidakkah ada pencuri yang berhasil mengambil milik orang lain di hadapan orang itu
sendiri...?” jawab Seruling Gading.
Sampai sekian Mahesa Jenar yakin bahwa Seruling Gading tidak lagi dapat diajak berunding.
Karena itu kemungkinan yang lain adalah, menyelesaikan menurut rencananya.
090
MAHESA JENAR kemudian berkata, “Wirasaba yang digelari orang Seruling Gading... kau
adalah orang yang perkasa dengan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada
kekuatan orang biasa. Seseorang yang belum pernah melihat kau mengayunkan kapakmu pun
tentu dapat menduga yang demikian itu, dengan menilik senjatamu yang mempunyai ukuran
terlalu besar bagi senjata umumnya itu telah menunjukkan betapa tinggi hatimu. Kau adalah
orang yang tidak dapat mendengarkan keterangan orang lain selain mendengarkan angananganmu sendiri. Tetapi, Wirasaba, ketahuilah bahwa bagaimanapun perkasanya kau, jangan
kau menepuk dada serta menyangka bahwa aku tidak berani menerima tantanganmu pada saat
itu. Dengarlah, apa yang dapat dilakukan oleh seorang yang lumpuh seperti kau pada waktu
itu? Apa pula arti keperkasaanmu dengan hanya mampu duduk di pinggir ranjang....?”
Belum lagi Mahesa Jenar selesai dengan kata-katanya, Wirasaba sudah tidak dapat menahan
diri lagi. Darahnya sudah bergelora membakar kepalanya. Karena itu dengan tidak
mengucapkan sepatah katapun, serta dengan menekan giginya, dihimpunnya segala
kekuatannya. Dan dengan dahsyatnya ia berteriak. Bersamaan dengan itu, kapak besar itu
terangkat dan dengan derasnya terayun mengarah kepala Mahesa Jenar yang masih saja duduk
di atas batu hitam itu.
Memang Wirasaba benar-benar memiliki tenaga raksasa. Ayunan kapak yang dilambari
kemarahan itu, menimbulkan suara berdesing yang hebat sekali, sehingga seolah-olah bunyi
sangkakala yang memberi pertanda bahwa dewa maut akan melakukan kewajibannya.
Tetapi sementara itu Mahesa Jenar telah siap pula. Memang ia menunggu-nunggu saat yang
demikian itu. Saat kemarahan Wirasaba mencapai ke puncaknya.
Maka ketika kapak itu dengan cepatnya mengarah kepalanya, iapun segera meloncat
selangkah ke samping, sehingga kapak itu tidak mengenai sasarannya. Demikian kerasnya
Wirasaba menghantamkan senjatanya, maka ketika kapak itu tak mengenai Mahesa Jenar,
terhantamlah batu hitam yang semula dipakai sebagai tempat duduknya.
Dan ternyatalah betapa besar kekuatan Wirasaba. Dalam benturan itu, berderailah bungabunga api. Serta bertebaranlah pecahan-pecahan yang dilemparkan dari luka batu hitam itu,
yang ditimbulkan karena hantaman kapak Wirasaba, meskipun batu itu sangat keras.
Melihat luka di atas batu hitam itu, Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Tetapi sementara
itu sampailah ia kepuncak permainannya. Ia ingin menaklukkan ketinggian hati Seruling
Gading dengan sebuah pertunjukan yang tidak kalah seramnya. Dalam waktu yang sekejap
itu, segera ia mengatur jalan pernafasannya, memusatkan perhatian serta kekuatannya di sisi
telapak tangan kanannya. Segera disilangkannya tangan kirinya di muka dada. Satu kakinya
diangkat ke depan serta tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi.
Sejenak kemudian dengan garangnya ia meloncat ke depan batu itu, dan sebelum Wirasaba
menarik kapaknya, segera Mahesa Jenar menyusul menghantam batu hitam itu dengan
tangannya yang dilambari dengan ilmu Sasra Birawa. Alangkah dahsyat akibatnya. Batu
hitam yang sedemikian kerasnya, yang terluka tak sampai sejengkal oleh pukulan kapak
Wirasaba dengan tenaga raksasanya, pada saat itu, dengan bunyi yang mengejutkan pecah
berserakan karena sisi telapak tangan Mahesa Jenar.
Wirasaba terkejut bukan alang kepalang, sampai tanpa disengaja ia terloncat surut serta
kapaknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya menggigil serta jantungnya berdegupan tanpa
dapat dikuasainya. Sampai beberapa saat ia berdiri termangu seperti kehilangan kesadaran,
dan tak mengerti apa yang harus dilakukannya, karena ia telah melihat suatu kejadian yang
sama sekali tak dapat dibayangkan sebelumnya.
Demikianlah sampai beberapa saat Wirasaba berdiri kaku, sampai tiba-tiba terasa pundaknya
ditepuk orang. Dengan geragapan ia memandang kepada orang itu, yang tidak lain adalah
Mahesa Jenar yang membangunkannya sambil berkata, “Tenanglah hatimu Wirasaba. Itu tadi
hanyalah suatu permainan yang jelek.”
Wirasaba masih belum memiliki seluruh kesadarannya, sehingga ia tidak dapat menjawab
kata-kata Mahesa Jenar, kecuali memandangnya saja dengan pandangan yang berputar-putar
kebingungan.
Sampai kembali Mahesa Jenar berkata sambil menuntunnya duduk di atas sebuah gundukan
tanah. “Wirasaba..., lupakan semua yang telah terjadi. Marilah kita bercakap-cakap sebagai
sahabat yang telah beberapa hari tidak bertemu.
Bukankah kau dapat banyak berceritera tentang Ki Asem Gede, Kakang Dalang Mantingan,
Kakang Demang Penanggalan serta sahabat-sahabat lain di Pucangan dan Prambanan...?
Sesudah itu aku juga banyak sekali mempunyai ceritera yang barangkali menarik.”
Seperti kanak-kanak yang dibimbing ibunya, Wirasaba sama sekali tak menolak. Ia menurut
saja kemana Mahesa Jenar menuntunnya, serta seperti orang bermimpi pula ia duduk
disamping Mahesa Jenar.
Ketika sampai beberapa saat Wirasaba masih berdiam diri, kembali Mahesa Jenar bertanya,
“Wirasaba... siapakah yang memberitahukan kepadamu serta Ki Asem Gede bahwa aku
berada di sini?”
Kini lamat-lamat Wirasaba telah dapat mendengar pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar serta
telah dapat mengerti. Tetapi meskipun demikian ia masih belum juga dapat menjawab, sebab
ia baru mengumpulkan kembali ingatan-ingatan atas kejadian-kejadian yang baru saja berlalu.
Wirasaba adalah seorang tinggi hati yang dalam perbendaharaan pengalamannya selalu
dipenuhi dengan kejadian-kejadian dahsyat di masa mudanya, serta keunggulan kekuatan atas
hampir terhadap semua lawan-lawannya. Sampai ia dipisahkan dari cara hidupnya itu oleh
racun-racun yang melumpuhkan simpul-simpul saraf kakinya.
Tetapi meskipun dalam keadaan lumpuh, masih saja ia merasa keperkasaannya tidak
berkurang. Sehingga suatu ketika sampailah saatnya kakinya dapat sembuh kembali. Dengan
demikian ia semakin merasa dirinya akan dapat mengulangi peristiwa kemenangan demi
kemenangan yang pernah dicapainya.
Apalagi pada saat itu ia menghadapi suatu peristiwa yang menurut pendapatnya adalah suatu
hinaan bagi sifat kejantanannya. Kehadiran Mahesa Jenar yang telah membebaskan istrinya
dari tangan Samparan, diterimanya dengan pengertian yang salah.
091
KETIKA seseorang yang bernama Sagotra datang kepada mertua Wirasaba dan mengabarkan
bahwa Mahesa Jenar berada di daerah Pliridan, maka maksud Wirasaba untuk membuat
perhitungan tak dapat dikekang lagi, meskipun kakinya baru saja sembuh dan belum pulih
kembali seperti sediakala.
Tetapi tiba-tiba, ketika ia telah dapat bertemu dengan orang yang dicarinya itu, disaksikannya
suatu peristiwa yang bermimpipun belum pernah diangankan. Hanya dengan telapak tangan
saja, batu hitam sebesar itu dapat dihantam hancur.
Bagaimanakah jadinya kalau yang dikenai sisi telapak tangan itu kepalanya?
Menghadapi peristiwa itu, rontoklah sifat tinggi hatinya. Mendadak tanpa menjawab
pertanyaan Mahesa Jenar, Wirasaba berdiri serta membungkuk hormat. Siapakah sebenarnya
Tuan yang telah membingungkan perasaanku?
Sambil tersenyum, Mahesa Jenar menunduk hormat pula. Lalu jawabnya, Sebagaimana kau
ketahui, aku adalah Mahesa Jenar.
Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah bahwa ia sama sekali tidak
puas dengan jawaban itu. Sebab orang yang dapat berbuat demikian pastilah orang yang
sudah punya nama.
Karena itu ia memberanikan diri untuk mendesak, Tuan, tetapi barangkali Tuan mempunyai
sebuah gelar lain yang dapat memperkenalkan diri Tuan...?
Mahesa Jenar ragu-ragu sejenak. Adakah untungnya kalau disebutkannya gelar
keprajuritannya? Tetapi kemudian ia berpikir, barangkali dengan demikian ia dapat
mengurangi kepahitan yang baru saja dialami oleh Wirasaba.
Sebagai seorang yang tinggi hati, pastilah Wirasaba akan menderita batin untuk seterusnya
kalau ia sampai dapat dikalahkan oleh orang yang tak bernama. Karena itu, jawabnya,
Wirasaba..., ketahuilah bahwa sebenarnya akulah yang bernama Rangga Tohjaya.
Mendengar nama itu, membersitlah warna merah di wajah Wirasaba, serta jantungnya
berdegup keras. Pantaslah kalau yang dapat berbuat sedemikian dahsyatnya itu adalah orang
yang bergelar Rangga Tohjaya. Karena itu kembali ia membungkuk hormat.
Tuan Rangga Tohjaya yang perwira, maafkanlah segala kelancanganku. Karena Tuan telah
berbuat kemurahan hati untuk membebaskan istriku. Maka berdosalah aku, yang telah berani
menuduhkan hal yang sama sekali tidak wajar kepada Tuan. Karena itu aku serahkan diriku
kepada Tuan untuk menerima hukuman apapun yang Tuan kehendaki, kata Wirasaba dengan
suara yang berat penuh penyesalan.
Kembali Mahesa Jenar tersenyum.
Wirasaba... tidaklah ada hukuman yang pantas aku berikan kepadamu. Sebab wajarlah kalau
seseorang dalam perjalanan hidupnya suatu kali mengalami keterlanjuran. Hanya pengalaman
yang demikian itulah yang dapat menjadi peringatan. Bahwa untuk selanjutnya kita harus
lebih hati-hati dalam tiap-tiap tindakan kita. Tetapi selain dari itu semua, tadi kau katakan
bahwa kau mendapat suatu titipan dari seseorang. Apakah itu? kata Mahesa Jenar.
Wirasaba menjadi seperti tersadar. Lalu ia menjawab, Tuan, aku mendapat titipan dari
mertuaku Ki Asem Gede. Sebuah bumbung kecil yang aku tidak tahu isinya.
Sesudah berkata demikian segera Wirasaba mengambil bumbung dari kantong ikat
pinggangnya dan diserahkannya kepada Mahesa Jenar.
Segera bumbung itu pun diterima oleh Mahesa Jenar, serta ketika dilihat isinya, betul bahwa
yang di dalamnya adalah biji bisa ular yang telah dipinjamkan kepada Ki Asem Gede.
Wirasaba... kata Mahesa Jenar kemudian, tidakkah Ki Asem Gede mengatakan kepadamu,
apakah kasiat benda yang kau bawa ini?
Tidak Tuan, jawab Wirasaba sambil menggelengkan kepalanya.
Ketahuilah, benda ini adalah biji ular yang sangat keras, yang dapat dipergunakan sebagai
obat pemusnah bisa atau racun yang lain. Bagi perjalanan hidup, benda ini sangat penting
artinya, sebab dengan benda ini pula Ki Asem Gede telah berhasil menyembuhkan
kelumpuhanmu, jelas Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar ini, Wirasaba kembali terkejut. Ditambah pula dengan
perasaan haru yang mendalam. Ternyata atas pertolongan Rangga Tohjaya ini pula
kelumpuhan kakinya itu disembuhkan. Mengingat hal itu semua, semakin dalamlah
penyesalan yang dirasakannya.
Sementara itu Mahesa Jenar telah mengajukan pula beberapa pertanyaan mengenai Ki Asem
Gede. Kademangan Pucangan serta Prambanan, dan banyak hal mengenai orang-orang yang
pernah dikenalnya. Karena itu sebentar kemudian pembicaraan telah dapat berlangsung
lancar.
Dari pembicaraan itu diketahui, ternyata sepeninggal Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan
pun segera kembali ke Prambanan. Dan menurut Wirasaba yang mendengar dari Ki Asem
Gede, bahwa orang yang bernama Mantingan itu telah kembali ke Wanakerta.
Setelah pembicaraan mereka berlangsung beberapa lama, berkisar dari yang satu ke yang lain,
maka berkatalah Mahesa Jenar, Nah, Wirasaba, marilah kita anggap bahwa apa yang pernah
terjadi itu merupakan suatu mimpi yang tak menyenangkan. Dan sekarang ternyata kita telah
bangun dan melupakan mimpi itu. Karena itu kembalilah kepada istrimu seperti pada masa
kau datang untuk mengambilnya dahulu.
Baiklah Tuan..., aku akan kembali kepada keluargaku, serta mengatakan apa yang sudah aku
lihat, jawab Wirasaba.
Sekarang, sambung Mahesa Jenar, Marilah kita beristirahat. Besok kita akan melakukan tugas
kita masing-masing. Kau akan kembali kepada keluargamu, sedang aku masih dinanti oleh
suatu tugas berat.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, Wirasaba termenung sejenak. Lalu katanya, Kalau Tuan
masih harus melalukan tugas berat, dapatkah kiranya aku membantu?
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Wirasaba..., bagaimanapun beratnya, tetapi aku tak
dapat membagi pekerjaan itu dengan orang lain. Karena itu dengan menyesal aku tak dapat
menerima tawaranmu.
Wirasaba menjadi terdiam. Tugas apakah yang sedang dihadapi Mahesa Jenar? Tetapi karena
Mahesa Jenar sendiri telah menyatakan keberatan atas tawarannya, maka ia pun tidak berani
lagi mendesak.
092
SEJENAK kemudian Mahesa Jenar telah berdiri, sambil melangkah ia berkata, ”Selamat
malam Wirasaba, beristirahatlah. Kalau kau mau, tidurlah di dalam goa bersama aku. Besok
kita bisa menuai jagung. Dan sesudah itu kita berangkat dengan tujuan masing-masing.”
Segera Wirasaba pun berdiri, serta berjalan mengikuti Mahesa Jenar, masuk ke dalam goa,
untuk bersama-sama beristirahat, sebelum esok paginya mereka masing-masing akan
menempuh perjalanan yang cukup berat.
Bagi Mahesa Jenar, adalah sebaik-baiknya segera meninggalkan tempat itu. Sebab apabila
Wadas Gunung beserta kawan-kawannya sampai dapat mencapai sarangnya, sebelum ia
meninggalkan tempat itu, mungkin untuk selama-lamanya ia tidak akan lagi dapat pergi.
Karena tidaklah mustahil kalau Pasingsingan sendiri akan melakukan pembalasan.
Ketika ayam hutan pada fajar pagi harinya mulai berkokok, Mahesa Jenar pun segera bangun.
Wirasaba bangun pula. Sejenak kemudian ketika sudah mulai terang tanah, keduanya
berkemas.
Tetapi sebelum mereka pergi, Mahesa Jenar bersama Wirasaba memerlukan memenuhi pesan
Ki Ageng Pandan Alas untuk menuai jagung di belakang bukit kapur, serta menyimpannya di
dalam goa. Mungkin pada suatu saat Ki Ageng Pandan Alas akan kembali lagi ke goa itu, atau
salah satu dari mereka pada suatu kali akan mengunjungi tempat itu.
Ketika semuanya sudah selesai, maka yang pertama-tama siap untuk berangkat adalah
Wirasaba. Atas permintaan Mahesa Jenar, Wirasaba membawa bekal beberapa ontong jagung.
Sesudah sekali lagi Wirasaba minta maaf serta menyatakan terima kasihnya, maka segera ia
pun berangkat ke timur, kembali kepada keluarganya dengan perasaan yang seolah-olah baru
sama sekali.
Sepeninggal Wirasaba, segera Mahesa Jenar pun ingat akan tugasnya. Maka tanpa disengaja,
ia berdiri di atas sebuah gundukan tanah sambil memandang ke arah barat, ke arah hutan
Mentaok yang pekat oleh pepohonan liar, dari yang paling kecil sampai yang paling besar.
Pohon-pohon raksasa serta pohon-pohon yang membelit.
Meskipun masih agak jauh, tetapi lamat-lamat hutan yang liar itu telah tampak sebagai suatu
tabir yang di belakangnya tersembunyi banyak sekali rahasia dan bahaya.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak pernah takut untuk
menghadapi bahaya yang bagaimanapun besar. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia bisa
memperhitungkan tindakan-tindakannya. Apa yang harus diusahakannya sekarang adalah
membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten dari tangan Sima Rodra. Sebelum itu berhasil,
harus dihindari kemungkinan-kemungkinan yang akan menggagalkan usahanya.
Bahaya yang paling besar yang dihadapinya, apabila ia menempuh hutan itu adalah
kemungkinan bertemu dengan Pasingsingan. Sebab bila ia bertemu dengan orang itu, pastilah
ia tidak akan dapat melepaskan diri. Bahkan tidak mungkin baginya untuk dapat bertahan
menghadapi tokoh yang terkenal itu.
Karena itu timbul pikiran dalam diri Mahesa Jenar untuk menempuh jalan lain. Ia bisa pula
mengambil jalan utara. Lewat hutan Turi di kaki Gunung Merapi. Lalu sesudah itu akan
dilaluinya lapangan batu-batu yang luas. Konon daerah ini telah pernah dilanda banjir batu
yang dimuntahkan dari Gunung Merapi, sehingga merupakan daerah yang sama sekali tak
dapat ditumbuhi pepohonan. Karena itu daerah ini biasa disebut Ngentak-entak.
Dari sana akan sampailah perjalanan itu ke daerah hutan di lembah antara Gunung Merapi dan
Merbabu. Dan apabila ia mendaki sedikit lambung Gunung Merbabu itu, akan sampailah ia di
daerah Parangrantunan. Dari sana ia harus turun dan berjalan ke barat agak ke selatan.
Meskipun perjalanan melewati daerah ini pun harus menerobos rimba-rimba yang tak kalah
dahsyatnya dari alas Mentaok, tetapi kemungkinan untuk bertemu dengan Pasingsingan
adalah tipis sekali.
Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan
untuk mengambil jalan utara, meskipun daerahnya agak lebih sulit. Kecuali hutan-hutan yang
cukup lebat, juga harus didaki tebing-tebing yang curam serta harus dituruni lembah-lembah
yang terjal.
Setelah tetap hatinya, maka dengan berbekal beberapa ontong jagung , Mahesa Jenar segera
berangkat. Tidak ke barat, tetapi ke utara, untuk menghindari kemungkinan rintanganrintangan yang akan dapat menggagalkan usahanya.
Saat itu, matahari telah cukup tinggi. Sinarnya telah terasa hangat mengenai tubuh. Tetapi
meskipun demikian, burung liar masih bersiul ramai, seolah-olah menyatakan ucapan selamat
jalan kepada Mahesa Jenar yang sedang memulai kembali perjalanannya untuk menemukan
pusaka yang lenyap dari perbendaharaan Kraton Demak.
Namun demikian pikirannya masih saja terganggu oleh kata-kata Samparan, bahwa yang
sedang diperebutkan oleh golongan hitam itu adalah keturunannya saja dari keris Nagasasra
dan Sabuk Inten, jadi bukan keris aslinya. Kalau demikian, bila Sima Rodra benar-benar
menyimpan keris itu, adalah hanya keturunannya saja, ataukah aslinya seperti yang
digambarkan oleh Ki Ageng Pandan Alas...?
093
DUA tokoh ternama ternyata mempunyai pendapat yang berbeda tentang Keris Nagasasra dan
Sabuk Inten. Pasingsingan menganggap bahwa yang ada di luar Kraton itu adalah
keturunannya saja, sehingga ia menyuruh Lawa Ijo untuk mencari pusaka aslinya. Menilik hal
tersebut ternyata Pasingsingan tidak mengetahui bahwa pusaka aslinya itu sedang lenyap dari
perbendaharaan Kraton.
Demikianlah dengan beberapa pemikiran dan persoalan Mahesa Jenar berjalan dengan
cepatnya, dengan satu harapan untuk dapat segera sampai ke tempat tujuannya. Menurut
perhitungannya, apabila tidak ada suatu halangan, ia akan sampai ke tujuan kira-kira lima hari
empat malam.
Tidak banyak hal-hal yang dialami Mahesa Jenar dalam perjalanannya, kecuali kesulitankesulitan melawan alam. Tetapi itu pun satu demi satu dapat diatasinya. Dan hal-hal yang
demikian bagi Mahesa Jenar bukanlah merupakan rintangan dibandingkan dengan orang yang
bernama Pasingsingan.
Apabila malam tiba, Mahesa Jenar selalu mencari tempat untuk tidur, di atas cabang-cabang
pohon untuk menghindari gangguan-gangguan binatang buas. Sedang di siang hari, ia berjalan
sejak matahari terbit sampai matahari terbenam.
Maka pada hari ketiga, Mahesa Jenar telah dapat meninggalkan daerah-daerah hutan di lereng
Gunung Merbabu, untuk segera sampai ke Pangrantunan.
Tetapi demikian ia sampai ke daerah persawahan Pangrantunan, hatinya segera dikejutkan
oleh sebuah panji-panji yang terpancang dengan megahnya, bergambar harimau hitam yang
sedang mengaum hebat.
Harimau hitam itu digambar di atas dasar merah darah, pada kain yang dianyam dari serat
kulit kayu yang dikemplong halus.
Melihat panji-panji itu segera Mahesa Jenar dapat menebak, bahwa panji-panji itu adalah
tanda-tanda yang ditinggalkan oleh Gerombolan Sima Rodra. Tetapi apakah kepentingannya,
panji-panji itu dipasang di tempat ini? Itulah yang menjadi pertanyaan. Apalagi di daerah
Pangrantunan.
Menurut keterangan gurunya, Pangrantunan pernah menjadi pusat percaturan para tokoh sakti.
Sebab di daerah ini beberapa puluh tahun yang lalu pernah diadakan semacam pertemuan dari
beberapa tokoh sakti yang saat ini pada umumnya sudah tidak pernah menampakkan diri lagi.
Diantara beberapa tokoh yang pernah mengadakan pertemuan itu adalah Almarhum Ujung
Kulon, Pasingsingan, Titis Anganten serta Ki Ageng Pandan Alas. Adapun yang menjadi tuan
rumah dalam pertemuan itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana, yang pada saat itu menjadi
kepala daerah Perdikan Pangrantunan.
Sekarang, di bekas daerah yang terkenal itu berkibar panji-panji sebuah gerombolan dari
golongan hitam. Ini adalah suatu hal yang aneh. Tidak adakah seorangpun murid Ki Ageng
Sora Dipayana yang dapat mempertahankan kebesaran namanya...? Ataukah memang Ki
Ageng Sora Dipayana tidak mengambil seorang murid pun...? Atau barangkali gerombolan
Sima Rodra ini sudah merasa demikian kuatnya sehingga berani meremehkan kebesaran Ki
Ageng Sora Dipayana...?
Hal itu hanyalah mungkin apabila gerombolan Sima Rodra ini seperti juga gerombolan Lawa
Ijo, yang didalangi oleh salah seorang dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Tetapi kemungkinan ini adalah tipis sekali. Keberadaan Pasingsingan dalam kalangan hitam
telah cukup mengejutkan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas sendiri perlu membayanginya,
untuk membuktikan kebenarannya. Apalagi tokoh-tokoh lain, yang tidak seaneh
Pasingsingan, pastilah akan semakin menggemparkan.
Karena hal-hal yang mencurigakan itu, maka Mahesa Jenar harus berhati-hati untuk tidak
mengalami hal-hal yang merugikan dirinya serta tugasnya. Dengan penuh kewaspadaan ia
berjalan selangkah demi selangkah mendekati desa yang berada di hadapannya, yang menurut
ingatannya adalah desa Pangrantunan.
Dahulu, saat Mahesa Jenar belum lama berguru, pernah diajak gurunya bersama sama dengan
Kebo Kenanga menjelajahi hampir seluruh pulau Jawa bagian tengah. Dan pada suatu kali ia
pernah diajak pula mampir ke Pangrantunan. Sayang pada saat itu Ki Ageng Sora Dipayana
sedang tidak di rumah, sehingga mereka tidak dapat bertemu. Meskipun demikian, oleh
gurunya banyak yang diceriterakan tentang orang ini. Tentang keistimewaankeistimewaannya, serta tentang budinya yang luhur.
Ketika Mahesa Jenar telah mendekati desa itu, maka kesan pertama-tama didapatnya adalah,
daerah ini telah mengalami banyak kemunduran. Dinding-dinding desa sudah tidak serapi
beberapa tahun yang lalu. Saluran-saluran air juga telah tidak teratur, bahkan banyak parit
yang kering. Maka semakin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa sepeninggal Ki Ageng Sora
Dipayana, tak ada orang lain, baik keturunannya maupun muridnya yang dapat melanjutkan
memelihara kebesaran nama daerah ini.
Rupanya Ki Ageng Sora Dipayana setelah memutuskan menarik diri dari pergaulan, sudah
tidak menaruh perhatian lagi kepada daerahnya.
Maka, ketika Mahesa Jenar melihat seorang petani tua sedang mencangkul tanah yang
tampaknya keras dan tandus, ia memerlukan mendekatinya. Barangkali darinya dapat
didengar ceritera tentang sebab-sebab kemunduran daerah ini, serta yang penting panji-panji
yang dipancangkan oleh Sima Rodra itu.
Melihat orang asing mendatanginya, maka petani tua itu pun berhenti mencangkul, serta
mengawasi Mahesa Jenar dengan saksama. Meskipun pandangan matanya tidak
memancarkan kecurigaan, tetapi jelas mengandung pertanyaan-pertanyaan.
Setelah sampai di hadapan orang itu, segera Mahesa Jenar membungkuk hormat. Orang itu
ternyata juga orang yang ramah dan sopan.
Karena itu sambil tertawa ia pun membungkuk hormat. Malahan sebelum Mahesa Jenar
bertanya, ia sudah mendahuluinya.
“Selamat datang di daerah ini Anakmas, rupa-rupanya Anakmas memerlukan
pertolonganku?”
Mendapat sambutan yang demikian ramahnya serta tak diduga-duga, Mahesa Jenar
terperanjat. Maka cepat-cepat dijawabnya, “Mudah-mudahan kedatanganku tidak
mengganggu pekerjaan Bapak.”
“Tidak... tidak... sama sekali tidak. Apakah yang dapat aku kerjakan untuk Anakmas?” sahut
orang itu.
“Aku ingin mendapat beberapa keterangan mengenai daerah ini,” jawab Mahesa Jenar.
094
ORANG TUA itu mengangguk-angguk kecil. Cangkulnya lalu diletakkannya. Katanya
kemudian, “Baiklah Anakmas, kalau saja aku mengetahui, pastilah aku akan menjawabnya.
Banyakkah keterangan-keterangan yang Anakmas perlukan?”
“Tidak, Bapak... hanya sekedar sebagai petunjuk jalan,” jawab Mahesa Jenar.
“Keterangan mengenai apakah itu?” tanya orang tua itu.
“Bapak...” sambung Mahesa Jenar, “Apakah Bapak mengetahui mengenai panji-panji yang
terpancang di tepi desa itu?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajahnya berubah. Tampaklah kecemasan
membayang di wajahnya.
“Keterangan mengenai bendera itu agak panjang Anakmas. Kalau Anakmas sudi, marilah
mampir ke pondokku sebentar. Barangkali aku dapat menyuguhkan sesuatu, walaupun hanya
air kelapa sebagai penawar haus. Serta barangkali sedikit keterangan mengenai panji-panji
merah itu.”
Mahesa Jenar sulit untuk menolak ajakan orang tua yang nampaknya sangat terbuka hatinya.
Ditambah lagi dengan keinginannya mendengar keterangan-keterangan tentang panji-panji
yang bergambar harimau itu. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali dengan ucapan terima
kasih ia menerima ajakannya.
Ternyata rumah orang tua itu tidaklah begitu jauh. Hanya berjarak beberapa tonggak saja dari
sawahnya yang tampaknya tidak begitu subur. Rumahnya tidak lebih dari sebuah gubug yang
sudah agak miring, meskipun tampaknya masih agak baru, serta beratapkan daun ilalang.
Dengan ramah pula dipersilahkan Mahesa Jenar masuk serta duduk di atas balai-balai bambu
satu- satunya, di samping sebuah paga dan tlundhak tempat lampu.
“Duduklah Anakmas, aku ambilkan untuk Anakmas buah kelapa muda,” kata orang itu.
“Terima kasih, Bapak. Aku senang sekali mendapat sebuah kelapa muda. Tetapi biarlah aku
sendiri memanjatnya. Apakah Bapak yang sudah setua ini masih dapat memanjat pohon
kelapa?” jawab Mahesa Jenar.
Orang itu tersenyum, lalu jawabnya, “Meskipun aku sudah tua, tetapi karena tak ada orang
lain di dalam rumah ini, jadi aku masih harus mengerjakan apa-apa sendiri. Juga memanjat
kelapa. Malahan tidak saja mengambil buahnya, bahkan aku juga nderes beberapa pohon.”
“Bapak masih nderes juga? — tanya Mahesa Jenar keheranan.
Orang tua itu mengangguk. Dan karena itu Mahesa Jenar terpaksa percaya bahwa orang tua
itu masih mampu memanjat pohon kelapa. Karena itu ia tidak lagi mencoba menghalangi
orang itu memanjat pohon kelapa.
Sejenak kemudian orang itu sudah kembali masuk rumahnya, dengan membawa dua buah
kelapa muda yang sudah diparas serta dilubangi, langsung disuguhkan kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar yang baru saja berjalan di bawah terik matahari, menerima kelapa muda itu
dengan gembira serta berterima kasih, sehingga dengan sekali minum habislah isi dari sebuah
kelapa muda.
Maka setelah Mahesa Jenar berisitirahat sejenak, mulailah ia menanyakan kembali tentang
panji-panji merah bergambar harimau itu.
“Panji-panji itu adalah panji-panji dari sebuah gerombolan yang dikepalai oleh suami-istri
yang menamakan dirinya Sima Rodra.” Orangtua itu mulai bercerita.
Desa-desa yang diberinya panji-panji semacam itu, adalah pertanda bahwa desa itu telah
menjadi daerah yang setiap bulan harus menyediakan pajak bahan makanan untuk
gerombolan itu. Demikian juga daerah ini, yang baru menjadi daerah perbekalan Sima Rodra
sejak dua bulan yang lalu. Setiap bulan, mereka datang untuk memasuki setiap rumah yang
ada.
Mahesa Jenar mendengarkan cerita orang tua itu dengan penuh keheranan. Sampai sekian
jauh tindakan Sima Rodra di daerah itu tanpa mendapat gangguan apapun.
“Bapak... apakah Sima Rodra menentukan apakah yang harus diserahkan oleh masing-masing
kepadanya?” Mahesa Jenar akhirnya bertanya kepada orangtua itu.
“Tidak. Mereka tidak menentukan bahan apa yang harus diserahkan, tetapi asal saja mereka
menyediakan. Mungkin beras, kelapa, jagung dan sebagainya,” jawab orang itu.
“Jadi, tidakkah penduduk di daerah ini mendapat perlindungan dari siapapun?” tanya Mahesa
Jenar selanjutnya.
Orang tua itu menghela nafas dalam-dalam. Wajahnya yang sudah berkerut-kerut karena
garis-garis umur itu, tampak semakin berkerut.
“Anakmas, benar apa yang Anakmas katakan,” jawab orang itu. Memang, penduduk di daerah
ini seolah-olah tidak mendapat suatu perlindungan dari siapapun. Sebab daerah ini adalah
daerah perdikan, yang sebenarnya segala sesuatu, seluk-beluk pemerintahan dan keamanan
serta kesejahteraan rakyatnya telah bulat-bulat diserahkan kepada daerah ini sendiri. Tetapi
pimpinan daerah perdikan yang sekarang ini rupanya tidak begitu menghiraukan keadaan
rakyatnya.
“Bukankah daerah ini mula-mula dipimpin oleh seorang sakti serta bijaksana yang bernama
Ki Ageng Sora Dipayana?” sela Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab orang tua itu.
“Tetapi Ki Ageng itu telah lama mengundurkan diri dari pemerintahan. Daerah Pangrantunan
ini sepeninggalnya dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing diserahkan kepada dua
orang putranya. Maksudnya jelas, supaya tidak ada rebutan diantara mereka. Tetapi akibatnya
adalah seperti sekarang ini. Daerah Utara yang dipimpin oleh Ki Ageng Gajah Sora, yang
berkedudukan di Banyu Biru mengalami kemajuan yang pesat. Tetapi daerah ini, yang
dipimpin oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora, dan berkedudukan di Pamingit, mengalami
kemunduran dalam hal kesejahteraan rakyatnya. Pangrantunan, yang pernah menjadi pusat
pemerintahan, sekarang tidak lebih dari sebuah desa kecil yang terpencil dilambung Gunung
Merbabu ini,” jelas orangtua itu, melanjutkan ceritanya.
Tampaklah wajah orang tua itu semakin bersedih. Rupanya ia sedang mengenang masa jaya
dari desanya ini. “Bapak... apakah Bapak mengalami masa-masa pemerintahan Ki Ageng Sora
Dipayana?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
095
ORANG itu tampak ragu-ragu sebentar. Lalu akhirnya ia menggelengkan kepalanya. “Aku di
sini adalah orang baru. Tetapi sebelum aku tinggal di tempat ini aku sudah banyak mendengar
ceritera tentang Ki Ageng Sora Dipayana,” katanya.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi jelaslah bahwa rabaannya mengenai
kemunduran daerah ini adalah benar. Tetapi disamping itu ia mempunyai kesan yang aneh
terhadap orang tua itu. Menilik caranya bicara, pastilah ia bukan orang biasa seperti yang
tampak pada tata lahirnya, yang tidak lebih dari seorang petani miskin.
“Anakmas...” orangtua itu melanjutkan, “pada hari ini, kebetulan adalah hari pungutan pajak.
Karena itu, tak seorang pun yang meninggalkan rumahnya. Mereka menanti dengan setia,
kedatangan para pemungut pajak. Dan karena itu pulalah maka tadi tak seorang pun yang
Anakmas jumpai di sawah, kecuali aku.”
“Kenapa Bapak tidak berbuat seperti orang lain?” desak Mahesa Jenar. Orang itu
menggelengkan kepala. “Aku tak mau,” jawabnya.
Belum lagi mereka habis bercakap-cakap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda.
Orang tua itu tampak agak terkejut.
“Anakmas, itulah mereka datang. Pergilah ke belakang rumah ini supaya Anakmas tidak
terlibat,” kata orang itu.
Mahesa Jenar ingin membantah, sebab ia sama sekali tidak dapat membenarkan kezaliman
yang demikian itu berlangsung terus. Tetapi sebelum ia sempat berkata, dengan penuh
wibawa orang itu mendesaknya. Entahlah pengaruh apa yang menusuk perasaan Mahesa
Jenar, sehingga ia tidak dapat membantah lagi.
Sebentar kemudian benarlah apa yang dikatakan. Beberapa orang yang dipimpin oleh seorang
yang bertubuh tegap tinggi serta berambut hampir di seluruh mukanya, datang dan langsung
memasuki rumah orang tua itu. Tanpa berkata apa-apa orang tua itu dengan ganasnya diseret
keluar dan dipukuli dengan cemeti semau-maunya.
“Panggil seluruh penduduk desa ini...!” teriaknya kemudian.
“Suruhlah mereka menyaksikan contoh bagi mereka yang mau sengaja menghindari
kedatangan kami.”
Sesaat kemudian anak buahnya telah berhasil memaksa penduduk desa itu berkumpul serta
menyaksikan pertunjukan yang mengerikan. Semua penduduk tidak terkecuali, tua-muda,
laki-laki dan perempuan, dengan wajah yang ketakutan terpaksa berkumpul di halaman rumah
petani tua itu.
Beberapa orang perempuan menutup mukanya dengan kedua belah tangannya, sedang
beberapa orang laki-laki hanya bergumam, “Kasihan orang tua itu, kenapa ia tidak memenuhi
permintaan orang-orang itu saja? Bukankah dua-tiga butir kelapa telah dapat
membebaskannya dari derita yang sedemikian?”
Sementara itu orang yang tinggi besar itu berhenti memukul. Lalu dengan lantangnya ia
berkata, “Lihatlah, para penduduk daerah Pengrantunan. Inilah sebuah contoh dari seorang
yang dengan sengaja membantah peraturan kami. Pada waktu kami datang untuk pertama
kalinya pagi tadi, ia telah menghindarkan diri dengan meninggalkan rumahnya. Untunglah
bahwa ketika kami datang untuk kedua kalinya ia sudah ada di dalam rumahnya, sehingga aku
dapat memaafkannya untuk tidak membakar habis rumahnya serta merampas semua miliknya.
Tetapi meskipun demikian kami anggap perlu untuk sedikit memberi pelajaran kepadanya.”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, kembali cemetinya terayun-ayun di udara serta dengan
derasnya memukul-mukul orang tua itu. Segera beberapa jalur garis-garis merah darah
membekas di punggung yang sudah berkerut-kerut serta hampir tak berdaging itu.
Kembali beberapa orang memejamkan matanya. Apalagi ketika orang tinggi besar itu
semakin keras memukul, terdengarlah jeritan-jeritan tertahan keluar dari mulut orang tua yang
disiksa dengan ganasnya itu.
Tetapi meskipun demikian, meskipun ada kesan-kesan kesetia kawanan diantara penduduk,
ternyata sama sekali tidak berani berbuat sesuatu. Beberapa ratus orang laki-laki yang
tampaknya juga tegap-tegap dan kuat, tak dapat berbuat apa-apa melihat salah seorang warga
desanya disiksa di hadapan matanya oleh tidak lebih dari 10 orang.
Ini adalah suatu hal yang aneh. Hanya dalam waktu berapa tahun saja, desa ini tidak hanya
mengalami kemunduran kemakmuran serta pemerintahan tetapi juga mengalami kemunduran
jiwa yang sangat mengejutkan. Suatu daerah dimana seorang sakti yang bernama Sora
Dipayana tinggal dan memerintah, kini mengalami suatu penghinaan yang sedemikian
besarnya tanpa perlawanan sedikit pun.
Mahesa Jenar yang kemudian menggabungkan diri dengan para penduduk setempat
menyaksikan semua itu dengan darah yang bergolak. Ia tidak bisa membiarkan kelalimankelaliman serta kemaksiatan semacam itu berlangsung. Tetapi meskipun demikian ia
mempertimbangkan juga beberapa kemungkinan. Sayang bahwa saat itu ia masih belum bisa
menjajaki kekuatan Sima Rodra yang sebenarnya. Ia juga mempunyai dugaan bahwa apabila
terjadi sesuatu dengan orang-orangnya di suatu daerah pasti Sima Rodra tidak akan tinggal
diam. Mungkin daerah itu akan digilasnya habis, serta dijadikan lautan api. Karena itu
Mahesa Jenar jadi bimbang
096
ANCAMAN itu pasti merupakan salah satu sebab kenapa tak seorangpun yang berani
menentang peraturan Sima Rodra, kecuali malahan seorang tua yang sudah putih seluruh
rambutnya. Juga merupakan suatu sebab kenapa hanya dengan 10 orang, mereka berani
melakukan tugasnya, bahkan berani melakukan siksaan yang sedemikian kejamnya.
Cemeti orang berewok yang gagah itu masih tetap memukul-mukul dengan bunyi yang
menyentak-nyentak. Juga dari mulut orangnya sendiri pun tak habis-habisnya terdengar caci
maki dan umpatan-umpatan yang kotor.
Melihat semuanya itu, hati Mahesa Jenar semakin tidak tahan lagi. Tetapi hanya karena
perhitungan keselamatan penduduk setempat, ia tidak segera bertindak. Ia telah memutuskan
untuk mengikuti gerombolan itu sampai jauh keluar desa. Di sanalah ia akan memuntahkan
segala kemauan hatinya, kemarahannya serta kebenciannya. Sebab dalam wawasannya, ke 10
orang itu tidaklah lebih dari kelinci-kelinci yang sama sekali tak bekerja, kecuali hanya
berteriak-teriak saja.
Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi tak tahan lagi, ketika ia melihat orang tua yang kesakitan itu
dengan menangis-nangis memeluk kaki orang yang tinggi besar dan sedang memukulinya itu,
minta untuk dimaafkan. Tetapi apa yang didapatnya, adalah tidak saja pukulan-pukulan
cemeti, juga kakinya yang besar-besar itu, yang sedang dipeluk demikian eratnya, dengan
sekuat tenaga dikibaskan, sehingga orang tua yang malang itu terpelanting.
Pada saat itu hampir saja Mahesa Jenar meloncat maju. Tetapi, tiba-tiba terasa punggungnya
ditepuk orang dengan mengandung tenaga dalam yang luar biasa besarnya. Mendapat tepukan
yang bertenaga luar biasa itu, Mahesa Jenar sangat terkejut. Apalagi ketika ia menoleh dan
melihat orang yang menepuknya. Malahan hampir saja ia berteriak, kalau saja orang itu tidak
mendahuluinya berkata, “Sst, jangan sebut namaku, panggil aku dengan sebutan lain.”
Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga demikian terkejutnya Mahesa
Jenar menjawab sambil tergagap,
“Baik Ki Ageng....”
“Sst...,” kembali Ki Ageng Pandan Alas berdesis, sambil tersenyum geli, “Jangan kau sebut
itu.”
“Ach...,” jawab Mahesa Jenar. “Aku menjadi bingung atas kehadiran Tuan yang tiba-tiba.”
“Kau akan menolong orang itu?” tanya Ki Ageng Pandan Alas masih berbisik.
“Ya, aku tidak sampai hati melihat siksaan yang sama sekali tak berperikemanusiaan itu,”
jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum dengan wajah Ki Ardi yang jenaka. Kemudian katanya,
“Seharusnya kau berpikir sebaik-baiknya.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar teringat akan kecurigaan atas
pembicaraan orang tua itu. Maka jawabnya, “Memang, Tuan, aku merasakan beberapa
keanehan dari orang itu.”
“Nah lihatlah apa yang akan terjadi,” potong Ki Ageng Pandan Alas, sambil menunjuk kepada
orang tinggi besar yang sedang memukuli petani miskin itu.
Benarlah bahwa sejenak kemudian terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga.
Tiba-tiba saja orang yang tinggi besar itu tubuhnya menjadi kejang. Wajahnya berubah
menjadi pucat. Beberapa kali ia meneriakkan kata-kata yang tak begitu jelas, dan hanya dalam
waktu yang singkat ia terjatuh tak tahu diri.
Segera terjadilah suatu kegemparan. Beberapa orang anak buahnya segera berloncatan untuk
memberikan pertolongan, tetapi usaha itu sia-sia. Orang yang tinggi besar dan berewok itu
ternyata sudah tidak bernapas lagi.
Melihat kejadian itu, salah seorang anggota gerombolan itu menjadi marah sekali. Ia pun
bertubuh tinggi besar, tetapi tidak berewok. Rambutnya bahkan hanya tumbuh jarang-jarang.
Segera ia meloncat maju dengan wajah yang merah padam. Ia sebenarnya tidak tahu apakah
sebabnya maka kawannya mengalami nasib yang demikian.
Tetapi karena yang menjadi sebab menurut pikirannya adalah orang tua yang tak mau
mentaati peraturan itu, maka kepadanyalah kemarahannya akan ditumpahkan.
Melihat sikap yang garang sekali, orang tua itu tampaknya menjadi semakin ketakutan. Maka
dengan gemetar segera iapun berlutut dan mencium kaki orang yang sedang marah itu. Tetapi
juga orang itu sama sekali tak menghiraukan. Bahkan sedemikian marahnya karena ia telah
kehilangan pemimpinnya, ia bermaksud membunuh saja orang tua itu. Maka dengan
menggeram hebat sekali ia mencabut golok yang terselip dipinggangnya.
Tetapi belum lagi ia berhasil mencabut golok itu, iapun tiba-tiba menjadi kejang-kejang pula,
dan tak lama kemudian iapun jatuh tak sadarkan diri, untuk kemudian menghembuskan
nafasnya yang penghabisan.
Melihat hal itu, semakin gemparlah mereka yang menyaksikan. Terutama para gerombolan
Sima Rodra. Ke-8 orang sisanya, bagaimanapun marahnya, tak seorang pun lagi yang berani
berbuat sesuatu atas orang tua itu.
Sebab mereka mengira bahwa orang tua itulah yang menyebabkan kematian kedua orang
kawannya. Maka ketika salah seorang dari mereka dengan perasaan takut meloncat ke atas
kudanya, yang lain pun berbuat demikian.
Ketika mereka akan pergi, salah seorang dari mereka sempat pula menakut-nakuti penduduk.
“Kamu semua telah mencoba melawan kami. Baiklah, lain kali kami akan datang, dan
membunuh kamu semua sampai ke anak cucu.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, segera mereka melarikan kuda mereka kencang-kencang.
Sepeninggal mereka, penduduk yang menyaksikan peristiwa itu semua, untuk sementara
tertegun kaku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tiba-tiba mereka
sadar akan arti ancaman gerombolan Sima Rodra itu bagi keluarga mereka masing-masing.
Kalau benar hal itu akan mereka lakukan, pastilah mereka akan ludes tanpa ada yang
melanjutkan nama serta garis keluarga masing-masing.
097
MENGINGAT hal yang demikian itu, penduduk Pangrantunan segera menjadi ketakutan.
Takut pada pembalasan yang bakal datang, karena seorang tua yang belum lama tinggal di
tempat itu tidak mau memenuhi permintaan gerombolan Sima Rodra untuk menyerahkan dua
tiga butir kelapa.
Kalau mula-mula mereka merasa kasihan kepada orang tua itu, kini tiba-tiba berubah menjadi
perasaan marah. Alangkah kikirnya orang tua itu. Serta karena kekikirannya maka seluruh
penduduk akan mengalami akibatnya. Meskipun andaikata dua orang anggota gerombolan itu
mati karena kebetulan saja, tetapi orang tua yang kikir itulah yang menjadi sebabnya. Apalagi
kalau orang tua itu sengaja meracun atau menyihirnya.
Dalam pada itu tiba-tiba penduduk yang bertubuh pendek ketat penuh dengan otot-otot yang
menonjol, berteriak dengan kerasnya.
“Hai, saudara-saudara penduduk desa ini. Siapakah sebenarnya yang bersalah andaikata
gerombolan Sima Rodra marah kepada kita?”
Maka terdengarlah jawaban dari segenap penjuru. “Orang tua itu, orang tua yang kikir itu.”
Orang tua yang tadi dipukuli gerombolan Sima Rodra itu menjadi bertambah gemetar.
“Saudara-saudaraku, apakah salahku terhadap desa ini. Aku telah menerima hukumanku
karena aku tidak mau membayar pajak bahan makanan kepada gerombolan Sima Rodra. Lalu
apa lagi kesalahanku terhadap kalian?”
“Jangan banyak omong,” bentak orang yang tinggi kekurus-kurusan. “Sejak kau tinggal di
desa ini bulan yang lalu, kau hanya mendatangkan bencana saja. Sekarang kau
mempergunakan ilmu sihir atau senjata-senjata racun untuk membunuh anggota gerombolan
Sima Rodra itu, tanpa mempertimbangkan akibatnya. Bukankah kau tadi mendengar sendiri
ancaman mereka terhadap desa kita?”
Orang tua itu seolah-olah menjadi bertambah ketakutan, seperti seekor tikus yang sudah
berada di dalam cengkeraman kucing yang sedang marah.
Sementara semua peristiwa itu berlangsung, Mahesa Jenar yang tidak mengerti terhadap
semua yang terjadi, menjadi diam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan
terhadap orang tua itu. Apakah ia harus menolong ataukah dibiarkannya saja menjadi korban
kemarahan penduduk.
Ki Ageng Pandan Alas dapat meraba perasaan Mahesa Jenar, maka katanya, “Mahesa Jenar,
jangan kau ributkan orang tua itu. Ia cukup mampu, bahkan berlebihanlah kemampuannya
untuk menjaga diri.”
“Tuan...,” tanya Mahesa Jenar, “permainan apakah yang sedang dilakukan oleh orang tua itu
sebenarnya? Adakah orang itu pula yang telah melakukan pembunuhan terhadap kedua orang
anggota gerombolan itu?”
“Ya....,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Tangan orang itu adalah tangan maut apabila
dikehendakinya. Dengan sekali tekan pada urat-urat tertentu, seseorang tidak akan dapat
hidup lebih dari lima tarikan nafas lagi.”
Mahesa Jenar mendengar keterangan itu dengan penuh keheranan. Alangkah saktinya.
Sehingga akhirnya ia bertanya, “Tuan..., guruku, termasuk Tuan yang mempunyai ciri Keris
Sigar Penjalin, serta yang akhir-akhir ini dengan sebuah tembang Dandanggula yang merdu.”
“Ah..!” potong Pandan Alas, “kau senang pada lagu itu?”
“Tentu... tentu,” sahut Mahesa Jenar, “tetapi siapakah orang tua itu, yang sama sekali tidak
mempergunakan ciri-ciri khusus?”
“Aneh kau Mahesa Jenar,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Kalau ciri-ciri khusus itu
ditunjukkan pada setiap saat dan tempat maka ia akan kehilangan arti kekhususannya. Kecuali
hanya dalam saat-saat yang perlu dan penting. Tentang orang tua itupun demikian pula. Ia
menganggap sama sekali tidak perlu untuk memperkenalkan dirinya di hadapan penduduk
ini.”
“Tetapi siapakah sebenarnya orang itu?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum lucu, tepat seperti pada saat Sagotra mendesaknya untuk
melanjutkan ceritera tentang dua ekor naga yang bertempur melawan orang bintang kemukus.
“Mahesa Jenar... sebenarnya kau harus dapat menerka. Siapakah yang paling berkepentingan
dengan daerah ini? Beberapa tokoh sakti yang kau kenal? Siapakah diantara mereka yang
paling tersinggung apabila daerah ini sampai dinodai? Aku, yang tidak begitu berkepentingan,
memerlukan untuk membuktikan kebenaran berita yang aku dengar bahwa daerah ini telah
merupakan daerah yang harus menyerahkan bulu bekti kepada salah satu gerombolan aliran
hitam. Bagaimanapun aku merasa tidak rela atas hal yang berlaku itu, sebab aku pernah ikut
serta menikmati kebesaran daerah ini, sebagai daerah sahabatku. Tetapi untunglah bahwa
yang berhak telah datang untuk melindungi daerahnya,” jawab Pandan Alas kemudian.
Mendengar penjelasan Ki Ageng Pandan Alas hati Mahesa Jenar berdesir.
“Jadi, beliau itukah Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.
“Sst... jangan terlalu keras,” desis Pandan Alas.
Perasaan Mahesa Jenar menjadi terputar-putar tidak karuan menyaksikan kenyataan itu.
Gembira, terharu, sedih dan segala macam, berkecamuk di dadanya. Seorang yang sakti, serta
telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan, terpaksa turun tangan, dan benar-benar
mempergunakan tubuhnya sendiri, untuk soal-soal tetek bengek yang seharusnya dapat
diselesaikan oleh orang lain.
Tetapi disamping itu, tumbuh pulalah perasaan hormat serta kekaguman Mahesa Jenar atas
sifat kepemimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. Sehingga apabila perlu, ia sendiri tidak segansegan untuk bertindak serta mengorbankan diri.
Sementara itu, kemarahan rakyat Pangrantunan rupa-rupanya sudah memuncak. Sehingga
beberapa orang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tinjunya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari seorang yang bertubuh gemuk, tinggi dan berwajah
keras seperti batu, “Saudara-saudara, marilah kita tangkap saja orang itu. Kita serahkan
kepada Sima Rodra sebagai tumbal untuk keselamatan desa kita.”
“Bagus... bagus.... Setuju..., setuju....” teriak yang lain dari segala penjuru.
098
ORANG TUA yang tidak lain adalah Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, tampak semakin
ketakutan. Tetapi perasaan Mahesa Jenar sudah tidak lagi tersiksa menyaksikan kejadiankejadian itu.
"Tetapi... ," kata orang tua itu mencoba membela dirinya kembali, "Apa yang aku lakukan
sebenarnya bukanlah maksudku sendiri. Bagaimana aku berani membantah peraturan pajak
itu? Apalagi apa-apa yang dibutuhkan telah ada tersedia."
"Bukan maksudmu sendiri...?," tanya yang tinggi kekurus-kurusan.
"Ya, bukan!", jawab orang tua itu.
"Lalu, siapakah yang menyuruhmu berbuat demikian?" tanya yang pendek ketat dengan otototot yang menjorok keluar."
Kembali terjadilah suatu hal di luar dugaan. Tiba-tiba orang tua itu menunjukkan jarinya
kepada Mahesa Jenar dan Pandan Alas.
"Orang asing beserta anaknya itulah yang telah memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan
dari gerombolan Sima Rodra. Aku sama sekali tidak tahu maksudnya, tetapi aku tak berani
menolaknya. Tanyakan pada anak muda itu, apakah maksudnya ia berbuat demikian," kata
orang tua itu.
Mendengar jawaban itu, serta merta semua mata memandang kepada Mahesa Jenar dan Ki
Ageng Pandan Alas yang berdiri tidak begitu jauh di belakang mereka.
Sedang Mahesa Jenar sendiri, yang tidak menduga sama sekali akan terlibat dalam masalah
itu, menjadi terkejut tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia jadi cemas.
Kalau saja kemarahan penduduk ditujukan kepada Mahesa Jenar, lalu apa yang harus
dikerjakan. Haruskah ia melawan dan mungkin akan menimbulkan bencana bagi penduduk
yang seharusnya mendapat perlindungan?.
Tetapi ia lebih tidak mengerti lagi, ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas yang
sama sekali tak berkesan apa-apa, malahan wajahnya tampak menggelikan. Sehingga terpaksa
ia bertanya, "Kenapa Ki Ageng Sora Dipayana membebankan masalah ini kepada kami,
Tuan."
"Mahesa Jenar... Dalam keadaan demikian, sebagaimana kau ketahui orang tua itu telah
mengetahui kehadiranku. Serta malahan ia mempunyai cara yang aneh untuk mengucapkan
selamat datang. Tetapi rupa-rupanya ia masih belum perlu langsung menemuiku seperti juga
aku merasa belum waktunya.
Tetapi terang ia minta tolong kepadamu untuk menjelaskan maksudnya. Nah Mahesa Jenar,
terserah pelaksanaannya kepadamu, untuk membangkitkan kembali jiwa kejantanan bagi
penduduk daerah ini. Tolonglah orang tua itu serta kalau perlu berilah sedikit penerangan dan
pertunjukan yang mengesankan," jawab Pandan Alas berbisik.
Sementara itu perhatian semua orang telah tertuju kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan
Alas. Bahkan ada diantara mereka yang sudah mulai bergerak mendekati. Seorang yang kurus
pendek dengan suara yang menjerit bertanya kepada Mahesa Jenar, "He anak muda...,
benarkah kau memaksa kepada orang tua itu untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra?"
Mahesa Jenar merasa akan canggung juga untuk menjawab, sampai orang kurus itu
membentaknya kembali, "Ayo jawab!"
Tetapi Mahesa Jenar masih juga rikuh untuk berbuat gagah-gagahan di hadapan Ki Ageng
Sora Dipayana. Karena itu ia untuk beberapa saat hanya dapat memandangi wajah orang tua
itu, yang tiba-tiba tidak ada lagi perhatian terhadapnya, tetapi tersenyum-senyum sambil
mengangguk-angguk kepada Ki Ageng Pandan Alas.
Sebaliknya wajah Ki Ageng Pandan Alas yang kemudian berubah menjadi ketakutan.
Melihat permainan itu semua hampir-hampir Mahesa Jenar tak dapat menahan tertawanya.
Rupa-rupanya sedemikian karib persahabatan orang-orang sakti pada saat itu, sehingga
sampai hari tuanya pun mereka masih saja bergurau, meskipun dalam keadaan yang demikian.
Sejenak kemudian ketika Mahesa Jenar masih juga belum menjawab, Ki Ageng Sora
Dipayana berteriak, "Ya, itulah orangnya yang memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan
Sima Rodra, sehingga mungkin akan menimbulkan bencana."
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar menjadi sadar bahwa ia harus benar-benar membantu
orang tua itu untuk kepentingan kebangkitan daerah Pangrantunan. Karena itu ia menjawab,
"Ya, akulah yang memaksa orang tua itu untuk tidak menyerahkan pajak kepada Sima
Rodra."
"Jadi... kaulah biang keladi dari bencana ini, " teriak salah seorang dari mereka.
"Tangkap juga orang itu," teriak yang lain tiba-tiba.
"Bagus, tangkap juga orang itu. Kita serahkan pula kepada Sima Rodra untuk tumbal
bersama-sama orang tua celaka itu," sahut yang gemuk tinggi serta berwajah keras seperti
batu.
"Tangkap..., tangkap.... " teriak yang lain bersama-sama. Dan serentak mulailah mereka
bergerak.
Melihat gerakan itu Ki Ageng Pandan Alas tampaknya menjadi ketakutan sekali, sehingga
tubuhnya gemetar. Dan tiba-tiba ia meloncat melarikan diri.
"Tangkap..., tangkap...." teriak penduduk itu dengan marahnya, ketika mereka melihat salah
seorang dari orang asing itu melarikan diri. Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara Mahesa Jenar,
"Jangan kejar dia. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan."
099
SUARA itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga yang dapat langsung merangsang mereka
yang mendengarnya, sehingga terkejutlah semua orang yang sedang siap untuk memburu Ki
Ageng Pandan Alas. Mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi. Tetapi yang terasa oleh
mereka hanyalah suara Mahesa Jenar itu seperti memukul dada mereka masing-masing,
sehingga dengan demikian serentak mereka berhenti.
Mereka tersadar ketika Ki Ageng Pandan Alas sudah lenyap, sehingga salah seorang berteriak
marah sekali.” He..., kenapa dibiarkan orang tua tadi melarikan diri. Sekarang jangan
lepaskan anak muda itu.”
”Jangan takut aku melarikan diri, “ jawab Mahesa Jenar dengan suara yang mantap.
”Aku akan tetap tinggal di sini. Tangkaplah.”
Mendengar tantangan itu, beberapa orang yang sudah akan menyerbu justru terhenti. Mereka
menjadi ragu-ragu dan bimbang. Kenapa orang itu begitu berani menghadapi seluruh
penduduk Pangrantunan.
”Saudara-saudara penduduk Pangrantunan, salahkah aku kalau aku menasehati orang tua itu
untuk tidak tunduk kepada gerombolan liar yang mengganggu ketenteraman desa kalian?, “
kata Mahesa Jenar selanjutnya.
Mendengar pertanyaan itu semua orang menjadi terdiam. Memang dalam hati kecil mereka,
sama sekali mereka tidak rela menyerahkan harta benda mereka kepada orang-orang yang
datang untuk memerasnya. Tetapi karena ketakutan dan tidak adanya pimpinan, mereka
terpaksa melakukannya. Baru setelah beberapa saat terdengar jawaban diantara mereka.
“Tetapi dengan tindakan itu, nasib kita semua akan celaka.”
”Nasib saudara-saudara bukanlah mereka yang menentukan,” sambung Mahesa Jenar. “Tetapi
ada di tangan saudara sendiri. Kenapa saudara tidak berbuat sesuatu?”
Kembali mereka terdiam mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Ya, kenapa mereka tidak pernah
berpikir untuk suatu usaha menghindarkan diri dari pemerasan itu. Tetapi apakah yang dapat
dilakukan...?
Tiba-tiba diantara mereka berteriak seorang yang berkumis tebal dan bermata tajam seperti
mata burung hantu. “Hai anak muda, kau jangan memperuncing kemarahan kami. Dengan
omonganmu itu kau akan berusaha menjelomprongkan kami ke lembah kesengsaraan yang
lebih hebat. Kau lihat sekarang, betapa sulitnya keadaan kami sehari-hari, tiba-tiba orang tua
celaka itu menambah beban kesulitan kami karena hasutanmu. Sekarang kau berusaha untuk
menghasut seluruh penduduk. Apa kau kira kami ini semuanya orang-orang bebal seperti si
tua celaka itu? “
”Memang...,” jawab Mahesa Jenar, “aku ingin menghasutmu supaya kamu semua tidak lagi
mau menyerahkan sebutir padi pun kepada Sima Rodra.”
”Dengan perbuatan itu,” sambung si kumis tebal dan bermata Burung Hantu, “apakah
keuntunganmu? Nah, sekarang tutup mulutnya dan jangan mencoba melawan. Kau akan kami
ikat bersama-sama orang tua itu untuk tumbal keselamatan desa ini. Bukankah begitu kawankawan...?”
”Betul..., betul....,” sahut mereka hampir serentak.
Dan bersamaan dengan itu, mulailah mereka beramai-ramai menyerbu Mahesa Jenar. Tetapi
seperti patung, Mahesa Jenar tetap di tempatnya. Melihat orang asing itu sama sekali tidak
bergerak, kembali mereka jadi ragu-ragu dan malahan berhenti beberapa langkah di sekitar
Mahesa Jenar. Mereka memandang dengan mata yang bertanya-tanya. Bahkan beberapa
diantaranya malahan mulai agak takut-takut melihat sikap yang sedemikian tenangnya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Juga Ki Ageng Sora Dipayana tak kalah
sedihnya. Sebab dengan peristiwa itu terbuktilah betapa mundurnya keberanian penduduk
menghadapi suatu persoalan.
Beberapa tahun yang lalu mereka adalah rakyat yang cukup tangguh dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan. Tetapi sekarang mereka tidak lebih dari segerombolan pengecut yang
berjiwa budak yang paling rendah. Ketika Mahesa Jenar sempat mengerlingkan mata kepada
Ki Ageng Sora Dipayana, alangkah terperanjatnya, melihat mata orang tua itu mengaca.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “Ya..., itulah yang telah menghasutku, kenapa kalian diam saja?
Bukankah kalian akan menangkapnya?”
Selesai mengucapkan kata-kata itu segera ia meloncat menyusup di antara orang banyak dan
langsung menyerbu Mahesa Jenar. Mahesa Jenar segera menangkap maksud Ki Ageng Sora
Dipayana. Meskipun dengan agak segan dan malu-malu, ia meladeni juga orang tua itu. Maka
segera terjadilah perkelahian. Ki Ageng Sora Dipayana bergerak dengan sekenanya saja.
Memukul, menendang tak berketentuan. Tetapi maksudnya untuk memancing keberanian
penduduk, ternyata berhasil.
Melihat orang tua itu mendahului menyerang, segera yang lain pun bertindak. Melihat orangorang kampung itu mulai berlari-lari untuk menangkapnya, segera Mahesa Jenar meloncat
kesana kemari dan sekadar mengadakan perlawanan. Dalam beberapa benturan Mahesa Jenar
mengetahui bahwa diantara mereka ada juga yang mempunyai kekuatan cukup serta
pengetahuan tata berkelahi yang agak tinggi.
Karena itu anehlah kalau daerah ini tidak dapat berbuat sesuatu untuk melawan kekuasaan
Sima Rodra.
Maka, kunci dari kemunduran ini pasti terletak pada pimpinan. Bagaimanapun, kepala daerah
Perdikan Pengrantunan yang sekarang adalah putra Ki Ageng Sora Dipayana, yang bernama
Ki Ageng Lembu Sora. Apakah Ki Ageng Lembu Sora ini sama sekali tak memiliki sifat-sifat
ayahnya? Bukankah apabila dikehendaki untuk melawan Sima Rodra, daerah ini tidak berdiri
sendiri?
Pangrantunan hanyalah salah satu dari desa-desa yang berada di dalam lingkaran Perdikan
yang sekarang berkedudukan di Pamingit. Tetapi menilik kekuatan Pangrantunan ini sendiri
ditambah dengan daerah-daerah lain, pastilah mereka dapat setidak-tidaknya mencegah
kekuasaan Sima Rodra atas daerah ini.
Maka setelah mereka berkejar-kejaran serta berkelahi beberapa lama, segera Mahesa Jenar
meloncat dengan tangkasnya menembus kepungan mereka, lalu dengan teguhnya berdiri
menghadapi penduduk Pangrantunan yang mengejarnya itu sambil berteriak nyaring, “Cukup
kawan-kawan, permainan kita ternyata berhasil baik. Jangan menyerang aku lagi. Aku tidak
akan melawan. Aku akan tunduk kepada kalian. Tetapi sebelumnya aku ingin berbicara
sedikit lagi kepada kalian.”
100
KETIKA penduduk Pangrantunan yang sedang mengejar Mahesa Jenar itu melihat buruannya
meloncat dengan tangkasnya, seolah-olah melampaui kemampuan manusia biasa, serta dalam
waktu yang hanya sekejap itu telah dapat dengan tiba-tiba berdiri di luar kepungan mereka,
hati mereka tergetar hebat. Segera mereka sadar bahwa itu pastilah orang yang berilmu tinggi.
Karena itu, kembali mereka berhenti beberapa langkah di sekeliling Mahesa Jenar, yang
dengan tegapnya berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja.
Kesadaran mereka akan ketinggian ilmu orang asing itu, ternyata telah menuntun ingatan
penduduk Pangrantunan kepada kekaguman-kekaguman mereka terhadap orang dari daerah
mereka sendiri. Terutama pemimpin mereka yang mereka cintai dengan sepenuh hati, yang
sejak beberapa tahun lalu telah menyisihkan diri. Yaitu Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi tak seorang pun diantara mereka yang dapat mengenal, bahwa orang yang mereka
kenangkan itu, telah ada diantara mereka. Bahkan baru saja mengalami siksaan di hadapan
mereka. Orang kedua yang mereka kagumi adalah Ki Ageng Gajah Sora, putra sulung Ki
Ageng Sora Dipayana. Meskipun belum dapat memiliki seluruh ketinggian ilmu ayahnya, Ki
Ageng Gajah Sora telah dapat digolongkan manusia yang memiliki kelebihan dibanding
manusia biasa.
Orang ketiga sesudah itu adalah Ki Ageng Lembu Sora, adik Ki Ageng Gajah Sora. Orang
inilah yang sekarang menerima kepercayaan dari ayahnya untuk menggantikan kedudukannya
sebagai kepala daerah perdikan Pangrantunan bagian selatan. Tetapi tabiat seseorang ternyata
tidak dapat ditentukan dari tetesan darah yang menurunkan. Ki Ageng Lembu Sora yang oleh
ayahnya diharapkan akan dapat melanjutkan cita-citanya untuk mengembangkan daerahnya,
ternyata yang terjadi adalah kebalikannya. Ia lebih mementingkan kesenangan sendiri.
Bahkan kadang-kadang ia sampai melupakan kedudukannya sebagai pengayom. Malahan
tidak jarang ia berbuat hal yang dapat melukai hati rakyatnya. Hal-hal yang demikian itu
menimbulkan banyak kegelisahan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang akhirnya
menjadikan rakyat tidak peduli lagi kepada keadaan di sekelilingnya, kecuali kepentingan
mereka sendiri-sendiri.
Dan sekarang tiba-tiba muncul seorang yang agaknya termasuk orang yang berilmu tinggi dan
bertabiat aneh. Kalau orang ini memaksakan sesuatu peraturan yang bertentangan dengan
kemauan gerombolan Sima Rodra, maka akan celakalah nasib penduduk setempat. Sebab
mereka tentu tidak akan mampu melawan salah satu diantaranya.
Sementara itu ketika setiap otak dari mereka yang ada di halaman itu sedang dipenuhi dengan
berbagai masalah dan persoalan-persoalan, terdengarlah Mahesa Jenar mulai berkata,
"Saudara-saudara penduduk Pangrantunan. Setelah kita bermain-main sebentar, aku mendapat
kesimpulan bahwa daerah ini bukanlah daerah yang seharusnya dapat menjadi lembu perahan
bagi gerombolan Sima Rodra. Seberapakah sebenarnya kekuatan dari gerombolan itu
dibandingkan dengan keperkasaan kalian? Kalau kalian merasa bahwa apa yang kalian
sediakan untuk gerombolan Sima Rodra setiap bulannya bukanlah kekayaan yang berharga,
memang mungkin sekali. Tetapi arti dari kesediaan saudara-saudara menyerahkan pajak
kepada gerombolan itulah yang sebenarnya patut disesalkan. Sebab dengan demikian kalian
telah menempatkan diri kalian sendiri di bawah kekuasaan Sima Rodra. Apalagi kalau kalian
sampai pada perhitungan nilai dari barang-barang itu kalian kumpulkan, lalu kalian jual.
Maka pastilah dalam waktu yang singkat kalian dapat mendirikan banjar-banjar desa, tempattempat ibadah dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu, kalian adalah rakyat yang merdeka,
bukan rakyat yang diperbudak oleh Sima Rodra, yang patut mempergunakan segala sumber
kekayaan kalian untuk kepentingan kalian sendiri. Nah saudara-saudara, pertahankan
kemerdekaan ini. Kalau perlu dengan darah dan jiwa kalian."
Kata-kata Mahesa Jenar ini terasa seperti membakar dada mereka yang mendengarnya,
disamping perasaan malu dan sesal yang menghantam bertubi-tubi.
Hampir semua orang tampak menundukkan mukanya, seolah-olah hendak langsung
memandang kekecilan jiwa mereka masing-masing. Disamping itu, makin jelaslah dalam
ingatan mereka, keperwiraan serta kejantanan yang pernah mereka alami semasa
pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana.
Mahesa Jenar dapat merasakan, bahwa kata-katanya berhasil menusuk langsung kedalam
sanubari pendengarnya. Karena itu sambungnya, Nah saudara, keputusan terakhir adalah di
tangan saudara-saudara. Masihkah saudara ingin merdeka, ataukah saudara telah merasa
berbahagia dalam penindasan dan pemerasan Sima Rodra? Kalau saudara memilih yang
kedua maka aku bersedia untuk saudara-saudara tangkap serta saudara-saudara serahkan
kepada Sima Rodra sebagai tumbal keselamatan penduduk.
Kalau kata-kata Mahesa Jenar yang terdahulu telah membakar dada rakyat Pangrantunan,
maka kata-katanya yang terakhir itu bagaikan cermin yang langsung diletakkan di hadapan
mereka. Sehingga semakin jelaslah noda-noda yang melekat dalam wajah kepribadian
mereka.
Untuk mempertegas kata-katanya, Mahesa Jenar melanjutkan, "Saudara-saudara, kalau
saudara-saudara sudah merasa bimbang maka sebaiknya saudara-saudara pulang saja sambil
merenungkan pilihan manakah yang saudara-saudara anggap paling sesuai dengan sifat serta
watak saudara-saudara. Sekarang saudara-saudara kami persilahkan meninggalkan halaman
ini. Selama saudara merenungkan kemungkinan yang paling menguntungkan bagi saudarasaudara, aku ingin minta ijin untuk dua-tiga hari. Setelah itu, aku akan datang lagi untuk
menerima keputusan kalian."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang terakhir, penduduk Pangrantunan itu saling pandang.
Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Sampai kembali Mahesa Jenar berkata, "Aku
harap kalian meninggalkan halaman ini untuk merenungkan apa yang akan saudara lakukan.
Aku yakin bahwa saudara akan memilih keputusan yang benar demi tanah tercinta serta
kebesaran nama daerah ini, yang telah diletakkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana."
Meskipun Mahesa Jenar mengucapkan kata-katanya dengan lunak serta sopan, tetapi
tajamnya seperti sembilu yang langsung membelah jantung mereka, sehingga terasa suatu
desiran yang pedih di dalam dada masing-masing.
101
SAMBIL menundukkan kepala serta langkah yang lemah, penduduk Pangrantunan mulai satu
demi satu bergerak meninggalkan halaman rumah petani tua yang sama sekali tak
diketahuinya, bahwa beliaulah Ki Ageng Sora Dipayana.
Dalam kepala mereka berkecamuklah seribu macam masalah. Tetapi satu hal yang telah
menyusup di dalam hati mereka tanpa mereka sadari. Sejak saat itu mereka bertekad untuk
mempertahankan tanah tercinta ini dari segala macam penindasan dan pemerasan. Kalau perlu
akan mereka pertaruhkan darah dan nyawa.
Ketika tidak ada lagi seorang pun di halaman petani miskin itu, segera Mahesa Jenar
menundukkan kepalanya kepada Ki Ageng Sora Dipayana sambil berkata, "Tuan...,
maafkanlah aku yang sama sekali tidak tahu bahwa Tuanlah yang terkenal dengan sebutan Ki
Ageng Sora Dipayana."
Orang tua itu tersenyum.
"Tak apalah. Kalau sampai engkau tidak mengenal, maka berbanggalah aku. Sebab dengan
demikian aku merasa bahwa permainanku dapat berhasil," jawab orang tua itu.
Kembali Mahesa Jenar menghormat.
"Dengan ini atas nama perguruanku aku menyampaikan hormat," kata Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk lemah.
"Rupanya kau adalah satu-satunya waris dari gurumu," kata Ki Ageng Sora Dipayana.
"Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya waris yang harus menjunjung nama perguruanku.
Tetapi kemampuanku sangatlah terbatas, sehingga aku sangat cemas bahwa tugas itu tak akan
berhasil," jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa lirih.
"Aku tadi ternyata salah tebak. Ketika aku melihat orang tua dari Gunung Kidul yang
malahan terkenal dari Wanasaba tadi, aku mengira bahwa kau adalah muridnya. Tetapi ketika
aku melihat kau melangkah, barulah aku tahu bahwa kau adalah murid Ki Ageng Pengging
Sepuh," sahut Sora Dipayana.
Benar Ki Ageng, aku adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, jawab Mahesa Jenar lagi.
Siapakah namamu? tanya Ki Ageng kemudian.
Mahesa Jenar Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar.
Lalu adakah kau mendapat tugas dari perguruanmu sehingga kau sampai ke daerah
Pangrantunan ini?
Mendengar pertanyaan Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar jadi bimbang. Haruskah ia
menyatakan tujuan sebenarnya, ataukah tidak? Dalam kebimbangan hati, Mahesa Jenar tidak
segera dapat menjawab sehingga dalam beberapa saat ia berdiri kebingungan. Ki Ageng Sora
Dipayana ternyata memang orang yang bijaksana. Karena itu segera ia menyambung,
Mungkin kau mendapat tugas rahasia dari seseorang. Nah, kalau begitu baiklah aku bertanya
soal lain saja.
Tidak, Ki Ageng... tidak..., potong Mahesa Jenar tergagap.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa perlahan. Kemudian ia bertanya, Kaukah satu-satunya Ki
Ageng Pengging, yang masih ada? Gurumu almarhum adalah sahabat dekatku. Jadi jangan
kau menaruh prasangka apapun kepadaku. Nah, tinggallah untuk sementara bersama aku di
Pangrantunan.
Terima kasih Ki Ageng, terpaksa aku dengan menyesal tak dapat memenuhi, sebab aku masih
harus meneruskan perjalanan, jawab Mahesa Jenar.
Begitu tergesa-gesa? potong Ki Ageng.
Benar Ki Ageng.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut,
dan tiba-tiba terloncat kata dari mulutnya, Ke Gunung Tidar?
Pertanyaan ini rupanya mengejutkan Mahesa Jenar, sehingga ia kebingungan, sampai Ki
Ageng Sora Dipayana meneruskan, Bagus, pergilah ke sana. Barangkali ada perlunya. Aku
menduga bahwa kau tidak akan menderita sesuatu kalau kau cukup hati-hati. Bukankah Ki
Ageng Pengging Sepuh terkenal dengan Sasra Birawa-nya? Aku kira kau telah memiliki itu
pula.
Mahesa Jenar tak dapat berbuat lain kecuali mengiakan semua kata-kata Ki Ageng Sora
Dipayana, meskipun ia sendiri tak habis heran, kenapa orang tua itu dapat menebak
maksudnya dengan tepat.
Meskipun demikian..., sambung orang tua itu, kau harus tetap waspada. Sebab penghuni
Gunung Tidar bukan pula orang yang patut direndahkan. Dan jagalah bahwa kau dapat
langsung mendekati tempat tinggal Sima Rodra.
Usahakan untuk tidak diketahui oleh para penjaga-penjaganya. Sebab bagaimanapun, jumlah
yang banyak akan turut serta menentukan keseimbangan pertempuran. Apalagi disamping
Sima Rodra sendiri masih ada beberapa orang yang termasuk orang-orang yang berilmu.
Kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu bagi Mahesa Jenar merupakan petunjuk yang sangat
berharga. Maka dengan perasaan yang gembira ia mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga.
Kau pernah ke Gunung itu? tanya Ki Ageng Sora Dipayana kemudian.
Belum Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar. Tetapi aku pernah lewat desa Gelangan di dekat
Gunung itu.
Desa yang berbentuk gelang serta di tengah-tengahnya ada danaunya? tanya Ki Ageng Sora
Dipayana.
Benar Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar.
102
KI AGENG Sora Dipayana kemudian menyarankan Mahesa Jenar agar mengambil jalan ke
arah desa itu. Sebab kau akan terlalu banyak membuang waktu. Sebaiknya kau mengambil
jalan yang biasa dilalui oleh gerombolan itu, melewati hutan bagian selatan. Kau tidak perlu
lagi mencari-cari jalan, sebab daerah itu sering dilewati oleh anak buah Sima Rodra sehingga
seakan-akan telah menjadi sebuah jalan raya. Sedang kalau kau bertemu dengan satu-dua
orang dari mereka maka hal itu bukanlah hal yang perlu diributkan. Kau dapat dengan mudah
menyembunyikan diri, atau dengan semudah itu pula membinasakan mereka, kata Ki Ageng.
Mahesa Jenar mendengarkan semua nasihat itu dengan saksama. Memang pekerjaan yang
akan dilakukan bukanlah pekerjaan yang gampang. Dengan petunjuk-petunjuk yang diterima
dari Ki Ageng Sora Dipayana, semakin teranglah jalan yang akan ditempuhnya.
Nah Mahesa Jenar, kata Ki Ageng Sora Dipayana akhirnya, memang sebaiknya kau tidak
banyak membuang waktu. Kau dapat segera berangkat sekarang juga. Kalau tidak ada
halangan, besok malam kau sudah akan sampai ke pusar pulau Jawa itu. Ingatlah, hindari
pertemuan dengan para pengawal gunung. Pergilah langsung ke lambung utara. Di sana
terletak sebuah goa tempat tinggal suami-istri Sima Rodra itu. Sedang untuk mendekati bukit
itu ambillah jalan sebelah selatan, ambillah waktu ketika matahari telah terbenam.
Sekali lagi Mahesa Jenar mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Dan sesudah itu ia
mohon diri untuk segera melanjutkan perjalanannya ke Gunung Tidar. Ia sudah memutuskan
untuk mengikuti segala petunjuk yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi satu hal yang sama sekali tak diduganya, adalah bahwa dengan memberikan segala
petunjuk itu, Ki Ageng Sora Dipayana telah membuat suatu rencana. Rencana yang hanya
diketahui oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu sendiri. Karena itu ketika ia melihat Mahesa Jenar
dengan langkah yang tetap berjalan menurut petunjuknya, tampaklah orang tua itu tersenyum
sambil bergumam, Mudah-mudahan rencanaku berhasil. Bukankah dengan demikian aku
telah membuat suatu jasa pada mereka...
Sementara itu Mahesa Jenar berjalan dengan langkah yang cepat. Ia mengharap bahwa besok
malam ia sudah dapat sampai ke tempat tinggal Sima Rodra. Menilik rencana pertemuan dari
golongan hitam, dimana Sima Rodra akan ikut serta, maka dapatlah dibayangkan bahwa
setidak-tidaknya Sima Rodra sendiri atau berdua dengan istrinya, pasti mempunyai tingkat
kepandaian sama dengan Lawa Ijo.
Ditambah lagi mereka ternyata memiliki pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Karena itu,
ia harus berhati-hati dalam tiap tindakannya untuk mendapatkan kembali keris Nagasasra dan
Sabuk Inten.
Ketika itu, ketika ia telah agak jauh meninggalkan desa Pangrantunan, matahari telah condong
ke barat. Angin yang bertiup agak kencang dari hutan terasa betapa silirnya. Meskipun
demikian panas yang dipantulkan oleh debu-debu di jalan terasa seperti menyengat-nyengat
kaki. Karena itu Mahesa Jenar semakin mempercepat langkahnya. Sekali-kali ia meloncatloncat di atas rumput yang tumbuh di tepi-tepi jalan.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah meninggalkan daerah-daerah persawahan
Pangrantunan. Ia mulai memasuki daerah-daerah padang ilalang dan hutan-hutan kecil untuk
segera sampai ke induk hutan yang memagari tanah perdikan Pangrantunan.
Tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang berjalan cepat-cepat itu mendengar suara ringkik kuda.
Segera ia menghentikan langkahnya serta bersiap-siap, kalau-kalau suara ringkik kuda itu
berasal dari gerombolan Sima Rodra. Tetapi sampai beberapa saat ia sama sekali tidak
mendengar langkahnya. Karena itu Mahesa Jenar menduga bahwa kuda itu pastilah berhenti.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar menyusup batang-batang ilalang, mendekati arah suara
ringkikan kuda itu. Setelah beberapa langkah, benar-benar Mahesa Jenar melihat kuda
lengkap dengan pelananya, tetapi tidak ada penunggangnya. Maka timbullah kecurigaannya.
Tiba-tiba ia menjadi sangat terkejut ketika dilihatnya di samping kuda itu, menggeletak
sesosok tubuh yang rupa-rupanya sudah tidak bernyawa lagi.
Perlahan-lahan dan hati-hati ia merunduk mendekati mayat itu. Ternyata bahwa mayat itu
adalah mayat seorang laki-laki yang gagah. Di tangannya masih tergenggam sebatang tombak
pendek. Ketika Mahesa Jenar mengamat-amati daerah di sekitar mayat itu, sama sekali tidak
terdapat bekas-bekas telapak, baik telapak kuda maupun telapak kaki manusia yang lain
kecuali telapak kuda yang seekor itu.
Ketika Mahesa Jenar sudah yakin bahwa di sekitar tempat itu sama sekali tidak ada bahaya,
maka mulailah ia mengamat-amati mayat orang gagah itu dengan saksama.
Wajah mayat itu tampak biru kemerah-merahan, hampir di seluruh permukaan kulitnya
tampak noda-noda biru kemerah-merahan. Melihat tanda-tanda itu segera Mahesa Jenar dapat
menerka bahwa orang itu pasti meninggal karena racun.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar mencari, masih belum dapat ditemukan luka yang
menyebabkan kematian orang itu. Baru ketika mayat itu ditelungkupkan, tampaklah sebuah
jarum sumpit yang masih menancap di punggungnya. Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa
orang itu telah diserang dari belakang. Atau kemungkinan lain orang itu dikenai sumpit pada
waktu ia sedang melarikan diri.
Lebih heran lagi Mahesa Jenar ketika melihat pada ikat pinggang orang itu, yang lebarnya
hampir selebar telapak tangan, dan dibuat dari kulit kerbau, tampaklah sebuah pahatan yang
mirip dengan dua ekor ular yang saling membelit. Mula-mula Mahesa Jenar agak bingung
menafsirkan gambar itu, tetapi akhirnya berdesirlah jantungnya. Ini pastilah gambar dua ekor
uling. Kalau demikian maka orang ini pasti termasuk salah seorang anggota gerombolan yang
dikenal dengan nama pimpinannya, sepasang uling dari Rawa Pening.
Tetapi kenapa ia sampai kemari, juga siapa yang membunuhnya, merupakan suatu teka-teki
bagi Mahesa Jenar. Yang terang baginya adalah, bahwa orang itu belum terlalu lama
meninggal. Mungkin pagi tadi, atau malahan sesudah hampir tengah hari.
103
BELUM lagi Mahesa Jenar selesai meneliti tubuh mayat itu, tiba-tiba terdengarlah derap
beberapa ekor kuda. Cepat-cepat Mahesa Jenar memperhatikan arahnya, lalu dengan cepat
sekali ia meloncat ke gerumbul yang terdekat. Ia harus berusaha untuk bersembunyi, sebab ia
masih belum tahu siapakah yang datang. Beberapa saat kemudian derap kuda itu sudah dekat
benar, dan segera muncullah dari dalam hutan beberapa orang berkuda. Rupanya mereka
sedang mencari sesuatu atau mencari jejak, sebab hampir semua dari mereka mengawasi jalan
yang akan dilewatinya.
Melihat rombongan itu, sekali lagi Mahesa Jenar tersirap. Diantara orang-orang berkuda itu,
Mahesa Jenar melihat, bahwa meskipun orang itu berpakaian laki-laki, tetapi jelas bahwa ia
adalah seorang perempuan. Maka tanggapan Mahesa Jenar segera mengarah kepada istri Sima
Rodra. Sedangkan apakah Sima Rodra sendiri ada diantara mereka, Mahesa Jenar masih
belum tahu.
Rombongan itu ternyata benar-benar sedang mencari jejak kaki. Malahan jejak kaki orang
yang meninggal itu. Karena itu, pada mayat orang gagah itulah rombongan berkuda itu
mengarah. Dengan demikian Mahesa Jenar harus semakin rapat bersembunyi.
Ternyata setelah mereka dekat serta semakin jelas, jumlah mereka seluruhnya ada tujuh
orang, satu diantaranya seorang perempuan yang sudah hampir setengah umur, tetapi menilik
tubuh serta wajahnya ia masih tampak lincah dan cantik.
Ketika salah seorang dari mereka melihat mayat itu, ia segera berteriak, Itulah dia... Ki Lurah.
Mendengar teriakan itu, seorang yang bertubuh tegap, gagah, bahkan lebih agak gagah dari
mayat itu, segera meloncat turun dari kudanya dan berjalan mendekati mayat itu, yang segera
disusul oleh satu-satunya perempuan dalam rombongan itu.
Melihat mereka berdua, segera Mahesa Jenar menebak bahwa mereka berdualah yang
terkenal dengan suami-istri Sima Rodra.
Setelah mereka sampai pada mayat itu, segera suami-istri itu berjongkok mengamat-amati.
Kemudian segera tangannya meraih tombak pendek itu.Hem.., sayang adi Gemak Paron.
Terpaksa aku membunuhnya. Kalau tidak, pastilah Kiai Kala Tadah ini jatuh ke tangan
sepasang Uling Rawa Pening, gumamnya.
Mungkin tujuannya lebih dari itu, sahut istrinya, Mungkin Adi Gemak Paron mendapat tugas
untuk mengambil kedua keris itu.
Mungkin juga, jawab si suami, sebab kalau tidak, tugas yang penting itu pastilah bukan Adi
Gemak Paron yang harus melaksanakan.
Tetapi kejadian ini pasti ada akibatnya, sela istrinya, Apakah kakak-beradik dari Rawa Pening
itu akan tinggal diam?
Pasti tidak, jawab si suami, Tetapi ia tidak pula akan bertindak gegabah. Sebab kalau
tindakannya terdengar oleh golongan lain, pasti akan menimbulkan keributan pula. Pastilah
Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya tidak pula akan tinggal diam.
Si istri tampak berpikir sejenak, lalu katanya, itu berarti akan mempercepat saat pertemuan
akhir tahun ini di Rawa Pening. Mungkin mereka akan bersama-sama datang ke Gunung
Tidar untuk memperebutkan pusaka-pusaka itu.
Mungkin, jawab suaminya. Itu berarti pekerjaan kita bertambah berat.
Lalu bagaimana dengan Adi Gemak Paron itu? potong istrinya. Sebab Adi Yuyu Rumpung
yang lolos dari kejaran kami pasti segera akan melaporkan kejadian ini.
Belum lagi mereka menentukan sikap, tiba-tiba terdengarlah derap kuda dari arah lain.
Tampaklah bahwa semua orang dalam gerombolan itu terkejut. Tidak terkecuali suami-istri
Sima Rodra.
Rupa-rupanya Adi Gemak Paron tidak hanya berdua, desis si istri.
Kau benar, jawab suaminya. Bersiaplah kalian, perintahnya kepada anak buahnya.
Maka segera mereka pun bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Suara derap kuda itu
semakin lama semakin jelas. Dan Mahesa Jenar pun tidak kalah cemasnya, sebab arah derap
kuda itu menuju kepadanya. Karena itu, ia pun melipat dirinya lebih kecil lagi di bawah
sebuah gerumbul yang berdaun rapat.
Sejenak kemudian kuda yang larinya seperti terbang meluncur hanya beberapa langkah di
samping Mahesa Jenar. Melihat penunggang-penunggangnya, Mahesa Jenar agak keheranheranan pula. Mungkinkah mereka dari gerombolan Uling Rawa Pening? Sebab tampaklah
wajah mereka berbeda dengan wajah-wajah gerombolan Sima Rodra. Sedangkan pakaian
mereka pun sama sekali tidak seperti pakaian orang yang mati itu.
Rombongan yang kedua ini terdiri dari orang yang jumlahnya lebih banyak. Semua kira-kira
ada 15 orang. Ketika rombongan yang kedua ini melihat rombongan Sima Rodra, mereka pun
tampak terkejut. Maka dengan segera mereka menarik tali kekang kuda mereka, sehingga
kuda-kuda mereka berdiri dan berhenti seketika.
Melihat rombongan yang baru saja datang itu, ternyata Sima Rodra beserta anak buahnya
bertambah terkejut lagi, sehingga ketika rombongan yang kedua itu telah berhenti. Sima
Rodra segera berkata, Aku menyampaikan hormat yang setinggi-tingginya kepada rombongan
Ki Ageng Lembu Sora.
Mendengar sapa Sima Rodra itu, giliran Mahesa Jenar yang terkejut bukan kepalang. Inilah
orangnya yang bernama Ki Ageng Lembu Sora, putra kedua dari Ki Ageng Sora Dipayana.
Ki Ageng Lembu Sora adalah seorang yang bertubuh sedang, berwajah keras. Matanya
memancarkan sinar ketamakan dan pemujaan kepada nafsu-nafsu jasmaniah.
Sambil masih duduk di atas kudanya ia menjawab, Salamku kepada kalian.
Terima kasih Ki Ageng, jawab Sima Rodra.
Kenapa kalian berada di tempat ini? tanya Ki Ageng Lembu Sora.
Kami sedang mengejar orang ini, Ki Ageng, jawab Sima Rodra sambil menunjuk kepada
mayat Gemak Paron.
Siapakah dia? tanya Lembu Sora kembali.
Ia berusaha untuk mencuri pusaka kami, Kiai Kala Tadah. Untunglah bahwa aku dapat
mengenainya dengan sumpit, sehingga ia tidak dapat melarikan diri lebih jauh lagi, jawab
Sima Rodra.
104
LEMBU SORA tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Dari
manakah dia?"
"Dari daerah Rawa Pening," jawab Sima Rodra.
"Gerombolan yang dipimpin oleh Uling Rawa Pening...?" Lembu Sora menegaskan.
"Ya," jawab Sima Rodra.
Sekali lagi Lembu Sora mengangguk-angguk.
Untunglah gerombolan Uling itu sampai sekarang masih diberi kesempatan berdiri. Kalau saja
Kakang Gajah Sora sudah mau bertindak maka umur gerombolan itu tidak akan lebih dari
satu senja, kata Lembu Sora kemudian.
Rupanya hal itu pun disadari oleh sepasang Uling itu, sehingga mereka tidak berani berbuat
apa-apa di dalam wilayah kekuasaan Ki Ageng Gajah Sora. Meskipun secara perseorangan
belumlah pasti bahwa kakak-beradik Uling itu dapat dikalahkan oleh Gajah Sora, sahut Sima
Rodra.
"Kau yakin akan hal itu?" potong Lembu Sora.
"Hal yang mungkin sekali," jawab Sima Rodra.
Lembu Sora tampak mengernyitkan alisnya. Ia tampak tidak begitu senang mendengar
keterangan Sima Rodra itu. Seperti kau yakin bahwa kau tidak dapat aku kalahkan, katanya
kemudian.
Sima Rodra menarik nafas panjang. Tampaklah betapa tajam pandangan matanya.
Perlahan-lahan ia menegakkan kepalanya, memandang ke arah puncak-puncak pohon raksasa
yang bertebaran di hutan. Jelas, betapa ia mencoba menguasai dirinya untuk tidak bertindak
tergesa-gesa.
Sebentar kemudian, baru Sima Rodra menjawab, "Ki Ageng, aku tidak ingin berkata
demikian. Selama kita masih saling menghormati persetujuan kita. Biarlah, apa saja yang
akan terjadi di daerah Banyu Biru dan Rawa Pening. Sedang diantara kita hendaknya tetap
berlaku persetujuan yang sudah sama-sama kita terima, supaya kita tidak usah menilai,
siapakah diantara kita yang lebih kuat. Sedangkan apa yang berlaku sekarang aku rasa sudah
saling menguntungkan."
Wajah Lembu Sora menjadi tegang pula. Rupanya ia pun sedang berusaha untuk menguasai
perasaannya."
Sejenak kemudian dengan mata yang berapi-api ia berkata, "Bagus, kalau kau masih tetap
dalam pendirianmu itu. Tetapi aku dengar kau mulai membuat perkara. Karena itu aku
sekarang memerlukan berkeliling pagar perdikanku untuk mengetahui kebenaran berita bahwa
kau mulai merambah ke daerah lalu lintas dengan Pamingit."
"Itu tidak benar, " potong Sima Rodra, "Aku tidak biasa berbuat kecurangan-kecurangan yang
naif semacam itu. Mungkin dalam kehidupanku telah ribuan kali aku berbuat curang, tetapi
untuk keperluan yang cukup bernilai dan seimbang dengan kecurangan yang terpaksa aku
lakukan."
Sima Rodra diam sejenak. Suasana segera meningkat semakin tegang. Tampaklah bahwa
masing-masing telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap kemungkinan.
"Yang benar... dua orangku pagi ini telah mati di Pangrantunan, " lanjut Sima Rodra.
Lembu Sora tampaknya agak terkejut mendengar berita itu, sehingga ia bertanya, "Kenapa? "
"Sebabnya masih belum begitu jelas, sebab aku masih belum sempat mengusutnya, karena
ada peristiwa pencurian pusaka ini. Tetapi dua-tiga hari yang akan datang, pastilah aku sendiri
akan datang ke Pangrantunan untuk melihat siapakah yang telah berbuat kejahatan itu, "
jawab Sima Rodra.
Sima Rodra..., yang termasuk dalam persetujuan kita hanyalah sumbangan hasil bumi dari
penduduk Pangrantunan, bukan orang-orangnya, sahut Sima Rodra.
"Tetapi aku tidak membiarkan pembunuhan itu menjadi kebiasaan. Karena itu, yang bersalah
harus mendapat hukuman, " jawab Sima Rodra.
"Aku beri wewenang kau melakukan hukuman hanya kepada yang bersalah. Tetapi awas,
jangan berbuat sekehendakmu saja atas orang-orangku. Sebab ganti yang kau berikan
kepadaku akhir-akhir ini ternyata mulai merosot nilainya, " kata Lembu Sora.
Mendengar kata-kata Lembu Sora yang terakhir, tiba-tiba Sima Rodra tertawa menggelegar.
Katanya kemudian, "Jangan takut Ki Ageng, lain kali pasti akan lebih memberi kepuasan
kepada Ki Ageng..."
.
"Aku berkata sebenarnya, karena itu segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku akan
melanjutkan perjalanan sekarang," potong Ki Lembu Sora.
Sehabis mengucapkan kata-kata itu, segera ia menarik tali kekang kudanya, serta
mencambuknya keras-keras, sehingga kudanya terloncat dan berlari kencang. Para
pengikutnya segera mengikutinya pula. Suami-istri Sima Rodra bersama anak buahnya
mengawasinya sampai hilang di balik semak-semak.
Setelah itu kembali terdengar Sima Rodra tertawa tergelak-gelak.
"Orang gila. Rupa-rupanya masih juga ada sisa-sisa minatnya untuk meninjau daerah
perdikannya yang sebentar lagi pasti akan dapat aku telan seluruhnya," kata Sima Rodra
kemudian.
105
JANGAN terlalu tergesa-gesa. Apa kau kira Ki Ageng Gajah Sora akan tinggal diam? potong
istrinya.
Dengan kedua pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten itu di tangan kita, pastilah bahwa kita
akan menguasai segenap aliran hitam di pulau Jawa, seperti apa yang pernah kita janjikan
bersama. Sesudah itu apakah arti kekuasaan Gajah Sora. Sedangkan Demak sendiri lambat
laun pasti akan dapat aku lenyapkan pula, kata Sima Rodra.
Istri Sima Rodra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, Mudah-mudahan semua
itu tidak hanya merupakan sebuah impian yang akan lenyap bersama terbitnya matahari.
Si suami tertawa perlahan-lahan. Seperti kepada dirinya sendiri ia berkata, Aku harus bekerja
lebih keras. Mungkin akan banyak hal yang harus aku hadapi dalam perjalanan ke istana
Demak.
Lalu apa yang akan kita perbuat sekarang? Tiba-tiba istrinya bertanya.
Sima Rodra itu menjadi seperti orang yang tersadar dari lamunannya. Kembali ia mengamatamati mayat Gemak Paron.
Sebentar kemudian ia berkata, Marilah Nyai, sebaiknya kita kembali. Mungkin sehari dua hari
kakak-beradik Uling dari Rawa Pening akan berkunjung ke rumah kita. Baru sesudah itu kita
pergi ke Pangrantunan untuk mencari pembunuh-pembunuh itu.
Tidakkah kita selesaikan sama sekali masalah Pangrantunan yang tinggal tidak seberapa jauh
lagi?
Sima Rodra tampak agak berpikir, tetapi segera ia menjawab, Masalah Pangrantunan sama
sekali bukan masalah yang perlu mendapat perhatian banyak. Tetapi sepasang Uling itu
benar-benar memerlukan persiapan yang cukup untuk menyambutnya.
Setelah itu maka segera ia pun berdiri meninggalkan mayat Gemak Paron, langsung menuju
ke kudanya. Dan sejenak kemudian rombongan itu pun pergi meninggalkan mayat itu tetap
terkapar, sambil membawa kembali pusaka yang disebutnya Kiai Kala Tadah.
Setelah derap kuda mereka tak terdengar lagi, Mahesa Jenar perlahan-lahan keluar dari
persembunyiannya. Tanpa sadar ia menggelengkan kepalanya sambil mengusap dadanya.
Meskipun ia tidak tahu bunyi perjanjian antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, tetapi
bahwa Ki Ageng Lembu Sora bersedia menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk sumber
perbekalan dari golongan hitam, adalah suatu tindakan yang tercela.
Apapun yang diterima Lembu Sora dari Sima Rodra sebagai gantinya, hal itu adalah suatu
penghinaan atas kekuasaan yang dipegangnya, dengan membiarkan adanya kekuasaan asing
turut serta mencampuri masalah di dalam rangkah. Apalagi ketika Mahesa Jenar teringat akan
rencana Sima Rodra, tidak saja menguasai Perdikan ini, tetapi ia sudah mulai merintis jalan ke
Demak.
Tetapi ketika ia teringat bahwa Ki Ageng Sora Dipayana dengan ujudnya yang baru telah
kembali ke Pangrantunan, hatinya menjadi agak tenteram. Pasti orang tua itu tidak akan
membiarkan pengkhianatan itu tetap berlangsung. Sebab kekuasaan yang selalu dibayangi
oleh kekuasaan lain tidaklah lebih dari kekuasaan boneka.
Sebentar kemudian segera Mahesa Jenar sadar akan tugasnya. Ia harus cepat-cepat pergi ke
Gunung Tidar. Kalau benar apa yang diperhitungkan oleh Sima Rodra, yaitu kemungkinan
akan datangnya Uling dari Rawa Pening, maka ia harus berusaha untuk mendahuluinya.
Sebab kalau tidak, dan sepasang Uling itu sampai berhasil merebut kedua keris pusaka itu,
maka tugasnya akan bertambah sulit.
Karena itu Mahesa Jenar pun segera melanjutkan perjalanannya. Sejenak kemudian ia telah
memasuki daerah hutan yang cukup lebat pula. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng
Sora Dipayana, bahwa di dalam hutan itu seolah-olah telah dibuat sebuah jalan, yang
walaupun sempit tetapi cukup baik untuk lalu lintas kuda maupun orang berjalan. Maka
tidaklah ada kesulitan apa-apa bagi Mahesa Jenar untuk langsung menuju ke Gunung Tidar.
Tetapi belum lama ia menyusur jalan rimba, tiba-tiba didengarnya telapak kuda yang lari
sangat kencang dari arah depan.
Mula-mula Mahesa Jenar mengira orang-orang Sima Rodra. Tetapi ketika diketahuinya
bahwa suara derap kuda itu tidak lebih dari seekor, maka maksudnya untuk menghindar itu
diurungkan. Ia tetap saja berdiri menepi dengan maksud untuk mendapatkan suatu pengertian
baru tentang Sima Rodra dari orang itu.
Sebentar kemudian tampaklah seekor kuda yang lari seperti terbang menuju ke arahnya.
Penunggangnya adalah orang yang pendek kokoh dan berjambang tebal.
Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar, ia pun tampak terkejut. Segera ia menarik kekang
kudanya sehingga kuda itu berhenti beberapa langkah di hadapan Mahesa Jenar. Mula-mula
wajah orang itu tampak tegang.
Tetapi ketika ia melihat ikat pinggang orang itu, yang lebarnya hampir selebar telapak tangan
serta dibuat dari kulit kerbau, menjadi terkejut. Segera ia ingat kepada Gemak Paron yang
mati kena sumpit punggungnya, juga memakai ikat pinggang yang serupa.
Maka kesimpulan bagi Mahesa Jenar, orang ini pasti juga salah seorang dari gerombolan
Uling Rawa Pening. Mungkin orang inilah yang tadi disebut-sebut dengan nama Yuyu
Rumpung, yang berhasil meloloskan diri dari kejaran Sima Rodra.
Kalau demikian, kiranya Yuyu Rumpung tadi telah berhasil menyelinap ke dalam hutan,
sementara gemak Paron berlari terus. Kemudian setelah diketahuinya bahwa Sima Rodra telah
kembali ke sarangnya, ia segera berusaha untuk melarikan diri.
Orang berkuda itu, setelah memandangi Mahesa Jenar sejenak segera bertanya, Siapakah kau
yang berani lewat di jalan yang khusus bagi gerombolan Sima Rodra?
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menjajagi kekuatan gerombolan Uling ini,
dengan mencoba kekuatan salah seorang anggotanya yang terkemuka. Dengan demikian ia
akan dapat mengetahui kira-kira sampai dimana kekuatan anggota-anggota yang lain. Sedang
pimpinan rombongannya sendiri pastilah tidak akan banyak terpaut dengan Lawa Ijo, Jaka
Soka dan mungkin juga Sima Rodra.
106
SETELAH berpikir sejenak, Mahesa Jenar segera menjawab, Namaku Yuyu Rumpung, dan
berasal dari Rawa Pening. Aku adalah salah seorang kepercayaan kakak-beradik Uling untuk
mencari keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi sayang bahwa aku dan Gemak Paron hanya
berhasil mengambil tombak pendek yang bernama Kala Tadah. Itu saja Gemak Paron terpaksa
menebus dengan nyawanya, sedang tombak itu kembali kepada pemiliknya.
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, segera wajah orang itu, yang sebenarnya adalah Yuyu
Rumpung, menjadi merah menyala. Ia menjadi marah sekali karena jawaban itu seolah-olah
merupakan suatu sindiran akan ketidakmampuannya melakukan tugas yang dibebankan
kepadanya bersama Gemak Paron. Karena itu dengan gigi yang gemeretak ia berteriak.
Orang gila, jangan kau mau main-main dengan Yuyu Rumpung. Meskipun aku tidak berhasil
mencuri kedua pusaka itu, tetapi aku pasti akan bisa mematahkan lehermu. Tetapi sebelum
itu, supaya aku tahu, siapakah yang telah aku bunuh, hendaknya kau mengatakan namamu
yang sebenarnya.
Mendengar teriakan Yuyu Rumpung, Mahesa Jenar hanya tertawa dingin.
Kau memang lekas marah. Untuk melaksanakan tugas yang sulit itu seharusnya Uling Rawa
Pening memilih orang yang tenang dan dapat menguasai perasaannya. Mungkin Gemak Paron
tidak selekas engkau ini menjadi marah, jawab Mahesa Jenar.
Rupanya Yuyu Rumpung sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Segera ia meloncat dari
kudanya dan dengan suatu gerakan yang dahsyat ia langsung menyerang Mahesa Jenar
dengan suatu pukulan ke arah pelipis.
Ternyata Yuyu Rumpung adalah orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Pukulannya mengandung tenaga yang hebat, serta cepat.
Mendapat serangan yang demikian cepatnya, Mahesa Jenar segera merendahkan diri dan
dengan sebagian tenaganya ia mempergunakan ujung sikunya untuk menyerang lambung
lawannya. Tetapi Yuyu Rumpung pun ternyata lincah sekali, sehingga ia tidak terlambat
meloncat mundur menghindar. Tetapi dalam hati ia pun tidak habis heran.
Siapakah orang yang berjalan di dalam hutan seorang diri, tetapi mempunyai keuletan yang
sedemikian tinggi. Apalagi ia sudah tahu nama, asal serta tugas yang sedang dilaksanakan.
Mahesa Jenar tidak sempat merenung-renung, sebab ketika sadar bahwa serangannya gagal,
segera ia memutar tubuhnya, dan dengan kaki kirinya ia menghantam perut Yuyu Rumpung.
Sekali lagi Yuyu Rumpung terpaksa meloncat ke samping, tetapi kali ini ia tidak mau terusmenerus diserang. Karena itu demikian kakinya melekat diatas tanah, segera ia maju
menyodok perut Mahesa Jenar.
Kali ini sengaja Mahesa Jenar tidak menghindarkan diri, tetapi dengan tangannya ia memukul
tangan Yuyu Rumpung ke samping. Yuyu Rumpung yang percaya pada kekuatannya, ketika
melihat Mahesa Jenar menangkis pukulannya sama sekali ia tidak berusaha menarik
tangannya, malahan seluruh tenaganya dikerahkan. Maka segera terjadilah suatu benturan
yang keras sekali. Dengan tak diduga sama sekali oleh Yuyu Rumpung, bahwa lawannya
memiliki tenaga yang dahsyat, sehingga ia jatuh terguling.
Sebaliknya Mahesa Jenar pun merasakan kekuatan Yuyu Rumpung sehingga tangannya terasa
agak sakit.
Sampai sekian Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa orang ini kira-kira tidak lebih dari
Carang Lampit, orang kedua sesudah Wadas Gunung dalam gerombolan Lawa Ijo. Maka
ketika dengan sedikit kesulitan Yuyu Rumpung berdiri, segera Mahesa Jenar meloncatinya,
dan dengan tangannya yang kokoh kuat, segera ia menangkap kedua lengan Yuyu Rumpung,
dan dengan lututnya ia menekan punggungnya. Yuyu Rumpung terkejut melihat kegarangan
lawannya. Tetapi tak ada lagi kesempatan baginya untuk melepaskan diri.
Selanjutnya terdengar Mahesa Jenar bertanya, Yuyu Rumpung, selain kau dan Gemak Paron,
siapakah yang termasuk orang-orang penting dalam gerombolanmu?
Pertanyaan ini telah memusingkan kepala Yuyu Rumpung. Ia pun segera mengetahui bahwa
orang ini pasti bukan dari golongan hitam, sebab dari golongan itu, pada umumnya sudah
mengenal siapa-siapa yang menjadi orang-orang terpenting dalam gerombolan masingmasing.
Ketika sampai beberapa lama ia tidak menjawab, terasa tekanan lutut di punggungnya
semakin keras semakin keras. Sehingga terpaksa ia berkata, Apakah kepentinganmu dengan
mengetahui orang-orang kami?
Itu adalah soalku, yang kuminta hanyalah kau sebutkan nama-nama itu, dan jangan bohong,
jawab Mahesa Jenar,
Sementara itu punggung Yuyu Rumpung semakin terasa sakit, sehingga akhirnya ia tak dapat
mengelak lagi. Gemak Paron adalah orang kedua dalam gerombolan kami, sedang aku adalah
orang ketiga, jawabnya.
Siapakah orang pertama? tanya Mahesa Jenar lagi.
Orang pertama adalah kakang Seri Gunting.
Kenapa bukan Seri Gunting itu yang pergi untuk mencuri pusaka-pusaka itu?
Kakang Seri Gunting sedang tidak ada di rumah.
Kemana dia?
Ke Nusa Kambangan.
Ke tempat Jaka Soka?
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, Yuyu Rumpung menjadi bertambah heran. Rupanya
orang ini sudah agak banyak mengenal tokoh-tokoh hitam. Karena itu ia harus lebih berhatihati, sebab mungkin malahan seluruhnya sudah diketahui, sehingga pertanyaan-pertanyaannya
hanya merupakan sebuah pancingan saja.
Maka jawabnya, Ya, kakang Seri Gunting pergi ke tempat Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Tahulah ia bahwa kekuatan gerombolan hitam itu benarbenar seimbang, sehingga pertemuan akhir tahun di Rawa Pening benar-benar akan menarik.
Ketika Mahesa Jenar tidak memerlukan hal-hal lain lagi, segera Yuyu Rumpung dilepaskan,
tetapi ia tidak membiarkannya pergi berkuda.
Yuyu Rumpung, kau boleh pergi, tetapi aku ingin meminjam kudamu. Sedang kau dapat
mencari kuda Gemak Paron untuk kau pakai. Aku temukan tadi mayatnya di luar hutan. Kalau
kau akan mencarinya, pergilah membelok ke selatan, di mulut lorong ini, kata Mahesa Jenar.
107
Mahesa Jenar sengaja membiarkan Yuyu Rumpung berjalan kaki dan menunjukkan arah yang
salah atas mayat Gemak Paron, supaya orang ini tidak segera sampai di Rawa Pening. Ia
mengharap untuk dapat mendahului kakak beradik Uling itu.
Yuyu Rumpung yang tidak tahu maksud Mahesa Jenar, menjadi keheranan. Tetapi
bagaimanapun juga ia merasakan keperkasaan orang itu. Maka ketika ia mendapat
kesempatan untuk pergi, segera iapun meloncat dan melangkah cepat sekali menjauhi Mahesa
Jenar, meskipun ia menggerutu tak habisnya karena kudanya dirampas.
Sedangkan Mahesa Jenar merasa mendapat keuntungan dengan pertemuannya dengan Yuyu
Rumpung. Ia sudah mendapat gambaran sedikit tentang kekuatan gerombolan Uling Rawa
Pening, sedangkan keuntungannya yang lain ia telah dapat menghambat dijalan orang itu,
sehingga, kemungkinan untuk dapat mendahului sampai ke Gunung Tidar semakin besar.
Sedangkan kuda yang dirampasnya, sama sekali tak diperlukannya, sebab dengan kuda itu, ia
tidak lagi bebas untuk dapat menyusup kegerumbulan apabila ia berjumpa dengan orang yang
perlu dihindari. Juga jarak yang ditempuhnya sudah tidak begitu jauh lagi. Kalau misalnya ia
dapat mencapai Gunung itu sebelum sore, ia masih juga harus menunggu sampai matahari
terbenam. Maka akhirnya dilepaskannya kuda Yuyu Rumpung itu, dan Mahesa Jenar
melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.
Sementara itu cahaya merah telah membayang di langit mewarnai mega yang betebaran.
Sedang didalam hutan, sinar matahari yang sudah sangat lemah itu tidak kuasa lagi untuk
melawan kegelapan yang perlahan tapi pasti akan turun menyeluruh sampai kesegenap
lekuknya.
Malam itu seperti biasa dalam perjalanannya di hutan, Mahesa Jenar memilih tempat tidurnya
diatas cabang pohon untuk menghindari serangan binatang buas. Meskipun hutan itu tidak
segarang hutan Mentaok, tetapi didalamnya hidup pula jenis harimau yang cukup berbahaya,
yaitu harimau loreng. Malam itu tak ada sesuatu hal yang terjadi. Kecuali tubuh Mahesa Jenar
menjadi gatal digigit nyamuk yang banyaknya bukan main.
Ketika langit disebelah Timur mulai meremang, Mahesa Jenar segera turun dari tempat
istirahatnya. Dan setelah sekali dua kali ia menggeliat, maka ia segera memulai kembali
perjalanannya ke Gunung Tidar sambil mencari sumber air untuk mencuci mukanya. Jalan
yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata jauh lebih dekat daripada apabila
ia menempuh jalan yang direncanakannya semula. Jalan ini langsung memotong arah
ketujuannya. karena itu maka ia tidak perlu untuk tergesa sebab ia masih harus menunggu
gelap untuk bertindak.
Pada saat ia melewati longkangan hutan itu, ia dapat jelas melihat Gunung Tidar berdiri tegak
seperti jamur raksasa, yang konon merupakan pusar Pulau Jawa, sudah tidak begitu jauh lagi
dihadapannya. Sehingga perjalanan Mahesa Jenar kali ini merupakan sebuah perjalanan yang
justru diperlambat. Meskipun demikian ia masih juga agak kesiangan sampai didataran yang
mengitari bukit itu, sehingga ia mempunyai waktu sekedar untuk beristirahat.
Maka ketika sampai saaatnya matahari turun serta burung mulai berkitaran mencari tempat
untuk tidurnya, berdirinya Mahesa Jenar dengan wajah yang tegang memandangi Gunug
Tidar dimana berdiam suami isteri Sima Rodra, yang telah berhasil menyimpan sepasang
keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Dalam keadaan yang demikian seolah-olah ia mulai menilai dirinya kembali. Sudahkah ia siap
untuk melakukan tugas yang penting itu. Ia seorang diri harus terjun langsung kedalam sarang
sepasang harimau yang cukup ganas. Berkali-kali ia meremaskan tangannya dimana disimpan
senjata kepercayaannya Sasra Birawa.
Sementara kemudian, ketika benar-benar matahari telah melenyapkan diri dibalik Gunung
Tidar itu, mulailah Mahesa Jenar melaksanakan tugas untuk membebaskan kedua pusaka itu
berdasarkan petunjuk dari Kiai Ageng Sora Dipayana.
Untuk naik ke bukit itu, ia tidak langsung mendaki dari arah Timur, tetapi ia melingkar ke
Selatan dan dari sanalah dengan hati-hati sekali ai selangkah demi selangkah mendekati
lereng bukit itu. Sebentar ia berhenti untuk mendengarkan kalau ada langkah seseorang
ataupun tarikan napas. Untunglah bahwa telinga dan matanya cukup terlatih.
Ketika sampai pada tanjakan pertama dari Bukit Tidar tampaklah bahwa Sima Rodra benarbenar memasang perbentengan untuk melindungi sarangnya. Batu besar yang tampaknya
berserak itu ternyata merupakan pasangan yang apabila sedikit saja tersentuh, pasti akan
tergelincir dan menggelundung ke bawah. Untunglah bahwa tiap gerak Mahesa Jenar selalu
dilandasi oleh ketelitian serta kehati-hatian. Setelah merayap bebrapa saat Mahesa Jenar
berhasil melintasi pagar yang pertama untuk kemudian menjumpai benteng. Batu padas yang
besar disusun meninggi sampai hampir dua kali tinggi orang. Dengan hati-hati
Mahesa Jenar mendekati benteng itu. Kemudian dengan tangannya ia meraba-raba, seolah
ingin mengetahui sampai dimana kira-kira kekuatan padas itu. Mungkin dengan kekuatan
tangannya ia bisa, meskipun tidak sekaligus tetapi setidaknya sedikit demi sedikit
menghancurkan padas yang tidak sekeras batu.
KALAU Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar kemungkinannya bahwa
kedatangannya akan segera diketahui oleh pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di
dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk dapat melampauinya. Sekali lagi Mahesa
Jenar meraba-raba serta menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan memanjat
saja, dan kemudian meloncat masuk.
108
KALAU Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar kemungkinannya bahwa
kedatangannya akan segera diketahui oleh pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di
dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk dapat melampauinya. Sekali lagi Mahesa
Jenar meraba-raba serta menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan memanjat
saja, dan kemudian meloncat masuk.
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati memanjat dinding batu padas itu. Sampai di
atasnya ia tidak langsung meloncat, tetapi dengan perlahan-lahan sekali ia melekatkan dirinya
merapat dinding dan untuk beberapa lama ia menelungkup di situ sambil mengamat-amati
keadaan di dalam daerah sarang Sima Rodra itu.
Malam itu rasanya sepi sekali. Lebih sepi daripada malam-malam yang pernah dilewatinya.
Sekali duakali terdengar anjing liar menyalak di kejauhan, disaut dengan pekikan burung
hantu yang sedang mencari mangsa.
Mahesa Jenar masih saja berbaring menelungkup diatas dinding batu. Matanya berputar
menjelajahi seluruh lingkaran yang membentang di hadapannya. Adapun daerah di dalam
benteng Sima Rodra itu pun merupakan suatu lapangan yang bersemak-semak dan rumputrumput liar bertebaran tumbuh di sana sini. Sebenarnya tempat itu merupakan tempat yang
baik sekali untuk dapat menyusup mendekati goa Sima Rodra di lambung sebelah utara bukit
itu. Sebab dengan adanya semak-semak dan rumput-rumput liar itu, justru memberi
kemungkinan yang lain, bahwa di dalam semak-semak itulah orang-orang Sima Rodra
berjaga-jaga untuk mengawasi keamanan sarangnya.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar masih saja melekatkan dirinya pada dinding padas itu.
Tiba-tiba terasalah angin yang bertiup perlahan-lahan menghembuskan bau yang wangi. Bau
yang dibawa angin dari utara ini mempunyai pengaruh yang aneh sekali. Terasa betapa tubuh
Mahesa Jenar menjadi nyaman, serta matanya menjadi berat sekali.
Angin yang aneh ini datang mengalir terus-menerus seperti mengalirnya air sungai. Sehingga
pengaruhnya semakin lama semakin mencengkeram diri Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang terlatih lahir-batin. Untunglah bahwa ia
segera menyadari keadaannya, bahwa pasti ia telah kena pengaruh bau wangi itu, yang
sengaja disebarkan orang untuk melemahkan syaraf, sehingga orang menjadi kantuk.
Inilah kekuatan sirep yang seperti pernah dialami beberapa tahun lalu, yang disebarkan oleh
Lawa Ijo. Tetapi menilik kekuatannya, rasanya sirep kali ini agak lebih kuat dari yang dahulu,
serta sifatnyapun berlainan pula.
Karena itu Mahesa Jenar segera memusatkan kekuatan batin, dan seperti orang yang sedang
mengheningkan cipta, Mahesa Jenar diam tanpa bergerak di tempatnya berusaha melawan
pengaruh sirep itu.
Meskipun agak lambat, tapi sedikit demi sedikit ia berhasil menguasai dirinya kembali,
sehingga akhirnya ia merasa bahwa ia telah lepas dari daya sirep itu.
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Apakah sirep ini datang dari
Sima Rodra? Tetapi kalau benar demikian, maka anak buahnya sendiri yang tidak mempunyai
daya tahan yang cukup akan tertidur pula. Dengan demikian maka kekuatan mereka akan jauh
berkurang. Jadi adalah suatu kemungkinan bahwa sirep ini datangnya dari luar. Dari orang
lain. Tetapi siapa? Kakak-beradik Uling tak mungkin akan secepat ini mencapai Bukit Tidar,
kecuali kalau ia berada pada jarak yang dekat sejak Gemak Paron menyusup masuk ke goa
Sima Rodra ini.
Akh..., tak akan selesai pekerjaan ini dengan menimbang-nimbang saja. Lebih baik aku masuk
dan melihat keadaan, gerutu Mahesa Jenar.
Segera setelah itu, dengan tidak meninggalkan ke hati-hatian, Mahesa Jenar meloncat masuk
ke dalam lingkungan sarang sepasang harimau yang cukup ganas itu. Dengan mengendapendap ia berjalan, lewat lambung sebelah timur ia memutar ke arah utara.
Tetapi mendadak ia dikejutkan oleh teriakan yang mirip dengan aum seekor harimau, disusul
oleh jerit yang mengerikan. Pastilah suara ini berasal dari suami-istri Sima Rodra yang sedang
marah. Cepat Mahesa Jenar meloncat semakin dekat ke arah suara itu. Beberapa kali ia
melihat beberapa penjaga tidak dapat meloloskan diri dari pengaruh sirep yang tajam itu.
Ketika ia sudah semakin dekat, ia bertambah terkejut lagi ketika ia mendengar derap orang
berkelahi. Darah Mahesa Jenar segera bergejolak hebat. Siapakah yang telah mendahuluinya
masuk sarang Sima Rodra...?
Perlahan-lahan ia maju setapak demi setapak, sehingga akhirnya ia mendapat perlindungan
sebuah padas yang cukup besar di sebelah timur goa Sima Rodra.
Kembali darah Mahesa Jenar tersirap ketika ia menyaksikan suami-istri Sima Rodra itu
sedang bertempur dengan seorang yang bertubuh tinggi, berwajah bulat, serta berdada lebar.
Tetapi karena gelap, ia tidak dapat segera mengenal wajahnya. Pertempuran itu ternyata
berlangsung dengan hebatnya.
sebesar bumbung petung, tetapi seperti seekor harimau, dengan lincahnya ia meloncat,
menyerang dan menghantam. Sedang istrinya bertempur dengan tangan yang dikembangkan.
Segera Mahesa Jenar mengenal bahwa cara yang demikian selalu dipergunakan oleh seorang
yang sangat percaya akan kekuatan jari-jarinya, atau yang lebih mengerikan, ia bersenjatakan
kuku-kukunya yang beracun.
Melihat cara suami-istri Sima Rodra bertempur, segera ia mengingat akan ceritera Demang
Pananggalan. Maka Mahesa Jenar hampir dapat memastikan bahwa yang pernah datang ke
Prambanan serta pernah menculik gadis dan dibawa ke Gunung Baka adalah gerombolan
Sima Rodra ini. Maka ketika ia telah menyaksikan sendiri kegarangannya, ia pun menjadi
yakin bahwa Demang Pananggalan memang bukan lawan dari orang ini.
109
DALAM menghadapi segala hal, tampaknya suami-istri Sima Rodra selalu bertempur
bersama, sehingga untuk melawan orang yang baru setingkat Pananggalan pun mereka
bertempur bersama.
Kalau demikian halnya, maka bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi dalam pertemuan
golongan hitam di Rawa Pening? Bolehkah mereka bertempur berpasang-pasang, ataukah
hanya seorang-seorang?
Menilik gerak serta keperkasaannya, maka pastilah Sima Rodra sendiri memiliki kehebatan
yang sama dengan Lawa Ijo, sedang istrinya ternyata sedikit di bawahnya.
Tetapi karena perempuan itu bersenjatakan kuku-kukunya sendiri maka ia pun nampak sangat
berbahaya. Apalagi ketika sekali tampak di ujung kuku itu berkilat suatu cahaya, maka sudah
pasti bahwa di ujung kuku-kuku itu ditaruh logam yang mungkin sekali beracun.
Tetapi lawan Sima Rodra itu pun ternyata orang luar biasa. Mahesa Jenar sendiri pernah
bertempur berpuluh kali menghadapi orang-orang perkasa. Yang terakhir adalah Jaka Soka
serta Lawa Ijo. Tetapi untuk menghadapi dua orang sekaligus baginya adalah pekerjaan yang
berat sekali. Kalau ia terpaksa bertempur melawan keduanya, maka pastilah pagi-pagi ia
sudah mempergunakan ilmunya Sasra Birawa.
Sedang orang itu, yang bertempur dengan Sima Rodra, nampaknya tanpa mempergunakan
lambaran ilmu apapun, kecuali ketangkasan serta kekuatan jasmaniah yang cukup terlatih.
Maka, Mahesa Jenar tak berhenti menebak. Siapakah gerangan dia. Kalau yang datang kakakberadik Uling, hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan bertempur berpasangan pula.
Ataukah dia yang bernama Sri Gunting? Kalau orang ini Sri Gunting, maka Uling Rawa
Pening itu seharusnya mempunyai kesaktian yang luar biasa. Sambil berpikir berputar balik, Mahesa Jenar menyaksikan pertempuran yang berjalan seru
itu. Berkali-kali suami-istri Sima Rodra itu mengaum dan memekik hebat dibarengi dengan
serangan-serangan sangat berbahaya. Tetapi orang yang melawannya itu meskipun agak
kerepotan selalu juga berhasil menghindar, bahkan beberapa kali ia dapat mengadakan
pembalasan-pembalasan.
Gerak suami-istri Sima Rodra itu tampaknya memang serasi sekali dalam keganasannya.
Mereka selalu berhasil saling mengisi dengan gerak-gerak membingungkan. Kadang-kadang
mereka tidak menyerang, tetapi hanya berlari berputar mengelilingi lawannya, dan kadangkadang mereka bersama-sama menerkam dari arah yang berlawanan.
Sebaliknya, lawannya pun memiliki ketangkasan yang luar biasa pula. Sekali-kali ia melesat
jauh, tetapi sesaat kemudian ia sudah berdiri di satu sisi dari kedua-duanya dan menyerang
dengan pukulan yang dahsyat. Beberapa kali ia melingkar, meloncat dan berputar selagi
masih di udara. Tangannya bergerak menyambar-nyambar, seolah-olah berubah menjadi
seorang raksasa jelmaan Harjuna Sasra Bahu yang mempunyai seribu tangan memegang
seribu macam senjata, dalam ceritera pewayangan.
Demikianlah maka pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi karena Sima
Rodra seolah-olah dapat mensenyawakan diri, serta kekuatannya, maka semakin lama
tampaklah bahwa lawannya menjadi semakin terdesak.
Melihat keadaan itu, otak Mahesa Jenar bekerja keras. Bagaimanakah kalau ia mengambil
keuntungan dari pertempuran itu? Ia masih belum tahu sama sekali, siapakah gerangan yang
bertempur itu.
Tetapi menurut perhitungan Mahesa Jenar, ia lebih baik melawan yang seorang itu apabila
terpaksa, daripada melawan Sima Rodra suami-istri. Karena itu ia memutuskan untuk
menerjunkan diri dalam kancah pertarungan itu untuk membantu lawan Sima Rodra. Dan
sesudah itu ia akan mengadakan perhitungan dengan lawannya. Mudah-mudahan lawan Sima
Rodra itu tidak bersamaan maksud dengan kedatangannya, sehingga ia tidak perlu berhadaphadapan sebagai lawan.
Setelah Mahesa Jenar mendapatkan ketetapan hati, maka segera ia mempersiapkan diri.
Dibetulkannya ikat pinggangnya, kancing-kancing bajunya, dan ikat kepalanya, supaya nanti
tidak mengganggunya.
Demikianlah dengan menggeram keras untuk menandai kehadiran, Mahesa Jenar langsung
menyerang istri Sima Rodra, dengan suatu kepercayaan bahwa ia telah dibebaskan dari akibat
racun karena jasa kawan sepermainannya, Anis dari Sela. Racun Lawa Ijo yang
didapatkannya dari Pasingsingan pun tak berhasil membunuhnya, apalagi jenis racun yang
lain, yang tidak berasal dari orang seperti Pasingsingan.
Kedatangan Mahesa Jenar sangat mengejutkan mereka yang sedang bertempur, sehingga
suami-istri Sima Rodra berloncatan mundur. Lawannya pun sejenak berdiri termangu,
sehingga untuk sesaat suasana jadi hening, sepi seperti daerah kematian yang mengerikan.
Tetapi hal yang sedemikian itu tidak berlangsung lama, sebab terdengar suara parau Sima
Rodra membentak Mahesa Jenar. Hei, siapakah kau yang ikut serta mengantarkan nyawa?
Mahesa Jenar tidak menyahut pertanyaan itu, tetapi ia berkata kepada lawan Mahesa Jenar,
Aku belum mengenal Tuan, tetapi aku berdiri di pihak Tuan.
Sebelum orang itu menjawab, terdengar teriak istri Sima Rodra, Kita bunuh kalian berdua.
Istri Sima Rodra tidak menantikan lagi jawaban, tetapi dengan loncatan yang garang ia
menyerang dengan kuku-kukunya yang diarahkan kepada Mahesa Jenar.
Segera pertempuran itu dimulai kembali. Tetapi sekarang Sima Rodra tidak dapat lagi
mengurung lawannya, sebab sekarang mereka harus berhadapan satu lawan satu. Meskipun
demikian, tidak segera dapat dilihat siapakah yang akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Suami-istri Sima Rodra yang menjadi semakin marah itu bertempur semakin garang pula.
Mereka segera mengerahkan tenaga serta kesaktian mereka untuk segera dapat membinasakan
lawan-lawannya yang berani memasuki daerahnya, apalagi berani menantangnya.
Dalam keadaan demikian, lawan Sima Rodra itu sempat juga menyaksikan Mahesa Jenar
bertempur. Menyaksikan kelincahannya, keperkasaannya, serta kepercayaannya kepada diri
seperti lazimnya seorang perwira, ia pun menjadi berpikir tentang Mahesa Jenar. Sebab orang
yang memiliki kehebatan yang sampai ke tingkat itu, pastilah bukan orang sembarangan.
110
PERTEMPURAN itu berlangsung terus. Tetapi dalam beberapa saat kemudian tampaklah
bahwa Mahesa Jenar berhasil menguasai lawannya, sebaliknya orang yang telah bertempur
itupun, setelah lawannya berkurang seorang, dapat pula sedikit demi sedikit mendesak
musuhnya. Dengan demikian pertempuran itu ternyata sudah tidak seimbang lagi.
Dalam kemarahannya, suami-istri Sima Rodra itu bertempur semakin buas, liar dan kasar.
Sedang lawannya, tampaknya tetap tenang dan yakin.
Sesaat kemudian terdengar suara yang aneh keluar dari mulut Sima Rodra. Suara jeritan yang
mirip dengan aba-aba. Apalagi setelah itu, tampak pula gerak-gerak mereka yang
mencurigakan.
Meskipun mereka bertempur terus, tampak bahwa mereka sedang berusaha untuk mendekati
lobang goa. Mahesa Jenar maupun lawan yang seorang lagi, dapat segera menangkap maksud
itu, karena itu mereka menjadi lebih waspada.
Dan apa yang dicurigakan itu memang ternyata benar. Untunglah bahwa kawan bertempur
Mahesa Jenar memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Sehingga ketika pada suatu saat,
dengan sekali gerakan suami-istri Sima Rodra itu meloncat akan memasuki goanya, secepat
itu pula kawan bertempur Mahesa Jenar itu telah meloncat menghalang-halangi.
Kembali Sima Rodra mengaum hebat karena marahnya. Bersamaan dengan itu geraknya
menjadi semakin liar. Tetapi keadaan itu tetap tidak menolong dirinya, sehingga mereka tetap
terdesak terus. Dalam keadaan yang demikian sekali lagi terdengar suara aneh dari harimau
liar itu. Tetapi kali ini ternyata mereka lebih berhati-hati.
Demikian teriakan itu berhenti demikian mereka meloncat cepat seperti didera halilintar ke
balik sebuah batu besar di samping goanya. Segera Mahesa Jenar dan kawan bertempurnya itu
memburu. Tetapi terlambat.
Sesaat kemudian terdengar deru yang hebat dibalik batu itu, dan berguguranlah tanah di
sekitarnya menyeret batu besar itu seolah-olah terhisap kedalam sebuah lobang besar di
bawah tanah. Agar tidak turut terseret ke dalamnya, maka Mahesa Jenar bersama dengan
lawan Sima Rodra itu serentak meloncat mundur. Selanjutnya untuk beberapa lama mereka
hanya merenungi onggokan tanah bekas guguran itu.
Sebuah pintu rahasia, desis orang itu.
Memang sejak semula Mahesa Jenar juga menduganya demikian, apabila yang
berkepentingan sudah ada di dalamnya, dengan sedikit sentuhan pada alat yang diperlukan,
gugurlah tanah di atas pintu itu, dan menutup lubangnya sehingga mereka tidak akan dapat
dikejar, untuk selanjutnya keluar dari pintu rahasia yang lain.
Sebentar kemudian kembali orang itu berkata, Terimakasih atas pertolongan Tuan.
Aku hanya membantu mempercepat penyelesaian saja, sebab tanpa aku pun tampaknya Ki
Sanak pasti dapat menyelesaikan seorang diri, jawab Mahesa jenar.
Orang itu tertawa lirih. Tuan terlalu menyanjung aku. Tetapi sebenarnya bahwa kedatangan
tuan menyelamatkan nyawaku. Hanya sayanglah bahwa aku terpaksa tidak dapat terlalu lama
menemui Tuan, sebab ada satu pekerjaan yang harus aku selesaikan, katanya kemudian.
Jantung Mahesa Jenar berdesir lembut. Apakah gerangan yang akan dilakukannya? Karena itu
ia mencoba bertanya, Apakah yang memaksa Ki Sanak begitu tergesa-gesa?
Suatu pekerjaan yang tak berarti. Aku hanya ingin memeriksa keadaan di dalam goa,
jawabnya.
Mahesa Jenar mulai melihat adanya sesuatu rahasia pada orang itu. Karenanya ia tidak
bertanya tentang siapakah dia dan dari manakah datangnya, sebab pertanyaan yang demikian
tentu tidak akan mendapat jawaban. Maka kemudian ia hanya berkata, Bolehkah aku turut
serta masuk kedalam goa?
Orang itu tampak ragu-ragu sejenak, baru ia menjawab dengan mengajukan sebuah
pertanyaan, Tuan, apakah sebenarnya yang akan Tuan lakukan di atas bukit kecil ini?
Mendengar pertanyaan orang itu, Mahesa Jenar menjadi agak bingung. Tetapi pasti bahwa ia
tidak akan menyebutkan keperluan yang sebenarnya. Maka dijawabnya dengan sekenanya
saja, Aku datang untuk menuntut balas atas kematian kakakku di Pangrantunan.
Pangrantunan? sahut orang itu.
Ya, jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya kemudian, Tuan... orang Pangrantunan?
Ya, jawab Mahesa Jenar pendek.
Sayanglah bahwa Mahesa Jenar tak dapat melihat sorot mata orang itu di dalam gelap. Kalau
saja ia mengetahui, dapatlah ia mengerti bahwa orang itu curiga kepadanya.
111
SEJENAK kemudian orang itu berkata, Apakah yang Tuan lakukan seterusnya? Tuan pasti
tidak akan dapat menemukan Suami-Istri itu untuk beberapa lama.
Tak apalah. Tetapi aku hanya ingin melihat-lihat saja, jawab Mahesa Jenar.
Mudah-mudahan apa yang Tuan katakan benar. Silahkan Tuan melihat. Seterusnya aku
berjanji untuk membalas budi Tuan membinasakan suami-istri Sima Rodra pada kesempatan
lain. Semoga Tuan benar-benar tidak mempunyai kepentingan lain kecuali itu, gumam orang
itu. Kemudian orang itu pergi bersama Mahesa Jenar, memasuki goa Sima Rodra dengan hatihati. Mungkin terdapat berbagai rahasia di dalamnya. Goa itu sebenarnya tidaklah begitu
dalam. Tetapi di dalamnya terdapat beberapa ruang yang dindingnya dilapisi papan, tak
ubahnya seperti ruang-ruang rumah biasa. Ruang itu diterangi dengan oncor-oncor.
Dua ruang sudah mereka masuki, tetapi mereka tak menemukan sesuatu. Maka sampailah
mereka pada ruang yang ketiga, yang tidak seperti ruang-ruang lain. Ruang ini
mempergunakan pintu yang ditutup rapat. Ternyata pintu ini tidak hanya ditutup rapat, tetapi
juga dikancing dengan kancing yang tak dapat diketahui oleh orang lain.
Ketika sudah beberapa lama mereka tak berhasil membukanya, mereka menjadi tidak sabar
lagi. Mereka berdua sepakat untuk membuka pintu itu dengan paksa. Dengan demikian,
mereka mempergunakan kaki mereka untuk bersama-sama menjebol pintu kayu yang
terkancing itu.
Dengan satu tendangan yang hampir bersamaan mereka dapat memecahkan pintu itu, yang
dengan suara gemeretak pecah berserakan. Tetapi meskipun pintu itu sudah menganga lebar,
mereka tidak tergesa-gesa masuk. Sebab bukanlah mustahil bahwa ada apa-apa di dalamnya.
Setelah beberapa saat tak ditemukan apapun, maka dengan langkah yang sangat hati-hati
mereka melangkah masuk. Tetapi demikian mereka melangkahkan kakinya melewati tlundak
pintu, demikian serentak bulu roma mereka berdiri.
Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di atas sebuah meja yang dialasi dengan
kain beludru buatan Tiongkok yang berwarna kuning keemasan. Dan yang mengejutkan
mereka adalah cahaya yang biru kekuning-kuningan, yang memancar dari dua keris yang
diletakkan di atas kain beludru itu. Karena itu, untuk sesaat mereka tegak berdiri seperti
patung.
Mahesa Jenar, sebagai seorang perwira istana, sudah pasti bahwa apa yang dilihatnya itu
sangat mengharukan hatinya. Ia yakin sekarang bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten itu adalah
keris-keris yang asli.
Mahesa jenar memang pernah melihat keris itu beberapa kali, dahulu sebelum lenyap dari
Istana Demak. Memang tidak semua prajurit bahkan perwira yang beruntung dapat
menyaksikan keris itu. Karena Mahesa Jenar saat itu menjadi pengawal raja dan istana, maka
ia diberi kesempatan untuk menyaksikan pada saat keris itu dimandikan pada hari pertama
setiap tahun. Karena itu ia hampir tidak dapat lagi mengendalikan diri. Hampir saja ia
meloncat mendekati keris-keris itu kalau saja orang yang berdiri di sampingnya itu tidak
menggamitnya.
Apakah Tuan berkepentingan dengan keris-keris itu? kata orang itu.
Mahesa Jenar kini tak dapat mengelak lagi. Kedua keris yang dicarinya sudah ada di
hadapannya. Maka apapun yang terjadi haruslah dihadapinya.
Benar Ki Sanak, aku datang untuk kedua keris ini. Aku harap Tuan mempunyai kepentingan
yang tidak sama dengan kepentinganku, jawab Mahesa Jenar tegas.
Hem....! orang itu menggeram. Aku sudah menduga. Tetapi sayang bahwa kepentingan kita
sama.
Mendengar kata-kata orang itu seharusnya Mahesa Jenar tidak lagi terkejut, namun demikian
darahnya bergelora hebat. Ki Sanak, maafkanlah, aku tidak dapat melepaskannya lagi, kata
Mahesa Jenar sambil menahan diri.
Orang itu merenung sejenak. Dalam keremangan cahaya oncor-oncor, Mahesa Jenar melihat
betapa gelisah perasaannya, sehingga akhirnya keluarlah kata dari mulutnya, Tuan, aku telah
berhutang budi kepada Tuan. Tetapi aku akan tetap pada pendirianku untuk mendapatkan
benda-benda keramat dari Istana Demak itu.
Mahesa Jenar tidak tahu siapakah orang itu sebagaimana orang itu tidak mengenal Mahesa
Jenar. Karena itu mereka saling berketetapan hati untuk dapat menguasai kedua pusaka itu.
Bagaimanapun Mahesa Jenar menyabarkan diri, namun akhirnya terloncat pula kata-katanya
yang tajam, Ki Sanak, seharusnya tadi aku membiarkan Tuan bertempur seorang diri dan
sekaligus dibinasakan oleh suami-istri Sima Rodra itu.
Kalau demikian... Tuan akan berbuat kesalahan. Bukankah lebih mudah untuk melawan aku
seorang menurut pertimbangan Tuan daripada melawan mereka berdua? jawab orang itu,
yang meskipun nampaknya masih setenang semula, tetapi isi kata-katanya tidak kalah
runcingnya.
Sekali lagi darah Mahesa Jenar menggelegak. Ternyata orang itu dapat dengan cepat menebak
perhitungannya.
Ki Sanak benar, memang demikianlah apa yang akan aku lakukan, jawab Mahesa Jenar tanpa
tedeng aling-aling.
Baik Tuan. Tetapi sebaiknya Tuan mempertimbangkan sekali lagi, sahut orang itu.
Tidak ada pertimbangan lain, jawab Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar sudah pasti sekarang, bahwa ia harus bertempur melawan orang itu.
Sebenarnya ia masih bimbang terhadap bakal lawannya. Menilik sikap serta kata-katanya,
agak aneh kalau ia termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan pusaka-pusaka
itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar teringat pula keramahan Jaka Soka pada waktu ia akan
menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas hutan Tambakbaya, juga suami-istri
Sima Rodra itu sendiri, yang dengan ramah minta menginap di Kademangan Prambanan.
Karena itu ia tidak akan menilai orang itu dari sikap serta kata-katanya.
Sementara itu orang itu menjawab, Kalau demikian, marilah kita tentukan bersama, siapakah
yang berhak untuk menguasai kedua keris itu.
Mahesa Jenar sudah yakin bahwa memang demikianlah yang akan terjadi. Tetapi meskipun
demikian ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulut orang itu, mau tak mau ia terpaksa
menaruh hormat kepadanya. Kata-kata Tuan adalah kata-kata jantan. Mudah-mudahan aku
dapat mengimbangi kejantanan Tuan, jawab Mahesa Jenar kemudian.
112
YANG mengherankan, tetapi juga agak menjengkelkan Mahesa Jenar, orang itu masih saja
tertawa lirih. Marilah kita keluar, supaya kita tidak harus berdesak desakan dengan dindingdinding ruang ini, katanya.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia langsung melangkah keluar diikuti oleh orang itu. Sambil
berjalan Mahesa Jenar menimbang-nimbang tentang lawannya. Pastilah orang ini berilmu
tinggi dan pasti orang itu pula yang telah menyebarkan sirep sedemikian tajamnya.
Maka ketika mereka sudah sampai di luar goa, segera mereka saling berhadapan dengan
taruhan yang besar. Juga masing-masing menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan
lawan yang cukup tangguh. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali bekerja mati-matian
untuk memperebutkan kedua pusaka itu. Apalagi Mahesa Jenar yang langsung atau tidak
langsung ikut serta bertanggung jawab akan keselamatan pusaka itu. Maka taruhannya untuk
mendapatkan kedua keris itu adalah nyawanya.
Sejenak kemudian setelah mereka bersiap, terdengarlah orang itu berkata, Marilah Tuan,
permainan kita mulai.
Silahkan, jawab Mahesa Jenar pendek.
Dan segera terjadilah suatu pertarungan yang dahsyat. Meskipun mula-mula mereka
tampaknya agak segan-segan, tetapi ketika mereka merasakan benturan-benturan serta
tekanan-tekanan dari masing-masing pihak, akhirnya mereka tidak lagi mengendalikan diri.
Lawan Mahesa Jenar itu ternyata memang orang perkasa luar biasa.
Gerakan-gerakannya serba cepat dan mempunyai tenaga yang hebat, sehingga menimbulkan
desiran-desiran angin yang menyambar-nyambar mengiringi setiap gerak dari tubuhnya.
Sedang Mahesa Jenar adalah seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup baik,
sehingga setiap gerakan tangan serta kakinya selalu mempunyai arti serta membahayakan.
Tubuhnya yang tidak sebesar lawannya itu, bergerak-gerak seperti bayangan yang dengan
lincahanya menari-nari mengitari lawannya dengan belaian maut.
Lawannya yang bertubuh tegap itu lebih mempercayakan diri pada kekuatannya, sehingga
beberapa kali ia dengan beraninya menyerang dengan mempergunakan kedua tangannya,
bahkan dengan serangan-serangan berganda, sehingga suatu ketika Mahesa Jenar tidak sempat
lagi mengelakkan diri.
Pukulan orang itu, ditambah sekaligus dengan berat tubuhnya yang besar, mengenai pelipis
Mahesa Jenar demikian kerasnya, sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah ke
belakang. Tetapi rupanya ia tidak saja berhenti sampai sekian. Sebelum Mahesa Jenar dapat
memperbaiki keadaannya, kembali ia berhasil mengenai lambung Mahesa Jenar dengan
kakinya. Kembali Mahesa Jenar terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Untunglah bahwa
ia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga meskipun dengan agak kesulitan, dalam sekejap ia
telah berhasil tegak diatas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja.
Karena beberapa pukulan yang dapat mengenainya itu, Mahesa Jenar menjadi marah bukan
buatan. Wajahnya tampak menyala, serta matanya menyorotkan sinar-sinar yang
memancarkan pergolakan darahnya. Sekali ia melompat ke depan, dan dengan sebuah gerak
tipuan yang bagus ia berhasil menarik perhatian lawannya pada tangan-tangannya yang
menyerang ke arah kepala. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak tampak, ia
mengangkat kaki kanannya dan langsung menghantam dada lawannya.
Demikian keras serangan itu, sehinggam lawannya terpental beberapa langkah. Tetapi
demikian ia tegak, demikian ia telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan sesaat kemudian ia telah melangkah maju, dan dengan kuatnya ia menghantam ke
arah dada Mahesa Jenar. Dengan satu langkah, Mahesa Jenar bergerak ke samping, dan
demikian pukulan itu tidak mengenai sasarannya demikian Mahesa Jenar membalas dengan
sebuah pukulan pada wajah orang itu.
Kali ini Mahesa Jenar sekali lagi tak berhasil mengenainya, sehingga orang itu terdorong
mundur. Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi, sekali lagi ia menyodok perut
lawannya, sehingga orang itu menggeliat kesakitan dan meloncat beberapa langkah ke
samping. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Ia pun sekali
lagi meloncat dan dengan bergelombang ia menyerang bertubi-tubi sehingga orang itu
terdesak mundur dan mundur.
Tetapi rupanya keadaannya tidaklah tetap demikian. Tiba-tiba orang itu menggeliat ke
samping, dan dengan suatu putaran yang cepat ia berhasil membingungkan Mahesa Jenar,
yang ingin memotong putaran itu. Cepat ia mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat
ke samping lawannya, dan dengan suatu gerakan yang tangkas ia merendahkan diri. Setengah
lingkaran ia memutar tubuhnya untuk langsung menyerang Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut melihat gerakan-gerakan yang berubah-ubah itu, sehingga ketika
sebuah pukulan melayang ke wajahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri.
Demikian kerasnya pukulan itu sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah.
Pukulan itu terasa sakitnya bukan main.
Sebagai seorang perwira, tubuh Mahesa Jenar cukup mempunyai daya tahan yang kuat. Tetapi
dikenai oleh pukulan ini wajahnya menjadi panas dan sejenak pandangan matanya agak
kabur. Ketika ia mengusap wajah itu dengan tangannya, terasa sesuatu yang cair dan hangat
meleleh dari hidungnya.
Darah.
Mengalami kenyataan itu, marahnya semakin memuncak. Ia benar-benar harus berkelahi
dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Maka ketika orang itu menyerangnya kembali,
Mahesa Jenar segera merendahkan diri. Dengan pangkal telapak tangannya ia berhasil
menghantam dagu lawannya. Terdengarlah suara gemeratak gigi beradu. Demikian kerasnya
serta dibarengi kemarahan, maka pukulan Mahesa Jenar seperti berlipat-lipat dahsyatnya,
sehingga muka orang itu terangkat tinggi-tinggi.
Mahesa Jenar tidak mengabaikan kesempatan berikutnya. Selagi muka orang itu masih
terangkat, ia meloncat maju menumbukkan dirinya sambil menghantam perut orang itu
dengan lututnya. Terdengarlah orang it mengaduh tertahan dan terlontar surut. Mahesa Jenar
langsung memburu dan menghantamnya bertubi-tubi.
113
ORANG itu terdorong terus hingga suatu ketika ia tidak dapat mundur lagi karena
punggungnya sudah melekat dengan dinding padas. Mahesa Jenar melihat kesempatan itu. Ia
tidak mau melepaskan lawannya kali ini. Maka dengan kekuatan penuh ia meloncat maju dan
menghantamkan muka orang itu dengan kedua tangannya sekaligus. Tetapi orang itu ternyata
tidak menyerah demikian saja.
Tiba-tiba, ketika Mahesa Jenar meloncat, orang itu pun menyerang dengan kakinya ke arah
perut Mahesa Jenar. Serangan yang sama sekali tak diduga oleh Mahesa Jenar. Karenanya,
serangan itu bulat-bulat telah melemparkannya dan ia jatuh terguling beberapa kali.
Mahesa Jenar telah mengalami pertempuran dengan lawan yang beraneka macam.
Pada saat ia bertempur dengan Lawa Ijo, seorang tokoh hitam yang perkasa, ia pun
mengerahkan segenap tenaganya. Tetapi bagaimanapun ia tidak merasakan adanya tekanantekanan yang sedemikian hebatnya seperti saat ini. Tidak saja ia tidak berhasil menekan
lawannya, tetapi benar-benar ia merasakan bahwa tubuhnya menjadi sakit-sakit dan nyeri.
Mengingat bahwa yang dipertaruhkan adalah pusaka-pusaka istana, serta kesadarannya akan
pertanggungjawabannya sebagai seorang yang merasa turut serta membina kesejahteraan
rakyat, maka ia merasakan kengerian yang sangat apabila pusaka-pusaka itu sampai jatuh ke
golongan hitam yang manapun. Karena itu tidak ada jalan lain bagi Mahesa Jenar kecuali
membinasakan orang itu.
Pada saat ia tidak dapat menguasai lawannya, maka cara satu-satunya adalah mempergunakan
ilmunya Sasra Birawa. Maka ketika tidak ada pilihan lain, segera ia meloncat bangkit dan
segera ia memusatkan segala kekuatan batinnya serta mengatur pernafasannya, memusatkan
segala kekuatan lahir-batin pada telapak tangan kanannya.
Demikianlah ia berdiri di atas satu kakinya, sedang kakinya yang lain ditekuk ke depan.
Tangan kirinya disilangkannya di muka dadanya, sedang tangan kanannya diangkat tinggitinggi. Kemudian demikian cepat bagai sambaran kilat ia meloncat maju dan dengan dahsyat
ia mengayunkan tangan kanannya ke arah kepala lawannya.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar terkejut bukan buatan. Segera ia meloncat mundur
sambil berteriak, Tahan... Tuan, tahankan dulu.
Tetapi Mahesa Jenar sudah terlanjur bergerak. Kalau ia menahan serangannya maka kekuatan
yang sudah tersalur itu pasti akan memukul dirinya sendiri lewat bagian dalam tubuhnya.
Karena itu tidak ada cara lain kecuali melanjutkan serangannya untuk membinasakan
lawannya.
Melihat Mahesa Jenar tidak mengubah serangannya, tiba-tiba orang itu pun segera bersiap,
tidak menghindarkan diri, karena tidak ada kesempatan lagi, melainkan ia berdiri di atas
kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ke depan, lutut kaki kanannya diteuk
sedikit.
Mula-mula ia merentangkan kedua tangannya, tapi ketika pukulan Mahesa Jenar sudah
melayang, segera ia menyilangkan kedua tangannya di muka wajahnya.
Melihat sikap itu, jantung Mahesa Jenar seperti berhenti berdenyut karena terkejut.
Tetapi segala sesuatu sudah terlambat. Sebab tangan Mahesa Jenar sudah tinggal berjarak
beberapa cengkang saja dari orang itu.
Dengan satu gerakan pendek, kedua tangan yang disilangkan di muka wajahnya, orang itu
menahan hantaman tangan Mahesa Jenar. Dan sesaat kemudian terjadilah suatu benturan yang
maha dahsyat seperti berbenturnya halilintar. Akibatnya dahsyat pula. Orang itu terlempar jauh ke belakang dan bulat-bulat terbanting di
tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Matanya menjadi gelap dan nafasnya tersekat di
kerongkongan. Sebentar kemudian ia tak dapat merasakan sesuatu.
Pingsan.
Mahesa Jenar sendiri, yang menghantamkan ilmunya Sasra Birawa, merasakan bahwa
tangannya seolah-olah tertahan oleh selapis baja yang tebalnya lebih dari sedepa. Karena itu
kekuatan yang dilontarkan itu seolah-olah membalik dan memukul bagian dalam tubuhnya,
ditambah dengan desakan dari orang yang dipukulnya itu. Karena itu Mahesa Jenar juga
terlempar, tidak hanya seperti sebuah balok yang melayang, tetapi seperti kayu yang oleh
kekuatan raksasa dihantamkan ke punggung padas yang ada di belakangnya.
Demikian dahsyatnya Mahesa Jenar terbanting sehingga pada saat itu juga, pada saat ia
terhempas, ia sudah tak dapat lagi merasakan apa-apa kecuali kepekatan yang dahsyat
menerkam dirinya. Dan ia pun pingsan.
Demikianlah keadaan segera menjadi senyap. Hanya desir angin di rerumputan serta semaksemak yang kedengaran gemeresik lembut. Di kejauhan terdengar suara binatang malam, serta
gonggong anjing yang berebutan mangsa. Di mulut goa Sima Rodra itu menggeletak sebelahmenyebelah dua sosok tubuh yang sama sekali tak sadarkan diri.
Baru beberapa saat kemudian, oleh kesegaran angin yang mengusap wajahnya, orang itu,
yang telah bertempur mati-matian melawan Mahesa Jenar, yang ternyata mempunyai
ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga dialah yang pertama-tama dapat menarik nafas dan
perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya. Tetapi demikian ia berusaha bergerak terdengarlah
ia mengeluh perlahan. Ternyata tubuhnya terasa nyeri dan sakit seluruhnya.
114
UNTUK beberapa saat orang itu terpaksa berdiam diri, mengatur jalan pernafasannya serta
berusaha untuk menguasai kembali pikirannya.
Angin masih berhembus perlahan-lahan. Dan ini telah menolong menyegarkan tubuh orang
itu, sehingga beberapa saat kemudian ia berhasil dengan susah payah mengangkat tubuhnya
dan duduk bersandar pada kedua tangannya.
Berkali-kali ia menarik nafas panjang. Keringat dingin masih saja mengalir membasahi
seluruh pakaiannya. Baru setelah tubuhnya terasa bertambah segar ia perlahan-lahan bangkit
berdiri.
Ketika ia memandang ke daerah sekelilingnya, tiba-tiba matanya tertumbuk pada tubuh yang
masih terbaring tak bergerak, beberapa langkah dari mulut goa. Sekali lagi ia menarik nafas.
Ia tahu benar bahwa pukulan lawannya itu adalah pukulan yang tak ada taranya dahsyatnya.
Perlahan-lahan dan tertatih-tatih ia berjalan selangkah demi selangkah mendekati Mahesa
Jenar yang masih belum sadar. Dengan mata yang bercahaya orang itu memandangi tubuh
Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya.
Memandangi tubuh yang meskipun tidak setinggi dia, tetapi tampak kokoh kuat bagai seekor
banteng.
Ketika orang itu melangkah selangkah lagi mendekati Mahesa Jenar, terasa bahwa tubuhnya
semakin terasa sakit. Karena itu ia berhenti dan duduk di atas padas beberapa langkah dari
tubuh Mahesa Jenar yang masih terbujur tak bergerak.
Ia terpaksa menahan diri, tidak segera mendekatinya sampai tubuhnya sendiri agak terasa
kuat. Karena itu dibiarkannya Mahesa Jenar terbaring tak bergerak beberapa langkah di
hadapannya.
Ketika sekali lagi angin malam membelai tubuh-tubuh yang sedang kesakitan itu, tampak
bahwa Mahesa Jenar mulai bergerak-gerak. Dan sesaat kemudian ia sudah dapat membuka
matanya, meskipun masih samar-samar. Apalagi di dalam kegelapan malam.
Yang pertama-tama dilihatnya adalah bintang-bintang yang bertaburan di langit, dan sesudah
itu matanya tertumbuk pada tubuh tinggi tegap berdada lebar, duduk di atas padas di
hadapannya, yang dengan tajam memandanginya seperti sebuah bayangan hantu hitam yang
akan menerkamnya. Tetapi pada sat itu ia sama sekali tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh
tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Sambungan-sambungan tulangnya terasa seperti lepas dan tak
dapat dikuasainya. Karena itu kalau terjadi sesuatu ia sama sekali tak akan dapat membela
diri.
Maka sekali lagi Mahesa Jenar memejamkan matanya untuk mengumpulkan ingatannya. Dan
perlahan-lahan ketika tubuhnya terasa semakin segar karena angin malam yang lembut,
ingatannya pun sedikit demi sedikit menjadi cerah kembali meskipun kepalanya masih saja
pening dan seperti berputar-putar.
Apa yang baru saja dialami menjadi semakin jelas dalam kepalanya. Bagaimana ia
mempergunakan ilmu kepercayaannya Sasra Birawa dan bagaimana orang yang dihantamnya
itu merentangkan tangannya dan selanjutnya disilangkan di muka wajahnya.
Dan sekarang, orang yang dikenai ilmunya itu ternyata masih saja hidup dan duduk di
dekatnya. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar tiba-tiba merasa gembira sekali. Dan
kegembiraannya itu telah sangat mempengaruhi keadaannya, sehingga tiba-tiba ia dapat
duduk, meskipun dengan susah payah untuk menegakkan tubuhnya yang duduk lemah seperti
tak bertulang. Meskipun demikian, wajah Mahesa jenar tampak cerah dan matanya
menyorotkan cahaya segar.
Demikian pula orang yang duduk di atas padas itu. Ketika ia menyaksikan Mahesa Jenar telah
dapat duduk, ia pun menjadi gembira. Senyum yang tulus telah menggerakkan bibirnya.
Perlahan-lahan dengan suara parau ia menyapa, Tidakkah tuan mengalami sesuatu?
Mahea Jenar tersenyum pula, meskipun agak kecut. Bagaimana aku mengatakan bahwa aku
tidak mengalami sesuatu kalau bangun saja rasanya seperti tidak mungkin, jawab Mahesa
Jenar.
Orang itu menundukkan kepalanya seperti menyesali dirinya. Maafkan aku, katanya
kemudian.
Mendengar kata-kata itu segera Mahesa Jenar menyahut, Jangan Tuan menyalahkan diri
sendiri. Akulah yang seharusnya minta maaf kepada Tuan, sebab akulah yang pertama-tama
mulai. Berbahagialah aku bahwa Tuan ternyata sehat walafiat karena kesaktian Tuan.
Tuan salah duga. Aku pun mengalami keadaan seperti Tuan. Sampai sekarang aku masih
belum berhasil untuk mencapai jarak ke dekat Tuan terbaring, karena seluruh sendi tulangtulangku sakit bukan kepalang, karena di dalam tangan Tuan tersimpan aji Sasra Birawa,
sahut orang itu sambil tertawa lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi, maafkan aku, katanya.
Tak apalah... malahan aku merasakan suatu keuntungan, mendapat kehormatan mencicipi
ilmu Tuan yang maha dahsyat itu. Dan dengan demikian aku mengenal Tuan, yang pasti salah
seorang murid dari Paman Pengging Sepuh, jawab orang itu.
Mahesa Jenar mengangguk perlahan. Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya murid yang masih
harus menjunjung tinggi nama kebesaran Ki Ageng Pengging Sepuh Almarhum. Untung
jugalah bahwa aku tidak binasa kali ini. Kalau hal itu terjadi, berakhirlah nama perguruan
Pengging. Bukankah Tuan telah mempergunakan aji Lebur Sekethi?
Terpaksa. Hanya sekadar supaya aku tidak lumat, gumam orang itu seperti kepada diri sendiri.
Benar Tuan..., Tuan sama sekali benar. Akulah yang terlalu lancang. Tetapi siapakah
sebenarnya Tuan? Bukankah Lebur Sakethi itu menurut guruku Almarhum dan yang kukenal
adalah milik Ki Ageng Dipayana? potong Mahesa Jenar.
Tuan menebak dengan tepat. Karena itu ketika Tuan mengatakan bahwa Tuan adalah orang
Pangrantunan, segera aku menjadi curiga. Sebab Pangrantunan adalah daerah masa kanakkanakku. Aku adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana, jawab orang itu.
Apakah Tuan yang disebut Ki Ageng Gajah Sora? tanya Mahesa Jenar.
Benar Tuan. Akulah yang bernama Gajah Sora, jawab orang itu.
115
MENDENGAR jawaban itu, Mahesa Jenar jadi merenung. Untunglah bahwa tak terjadi
sesuatu dalam pertempuran tadi. Kalau saja ada salah langkah, maka akibatnya akan
mengerikan. Salah satu diantaranya pasti binasa. Sebab ajian seperti Sasra Birawa dan Lebur
Sakethi mempunyai daya yang dahsyatnya luar biasa. Tidak hanya sebagai ajian yang tidak
saja dipergunakan menyerang, tetapi juga bertahan.
Sejenak kemudian terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora bertanya kepadanya, Tetapi sampai
sekarang Tuan belum menyebut nama Tuan.
Mahesa Jenar seperti tersadar dari renungannya, maka jawabnya, Namaku adalah Mahesa
Jenar.
Mahesa Jenar? ulang Gajah Sora. Aku belum pernah mendengar nama ini dari ayahku yang
sering menyebut-nyebut nama sahabat-sahabatnya serta murid-muridnya. Bukankah seorang
murid Ki Ageng Pengging itu terbunuh...?
Ya, jawab Mahesa Jenar, Bahkan tidak saja ia muridnya, tetapi juga putranya.
Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Kebo Kenanga.... Bukankah begitu?
katanya.
Ya, jawab Mahesa Jenar pendek.
Kakaknya, Ki Kebo Kanigara, kabarnya lenyap tak meninggalkan bekas, sambung Gajah Sora
. Dan Tuan? Adakah Tuan mempunyai sebutan yang lain?
Semua yang Tuan katakan adalah benar. Akulah yang sedikit sekali mengenal sahabat-sahabat
guruku. Mungkin ini disebabkan Guru sudah lama melenyapkan diri, dan akhirnya diketahui
bahwa beliau telah wafat, sehingga tidak banyak yang dapat diceritakan kepadaku.
Adapun mengenai aku sendiri, memang benarlah kata Tuan, sebab sejak aku menjadi prajurit,
aku selalu dipanggil dengan nama Tohjaya.
Tohjaya..., ya Tohjaya, ulang Gajah Sora, Kalau nama ini memang pernah aku dengar. Tidak
saja dari ayahku, tetapi hampir setiap orang menyebutnya sebagai pengawal raja. Tetapi
kenapa Tuan sampai di sini?
Akhirnya dengan singkat Mahesa Jenar bercerita tentang segala-galanya yang pernah dialami.
Juga tentang pertemuannya dengan Ki Ageng Sora Dipayana di Pangrantunan dan
pertemuannya dengan Ki Ageng Lembu Sora.
Memang, anak itu agak bengal, sahut Gajah Sora kemudian. Biarlah lain kali aku
mengurusnya. Juga tentang sepasang Uling, yang sampai sekarang masih aku biarkan saja
sambil menunggu orang-orang golongan hitam itu berkumpul. Tetapi yang penting sekarang,
apakah yang kita lakukan?
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepala sambil memandangi mulut goa yang masih saja
ternganga seperti mulut seekor naga raksasa yang siap menelannya.
Beberapa saat ia agak kebingungan. Tetapi akhirnya ia berkata, Kalau saja tadi aku tahu
bahwa Tuan adalah Ki Ageng Gajah Sora, maka aku kira aku tidak akan mengganggu Tuan.
Nah Tuan, sekarang terserah kepada Tuan akan kedua keris itu.
Tidak, jawab Gajah Sora, Tuan lebih berhak untuk mengambilnya serta menyerahkan kembali
ke Istana Demak.
Aku adalah seorang perantau, sahut Mahesa Jenar, Aku kira lebih aman kalau Tuan yang
menyimpannya sampai datang waktunya untuk diserahkan kepada yang berhak nanti.
Tampaklah sejenak Gajah Sora merenung menimbang-nimbang. Akhirnya ia berkata,
Baiklah, sekarang kedua pusaka itu kita ambil dan kita bawa pulang. Bukankah Tuan sudi
singgah ke Banyu Biru sehari dua hari...? Atau sampai pada saat pertemuan kalangan hitam.
Di sana dengan aman segala sesuatu dapat kita bicarakan.
Tentu saja Mahesa Jenar tidak dapat menolak ajakan itu. Karena itu ia pun segera mengiakan.
Maka setelah itu, setelah mereka merasa bahwa tubuh mereka telah dapat dibawa berjalan,
masuklah mereka dengan sangat hati-hati ke dalam goa itu dan langsung menuju ke ruang
dimana kedua pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten disimpan.
Setelah menyembah beberapa kali, maka diambillah kedua pusaka itu dan dibawa keluar
seorang satu, dengan tujuan untuk membawanya ke Banyu Biru, ke rumah Ki Ageng Gajah
Sora yang untuk selanjutnya akan dibicarakan penyerahannya kepada yang berhak di Istana
Demak.
Tetapi belum lagi mereka sempat meninggalkan daerah bukit Tidar, tiba-tiba mereka
mendengar derap langkah kuda yang cukup banyak mendaki Gunung Tidar dari arah utara.
Kedatangan mereka ini sudah pasti sangat mengejutkan Mahesa Jenar maupun Ki Ageng
Gajah Sora.
Siapakah mereka? tanya Mahesa Jenar.
Entahlah, jawab Ki Ageng Gajah Sora sambil menggelengkan kepalanya. Derap kuda itu
semakin lama semakin dekat, dan tampaknya mereka langsung menuju ke arah goa.
Mereka menuju kemari, desis Gajah Sora.
Ya, mereka menuju kemari, ulang Mahesa Jenar.
Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita? Gajah Sora ingin mendapat pertimbangan.
Dalam kondisi tubuh mereka yang hampir remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan
cepat berbuat apa-apa seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena itu yang
sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari orang-orang berkuda itu.
Dengan keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita menghindari mereka, kata Mahesa
Jenar.
Baiklah. Marilah kita bersembunyi, jawab Gajah Sora.
Sementara itu, kuda-kuda itu semakin dekat. Segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari
tempat untuk berlindung, di bawah semak yang rimbun.
Belum lagi mereka selesai menempatkan diri, muncullah dari balik-balik padas beberapa
orang berkuda. Meskipun gelap malam masih menyeluruh, tetapi remang-remang mereka
dapat juga menyaksikan tubuh-tubuh orang-orang berkuda itu.
116
TEPAT di muka goa mereka menghentikan kuda mereka, dan langsung dengan suara lantang
terdengar salah seorang dari mereka berteriak, Hei Sima Rodra, sudah gilakah engkau. Kau
biarkan semua penjaga-penjagamu tidur?
Suara itu melontar memukul dinding-dinding padas dan dipantulkan kembali berturut-turut
beberapa kali. Namun tak ada jawaban yang terdengar. Berkali-kali orang itu berteriak-teriak
memanggil, tetapi juga tak pernah ada jawaban. Akhirnya mereka berhenti berteriak-teriak.
Ada sesuatu yang tidak beres. Hai salah seorang dari kamu, bangunkan semua orang yang
tidur. Juga pengawal-pengawal gerbang, kata salah seorang diantara orang-orang itu kepada
pengikutnya.
Baik Ki Lurah, jawab salah satu diantaranya. Dan sejenak kemudian terdengar langkah seekor
kuda menjauh.
Sementara itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar beruntung dapat menyaksikan orang-orang
berkuda itu dengan jelas. Yang berkuda paling depan adalah dua orang yang gagah tegap,
meskipun badannya tidak begitu besar. Mukanya tampak panjang meruncing, dan masing-
masing menggenggam sebuah cemeti panjang. Mereka tampaknya hampir seperti dua orang
kembar.
Ketika Mahesa Jenar sedang menduga-duga, terdengarlah Gajah Sora berbisik, Itulah
Sepasang Uling dari Rawa Pening. Yang di sebelah kanan itulah yang tua, yang disebut Uling
Putih, sedang yang lain adalah Uling Kuning.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah mereka yang bernama Uling Putih
dan Uling Kuning. Kedatangan mereka sudah pasti untuk menuntut dendam akibat
terbunuhnya salah seorang kepercayaannya.
Sebentar kemudian datanglah beberapa orang berlari-lari ke arah goa itu pula.
Mereka adalah anak buah Sima Rodra yang tertidur karena kekuatan sirep Gajah Sora. Salah
seorang diantaranya, yang gemuk agak pendek, bertubuh kuat seperti seekor orang hutan,
maju mendekati sepasang Uling yang masih saja duduk di atas kudanya.
Salam kami untuk Sepasang Uling dari Rawa Pening, katanya.
Rupanya kakak-beradik Uling itu sama sekali tak memperhatikan sapa itu. Bahkan salah
seorang dari mereka membentak, Hai, Sakayon, di manakah suami-istri macan liar itu?
Rupanya yang dipanggil Sakayon itu tersinggung juga hatinya. Buat apa kau cari mereka?
jawabnya.
Jangan banyak cakap. Cari mereka, bentak Uling Kuning.
Terdengar Sakayon mendengus, Hemm.... Kau kira kau bisa memerintah aku...? Tanyakan
dengan baik, aku akan menyuruh salah seorang untuk memanggilnya.
Sepasang Uling yang kasar itu menjadi marah. Kalau kau masih juga berlagak, aku patahkan
lehermu, teriaknya.
Tetapi Sakayon sama sekali tidak takut. Malahan terdengar ia tertawa. Kau jangan main
sekarat di sini. Katakan apa perlumu. Kalau suami-istri Sima Rodra tidak ada, akulah yang
harus menyelesaikan semua soal.
Ternyata Uling Kuning hatinya lebih mudah terbakar daripada kakaknya. Hampir saja ia
memutar cemetinya kalau Uling Putih tidak mencegahnya. Sedang Sakayon pun telah pula
menarik pedang pendek tetapi besar seperti tubuhnya.
Jangan layani dia, Kuning, kata Uling Putih, sambil menarik kekang kudanya dan melangkah
beberapa langkah maju.
Baiklah Sakayon... aku tunduk kepada peraturanmu. Tolong, katakan kepada Suami-Istri Sima
Rodra bahwa aku ingin menemui mereka, kata Uling Kuning.
Sakayon yang merasa mendapat kemenangan, membusungkan dadanya sambil menjawab,
Itulah namanya tamu yang tahu diri.
Lalu katanya kepada salah seorang anak buahnya, Panggilkan Ki Lurah. Katakan bahwa
kakak-beradik dari Rawa Pening ingin menemuinya.
Orang yang disuruhnya itu segera berlari ke dalam goa. Tetapi sebentar kemudian ia telah
muncul kembali dengan nafas yang terengah-engah. Kakang Sakayon..., Ki Lurah tidak ada di
dalam goa. Bahkan ruang penyimpanan yang tidak pernah terbuka itu pun tampaknya telah
dibuka dengan paksa, katanya gugup.
Hei...! teriak Sakayon terkejut. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi ia meloncat dengan
tangkasnya masuk ke dalam goa. Menilik geraknya maka Sakayon pun pasti termasuk orang
yang berilmu tinggi. Mungkin ia adalah kepercayaan Suami-Istri Sima Rodra. Sakayon telah
keluar dari dalam goa. Gerak-geriknya menunjukkan kegelisahan hatinya. Sejenak kemudian
tanpa berkata apapun ia berlari kesamping goa dimana Sima Rodra tadi lenyap.
Mereka telah mempergunakan pintu rahasia ini. Pasti terjadi sesuatu atas mereka, teriaknya.
Kemudian kembali ia berlari ke arah tamu-tamunya.
Mereka telah lenyap. Untuk tiga hari setidak-tidaknya kalian tak akan dapat menemui mereka.
Sedangkan kedua pusaka yang disimpannya itu telah lenyap pula. Kalau yang mengambil
Suami-Istri Sima Rodra, mereka tidak perlu memecahkan pintu, katanya dengan nafas yang
memburu.
Keris itu lenyap...? tanya Uling Putih. Suaranya pun menunjukkan suatu kecemasan yang
sangat. Kalau kata-katanya betul, pasti akan menimbulkan suasana yang panas dalam
pertemuan kami nanti, katanya.
117
ULING KUNING yang lebih kasar itu tidak berkata apapun, tetapi segera ia meloncat turun
dari kudanya dan langsung masuk goa.
”Kau tidak percaya?,” teriak Sakayon, “Baiklah, lihatlah sendiri.”
Rupanya Uling Putih tidak tega membiarkan adiknya memasuki goa seorang diri. Sebab
mungkin ada hal-hal yang tidak beres. Karena itu ia pun segera meloncat turun dan cepatcepat menyusul memasuki goa itu.
Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing diam sambil menunggu kakak-beradik itu
keluar dari mulut goa.
Sementara itu, ketika semua perhatian dicurahkan ke mulut goa, berbisiklah Gajah Sora,
“Tuan, bukankah kita dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyingkir dari kandang
macan ini? “
Rupanya Mahesa Jenar pun telah memperhitungkan demikian, sehingga ia segera
menyetujuinya. “Baik Tuan, tetapi jalan mana yang akan kita lalui?”
Apakah Tuan belum melihat gerbang dari benteng Sima Rodra ini? tanya Gajah Sora.
Belum, jawab Mahesa Jenar, Aku memasuki halaman ini dengan memanjat dinding belakang.
Tampaklah Gajah Sora tersenyum. Akh, Tuan kurang hati-hati. Seharusnya Tuan mengetahui
lebih dahulu sebelum berbuat sesuatu, arah-arah mana yang dapat Tuan lewati kalau bahaya
datang. Atau setidaknya Tuan telah memiliki pengetahuan tentang itu, katanya.
Mahesa Jenar tersenyum pula. Tuan benar. Aku memang kurang hati-hati. Tetapi apakah
sekarang kita dapat melewati gerbang? sahutnya.
Tentu, jawab Gajah Sora, Orang-orang yang menjaganya sedang berkumpul di sini.
Kalau demikian marilah kita pergi, sahut Mahesa Jenar lagi.
Maka sebentar kemudian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan hati-hati sekali menyelinap
dari satu rumpun ke rumpun yang lain, dari balik padas yang satu ke padas yang lain.
Selangkah demi selangkah mereka berhasil mendekati gerbang yang menghadap ke utara.
Gerbang ini dalam keadaan biasanya selalu dijaga dengan kuatnya oleh orang-orang
kepercayaan Sima Rodra. Tetapi orang-orang itu sekarang sedang berkumpul di depan goa
untuk dapat mencegah kalau sepasang Uling itu akan berbuat sesuatu. Maka dengan tidak
banyak mendapat kesulitan, Gajah Sora dan Mahesa Jenar berhasil keluar melewati gerbang
yang menganga tak terjaga.
Setelah itu, setelah mereka berada di luar, segera mereka meloncat ke dalam semak-semak
dan menjauhi benteng Sima Rodra itu dengan mengambil jalan menyusup rumpun-rumpun
liar dan menjauhi jalan yang semestinya. Dengan keadaan tubuh mereka yang hampir remuk
itu, mereka harus dengan hati-hati sekali menuruni tebing yang curam serta menloncati padaspadas yang rumpil. Untunglah bahwa mereka berdua mempunyai dasar kecekatan yang
cukup, sehingga meskipun dengan susah payah pula mereka dalam waktu singkat telah dapat
mencapai dataran di sebelah bukit kecil itu.
Tetapi demikian mereka merasa bahwa jalan yang akan mereka lalui tidak lagi sulit, mereka
mendengar lamat-lamat derap kuda yang keluar dari gerbang benteng bukit Tidar, yang
semakin lama terdengar semakin jauh. Rupanya sepasang Uling dari Rawa Pening itu ketika
sudah yakin bahwa Suami-Istri Sima Rodra tak dapat mereka temui, serta sepasang keris itu
tidak lagi berada di tangan mereka, mereka merasa bahwa tak ada gunanya lagi tinggal terlalu
lama di Bukit Tidar.
Setelah suara derap kuda itu lenyap, kembali Gajah Sora dan Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanan untuk secepat-cepatnya menjauhi gunung Tidar. Untuk menghilangkah jejak,
mereka tidak langsung berjalan ke timur, tetapi mula-mula mereka melingkar ke barat untuk
selanjutnya membelok ke utara, ke Banyu Biru.
Di perjalanan, ternyata bahwa Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang baru saja berkenalan itu
menjadi begitu akrab, seolah-olah mereka telah berkenalan bertahun-tahun. Dalam banyak hal
mereka selalu bersamaan pendapat dan perhitungan.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, serta mereka sudah yakin benar bahwa orang-orang
Sima Rodra tidak lagi dapat menemukan mereka, mereka merasa perlu untuk beristirahat,
untuk menyegarkan tubuh mereka. Maka dicarilah tempat yang sesuai untuk sekadar
melepaskan lelah.
Tetapi demikian mereka duduk bersandar di pepohonan, karena lelah dan tegang yang
dialaminya beberapa saat yang lalu, segera mereka jatuh tertidur.
Demikian nyenyaknya, sehingga mereka sama sekali tak merasa bahwa malam telah lama
lewat, dan matahari telah tinggi di langit.
Ketika cahaya matahari itu, menerobos daun-daun dan memanaskan tubuh mereka, kedua
orang yang kelelahan itu baru terbangun. Terasalah sesudah mereka beristirahat benar-benar,
meskipun hanya sebentar, tubuh mereka menjadi bertambah segar. Meskipun masih saja
terasa agak kaku-kaku dan nyeri, namun mereka telah sanggup untuk berdiri tegak dan
melangkah dengan tangkas, berkat daya tahan tubuh mereka yang cukup kuat.
Setelah mereka mencuci muka serta sekadar minum air dari sumber yang ditemukannya di
dekat mereka beristirahat, mulailah mereka melanjutkan perjalanan. Mula-mula mereka akan
singgah ke Pangrantunan untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi setelah
dipertimbangkan untung-ruginya, mereka membatalkan maksud itu.
Di perjalanan pulang itu, barulah mereka mengetahui bahwa wajah-wajah mereka tampaknya
seperti berubah. Beberapa noda biru dan bengkak-bengkak tampak di sana-sini. Hal itu
menunjukkan betapa hebatnya perkelahian mereka semalam. Sehingga apabila mereka saling
memandang, mereka menjadi tertawa sendiri.
Di samping itu, dalam hati masing-masing timbullah rasa kagum satu sama lain. Sebab dalam
pertempuran dan perkelahian yang mereka alami sebelum itu, jarang tubuh mereka dapat
disakiti, apalagi sampai biru-biru dan bengkak-bengkak.
059
APALAGI di tengah hutan Tambakbaya. Orang-orang yang mencari kayu, baik kayu bakar
maupun untuk perumahan, tidak akan menebang kayu di tengah rimba yang demikian
lebatnya. Lebih-lebih tidak jauh dari tempat itu, baru saja terjadi pertarungan yang dahsyat
antara Mahesa Jenar dan Lawa Ijo. Berkali-kali terdengar Lawa Ijo bersuit atau berteriak
nyaring. Mustahil kalau suara-suara itu tak didengarnya.
Tetapi ternyata suara itu terus terdengar. Bahkan semakin lama semakin jelas. Makin
nyatalah, bahwa sumber suara itu tidak begitu jauh. Yang lebih mengherankan lagi, suara
berdentangnya pohon yang ditebang itu, bagaikan nada-nada lagu yang mempesona.
Rupanya Pasingsingan heran juga mendengar suara itu. Diangkatnya wajahnya yang
terlindung dibalik topengnya dan tampaklah ia mendengarkan suara itu dengan saksama.
Dalam keadaan yang demikian, suasana berubah menjadi sunyi. Suara berdentangnya pohon
ditebang itu menjadi bertambah jelas seakan-akan memenuhi seluruh rimba. Gemanya
bersahut-sahutan disegala arah sehingga amat sulitlah untuk mengetahui dengan pasti sumber
suara itu.
Sebentar kemudian suara itu menjadi agak kendor dan semakin perlahan-lahan pula. Tetapi
sementara itu disusullah dengan mendengungnya suara baru yang juga seharusnya tak
mungkin terjadi.
Di tengah-tengah rimba yang liar pekat, dan yang diliputi oleh suasana perkelahian dan hawa
pembunuhan itu, menggemalah sebuah lagu. Dandanggula yang diungkapkan oleh sebuah
suara yang indah. Lagu itu sedemikian mempesona, sehingga semua orang yang
mendengarnya menjadi lupa akan segala-galanya kecuali lagu itu sendiri.
Jaka Soka dan Mahesa Jenar adalah orang yang cukup masak. Tetapi meskipun demikian
tampak juga bahwa mereka dihinggapi oleh perasaan-perasaan yang aneh. Dandanggula itu
terdengar begitu jelas sehingga kata demi kata dapat dimengerti dengan baik. Bunyi syair dari
tembang itu adalah:Lir sarkara, wasianing jalmi
Ambudiya budining sasatnya
Memayu yu buwanane,
Ing reh hardaning kawruh,
Wruhing karsa kang ambeg asih,
Sih pigunane karya,
mBrasta ambeg dudu,
Mengenep nenging cipta,
Wruh unggayaning tindak kang ala lan becik,
Memuji tyas raharja (Kusw)Tak seorang pun yang mengetahui tanggapan Pasingsingan atas lagu itu dengan pasti, sebab
wajah orang itu tertutup oleh kedok. Tetapi melihat sikapnya, ia sama sekali tidak senang
mendengarnya, meskipun lagu itu dibawakan oleh suara yang merdu dan syairnya
mengandung nasihat yang baik. Sebagaimana seseorang harus berusaha menyelamatkan dunia
ini dengan banyak memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang luas tentang cinta manusia untuk
memberantas kejahatan. Serta dengan mengendapkan cipta untuk mengetahui batas antara
baik dan buruk. Disertai doa kepada Tuhan untuk kebahagiaan.
Kemudian malahan Pasingsingan menjadi gelisah ketika ia mendengar lagu itu diulang
kembali. Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap ke utara dan dengan garangnya ia menggeram.
Sedang kata-katanya sangat mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti halilintar
meledak di atas kepala masing-masing. Termasuk Mahesa Jenar dan Jaka Soka.
”Setan tua...! Apa maksudmu mengganggu urusanku? Baiklah. Hanya sayang kali ini aku
tidak ada waktu untuk melayanimu. Karena itu lain kali aku akan menemuimu, kalau aku
tidak sedang membawa beban seperti kali ini. Sampai ketemu Pandan Alas!” kata
Pasingsingan. Setelah itu tanpa diketahui arahnya, tahu-tahu Pasingsingan telah lenyap dari
pandangan mereka beserta Lawa Ijo.
Lenyapnya Pasingsingan itu tidak begitu menarik perhatian Mahesa Jenar dan Jaka Soka.
Seperti berjanji, mereka setelah mendengar nama Pandan Alas, segera meloncat ke utara,
kearah mana Pasingsingan tadi menghadap. Mereka menduga, bahwa dari sanalah sumber
suara tadi datangnya. Sebab kebetulan Mahesa Jenar dan Jaka Soka berbareng ingin melihat
wajah orang aneh itu.
Tetapi setelah agak jauh mereka menyusup, yang mereka temui hanyalah bekas luka pada
pokok sebuah pohon raksasa. Meskipun mereka hanya menemui bekasnya saja, namun telah
cukup menggetarkan hati mereka. Sebab menurut pendengaran mereka, waktu Ki Ageng
Pandan Alas menebang pohon itu hanyalah sebentar saja, sedang yang mereka lihat bekasnya
adalah luar biasa.
Sebatang pohon raksasa yang besarnya lebih dari empat pemeluk, ternyata telah luka hampir
separonya. Sedang tatal kayu bekas tebangan itu, berbongkah-bongkah hampir sebesar kepala
anjing. Sungguh mengagumkan. Apalagi ketika disamping pohon itu, yang mereka ketemukan
hanyalah sebuah kampak kuno dari batu, yang diikat pada setangkai dahan basah sebagai
pegangannya.
”Luar biasa,” desis Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan. ”Aku tidak dapat mengira kekuatan apa yang telah
membantu orang itu, sehingga ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan.”
Jaka Soka tidak menjawab. Tampaknya ia sedang berpikir keras. Akhirnya setelah
dipertimbangkan bolak-balik ia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu serta
mengurungkan maksudnya menculik gadis yang memiliki keris Sigar Penjalin milik Ki Ageng
Pandan Alas.
”Mahesa Jenar, ternyata aku salah duga kepadamu. Karena itu baiklah kali ini aku mengaku
kalah dan mengurungkan niatku menculik gadis cantik itu. Aku merasa bersyukur, bahwa kau
tidak mempergunakan ilmumu yang menurut Paman Pasingsingan disebut Sasra Birawa,
ketika melawan aku. Kalau demikian halnya, maka aku kira aku pun akan jadi lumat. Juga
benar apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo, bahwa Pandan Alas benar-benar berada di segala
tempat. Sekarang baiklah aku pergi dulu. Sampai lain kali,” kata Jaka Soka kepada Mahesa
Jenar.
060
SELESAI mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya Jaka Soka alias Ular Laut
yang terkenal sebagai bajak laut yang bengis itu meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan.
Tinggallah kini Mahesa Jenar seorang diri. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai masalah dan
persoalan. Tetapi yang penting adalah mengatur rombongan itu kembali. Dan kemudian
membicarakan kemungkinan-kemungkinan lebih lanjut.
Ketika Mahesa Jenar sampai di tempat rombongan, ia melihat bahwa beberapa orang telah
tampak mulai agak tenang kembali. Terutama para pengawal. Malahan ada diantaranya yang
sudah dapat mengatur barang-barangnya. Meskipun demikian mereka masih saja nampak
ketakutan. Ternyata ketika mereka mendengar gemerisik daun yang disebakkan oleh Mahesa
Jenar, mereka masih terkejut juga. Tetapi ketika mereka melihat, bahwa yang datang adalah
Mahesa Jenar, perasaan mereka nampak lega. Malahan ada yang berlari-lari menyambut dan
langsung berjongkok dan menyembahnya. Terutama sepasang suami-istri yang telah minta
kepadanya untuk membawa bebannya. Kedua orang itu menyembah sambil menangis minta
diampuni.
Segera Mahesa Jenar pun menenangkan mereka, serta segera minta agar para pengawal
menyalakan api. Sebentar kemudian beberapa orang telah mengumpulkan kayu, serta apipun
segera dinyalakan.
Mereka, seluruh anggota rombongan, telah duduk mengelilingi api yang menyala-nyala dan
menjilat-jilat ke udara. Daun-daun di atas nyala api itu bergerak-gerak seperti menggapaigapai kepanasan. Malam pun segera turun dengan cepatnya. Pepohonan serta dedaunan
nampak seperti diselimuti oleh warna yang hitam kelam. Di sana-sini mulai terdengar kembali
suara-suara binatang malam.
Pada wajah-wajah di sekeliling api itu, masih menggores rasa cemas dan takut.
Kejadian-kejadian siang tadi sangat berkesan di hati mereka. Pertarungan-pertarungan dahsyat
dan kejadian-kejadian yang aneh terjadi berturut-turut seperti peristiwa-peristiwa dalam
mimpi yang menakutkan.
Terutama gadis cantik yang hampir-hampir saja menjadi sumber bencana. Ia masih saja
merasa bahwa dirinya bersalah sehingga rombongan itu mengalami kekacauan, ia, bahkan
hampir dimusnahkan, kalau tidak secara kebetulan ada seorang perkasa yang melindunginya.
Karena itu ia masih saja belum berani memandang wajah-wajah kawan seperjalanannya.
Sejenak kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh Mahesa Jenar yang berkata kepada orangorang dalam rombongan itu. “Kawan-kawan, bahaya tidak lagi bakal datang, setidak-tidaknya
malam ini. Karena itu tenanglah dan beristirahatlah. Aku kira kalian sehari penuh masih
belum juga makan. Sekarang kesempatan itu ada. Sesudah itu kalian bisa tidur nyenyak
seperti tadi malam.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, mereka serentak diperingatkan oleh rasa lapar yang
semula tak dihiraukan. Segera diantara mereka membuka bekal-bekal mereka, tetapi tidak
sedikit diantara anggota rombongan itu yang sudah tidak punya rasa lapar lagi. Juga sesudah
itu, tak seorang pun yang dapat merasa kantuk.
Sejenak kemudian mulailah Mahesa Jenar berunding dengan para pengawal, tentang
bagaimana baiknya rombongan tersebut.
Menurut pendapat Mahesa Jenar, sebaiknya rombongan itu tidak meneruskan perjalanan.
Sebab kalau pada langkah pertamanya mereka sudah menemui kesulitan, kelanjutannya pun
akan tidak menguntungkan.
Kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan adalah banyak sekali. Lawa Ijo, terang,
bahwa ia tidak berdiri sendiri. Ia adalah seorang pemimpin dari sebuah gerombolan yang
cukup besar. Hanya sekarang gerombolan itu seakan-akan sedang dibekukan. Tetapi, kalau
sampai mereka mendengar, bahwa kepala mereka dilukai, mereka pasti tidak akan tinggal
diam. Karena itu, selagi masih ada waktu, sebaiknya rombongan itu besok pagi berangkat
kembali ke tempat semula.
Tak seorang pun diantara mereka yang dapat menolak pendapat ini. Memang pada umumnya
mereka telah dihinggapi perasaan takut yang luar biasa. Untunglah, bahwa pada saat itu
datang Mahesa Jenar menolong mereka. Kalau tidak, mereka pasti sudah jadi bangkai.
Tetapi dalam suasana yang demikian, mendadak gadis cantik yang merasa dirinya bersalah,
berkata kepada Mahesa Jenar, “Tuan, aku terpaksa tidak dapat menerima saran Tuan untuk
kembali. Sebab aku memang tidak punya tempat untuk kembali. Tetapi aku juga tidak dapat
memaksa rombongan ini berjalan terus. Karena itu, baiklah kalau rombongan ini berjalan
kembali dengan para pengawal, aku akan berjalan sendiri melanjutkan perjalanan ke Pliridan.
Hanya sebagai bekal perjalanan, aku minta kerisku tadi dikembalikan kepadaku. Sebab kalau
aku bertemu seorang seperti pemuda yang akan menculik aku, sebaiknyalah kalau aku bunuh
diri.”
Gadis itu mengucapkan kata-katanya dengan mata sayu diwarnai oleh hatinya yang putus asa.
Ia merasa tidak berhak lagi berkumpul dengan orang-orang serombongannya. Sebab ia telah
merasa berbuat kesalahan yang tak termaafkan.
Mahesa Jenar dan beberapa orang tampak mengerutkan keningnya. Memang dalam keadaan
terjepit, ada diantara mereka yang sampai hati mengumpati gadis itu. Tetapi dalam keadaan
yang demikian, timbul pulalah perasaan iba terhadapnya.
061
GADIS itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Matanya yang bulat, nampak
mengambang air mata yang ditahan sekuat-kuatnya.
Tak ada jalan buat kembali, ujarnya lirih.
Dalam kata-kata itu, ternyata bahwa ada sesuatu rahasia yang menyelubungi diri gadis itu.
Tiba-tiba Mahesa Jenar ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang diri gadis itu, yang sampai
saat itu masih belum dikenal namanya.
Siapakah sebenarnya kau ini? Serta apakah hubunganmu dengan Ki Ageng Pandan Alas?
tanya Mahesa Jenar kemudian.
Gadis itu mengangkat mukanya sedikit. Lalu jawabnya, Tuan, sebenarnya aku sama sekali
tidak mengenal siapakah Ki Ageng Pandan Alas itu. Kalau aku memiliki keris yang tuan
hubungkan dengan nama Pandan Alas, adalah diluar pengetahuanku. Aku menerima keris itu
dari almarhum ibuku, sedangkan ibu menerimanya dari kakek. Seorang petani miskin yang
sedang merantau mencari daerah baru, dan sekarang menurut almarhum ibuku, kakek itu
tinggal di daerah Pliridan. Dan sama sekali tak bernama Pandan Alas, tetapi bernama Ki
Santanu, sedangkan aku sendiri dinamai oleh ayahku, Rara Wilis.
Mahesa Jenar mendengarkan jawaban gadis yang bernama Rara Wilis itu dengan seksama.
Pengakuannya, bahwa ia sama sekali tak mengenal Ki Ageng Pandan Alas semakin menarik
perhatian Mahesa Jenar. Mendadak berkilatlah dalam hatinya, suatu keinginan untuk
mengetahui rahasia yang menyelubungi gadis itu. Sehingga berkatalah Mahesa Jenar,
Bapak-bapak para pengawal, serta saudara-saudara seperjalanan. Barangkali aku mempunyai
suatu cara yang dapat memenuhi kehendak kalian. Sebaiknya kalian kembali dengan para
pengawal, mungkin tak akan banyak menemui halangan, sedangkan gadis ini, yang berkeras
hendak melanjutkan perjalanan dan menemui kakeknya, biarlah aku antarkan saja. Sebab
perjalanan ke Pliridan bukanlah suatu pekerjaan yang ringan.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu melonjaklah kegirangan di hati Rara Wilis.
Tiba-tiba matanya yang berkaca-kaca itu jadi berkilat-kilat. Tetapi sebentar kemudian kembali
perasaan kegadisannya menguasai dirinya, sehingga wajahnya jadi kemerah-merahan, serta
kembali ia menundukkan mukanya.
Mahesa Jenar pun menangkap perubahan wajah Rara Wilis. Dan tidak disadarinya hatinya
pun bergoncang. Sebaliknya beberapa orang lain menjadi kecewa mendengar keputusan
Mahesa Jenar untuk tidak menyertai mereka kembali. Sebab bersama sama dengan Mahesa
Jenar, mereka semua merasa bahwa keamanan mereka terjamin.
Sementara itu kembali Mahesa Jenar berunding dengan para pengawal, serta memberi
petunjuk mengenai beberapa kemungkinan. Sehingga akhirnya terdapat suatu keputusan,
bahwa mereka semuanya akan kembali dengan para pengawal, sedangkan Mahesa Jenar
sendiri akan mengantar Rara Wilis sampai ke Pliridan.
Demikianlah pada malam itu hampir tak seorang pun dapat tidur, kecuali beberapa orang,
karena lelah lahir dan batin, seakan-akan terlena sambil bersandar di pokok pepohonan.
Berbeda dengan siang tadi, dimana hari seakan-akan berlari demikian cepatnya, malam itu
rasa-rasanya tak bergerak. Suara binatang malam, serta desiran angin rimba terasa sangat
menjemukan dan menakutkan. Mereka semua mengharap agar malam lekas berakhir.
Sehingga cepat-cepat mereka dapat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Baru setelah mereka mengalami kejemuan yang luar biasa, terdengar ayam rimba berkokok
bersahut-sahutan. Dari celah-celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah membayang warna
merah di langit. Segera orang-orang itu semua mengatur barang-barangnya dan menyiapkan
diri untuk menempuh perjalanan yang berlawanan dengan yang ditempuhnya kemarin, kecuali
Rara Wilis yang setelah menerima kembali kerisnya akan melanjutkan perjalanannya ke
Pliridan, diantar oleh Mahesa Jenar sendiri.
Maka setelah semuanya bersiap, serta setelah para pengawal dan mereka yang mengadakan
perjalanan sekali lagi mengucapkan terimakasih kepada Mahesa Jenar, mulailah mereka
berangkat kembali. Di depan sendiri berjalan pengawal tua itu dengan senjata di tangan. Baru
setelah rombongan itu lenyap dibalik pepohonan, Rara Wilis beserta Mahesa Jenar pun
berangkat melanjutkan perjalanan ke barat, ke daerah Pliridan.
Di perjalanan, tidak banyak yang mereka percakapkan, kecuali apabila Mahesa Jenar
memandang perlu untuk memberitahukan tempat-tempat berbahaya atau binatang binatang
berbisa.
Tetapi perjalanan Mahesa Jenar sekarang bertambah laju, karena tidak harus bersama-sama
dengan rombongan yang besar. Sekali dua kali Mahesa Jenar pun harus berlaku seperti
pemimpin rombongan pengawal, menuntun bahkan menggendong Rara Wilis apabila jalan
sangat sulit, meskipun keduanya agak segan-segan. Tetapi terpaksalah hal itu dilakukan.
Sebab memang sekali dua kali mereka menjumpai rintangan yang berat.
Demikianlah mereka berjalan terus seakan-akan tak mengenal lelah. Bagi Rara Wilis,
perjalanan ini, meskipun melewati daerah hutan yang tak kalah liarnya dengan yang ditempuh
kemarin, tetapi rasanya tidak begitu berat. Bahkan setelah lebih dari setengah hari ia berjalan,
sama-sekali tak terasa lelah olehnya, haus ataupun lapar.
Perjalanan yang begitu sulit itu bagaikan sebuah tamasya, diantara kehijauan ladang serta
keindahan taman. Gemerisik daun kering yang dilemparkan oleh angin, terdengar merdu.
Rara Wilis sendiri tidak begitu menyadari, kenapa hatinya menjadi sedemikian bening dan
cerah.
Tidak banyak hal yang mereka temui di perjalanan. Ketika malam datang, mereka beristirahat
di bawah sebuah pohon yang cukup besar. Setelah rumput-rumput liar di bawah pohon itu
dibersihkan, segera Rara Wilis merentangkan tikarnya, sedangkan Mahesa Jenar
mengumpulkan kayu dan kemudian menyalakan api.
Malam itu pun dilampauinya dengan tak ada sesuatu yang terjadi. Pagi-pagi setelah mereka
mempersiapkan diri, segera perjalanan pun dilanjutkan.
Perjalanan itu masih harus melampaui satu malam lagi. Maka pada hari ketiga itu, Rara Wilis
serta Mahesa Jenar menempuh perjalanan yang terakhir untuk mencapai daerah Pliridan.
062
MATAHARI telah miring ke barat, hutan Tambakbaya semakin lama semakin bertambah
tipis. Pepohonan tidak lagi selebat dan liar seperti daerah pedalaman. Sementara itu terasa
debaran jantung yang aneh dalam dada Rara Wilis. Telah lebih sepuluh tahun ia tak berjumpa
dengan kakeknya. Sekarang, ia ingin mencarinya di daerah yang tak dikenalnya.
Sebentar kemudian mereka telah sampai pada perbatasan hutan. Di depan mereka tinggallah
beberapa grumbul kecil yang tidak begitu berarti.
“Inilah daerah Pliridan,” gumam Mahesa Jenar hampir kepada dirinya sendiri.
Mendengar ucapan Mahesa Jenar, Rara Wilis yang berjalan di depan jadi terhenti. Beberapa
macam perasaan bercampur aduk di otaknya. Sekali ia menarik nafas panjang. Alangkah lega
hatinya setelah hutan yang lebat itu dapat dilewatinya.
Tetapi sementara itu lalu kemana ia mesti pergi?
Sekali dua kali ia menoleh kepada Mahesa Jenar. Wajahnya yang cerah itu menjadi agak
suram oleh kebimbangan hatinya. Mahesa Jenar dapat menangkap perasaan Rara Wilis.
“Rara Wilis, dapatkah kau menunjukkan di daerah manakah kira-kira kakekmu tinggal?”
tanya Mahesa Jenar. Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Memang ia sama sekali tak
mengerti arah tempat tinggal kakeknya. Ia hanya mendengar, bahwa kakek itu tinggal di
daerah Pliridan.
Mahesa Jenar juga menjadi agak bimbang. Ia beberapa tahun yang lalu pernah mengenal
daerah ini. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang, ternyata mengalami banyak perubahan.
“Tuan,” kata Rara Wilis dengan penuh keragu-raguan, “Aku sama sekali tidak
membayangkan kalau demikianlah keadaan daerah Pliridan. Menurut gambaran angananganku. Pliridan adalah sebuah desa yang dilingkungi oleh persawahan dan ladang. Tetapi
ternyata daerah ini hanyalah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-gerumbul liar.”
“Tetapi aku kira tidaklah demikian seluruhnya, Rara Wilis. Beberapa tahun yang lalu, desadesa seperti yang kau bayangkan itu memang pernah ada. Entahlah kenapa sekarang keadaan
itu berubah. Meskipun demikian aku yakin, bahwa di sekitar daerah ini masih juga didiami
orang. Karena itu baiklah kita coba mencarinya.”
Di wajah Rara Wilis masih saja membayang kebimbangan hatinya, bahkan kebimbangan itu
kemudian berubah menjadi suatu ketakutan. Bagaimanakah kalau ia tak dapat menemui
kakeknya? Pastilah, bahwa Mahesa Jenar tak akan dapat terus-menerus menemaninya.
Melihat perubahan wajah Rara Wilis, Mahesa Jenar pun menangkap perasaannya, karena itu
ia mencoba menghiburnya.
“Rara Wilis, tak usah kau merasa takut. Aku masih mempunyai perasaan kuat, bahwa di sini
masih didiami orang. Seandainya tidak demikian, maka aku bersedia mengantar kau pulang
ke rumah ayahmu.”
Tetapi akibat perkataan itu adalah sebaliknya dari yang diharapkan. Karenanya Mahesa Jenar
menjadi terkejut sekali ketika dilihatnya Rara Wilis malahan meneteskan air mata. Meskipun
sudah ditahan sekuat-kuatnya.
Sekarang Mahesa Jenar yang kebingungan. Sekali lagi ia merasa demikian tumpulnya
perasaannya. Ia pernah mengalami suasana yang bersamaan, meskipun keadaannya berbeda.
Yaitu pada waktu ia berhadapan dengan Nyai Wirasaba. Pada saat itu juga ia menjadi
kebingungan dan tidak mengerti apa yang harus dikerjakan.
Sekarang Rara Wilis itu pun menangis di hadapannya tanpa sebab. Justru pada saat ia
berusaha untuk menghiburnya. Karena itu perasaannya menjadi tidak enak sekali.
Tetapi setelah ia mempunyai sebuah pengalaman yang tak menyenangkan, ia tidak lagi mau
menebak-nebak. Maka terlintaslah dalam pikirannya, bahwa jalan yang terbaik adalah
menanyakan sebabnya, kenapa Rara Wilis menangis. Mendapat pikiran yang demikian,
Mahesa Jenar menjadi agak lega sedikit. Dan dengan hati-hati sekali ia mencoba bertanya.
“Rara Wilis, aku telah mencoba untuk menenangkan hatimu, tetapi justru akibatnya adalah
sebaliknya. Karena itu, dapatkah aku menanyakan, apakah sebabnya kau menangis?”
Rara Wilis tidak segera menjawab. Ia melangkah beberapa kali ke samping, dan kemudian
menjatuhkan dirinya duduk di rumput-rumput liar. Dari matanya masih saja terurai tetesantetesan airmata. Baru setelah beberapa saat, ia menjawab dengan kata-kata yang tersekatsekat.
“Tuan, aku merasa bersyukur, bahwa aku dapat berjumpa dengan seorang yang demikian baik
hati seperti Tuan. Karena itu tak adalah jalan bagiku untuk menyatakan terima kasihku yang
tak terhingga. Tetapi sangatlah menyesal Tuan ..., bahwa kalau aku tak dapat menemukan
kakekku, aku tak dapat kembali kepada ayahku. Meskipun ayahku dahulu tergolong orang
yang berada, tetapi tak adalah tempat bagiku di sana.”
Mahesa Jenar menjadi semakin menebak-nebak tentang keadaan gadis aneh itu. Rupanya
banyak rahasia yang menyelubungi dirinya, sehingga ia terpaksa menempuh perjalanan yang
sedemikian berbahayanya.
“Rara Wilis,” tanya Mahesa Jenar kemudian, “aku bukanlah ingin terlalu banyak mengetahui
tentang dirimu, tetapi bagiku kau adalah seorang gadis yang diselubungi oleh kabut rahasia
yang kelam.”
“Mungkin Tuan benar,” jawab Rara Wilis, “Tetapi buat tuan tidaklah sepantasnya kalau aku
menyembunyikan sesuatu rahasia.”
Mata Rara Wilis yang bulat tetapi sayu itu memandang Mahesa Jenar, seperti mata kanakkanak yang minta perlindungan. Mahesa Jenar menjadi semakin tidak mengerti apa yang
harus dilakukan. Di luar kesadarannya ia pun ikut serta duduk diatas rumput-rumput liar.
Setelah diam sejenak, Rara Wilis memulai ceritanya. “Tuan, ayahku adalah seorang yang
banyak mempunyai pengaruh di daerah Pegunungan Kidul. Meskipun daerah itu tandus dan
kering, tetapi ayahku mempunyai peternakan yang cukup, sehingga dapatlah ia digolongkan
orang berada. Tetapi ibuku adalah keturunan orang yang miskin. Kakekku semasa masih
tinggal di Pegunungan Kidul, tidaklah lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan upah
yang sangat kecil. Meskipun demikian kakek termasuk orang yang tidak mau menjadi beban
orang lain. Sepuluh tahun yang lalu kakek yang merasa kehidupannya semakin hari semakin
sulit, terpaksa pergi meninggalkan kampung halaman. Memang sebelum itupun kakek adalah
seorang perantau. Mungkin ini disebabkan oleh kehidupannya yang sulit, sehingga pada saatsaat tertentu, yaitu pada saat paceklik, kakek pergi meninggalkan kampung untuk beberapa
bulan. Tetapi sejak 10 tahun yang lalu, kakek tidak kembali pulang.”
063
RARA WILIS pun bercerita bahwa pada masa kanak-kanak, "apabila kakek berada di rumah,
selalu digendongnya kemana ia pergi. Kepergiannya tidak terlalu lama mempengaruhi
perasaanku. Sebab ayah dan ibuku selalu memanjakan aku. Tetapi akhir-akhir ini terjadilah
peristiwa-peristiwa yang merusak kehidupan damai itu. Beberapa tahun yang lalu, di
kampung halamanku, datanglah seorang perempuan dari Bagelen. Kelakuannya tidaklah
seperti lazimnya perempuan-perempuan di daerah kami. Di daerah kami banyak pendekar
yang ternama, termasuk ayahku yang bernama Ki Panutan. Tetapi tidaklah biasa seorang
perempuan jadi pendekar. Berbeda halnya dengan perempuan pendatang itu. Ternyata ia
adalah seorang pendekar perempuan, yang tidak diduga-duga. Ia pun telah dapat mengalahkan
beberapa pendekar ternama di daerah kami."
Rara Wilis berhenti sejenak. Alisnya tampak berkerut. Ia mencoba mengingat kembali
peristiwa-peristiwa yang pernah berlaku.
"Tuan ...," sambungnya beberapa saat kemudian. "Keanehan perempuan itu tidak saja pada
kependekarannya, tetapi juga pada tingkah lakunya. Kadang-kadang ia bersikap garang dan
kasar seperti halnya pendekar laki-laki di daerah kami. Tetapi kadang-kadang ia menjadi
lunak dan mesra, penuh sifat halus seorang wanita."
Rara Wilis kembali berhenti bercerita sejenak.
"Rupanya gabungan dari kedua sifat-sifat itulah yang telah memecahkan kebahagiaan rumahtangga kami. Sebab ternyata hubungan perempuan itu dengan ayahku semakin hari semakin
rapat. Ibuku adalah perempuan lugu, yang hanya dapat bekerja di dapur dan meladeni seorang
suami seperti apa yang dilakukan perempuan-perempuan lain di desa kami. Ibuku tidaklah
dapat memberi saran, nasihat atau apapun semacam itu kepada ayahku sebagai seorang
pendekar. Juga ibuku tidak pandai merayu hati laki-laki. Dan karena itulah maka semakin
dekat ayahku dengan perempuan pendatang itu, semakin jauh ia dari ibuku. Rupanya hal itu
dapat dilihat oleh penduduk di daerah kami, sehingga menimbulkan suasana yang kurang
menyenangkan. Tetapi lebih daripada itu, ayah pun perangainya seakan-akan berubah. Ia pun
kemudian mempunyai kebiasaan-kebiasaan aneh. Minum minuman keras dan hal-hal kasar
lainnya. Kepadaku pun ayah menjadi semakin jauh pula."
Lagi-lagi Rara Wilis berhenti sejenak. "Alangkah benciku kepada perempuan itu, seperti ia
juga sangat benci kepadaku. Bahkan ia selalu menyakitiku tanpa ada pembelaan dari ayah,
apalagi ibu yang hanya dapat memelukku dan menangisi. Waktu itu, tak banyak yang dapat
aku ketahui, selain pada suatu hari datanglah beberapa orang pendekar terkenal, yang dulu
adalah sahabat-sahabat ayahku. Tanpa kuketahui sebab-sebabnya, mereka bertempur melawan
ayahku serta perempuan pendatang itu. Rupanya ayahku memang seorang pendekar pilihan
dan perempuan itu pun tak kalah garangnya. Sehingga meskipun ayah dan perempuan itu
dikerubut, tetapi dapat juga memberi perlawanan yang berarti. Ibuku sendiri waktu itu tak
dapat berbuat lain, kecuali memelukku dan menangis sejadi-jadinya di belakang dapur rumah
kami. "
"Akhirnya ...," lanjut Rara Wilis, "bagaimanapun kuatnya ayahku serta perempuan pendatang
itu, namun tidaklah dapat menahan arus kemarahan pendekar-pendekar ternama di dareh kami
yang demikian banyak jumlahnya. Sehingga sejak itu, ayahku pergi dengan perempuan
pendatang itu, dan tidak pernah kembali. Sejak itu pula ibu selalu menanggung kesedihan
yang tak terhingga, meskipun anehnya, tetangga-tetangga bersikap baik sekali. Bahkan para
pendekar yang mengerubut ayahku, bersikap manis sekali kepada ibuku. Bahkan istri-istri
mereka selalu berusaha untuk dapat bercakap-cakap dan menghibur ibuku. Tetapi rupanya
ibuku lebih suka mengurung dirinya serta membenamkan diri dalam duka." Kata Rara Wilis,
"beberapa tahun kemudian membayanglah puncak kesedihan yang bakal terjadi. Ibuku sakit.
Semakin lama sakit itu semakin keras dan seolah-olah sudah terasa, bahwa sakit itu tak akan
dapat diobati. Ternak kami yang sekian banyaknya, kekayaan kami, tidak dapat membendung
arus kematian yang semakin lama semakin deras bergulung-gulung menghantam tebingtebing kehidupan ibuku.
Maka setelah beberapa tahun kemudian dari kepergian ayahku, ibuku menutup mata, serta
meninggalkan keris yang Tuan namakan Sigar Penjalin itu kepadaku, sebagai suatu bukti
bahwa aku adalah keturunan Ki Santanu dari Pegunungan Kidul. Jadi sama sekali bukan Ki
Ageng Pandan Alas dari Wanasaba. Maka akupun akhirnya merasa, bahwa aku tidak dapat
hidup tanpa ada satu pun yang aku cintai. Meskipun aku mendapat warisan yang cukup
banyak, tetapi semuanya itu tak berarti bagi hidupku yang kering."
Rara Wilis mengakhiri ceriteranya dengan sedu-sedan yang seperti meledak dari rongga
dadanya.
Mahesa Jenar mendengarkan ceritera Rara Wilis itu dengan penuh haru. Rupanya
kegersangan hati gadis itulah yang mendorongnya untuk menempuh jalan yang sangat
berbahaya, mencari kakeknya, sekadar untuk dapat menyangkutkan cinta serta harapannya.
Mungkin ia mengharapkan kakeknya suka kembali ke kampung halaman, untuk bersamasama hidup dalam suasana yang hanya dapat dikenangnya kembali.
Tetapi meskipun Mahesa Jenar dapat ikut serta sepenuhnya merasakan betapa keringnya
hidup tanpa sangkutan cinta, namun ia tidak dapat berbuat suatu untuk menenangkan hati
gadis cantik itu. Oleh karenanya ia menjadi gelisah sendiri. Perlahan-lahan ia berdiri lalu
berjalan mondar-mandir tanpa tujuan.
Sementara itu, matahari telah hampir menyelesaikan perjalanannya yang sunyi mengarungi
langit. Cahayanya yang masih ketinggalan, tampak gemerlapan di atas punggung-punggung
bukit.
Mahesa Jenar masih saja berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya. Dalam hatinya
berkecamuk perasaan heran yang tiada habis-habisnya. Bagaimana mungkin seorang ayah
dapat melupakan putrinya, hanya karena seorang perempuan yang tak dikenal asal-usulnya,
sehingga ia telah melepaskan hari depan gadisnya serta hari depan garis keturunannya?
Beberapa saat kemudian, ketika Rara Wilis telah menjadi agak tenang, Mahesa Jenar pun
segera mempersilahkannya untuk berjalan kembali. Sebab bagaimanapun Mahesa Jenar masih
mengharapkan untuk dapat menjumpai seseorang di daerah ini.
064
PERJALANAN di daerah ini tidaklah sesulit berjalan di hutan. Mereka hampir tidak pernah
menemui rintangan-rintangan yang berarti.
Setelah mereka berjalan beberapa saat, tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti. Matanya memandang
ke satu arah dengan tajamnya, dan sejenak kemudian ia meloncat beberapa langkah, lalu
berjongkok, mengamati sesuatu.
Rara Wilis terkejut bercampur heran melihat tingkah laku Mahesa Jenar. Ia pun segera berlari
dan ikut serta mengamati arah yang sama. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Karena itu dengan
herannya ia bertanya, "Tuan, adakah Tuan melihat sesuatu? "
"Rara Wilis .... Lihat rumput-rumput ini," jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis memandang rumput yang ditunjuk oleh Mahesa Jenar itu dengan seksama, tetapi
ia tetap tidak melihat sesuatu. "Ada apa dengan rumput-rumput itu?," tanyanya.
"Lihatlah, rumput ini rebah dan patah-patah. Lihatlah di tempat itu, juga terdapat hal yang
sama, juga di sebelah sana dan sana. Kau tahu artinya? Apalagi di tempat yang tanahnya agak
gembur ini."
Rupanya otak Rara Wilis pun tidak begitu tumpul, sehingga ia berteriak menebak. "Telapak
kaki manusia ...?"
Ya, sahut Mahesa Jenar. Telapak kaki yang masih agak baru. Pasti seseorang baru saja
melewati daerah ini. Mungkin ia adalah penduduk daerah Pliridan ini, atau mungkin....
Mahesa Jenar tidak melanjutkan perkataannya. Tetapi Rara Wilis dapat menangkap
kelanjutannya. Mudah-mudahan bukanlah penjahat-penjahat itulah yang sengaja dikirim
untuk mematai-matai perjalanan kita, katanya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri sejenak. Otaknya bekerja keras untuk mencoba
menebak, siapakah kira-kira yang meninggalkan bekas tapak kaki yang masih segar itu.
Menurut pendapatnya, ada empat kemungkinan, yaitu penduduk setempat, Jaka Soka,
Pasingsingan, atau Ki Ageng Pandan Alas. Diam-diam ia membandingkan telapak kaki itu
dengan telapak kakinya sendiri.
Ternyata telapak kaki itu agak lebih dalam. Menurut pendapatnya, pastilah orang itu adalah
orang yang gemuk sekali, atau orang yang membawa beban agak berat. Tiba-tiba terlintaslah
dalam benaknya, bahwa Pasingsingan adalah kemungkinan yang paling dekat, sebab
Pasingsingan dalam perjalanannya kembali ke Pasiraman mendukung Lawa Ijo yang terluka.
Dan tidaklah mustahil kalau jalan ini dilewati, sebab arah perjalanannya sesuai dengan arah
jalan ini.
Mahesa Jenar ragu-ragu sebentar. Ia tidak ingin menggelisahkan hati gadis itu. Karena itu ia
menjawab," Tidaklah begitu penting Rara Wilis, tetapi sebaiknya kita beralih jalan."
Rara Wilis mengerutkan dahinya, otaknya memang cukup cerdas, karena itu ia menjawab,
"Kalau Tuan sampai menganggap perlu untuk menempuh jalan lain, pastilah ada sesuatu yang
sangat penting. Katakanlah Tuan, supaya aku tidak usah menebak-nebak."
Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain, kecuali mengatakan segala sesuatu yang berkecamuk
di dalam otaknya. Rara Wilis pun sependapat dengan pikiran itu. Maka mereka memutuskan
untuk mencari jalan lain.
Demikianlah mereka meninggalkan dan menjauhi jalan setapak yang paling mungkin dilalui
orang. Mereka membelok ke arah selatan, menyusup gerumbul-gerumbul kecil menuju ke
arah pepohonan yang agak lebat di depan mereka. Mungkin di daerah itu terdapat mata air,
atau tempat yang aman untuk bermalam, atau sukurlah kalau didiami orang.
Ketika mereka sampai, ternyata tempat itu tidak juga ditinggali manusia. Memang, di sana
terdapat sebuah mata air yang mengalirkan air cukup deras, dan ditampung dalam sebuah
telaga yang hijau bening.
Pada saat itu, matahari telah sampai di garis cakrawala. Sinarnya sudah tidak lagi dapat
menembus takbir gelapnya malam, yang turun perlahan-lahan, tetapi pasti akan menelan
bumi.
Mehesa Jenar segera mengadakan persiapan untuk bermalam. Hanya untuk kali itu, menurut
pertimbangan Mahesa Jenar, sebaiknyalah kalau tidak menyalakan api, meskipun Mahesa
Jenar sadar bahwa andaikata bekas-bekas kaki tadi benar-benar bekas kaki Pasingsingan,
pastilah ia tidak sengaja akan menjebaknya. Sebagai orang seperti Pasingsingan, apabila
dikehendaki tentu tidak akan meninggalkan jejak sedemikian jelasnya.
Meskipun demikian Mahesa Jenar harus selalu tetap waspada. Dipersilahkan Rara Wilis untuk
beristirahat, berbaring di atas tikar yang masih saja dibawanya ke mana-mana. Sedang
Mahesa Jenar sendiri duduk bersandar pohon sambil memperhatikan suasana di sekitarnya.
Alam pun segera menjadi hitam. Untunglah, bahwa bulan yang remaja menghiasi langit
diantara taburan bintang-bintang. Sehingga sinarnya yang remang-remang dapat menembus
dedaunan yang tidak begitu lebat seperti lebatnya hutan.
Mata Mahesa Jenar yang tajam itu selalu menembus keremangan malam untuk menangkap
tiap-tiap gerakan yang mungkin mencurigakan. Tetapi tiba-tiba saja mata itu terbanting ke
tubuh seorang gadis cantik yang berbaring diam di depannya. Dengan demikian jantungnya
berdesir cepat tanpa sadar.
065
MAHESA JENAR pernah bertemu, melihat dan berkenalan dengan puluhan bahkan ratusan
gadis cantik. Bahkan ia pernah berkenalan dengan seorang yang menurut pendapatnya
memiliki kecantikan yang sempurna, yaitu Nyai Wirasaba.
Tetapi tidaklah pernah ia merasakan suatu getaran yang aneh seperti dirasakannya pada
malam itu.
Diam-diam Mahesa Jenar memandangi tubuh yang terbaring seperti sebuah golek kencana itu.
Dari ujung kakinya, tangannya, dadanya sampai ke rambutnya yang bergerak-gerak dibelai
angin malam yang berhembus lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai manusia biasa, Mahesa Jenar juga kadangkadang membayangkan suatu rumahtangga yang tenteram dan lumrah. Tetapi segera Mahesa
Jenar dapat langsung memandang ke dirinya sendiri. Ia tidak lebih dari seorang perantau yang
akan menjelajahi desa demi desa, hutan demi hutan, untuk mengabdikan keyakinannya. Untuk
itu, maka masih banyaklah yang harus dikerjakan.
Karenanya, oleh kesadarannya tentang dirinya, maka segala perasaan-perasaan yang berdesir
di hatinya terhadap gadis cantik itu segera didesak sekuat-kuatnya.
Maka dengan serta merta direnggutkannya pandangannya dari tubuh Rara Wilis, dan segera
dilemparkan kembali ke arah bayang-bayang daun dan ranting-ranting yang selalu bergerakgerak, seolah-olah sedang mengganggunya. Angin malam yang berdesir di dedaunan masih
saja menyapu wajahnya, dan sekali-sekali terdengar di kejauhan ringkik kuda liar yang
terkejut mendengar teriakan-teriakan anjing hutan.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja ia terbanting kembali ke dalam suasana yang
kini sedang dihadapi. Suatu daerah asing yang diliputi oleh suasana yang membahayakan.
Segera diangkatnya kepalanya, serta diperhatikannya keadaan di sekelilingnya dengan
saksama. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang luas, Mahesa Jenar
mendapatkan suatu firasat, bahwa ada sesuatu yang mencurigakan.
Mendadak telinganya yang tajam itu mendengar suara berdesir lambat sekali. Tetapi Mahesa
Jenar sudah cukup mendapat gambaran bahwa seseorang datang mendekatinya. Orang itu
pasti bukanlah orang yang mempunyai ilmu yang terlalu tinggi. Sebab gerak serta
pernafasannya tidaklah dikuasainya dengan baik.
Karena itu sekaligus Mahesa Jenar dapat mengetahui dari arah mana orang itu datang. Tetapi
ia tidak segera mengadakan tindakan apa-apa. Ia ingin mengetahui lebih dahulu, apakah kirakira maksud orang itu mengintainya. Karena itu ia tetap duduk di tempatnya, serta bersikap
seperti tak mengetahuinya. Meskipun dalam keadaan yang demikian ia sudah bersiaga untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Suara berdesir itu pun semakin lama semakin jelas, serta suara tarikan nafasnya semakin
memburu pula. Tetapi pada jarak tertentu suara itu tidak lagi maju. Rupanya orang itu baru
mempersiapkan diri untuk menyerang.
Mendadak Mahesa Jenar terkejut ketika mendengar suara itu mundur dan menjauh. Segera
Mahesa Jenar tahu, bahwa orang itu tidak bermaksud menyerang, tetapi hanya mengintai saja.
Hal yang demikian itu malahan akan dapat mengandung bahaya yang lebih besar. Karena itu
segera Mahesa Jenar bangkit dan dengan beberapa loncatan saja ia sudah berdiri di samping
orang yang mengintainya.
Orang itu terkejut. Mahesa Jenar yang dikira tidak mengetahui kehadirannya, kini tiba-tiba
sudah ada di sampingnya. Karena itu tidaklah mungkin ia dapat melepaskan diri. Dengan
demikian ia menghentikan langkahnya, dan tidak ada jalan lain kecuali mendahului
menyerang. Orang itu segera mengangkat goloknya, dan dengan sekuat tenaga dibabatnya
pundak Mahesa Jenar.
Mendapat serangan yang tiba-tiba, Mahesa Jenar menjadi terkejut pula. Ternyata meskipun
orang itu tidak dapat menguasai pernafasannya dengan baik, tetapi ia mempunyai
keistimewaan pula.
Mendengar desing golok yang terayun deras sekali, Mahesa Jenar barulah dapat mengukur
kekuatan tenaga orang asing itu. Ketika golok itu sudah hampir menyinggung tubuhnya,
segera Mahesa Jenar berkisar sedikit, serta meloncat selangkah ke samping. Dengan demikian
golok yang tak mengenai sasarannya itu terayun deras sekali, sehingga oran gyang
memegangnya agak kehilangan keseimbangan.
Dalam keadaan yang demikian Mahesa Jenar segera meloncat maju dan menangkap
pergelangan tangan orang itu, langsung diputarnya ke belakang. Dengan sekali dorong, orang
itu telah jatuh tertelungkup dan tidak dapat bergerak lagi, kecuali berdesis menahan sakit.
"Kau siapa?," tanya Mahesa Jenar geram. Tetapi orang itu tidak menjawab. Demikianlah
sampai Mahesa Jenar mengulangi pertanyaan itu dua kali. Akhirnya Mahesa Jenar menjadi
jengkel dan menekan punggung orang itu semakin kuat serta memutar tangan yang terpuntir
itu semakin keras, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
"Kalau kau tak menjawab, tanganmu akan aku patahkan," desak Mahesa Jenar.
Rupanya orang itu pun masih merasa perlu memiliki tangan sehingga dengan terpaksa
menjawab, "Aku adalah Sagotra."
"Apa maksudmu mengintai kami? " desak Mahesa Jenar lebih lanjut. Kembali orang itu diam
saja. Mahesa Jenar menjadi semakin jengkel, dan ia menekan orang itu lebih keras lagi,
sehingga orang itu mengaduh lebih keras pula.
"Jawablah! Atau tanganmu betul-betul patah." Mahesa Jenar makin geram.
"Tak ada gunanya kau memaksa aku berkata lebih banyak lagi, jawabnya. Rupa-rupanya ia
harus merahasiakan tugasnya betul-betul, sehingga sampai ke ajalnya kalau perlu.
"Keadaanku sudah pasti, berkata atau tidak berkata, aku akan menemui kematian. Karena itu
biarlah aku mati dengan menggenggam rahasia," sambung orang itu.
Mahesa Jenar kagum juga melihat kejantanan orang itu, sampai berani menantang maut.
Tetapi ia ingin untuk mendapat keterangan tentang maksud orang itu, yang pasti tidak baik.
Maka setelah mendapat suatu cara ia berkata, "Baiklah, kalau kau tidak mau berkata. Aku
hormati kejantananmu. Tetapi janganlah tanggung-tanggung. Aku ingin melihat pameran
kesetiaan. Kau pernah mendengar cerita, bahwa di daerah ini banyak terdapat Ngangrang
Salaka...? "
Mendengar Mahesa Jenar menyebut Ngangrang Salaka, tengkuk orang itu serentak
meremang. Jantungnya berdegup hebat, sampai tubuhnya terasa gemetar. Ngangrang Salaka
adalah sejenis semut ngangrang yang luar biasa buas serta rakusnya. Binatang apapun yang
sampai terperosok ke sarangnya pasti hancur dimakannya. Keluarga semut itu membuat
sarang di bawah pohon-pohon yang sudah membusuk, dengan memerlukan tanah 10 atau 15
langkah persegi. Tubuh semut itu besarnya tidak terpaut banyak dengan semut ngangrang
biasa, hanya warnanya yang merah mempunyai beberapa baris-baris putih perak.
Mahesa Jenar merasakan, bahwa kata-katanya mempunyai akibat pada orang itu. Dengan
demikian ia melanjutkan, "Kalau kau belum pernah mendengar, baiklah kau akan aku
perkenalkan dengan semut itu. Tetapi sebelumnya lebih baik kalau kakimu aku patahkan dulu
supaya kau tidak dapat lari darinya."
Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera Mahesa Jenar melepaskan tangan orang itu. Tetapi
segera pula menangkap lipatan lutut kaki kanan, sedangkan tangan Mahesa Jenar siap
mematahkan pergelangan kaki kirinya, dijepitkan pada lipatan lutut kaki kanan.
"Jangan..., jangan...!" teriak orang itu tiba-tiba. "Bunuhlah aku dengan cara lain. Tetapi aku
jangan kau siksa di sarang semut Salaka"
.
"Itu adalah urusanku. Sekehendakkulah untuk memilih cara bagaimana sebaiknya membunuh
kau," jawab Mahesa Jenar.
066
TAMPAKNYA Mahesa Jenar betul-betul akan melaksanakan ucapannya itu, karenanya maka
kembali orang itu berteriak, "Jangan, jangan, bunuhlah aku dengan cara lain."
Kembali Mahesa Jenar tertawa dingin. "Seorang yang telah berani menyatakan dirinya
sebagai pengemban tugas, seharusnya tidak takut menghadapi segala macam bahaya."
"Aku sama sekali tidak takut mati. Tetapi cara kematian yang demikian adalah mengerikan
sekali. Lepaskan aku dan biarlah aku bunuh diri," teriak orang itu.
Kembali Mahesa Jenar mengagumi orang itu, tetapi keterangan yang diperlukan harus
didapatnya. Maka katanya, Kalau kau mau berkata, aku beri kau kebebasan untuk memilih
jalan kematian.
Lagi orang itu diam menimbang-nimbang. Rupanya terjadi pergolakan hebat di dalam dirinya.
Baru ketika Mahesa Jenar menekan pergelangan kakinya ia berteriak, Baiklah aku berkata
asal aku dibebaskan dari siksaan ngangrang Salaka.
Baiklah..., berkatalah, jawab Mahesa Jenar.
Lalu dilepaskannya pergelangan kaki orang itu, dan ia melangkah satu langkah surut.
Mengalami perlakuan yang demikian, orang itu ternyata sangat terkejut. Ia tidak tahu maksud
lawannya yang dengan begitu saja telah melepaskan tangkapannya. Sehingga untuk beberapa
saat ia tetap tertelungkup tanpa bergerak, sampai Mahesa Jenar menegurnya, Duduklah dan
berkatalah.
Kembali ia tersentak mendengar tegur Mahesa Jenar. Perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di
hadapan Mahesa Jenar. Sementara itu Mahesa Jenar telah pula duduk menghadapi orang yang
menamakan dirinya Sagotra.
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak berkedip. Rupanya ia sedang
mencoba memahami sikapnya. Mula-mula Sagotra menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah
seorang yang bengis dan kejam, seperti yang tiap-tiap hari dilihat di dalam tata pergaulannya.
Tetapi kemudian seperti orang yang sama sekali tidak menaruh prasangka apa-apa, ia
dilepaskan.
Kalau hal itu disebabkan karena keyakinan akan kemenangannya, pastilah ia tidak bersikap
sedemikian lunak. Mungkin ia sudah diangkatnya tinggi-tinggi, diputar di udara, lalu
dibantingnya ke tanah. Barulah setelah setengah mati, disuruhnya ia berkata. Atau
mungkinkah segala-galanya akan dilakukan nanti setelah ia selesai berkata? Sebab menurut
pertimbangannya, tidaklah mungkin orang yang melakukan pengintaian seperti apa yang
dilakukannya itu akan dilepaskan, karena akibatnya akan membahayakan. Mengingat hal itu,
Sagotra menjadi ngeri.
Mahesa Jenar menangkap kebimbangan hati Sagotra.
"Sagotra," berkatalah. "Aku hanya ingin keteranganmu, lebih daripada itu tidak."
Sagotra sama sekali tidak mengerti maksud Mahesa Jenar. Tetapi meskipun demikian
ketakutannya menjadi jauh berkurang. Menilik sikap, kata-kata serta maksudnya, pastilah
Mahesa Jenar bukan orang yang bengis dan kejam. Karena itu Sagotra menjadi malu kepada
diri sendiri. Bahwa orang yang dipercaya untuk melakukan tugas ini dapat luluh hatinya
hanya oleh gertakan saja.
Tetapi disamping itu ia menjadi kagum pada Mahesa Jenar yang mempunyai sifat-sifat yang
tak pernah dijumpainya dalam tata pergaulan di sarangnya. Tiba-tiba saja ia merasa kengerian
dan kejemuan untuk dapat bertemu dengan gerombolannya kembali, yang tidak pernah
merasakan betapa indahnya hidup manusia yang dapat menikmati terbitnya fajar, serta
bulatnya bulan. Serta betapa tenteramnya hidup ini apabila ia berkesempatan mengagungkan
alam. Lebih-lebih penciptanya, Tuhan Yang Maha Agung. Hal yang demikian tidaklah pernah
dialami selama Sagotra hidup di dalam sarang gerombolannya, dimana setiap saat hanyalah
berlaku hukum kekerasan dan pembunuhan bagi mereka yang tidak mentaati peraturan.
"Tuan," katanya kemudian, "Benarkah Tuan yang bernama Rangga Tohjaya?"
Mahesa Jenar mengangguk mengiakan.
"Aku telah mendapat tugas untuk mencari Tuan," lanjutnya.
Kembali Mahesa Jenar mengangguk perlahan.
"Sekarang aku sudah kau ketemukan," kata Mahesa Jenar.
"Ya, aku sudah menemukan Tuan. Tetapi keperkasaan Tuan jauh diatas dugaanku. Sehingga
Tuan tanpa menoleh dapat melihat kedatanganku."
"Tetapi kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kau temukan aku? Bahkan kau hanya
mengintip lalu pergi?"
Sagotra membetulkan duduknya, lalu jawabnya, "Memang, aku hanya mendapat perintah
untuk menemukan tempat Tuan. Sesudah itu aku harus melaporkan. Sebab kami yakin, bahwa
untuk menangkap Tuan diperlukan 10 sampai 20 orang yang tergolong tingkat atasan dalam
gerombolan kami."
"Kau ini sebenarnya termasuk gerombolan apa?" tanya Mahesa Jenar kemudian.
Kembali orang itu ragu-ragu. Dengan menyebutkan nama gerombolannya, mungkin sangat
tidak menguntungkan baginya. Tetapi ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang sama sekali
tidak memancarkan rasa permusuhan, hatinya agak tenang sedikit.
Meski dengan jantung berdegup, berkatalah Sagotra, "Tuan, sebenarnya aku sama sekali tidak
berani menyebut nama gerombolanku, sebab aku tahu bahwa Tuan mempunyai persoalan
yang mendalam dengan pemimpinku. Meskipun demikian, karena sikap Tuan yang tak pernah
aku temui dalam gerombolan kami, menimbulkan kepercayaan pada diriku, bahwa Tuan
mempunyai kepribadian lain daripada orang-orang kami."
Orang itu berhenti sejenak untuk meyakinkan kata-katanya sendiri. Lalu sambungnya,
"Tuan... kami adalah gerombolan Lawa Ijo."
Pengakuan itu sama sekali tidak mengejutkan hati Mahesa Jenar. Memang ia sudah
mempunyai dugaan bahwa kemungkinan terbesar orang itu datang dari gerombolan Lawa Ijo
atas perintah Pasingsingan. Hanya kecepatan mereka bertindak itulah yang mengagumkan.
"Sagotra, kata Mahesa Jenar kemudian, Aku dengar gerombolan kini sedang dibekukan.
Benarkah itu?"
"Benar, Tuan. Tetapi meskipun demikian, kami, beberapa orang tetap dalam tugas kami.
Sedang orang lain yang tidak diperlukan diperkenankan untuk sementara meninggalkan
sarang kami. Tetapi kami 25 orang yang merupakan anggota inti di bawah pimpinan Wadas
Gunung, saudara muda seperguruan Lawa Ijo, harus selalu bersiap untuk setiap saat
bertindak," kata Sagotra.
067
Mendengar nama Wadas Gunung, Mahesa Jenar jadi teringat kepada Watu Gunung, yang
menurut Samparan juga merupakan saudara muda seperguruan dengan Lawa Ijo. Karena itu ia
bertanya," Sagotra, kenalkah kau dengan Watu Gunung?"
"Ya, pastilah aku kenal. Ia adalah saudara kembar Wadas Gunung. Dan kedua-duanya saudara
seperguruan Lawa Ijo. Aku juga sudah mendengar kabar yang dibawa oleh Ki Pasingsingan,
bahwa Watu Gunung telah Tuan binasakan ketika ia sedang mengunjungi kampung
kelahirannya. Serta karena itu pulalah sekarang kami 20 orang di bawah pimpinan Wadas
Gunung sendiri sedang mencari Tuan," jawab Sagotra.
Mendengar keterangan terakhir dari Sagotra ini hati Mahesa Jenar tergoncang pula, 20 orang
sedang mencarinya. Sementara itu Sagotra melanjutkan, "Tetapi anehlah Tuan, bahwa kali ini
Ki Pasingsingan salah hitung. Hal seperti ini belum pernah terjadi. Kami telah mendapat
petunjuk untuk mencegat Tuan di suatu tempat. Menurut perhitungan Ki Pasingsingan, pada
hari ini menjelang malam Tuan pasti sampai ke tempat itu. Tetapi ternyata perhitungan itu
meleset. Dan tuan telah mengambil jalan lain menghindari tempat yang telah kami persiapkan
untuk menjebak Tuan. Karena itu, kami lima orang telah disebarkan untuk mencari Tuan."
Mahesa Jenar mendengarkan keterangan Sagotra dengan penuh perhatian. Akhirnya ia
bertanya,
"Kapan kah Pasingsingan sampai ke sarang gerombolanmu? "
"Kemarin lusa, " jawab Sagotra.
"Kemarin lusa? " ulang Mahesa Jenar dengan herannya. Sulit baginya untuk membayangkan
kecepatan berjalan Pasingsingan. Ditambah lagi ketika ia teringat telapak kaki yang masih
tampak baru, yang ditemuinya sore tadi. Mahesa Jenar menjadi bertambah heran lagi.
Kemudian Mahesa Jenar bertanya, "Adakah orang lain yang kau temui lewat jalan yang
seharusnya aku lalui?"
"Tidak Tuan, tidak ada. Kalau ada, pastilah orang itu kami tangkap. Sebab pasti orang itu
kami sangka Tuan, karena diantara kami tidak ada yang pernah mengenal wajah Tuan, kecuali
hanya ciri-ciri Tuan yang digambarkan oleh Ki Pasingsingan."
Mahesa Jenar menjadi bertambah heran. "Adakah pihak ketiga yang sengaja memberi tanda
kepadanya supaya mengambil jalan lain? Ia jadi bingung menimbang-nimbang. Tetapi sampai
sekian lama tak dapat ia memecahkan teka-teki itu. Satu-satunya kemungkinan yang
membayang di kepala Mahesa Jenar hanyalah Ki Ageng Pandan Alas. "
Belum lagi masalah telapak kaki bisa dipecahkan, mereka melihat di arah sebelah selatan
warna merah membayang di udara. Pasti di sana ada orang yang menyalakan api. Segera
Mahesa Jenar ingat, bahwa Wadas Gunung beserta 20 orangnya sedang bersiap
menghadangnya. Tetapi menilik arahnya, pasti bukan mereka.
"Sagotra...," kata Mahesa Jenar kemudian. "Kawan-kawanmukah yang menyalakan api itu? "
Sagotra memandang pula ke arah warna merah yang mewarnai keremangan malam. Ia
menggeleng perlahan. Lalu jawabnya, "Bukan Tuan. Itu pasti bukan kawan-kawan. Mereka
menghadang Tuan tidak di arah itu."
"Lalu siapakah menurut pendapatmu yang menyalakan api itu?"
Sagotra tampak berpikir sejenak dan akhirnya ia menjawab, "Tuan, mungkin itu adalah orang
tua yang agak kurang waras, yang merupakan satu-satunya penghuni daerah ini."
"Satu-satunya?" sahut Mahesa Jenar agak terkejut. "Jadi didaerah ini tidak lagi ditinggali
manusia kecuali orang tua itu?"
Sagotra menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Tuan. Memang daerah ini sekarang sama sekali kosong, kecuali seorang itu, " jawab
Sagotra kemudian.
068
"KENAPA orang itu tidak pergi?" tanya Mahesa Jenar. "Tidakkah dia takut menghadapi
keganasan gerombolan-gerombolan itu? Ataukah dia sedemikian hebatnya sehingga tak
seorang pun berani mengganggunya...?"
" Tidak, Tuan.... Ia sama sekali tidak memiliki kepandaian apa-apa. Aku sendiri pernah
datang mengunjunginya. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, orang itu agak kurang waras.
Ia merasa bahwa ia sama sekali tidak mempunyai milik, sehingga menurut perhitungannya
tidak akan ada orang yang datang mengganggunya, " sahut Sagotra.
Mahesa Jenar mendengar keterangan Sagotra dengan saksama. Ia mulai menghubung
hubungkan keterangan itu dengan kakek Rara Wilis. Mungkinkah orang tua itu adalah Ki
Santanu...?
"Siapakah nama orang tua itu?" tanya Mahesa Jenar tiba-tiba.
Sagotra menggelengkan kepalanya. Tak ada orang yang mengetahui nama sebenarnya. Aku
juga pernah menanyakan kepadanya, tetapi ia hanya menyebutkan panggilan yang biasa
diperuntukkannya saja.
"Ya, siapa panggilan itu?" desak Mahesa Jenar
"Orang memanggilnya dengan sebutan Ki Ardi."
"Ardi? "ulang Mahesa Jenar. Sagotra mengangguk.
Tiba-tiba terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa Ardi dapat berarti Gunung. Sedang
kakek Rara Wilis pun berasal dari daerah pegunungan. Ah, apakah salahnya kalau ia
berkenalan dengan orang tua itu?
"Sagotra...," katanya kemudian, "Dapatkah kau menunjukkan jalan ke rumah Ki Ardi itu?"
Sagotra diam-diam menimbang-nimbang. Ia menjadi agak kebingungan. Tentang dirinya
sendiri, ia belum mendapat penyelesaian. Sekarang ia mendapat pekerjaan baru,
mengantarkan Mahesa Jenar ke rumah orang tua itu. Tetapi sesudah itu lalu bagaimana?
Mestikah ia harus bunuh diri, atau Mahesa Jenar akan membunuhnya...? Serta bagaimanakah
kalau ia bertemu dengan kawan-kawannya yang juga sedang mencari Mahesa Jenar?
Mahesa Jenar melihat kebingungan hati Sagotra serta sedikit banyak menangkap perasaannya.
Tetapi disamping itu mendadak timbul pula kebimbangan di hatinya sendiri. Lalu bagaimana
dengan Sagotra itu kemudian? Kalau orang itu dilepaskan, maka soalnya akan
berkepanjangan. Pastilah ia akan melaporkan semuanya kepada Wadas Gunung dengan
keduapuluh kawannya. Dan ini berarti suatu pekerjaan yang sangat berat. Sedangkan untuk
membunuhnya, tidaklah terlintas dalam angan-anannya. Sebab orang seperti Sagotra bukanlah
seorang yang pantas untuk menerima hukuman yang demikian berat. Sebab ia tidaklah lebih
dari seorang pesuruh.
Karena itu kemungkinan satu-satunya adalah membawa Sagotra itu seterusnya, sampai
keadaan terasa aman. Mendapat pikiran yang demikian itu, maka Mahesa Jenar segera
mengambil keputusan.
"Sagotra, barangkali kau segan untuk melakukan permintaanku, menunjukkan jalan ke rumah
Ki Ardi, sebab kau merasa bahwa tak ada gunanya kau berbaik hati kepadaku. Tetapi
ketahuilah Sagotra, aku terpaksa memutuskan untuk membawamu kemana aku pergi, demi
keamananku. Kalau aku seorang diri, barangkali aku segera melepaskanmu. Lalu sesudah itu
aku dapat menyelamatkan diriku secepat-cepatnya. Tetapi sekarang aku sedang melindungi
seorang gadis. Karena itu, janganlah membantah perintahku. Janganlah kau takut, bahwa
sesudah semuanya selesai aku akan membunuhmu. Sebab bagiku kau tidak lebih dari sebuah
alat yang tak perlu dirusak. "
Kalau yang berkata demikian itu Wadas Gunung, atau salah seorang dari rombongannya, hati
Sagotra pasti tidak akan banyak terpengaruh. Sebab ia tahu pasti, bahwa kata-kata yang
demikian itu sama sekali tak berarti. Bagi Wadas Gunung serta kawan-kawan
segerombolannya, tidak ada batas antara sahabat yang setia pada hari ini, serta lawan yang
harus dibinasakan hari esok.
Tetapi yang berkata demikian adalah orang lain. Orang yang baru saja dikenalnya, bahkan
yang telah diserangnya dengan sekuat tenaga untuk dibunuh. Namun demikian orang itu
masih berkata kepadanya, bahwa ia masih boleh mengharap untuk dapat menyaksikan
matahari terbit esok pagi. Dan kata-kata ini mempunyai kesan yang jauh berlainan dengan
segala pujian, janji dan segala macam yang pernah keluar dari pemimpin-pemimpin
rombongannya. Karena itu hati Sagotra bergoncang hebat. Tanpa sadar, Sagotra meloncat,
lalu bersujud di muka Mahesa Jenar sampai mencium tanah. Dan anehnya, sejak ia
meninggalkan masa kanak-kanaknya, serta kemudian terperosok dalam dunia yang hitam
kelam, baru sekaranglah orang yang bernama Sagotra itu sampai meneteskan air mata. Bukan
saja karena ia terlepas dari terkaman maut. Sebab hal yang demikian itu telah seringkali
dialami.
Dalam segala kegiatannya sebagai anggota gerombolan penjahat, banyak tangkapantangkapan maut yang dapat dihindari Sagotra. Tetapi ia tidak pernah merasa terharu sama
sekali mengalami peristiwa-peristiwa itu, bahkan yang ada di dalam benaknya adalah dendam
yang membara, serta kebanggaan dan kesombongan.
Mahesa Jenar menyaksikan sikap Sagotra itu dengan penuh keheranan. Ia tidak dapat
menangkap seluruh perasaan yang bergelut dalam dada orang itu, sehingga tampak sangat
menggelikan. Bahwa orang itu tinggi tegap, berkumis tebal serta berkulit hitam mengkilap,
tetapi menangis tersedu-sedu.
"Sagotra, agak aneh kelakuanmu itu bagiku. Seorang laki-laki macam kau yang dengan sikap
jantan berani menentang maut, kini tiba-tiba menangis macam anak-anak, " kata Mahesa
Jenar.
"Tuan...," jawab Sagotra sambil mengangkat kepalanya, "Tak pernah selama hidupku
merasakan sesuatu yang demikian mengharukan seperti kali ini."
069
SAGOTRA merasakan bahwa ternyata bukanlah kekerasan melulu yang dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan ini. "Meskipun Tuan bermodalkan kekuatan
yang tiada taranya, tetapi sikap Tuan adalah suatu penguasaan mutlak atas diriku. Seandainya
Tuan tidak berbuat demikian, mungkin dalam kesempatan-kesempatan yang ada aku pasti
akan menyerang Tuan, atau setidak-tidaknya aku ingin mati sebagai seorang laki-laki sejati.
Tetapi sekarang, hidup matiku bulat-bulat di tangan Tuan. Juga seandainya Tuan ingin
menyaksikan aku mati di sarang semut Salaka, tidaklah menjadi masalah lagi bagiku," kata
Sagotra.
Mahesa Jenar terharu juga mendengar kata-kata Sagotra. Tetapi meskipun demikian, ia tetap
berhati-hati. Sebab kata-kata itu keluar dari mulut seorang penjahat yang cukup mempunyai
ikatan yang sempurna.
Tidak mustahil bahwa cara-cara yang demikian sering dilakukan untuk mengurangi
kewaspadaan lawan. Hanya karena kejadian itu tampaknya meyakinkan, maka Mahesa Jenar
pun tidak perlu lagi terlalu mencurigainya. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri,
hanyut oleh arus perasaan masing-masing.
Sementara itu nyala api di sebelah selatan itu pun tampak semakin terang. Angin malam pun
terasa demikian dingin menggigit tulang.
"Sagotra, marilah kita pergi," kata Mahesa Jenar kemudian, memecahkan kediaman mereka.
"Mari Tuan," jawab Sagotra.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar berdiri tegak serta memandang ke arah Rara Wilis berbaring.
"Tetapi mestikah gadis itu aku bangunkan? " desis Mahesa Jenar.
"Atau kita menunggu sampai besok, " sahut Sagotra.
"Tidakkah ada bahayanya? Apakah tidak mungkin salah seorang kawanmu datang pula ke
tempat ini? Dengan demikian kaupun pasti akan mendapat kesulitan, " jawab Mahesa Jenar.
Sagotra diam menimbang-nimbang. Memang mungkin sekali salah seorang dari kawannya
datang pula ke tempat ini meskipun mula-mula mereka berpencaran.
"Jadi bagaimana pendapat Tuan?" tanya Sagotra lagi.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ia pun sedang berpikir, bagaimana sebaiknya. Kalau
pada saat itu ia langsung bersama-sama Rara Wilis, pergi ke arah api itu, tidakkah ada
kemungkinan orang-orang yang sedang mencarinya pergi ke arah api itu juga?
"Sagotra, tidakkah kawan-kawanmu juga akan pergi ke arah api itu?"
"Aku kira tidak, Tuan. Pasti mereka tahu bahwa arah itu adalah arah rumah Ki Ardi,"
jawabnya.
Tetapi mungkin pula mereka berpikir bahwa di sana akan dapat mereka temukan kami, yang
dapat diperhitungkan, bahwa kami akan pergi ke arah api itu.
Sagotra mengangguk kecil. Memang masuk akal pula bahwa kawan-kawannya mempunyai
perhitungan yang demikian. Jadi bagaimanakah sebaiknya...?
Kembali mereka diam menimbang-nimbang. Memang tidaklah mudah menghindari
gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 20 orang, justru di wilayah mereka sendiri. Sagotra
yang merupakan salah seorang dari gerombolan itu pun masih belum dapat menemukan,
bagaimanakah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghindari kawan-kawannya.
"Tuan..." akhirnya Sagotra bertanya, "Adakah sesuatu kepentingan Tuan dengan orang itu?"
Mendapat pertanyaan yang demikian, Mahesa Jenar agak menjadi repot untuk menjawabnya.
Pastilah ia tidak akan dapat mengatakan bahwa ia sedang mencari seseorang ada
hubungannya dengan keris Sigar Penjalin. Sebab pastilah ia mendapat jawaban bahwa orang
itu bernama Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak, Wanasaba.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat bahwa kakek Rara Wilis itu menyebut dirinya Ki Santanu.
Karena itu segera ia menjawab, "Sagotra, sebenarnya kedatanganku ke daerah Pliridan ini
adalah untuk mencari seseorang yang bernama Ki Santanu. Kalau aku dapat bertemu dengan
Ki Ardi, mungkin aku akan dapat menanyakan kepadanya tentang orang-orang yang pernah
tinggal di daerah ini. Mungkin ia mengenal orang yang bernama Ki Santanu itu."
Sagotra tampak mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat orang-orang yang
pernah tinggal di daerah ini. Sebab ia dalam melakukan tugasnya banyak berhubungan pula
dengan penduduk, sehingga hampir semua dikenalnya. Tetapi nama Santanu belum pernah
dikenalnya.
"Tuan, barangkali aku dapat mengenal semua orang di sini sedemikian baiknya, seperti juga
Ki Ardi. Tetapi nama itu belum aku dengar. Mungkin disamping namanya ia mempunyai
sebutan lain, atau barangkali Tuan dapat mengatakan kepadaku bagaimanakah ciri-ciri orang
itu? " jawab Sagotra.
Mahesa Jenar menggeleng perlahan-lahan. Katanya, "Aku sendiri belum pernah mengenal
wajahnya. Ia adalah kakek gadis itu. Nah, mungkin kau dapat bertanya kepadanya. Marilah
kita tengok ia, barangkali sudah bangun."
Sagotra tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berjalan di belakang Mahesa Jenar. Tetapi
mendadak terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Cepat seperti kilat, Mahesa Jenar meloncat ke
arah tikar yang masih terbentang. Tetapi Rara Wilis sudah tidak ada lagi terbaring diatasnya.
Jantung Mahesa Jenar bergelora hebat sekali.
Sadarlah ia bahwa ia telah berbuat suatu kelengahan. Di daerah yang berbahaya serta
mengandung banyak rahasia ini, ia telah terlalu lama meninggalkan Rara Wilis seorang diri.
Segera ia berdiri tegak serta mengangkat kepalanya. Memusatkan pikiran serta segenap
pancainderanya untuk menangkap tiap-tiap gerakan maupun suara di sekitarnya. Tetapi tidak
ada yang tampak selain daun dan ranting yang digoyangkan angin, serta tak ada yang
didengar selain gemersik dedaunan itu, serta tarikan nafas Sagotra.
070
MAHESA JENAR adalah seorang yang cukup matang. Ia memiliki ketenangan pikiran serta
kecepatan bertindak. Tetapi meskipun demikian, kali ini hampir kehilangan semua sifatsifatnya itu. Pada saat ia menghadapi Pasingsingan, ia masih tetap sadar dan dapat menguasai
pikiran sepenuhnya. Tetapi sekarang ia menghadapi suatu peristiwa yang belum pernah
dirasakan.
Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai suatu peristiwa yang langsung menusuk
perasaannya yang paling dalam. Dalam ketidaksadarannya tiba-tiba Mahesa Jenar berlari
kesana kemari sambil memanggil-manggil nama Rara Wilis.
Melihat sikap Mahesa Jenar yang demikian itu, Sagotra menjadi heran bercampur cemas,
sehingga terpaksa ia pun turut berlari-lari kian kemari. Tetapi sebagai orang yang lebih tua,
tahulah Sagotra bahwa Mahesa Jenar tidak hanya merasa bertanggung jawab atas hilangnya
Rara Wilis, tetapi pastilah ada suatu perasaan yang jauh lebih dalam daripada itu. Dan
memang demikianlah kiranya.
Mahesa Jenar mencoba mendesak perasaan-perasaan yang menyentuh-nyentuh hatinya
terhadap Rara Wilis, tetapi ternyata perasaan itu telah menyangkut di hatinya sedemikian
eratnya.
Hilangnya Rara Wilis dirasakannya sebagai hilangnya sebagian dari jiwanya sendiri.
Sampai beberapa saat masih saja Mahesa Jenar memanggil-manggil Rara Wilis. Tetapi tidak
ada suara yang menyambutnya. Sehingga ketika Mahesa Jenar sudah pasti, bahwa Rara Wilis
telah lenyap, menggelegaklah darahnya. Tubuhnya bergetar, serta giginya gemeretak. Tibatiba saja ia ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya untuk menyalurkan
amarahnya.
Dalam keadaan yang demikian, dengan penuh kemarahan Mahesa Jenar menyalurkan segala
kekuatannya ke sisi telapak tangannya, disilangkannya tangan kirinya di muka dada, serta
diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi. Dengan sekali loncat ia telah berdiri disamping
sebuah batu seperut kerbau. Maka dengan menggeram hebat sekali, dihantamnya batu itu
sampai pecah berserakan.
Sagotra adalah seorang penjahat yang telah banyak makan garam. Telah banyak sekali ia
menyaksikan betapa hebatnya Lawa Ijo. Tetapi ketika ia menyaksikan apa yang telah
dilakukan oleh Mahesa Jenar, tubuhnya menjadi gemetar. Pada saat ia menyaksikan Lawa Ijo
terluka parah, sama sekali ia tidak percaya, bahwa luka itu disebabkan oleh karena pukulan
tangan saja. Ia menyangka, bahwa orang yang telah melukainya pasti mempergunakan senjata
rahasia atau sebangsanya.
Tetapi sekarang, ketika ia berkesempatan untuk menyaksikan sendiri, akibat dari pukulan
orang yang telah melukai Lawa Ijo itu, bulu tengkuknya serentak berdiri. Kalau misalnya saja,
pukulan itu dikenakan kepalanya, pastilah akan hancur berserakan pula lebih dari batu itu.
Diam-diam Sagotra mengucap syukur dalam hatinya, bahwa Mahesa Jenar tidak masuk dalam
jebakan mereka. Sebab kalau sampai hal itu terjadi, maka akibatnya pasti hebat sekali.
Meskipun gerombolannya berjumlah 20 orang, serta diantaranya ada orang-orang seperti
Wadas Gunung, Carang Lampit yang mempunyai kepandaian hampir setingkat Wadas
Gunung, Bagolan yang terkenal mempunyai aji welut putih, serta beberapa orang lagi, tetapi
sulitlah kiranya untuk dapat menangkap Mahesa Jenar. Andaikata itu bisa terjadi, pastilah
lebih dari separo diantaranya sudah tak lagi sempat menyaksikan datangnya fajar.
Tetapi belum lagi Sagotra habis berangan-angan, tiba-tiba matanya terbelalak lebar, tubuhnya
semakin gemetar lagi, serta peluh dingin mengalir membasahi seluruh badannya. Pada saat
itu, Mahesa Jenar yang tidak puas dengan pelepasan amarahnya, mendadak meloncati Sagotra
dan langsung memegang leher orang itu, sambil menggeram, "Setan, rupanya kau telah
memancing aku untuk menjauhi Wilis."
Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, nafas Sagotra telah terasa sesak. Ingin ia
menjawab, tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya, karena ketakutannya yang amat
sangat. Ia tahu betul, bahwa dalam keadaan yang demikian dapat saja Mahesa Jenar bertindak
diluar kesadarannya.
Wajah Mahesa Jenar yang lunak, kini telah berubah menjadi merah membara dibakar oleh
kemarahannya. Kedua tangannya yang memegang leher Sagotra semakin lama semakin
menekan.
Kini nafas Sagotra benar-benar menjadi sesak. Tangan Mahesa Jenar itu terasa demikian erat
mencekik lehernya, sampai akhirnya ia merasa, bahwa akhir hidupnya telah tiba, justru karena
hal yang sama sekali tak diketahuinya. Tetapi ketika telah terasa, bahwa harapan untuk hidup
sudah tidak ada lagi, hatinya malahan menjadi tenang.
"Tuan, aku tidak akan menghindarkan diri dari hukuman yang akan Tuan jatuhkan atas diriku.
Sebab hal yang demikian adalah wajar sekali. Tetapi yang aku sangat sedih adalah justru
kematianku disebabkan oleh suatu hal yang sama sekali tak kumengerti. Sebab aku sama
sekali tak sengaja menjauhkan Tuan dari gadis itu. Maka, kalau Tuan benar-benar akan
membunuhku, bunuhlah aku sebagai salah seorang anggota gerombolan Lawa Ijo yang ingin
mencelakakan Tuan, " kata Sagotra suara susah payah.
Ternyata kata-kata yang diucapkan dalam keadaan yang putus asa itu, dapat menyentuh
kesadaran Mahesa Jenar. Apalagi ketika Mahesa Jenar sejenak memandang wajah Sagotra
yang kasar, jelek dan kotor, tetapi yang dari matanya memancar keputus-asaan dan
kekosongan. Bahkan lama-kelamaan berubah menjadi seperti mata kanak-kanak yang belum
pernah dijamah dosa.
Demikianlah, maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar dijalari kembali oleh sifat-sifatnya,
serta sedikit demi sedikit pikirannya dapat bekerja kembali. Sejalan dengan itu pegangan
tangannya pun menjadi semakin kendor dan kendor, sehingga akhirnya dilepaskanlah leher
Sagotra itu sama sekali.
"Maafkanlah aku," Sagotra, bisik Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu kembali hati Sagotra melonjak hebat sekali. Hampir saja air matanya
tidak lagi dapat ditahannya.
"Sagotra...," kata Mahesa Jenar selanjutnya, yang bagaimanapun masih ingin mendapat lebih
banyak penjelasan, "Benarkah kau tidak berbuat itu?"
"Tuan, memang aku dapat memahami tuduhan itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa
kedatanganku sama sekali tak ada hubungannya dengan hilangnya gadis itu. Kecuali kalau hal
ini dilakukan oleh orang-orang segerombolanku di luar rencana semula," jawab Sagotra.
071
Mahesa Jenar menundukkan kepala. Tetapi ia dapat mempercayai kata-kata Sagotra. Sebab
andaikata hal itu dilakukan oleh kawan-kawan Sagotra, bahkan Jaka Soka sekalipun, ia pasti
akan dapat menangkap suara ataupun gerak dari orang itu, sebab untuk mengalahkan Sagotra
ia sama sekali tidak perlu memusatkan segala perhatiannya. Apalagi jarak mereka dengan
Rara Wilis berbaring tidaklah demikian jauhnya. Karena itu ia menduga, bahwa hal ini
dilakukan oleh seseorang yang memiliki kehebatan luar biasa pula.
Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang, ketika ia mengingat betapa cepatnya Pasingsingan
bertindak. Perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tikar yang masih terbentang itu. Tiba-tiba
Mahesa Jenar melihat bungkusan Rara Wilis masih juga ada di situ. Ia jadi teringat, bahwa
dalam bungkusan itu terdapat sebilah keris pusaka Ki Ageng Pandan Alas, yaitu Kiai Sigar
Penjalin.
Tetapi alangkah terkejut serta kecewanya ketika ternyata keris itu telah lenyap pula. Akhirnya
seperti orang yang dicopoti segala tulangnya. Ia duduk lemas diatas tikar Rara Wilis.
Sagotra yang masih saja mengikutinya kemana ia pergi, duduk pula di atas tikar di belakang
Mahesa Jenar. Tetapi sama sekali ia tidak berani menegurnya.
Angin malam masih saja berhembus silir, yang bagi Mahesa Jenar terdengar sebagai sebuah
lagu sedih yang mengiringi ratapan hatinya. Tiba-tiba saja ia merasa, bahwa tanpa disengaja
ia telah menguntai butiran-butiran mutiara harapan yang kini telah terenggut dan berderai
berserakan.
Alangkah dalam luka yang dideritanya. Dua masalah yang sekaligus menghancurkan
perasaannya. Sebagai seorang laki-laki langsung ia telah dihinakan. Sebuah
pertanggungjawaban yang digenggamnya telah dirampas oleh orang tanpa dapat berbuat apaapa, dan sekaligus yang hilang itu adalah sebagian dari jiwanya pula.
Dalam keadaan yang demikian tiba-tiba seperti orang bermimpi Mahesa Jenar mendengar
alunan lagu Dandanggula sayup-sayup sampai. Mendengar lagu itu, geragapan Mahesa Jenar
berdiri. Meskipun lagu itu tidak begitu jelas, tetapi segera Mahesa Jenar mengenal, bahwa
Dandanggula itu telah dibawakan oleh seorang yang oleh Pasingsingan beberapa hari yang
lalu disebut Pandan Alas.
Seperti juga beberapa hari yang lalu, suara itupun bergulung-gulung berkumandang
memenuhi segala penjuru. Sehingga sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk mengetahui dengan
pasti arah suara itu.
Mahesa Jenar segera berdiri tegak, kepalanya sedikit diangkat ke atas dengan memusatkan
pancainderanya untuk menangkap getaran Dandanggula yang lamat-lamat sampai ke
telinganya. Pada saat itu, perasaan Mahesa Jenar sedang bergolak hebat, karena hilangnya
Rara Wilis.
Karena itu, seakan-akan Mahesa Jenar mendapat suatu tenaga rohaniah tambahan yang cukup
besar, sehingga kemampuan Mahesa Jenar pun seakan-akan bertambah. Dengan demikian,
setelah beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri, hampir seperti orang bersamadi, perlahanlahan ia dapat menangkap arah suara yang sayup-sayup sampai ke telinganya itu.
Maka ketika ia telah mendapat suatu kepastian dari mana arah suara itu, cepat seperti kilat ia
meloncat dan kemudian menyusup gerumbul menuju arah barat.
Sagotra bertambah heran menyaksikan kelakuan Mahesa Jenar, disamping keheranannya
mendengar suara lagu Dandanggula itu. Karena itu ia pun segera berlari mengikuti Mahesa
Jenar, sehingga mereka berdua seolah-olah sedang bermain kejar-kejaran.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah keluar dari gerumbul kecil itu, serta dengan cekatan
sekali ia melompat keatas gundukan tanah yang agak tinggi untuk dapat menangkap setiap
gerak di padang rumput yang terbuka itu. Sebab mustahil kalau sampai ada orang di padang
terbuka yang sedemikian itu sampai terlepas dari pengawasannya yang seakan-akan
mempunyai kelebihan dibanding mata orang biasa.
Tetapi sampai beberapa saat, sama sekali ia tidak melihat suatu apapun. Sedang suara
Dandanggula itupun telah berhenti.
Sementara itu, bulan pun telah rendah sekali, hampir sampai ke garis cakrawala, sehingga
malam menjadi semakin kelam. Mahesa Jenar menjadi semakin mengeluh dalam hati.
Dirasanya betapa picik pengetahuan serta rendah ilmu yang dimilikinya, sehingga dalam
keadaan seperti ini sama sekali ia tidak berdaya.
Pada mulanya ia merasa, bahwa cukuplah kiranya bekal yang dimiliki untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang dalam perantauannya. Tetapi ternyata
menghadapi tokoh-tokoh macam Pasingsingan, Ki Ageng Pandan Alas, ia tidak lebih dari
seorang anak kecil yang baru pandai berdiri.
Tiba-tiba saja ia menangkap bayangan yang membayang tepat di hadapan wajah bulan yang
hampir lenyap itu. Heranlah Mahesa Jenar, kenapa baru saat itu ia menangkap bayangan yang
berada di tempat terbuka.
Dalam keremangan bulan yang masih memancarkan sinarnya yang terakhir itu Mahesa Jenar
dapat melihat dengan jelas bayangan dari dua orang, laki-laki dan perempuan. Ia hampir pasti
bahwa perempuan itu adalah Rara Wilis, sedang laki-laki yang membimbingnya itu tampak
bertubuh kurus tinggi.
Melihat hal itu berdebarlah jantungnya cepat sekali. Tetapi ketika ia hampir saja melompat
mengejar bayangan itu, tiba-tiba ia menjadi tertegun heran. Kedua orang itu melambaikan
tangannya kepadanya, seakan-akan menyampaikan ucapan selamat tinggal.
072
TERASA ada suatu kesan yang aneh meraba-raba hati Mahesa Jenar. Mula-mula timbul suatu
perasaan yang sakit, ketika ia melihat Rara Wilis bersama-sama dengan seorang laki-laki yang
tidak dikenalnya. Tetapi ketika Mahesa Jenar teringat akan lagu Dandanggula yang baru saja
didengarnya, segera teringat pulalah ia akan Ki Ageng Pandan Alas. Lebih-lebih ketika
ternyata laki-laki itu dengan tangannya yang lain melambaikan sebilah keris yang tampak
seperti membara di keremangan malam.
Tahulah Mahesa Jenar, bahwa itulah Sigar Penjalin yang sudah berada di tangan pemiliknya.
Juga mau tidak mau pastilah ia menghubungkan nama Ki Santanu dengan Ki Ageng Pandan
Alas. Maka dengan sedih serta hati yang kosong, diluar sadarnya Mahesa Jenar mengangkat
tangannya pula untuk melambaikan salam perpisahan.
Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama dengan lenyapnya butiran-butiran yang
pernah berkilau di hatinya.
Sekali lagi Mahesa Jenar lemas seperti kehilangan segala tulang-belulangnya. Sebagaimana
manusia biasa, ia merasa betapa sedihnya perpisahan yang terjadi secara tiba-tiba itu.
Terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi, sejak pertama kalinya ia tertarik
kepada wajah Rara Wilis yang terselip diantara beberapa orang yang akan menyeberang hutan
Tambakbaya. Terbayang pula bagaimana pada malam pertama gadis cantik itu ketakutan
mendengar teriakan-teriakan binatang hutan, serta bagaimana Jaka Soka berusaha untuk
menculiknya, sehingga terpaksalah ia ikut serta dalam perkelahian antara para pengawal
dengan Jaka Soka. Dengan terpaksa pula ia harus berhadapan untuk kedua kalinya dengan
Lawa Ijo. Juga terbayang dengan jelas, bagaimana selanjutnya ia harus mengantar Rara Wilis
seorang diri ke daerah Tambakbaya yang rasanya bagaikan tamasya yang tak akan terlupakan.
Juga pada saat terakhir dimana ia menunggui gadis itu, yang tidur dengan nyenyaknya karena
lelah. Kakinya, tangannya, dadanya yang penuh berisi serta rambutnya yang bergerak-gerak
dibelai angin.
Mahesa Jenar terduduk di rerumputan liar sambil menutup mukanya dengan kedua belah
tangannya. Ingin ia segera melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi semakin keras ia
berusaha, semakin jelas gambaran-gambaran itu menerawang di hatinya.
Sagotra juga masih saja berada di belakang Mahesa Jenar, dapat merasakan kesedihan Mahesa
Jenar sepenuhnya. Meskipun selama ini perasaannya dikuasai oleh nafsu untuk membunuh,
merampas dan sebagainya, tetapi sebagai manusia ia pun pernah merasakan tali batin yang
pernah menjeratnya.
Tetapi sampai sekian, yang tak dimengertinya, kenapa Mahesa Jenar sama sekali tak berbuat
apa-apa ketika ia menyaksikan bayangan yang tiba-tiba muncul di depan wajah bulan yang
hampir tenggelam itu. Meskipun ia tahu betapa hebatnya orang yang membawa Rara Wilis
itu, tetapi ia mengagumi Mahesa Jenar sebagai manusia luar biasa. Sehingga meskipun
dengan agak ragu-ragu ia beranikan diri untuk bertanya, "Tuan, kenapa Tuan tidak bertindak
ketika mereka menampakkan diri di hadapan Tuan?"
Mahesa Jenar baru merasa bahwa ia berkawan, ketika ia mendengar sapa itu. Perlahan-lahan
ia menoleh, serta menjawabnya, "Sagotra, tidakkah kau tahu siapa dia? Sehingga tak akan
bergunalah kalau aku mengejarnya."
"Siapakah orang itu, Tuan?" tanya Sagotra ingin tahu.
"Ki Ageng Pandan Alas," jawab Mahesa Jenar.
"Ki Ageng Pandan Alas...?" ulang Sagotra terkejut. "Jadi dialah orangnya yang mempunyai
kesaktian sejajar dengan Ki Pasingsingan? "
Mahesa Jenar mengangguk perlahan, sedang Sagotra dengan penuh ketakjuban menggelenggelengkan kepalanya. Itulah sebabnya maka orang itu berhasil mengambil Rara Wilis tanpa
diketahui oleh orang seperti Mahesa Jenar.
"Kenapa Rara Wilis ia ambil?" tanyanya lebih lanjut. "Adakah hubungan antara mereka? "
"Aku tidak tahu, Sagotra," jawab Mahesa Jenar. "Tetapi yang aku ketahui adalah Rara Wilis
membawa keris Sigar Penjalin."
"Itulah pusaka Ki Ageng Pandan Alas," potong Sagotra.
"Ya," sambung Mahesa Jenar. "Tetapi Rara Wilis mengatakan, bahwa keris itu berasal dari
kakeknya yang bernama Ki Santanu."
Tiba-tiba saja karena kata-katanya sendiri Mahesa Jenar teringat pada nama yang disebutkan
Sagotra, yaitu Ki Ardi. Apalagi ketika ia memandang ke arah selatan, masih tampaklah di
sana bayangan warna merah di udara. Maka timbullah kembali keinginannya untuk bertemu
dengan orang itu. Sebab darinya ia ingin mendapat beberapa keterangan tentang orang-orang
yang pernah tinggal di daerah itu. Karena itu katanya kepada Sagotra, "Sagotra, marilah
antarkan aku kepada Ki Ardi."
"Masih adakah gunanya?" sahut Sagotra.
"Aku tidak tahu, Sagotra. Tetapi antarkan aku ke sana," jawab Mahesa Jenar.
Maka dengan tidak menjawab lagi Sagotra langsung berdiri serta bersama-sama Mahesa Jenar
menempuh jalan ke arah selatan menuju rumah Ki Ardi.
Demikianlah malam menjadi gulita, karena kedipan bintang-bintang di langit tidak mampu
menyibakkan gelapnya malam.
Mereka berjalan tanpa lagi banyak berbicara. Sagotra yang tampaknya sudah agak biasa
berjalan di daerah ini, berjalan di depan. Sedang Mahesa Jenar, meskipun belum banyak
mengerti tentang daerah yang dilalui, tetapi ia mempunyai pandangan yang tajam sekali,
sehingga tidaklah banyak menemui kesulitan.
Demikianlah maka setapak demi setapak mereka mendekati arah api yang masih menyalanyala.
Maka setelah mereka berjalan beberapa lama, melewati padang ilalang, serta menyusup
gerumbul-gerumbul kecil yang berserakan disana-sini, sampailah mereka di sebuah bukit
kapur yang kecil. Mahesa Jenar serta Sagotra tidak langsung menampakkan diri, tetapi dari
jarak beberapa depa mereka masih berdiri di semak-semak. Dari situlah mereka menyaksikan
tempat kediaman Ki Ardi
073
KI ARDI sendiri yang pada saat itu sedang berada disamping api yang menyala nyala, sedang
memahat sebuah batu besar. Ternyata rumah Ki Ardi tidaklah lebih dari sebuah goa di bukit
kecil itu, yang langsung menghadap ke batu besar yang sedang dipahatnya.
Ketika Mahesa Jenar mengamat-amati pahatan Ki Ardi itu, ia menjadi kagum. Di atas batu
yang besar itu dipahatkan gambar seekor ular naga besar, yang tampaknya sedang marah.
Kepalanya menengadah ke atas, serta mulutnya menganga lebar. Disela-sela giginya yang
runcing mengerikan itu tampaklah lidahnya menjulur keluar. Sedang ekor naga itu terurai ke
belakang, berlekuk-lekuk. Di belakang serta di depan ular yang sedang marah itu, tampaklah
dua ekor yang tak kalah garangnya, siap menerkam. Kuku-kuku serta taring-taring harimau
itu tampak tajam menakutkan.
Sebelum itu Mahesa Jenar telah sering melihat pahatan-pahatan batu serta patung-patung yang
bagus buatannya di kota-kota. Bahkan candi-candi yang termasyur pun telah sering pula
dikunjungi. Namun pahatan Ki Ardi itu tidak pula kalah indahnya. Garis-garisnya tegas dan
mantap, sehingga pahatan itu dapat mengungkapkan watak serta keadaan binatang-binatang
itu sejelas-jelasnya.
Mereka yang menangkap pahatan itu segera akan dapat merasakan, bahwa seolah-olah
sebentar lagi akan terjadi pergulatan dahsyat antara naga raksasa itu melawan dua ekor
harimau yang ganas.
Sagotra yang hampir sepanjang hidupnya tak pernah mengenal arti bentuk semacam itu, tak
begitu dapat mengenal betapa tinggi nilai pahatan Ki Ardi. Yang tampak olehnya pada saat itu
tidaklah lebih gambar seekor naga yang hendak bertempur melawan dua ekor harimau. Tidak
nampak olehnya mata naga itu sedemikian menyala karena marahnya, sedang kedua harimau
itu telah begitu bernafsu untuk menguasai lawannya.
Mahesa Jenar yang mengagumi keindahan pahatan itu, tidak jemu-jemu selalu
memandanginya dengan saksama. Baris demi baris dinilainya dari berbagai sudut. Tetapi
lebih dari itu, mendadak ia terperanjat. Hatinya bergoncang hebat, sampai diluar sadarnya ia
meloncat maju. Melihat hal itu, Sagotra menjadi terkejut pula. Apalagi yang menyebabkan
Mahesa Jenar berbuat demikian? Tidak pula kalah kagetnya Ki Ardi sendiri, sampai-sampai ia
terlonjak.
Apa yang nampak pada Mahesa Jenar, lukisan naga itu tidak lain daripada lukisan Keris
Nagasasra. Ketika tanpa disengaja ia menghitung lekuk tubuh naga itu yang berjumlah 11,
maka Nagasasra itu sekaligus mewujudkan dapur Sabuk Inten pula.
"Nagasasra Sabuk Inten...?" desis Mahesa Jenar.
Ki Ardi yang masih belum dapat menguasai dirinya, menjadi ketakutan, sampai tubuhnya
gemetar. Tanpa menduga-duga, tiba-tiba saja seseorang telah muncul di sampingnya tanpa
suara.
Dengan mata yang menyorotkan berbagai dugaan Mahesa Jenar bergantian memandang
kepada Ki Ardi dan hasil pahatannya yang berwujud Nagasasra Sabuk Inten. Melihat bentuk
Naga yang hampir tepat seperti bentuk keris Kiai Nagasasra, yang hanya berbeda ukurannya
saja, pastilah Ki Ardi pernah setidak-tidaknya melihat keris itu, sedang dapur Sabuk Inten
yang menyamai lekuk keris Kiai Sabuk Inten pun menimbulkan dugaan pada Mahesa Jenar
bahwa Ki Ardi pernah melihat kedua duanya, yang kebetulan pada saat ia meninggalkan
Demak, kedua keris itu sedang lenyap dari gedung perbendaharaan.
Apalagi telah didengarnya pula dari Samparan bahwa ada kepercayaan golongan hitam,
bahwa kedua keris itu telah mempunyai keturunan atau rangkapannya masing-masing yang
justru sedang diperebutkan. Tetapi yang masih belum dapat diketahui dengan pasti adalah
yang diperebutkan itu benar-benar rangkapannya atau malahan aslinya yang lenyap dari
perbendaharaan Kerajaan Demak.
Berbagai pikiran hinggap pergi di kepala Mahesa Jenar. Tetapi tidaklah mungkin kalau hal ini
hanyalah suatu kebetulan. Atau malah Ki Ardi termasuk salah seorang dari golongan hitam
yang juga sedang memperebutkan keris itu? Sedemikian besar keinginannya untuk
memilikinya, sehingga terwujud dalam pahatannya sebagai ungkapan perasaannya. Malahan
tiba-tiba Mahesa Jenar teringat pada kata-kata Samparan beberapa hari yang lalu sebelum
menghembuskan nafas terakhirnya, bahwa di kalangan hitam terdapat nama sepasang suamiistri Sima Rodra.
Tetapi menurut Samparan, Sima Rodra itu berdiam di Gunung Tidar. Namun tidak mustahil
kalau si suami pergi merantau dalam usahanya menemukan Nagasasra dan Sabuk Inten. Kalau
demikian halnya, anehlah kalau Lawa Ijo sampai tidak tahu, bahwa di daerahnya bermukim
salah seorang saingannya. Kalau saja Sagotra yang tidak mengerti, itu adalah hal yang wajar.
Tetapi apa yang dilukiskan dalam pahatan itu, hampir jelas sekali. Dua ekor harimau yang
dikatakan itu adalah suami Sima Rodra yang sedang siap menerkam seekor naga yang
melukiskan Keris Kyai Nagasasra sekaligus Kyai Sabuk Inten.
Karena itu Mahesa Jenar ingin mendapatkan kepastian dari dugaannya. Kalau saja orang itu
benar-benar Sima Rodra, pastilah ia mempunyai ketahanan yang setingkat dengan Lawa Ijo.
Karena itu ia tidak ingin terlibat dalam pertempuran, sebab dalam keadaannya yang sekarang
ini, dimana jiwanya sedang bergolak, maka tidaklah mustahil baginya, segera mengambil
keputusan untuk mempergunakan ilmunya Sasra Birawa apabila sedikit saja ia terdesak.
Karena itu ia ingin dengan singkat serta tanpa diduga-duga, menguasai orang itu, sehingga
tidak usah terjadi pertempuran. Sedang ia akan dapat memaksa lawannya untuk memberi
keterangan tentang kedua keris itu.
Maka setelah Mahesa Jenar mendapat kepastian pikiran, segera dengan gerakan kilat ia
meloncat menangkap dengan tangkapan mati pergelangan tangan Ki Ardi. Tetapi apa yang
dialami adalah diluar dugaan. Ketika tangannya menyentuh kulit Ki Ardi terasalah bahwa
tangan itu sedemikian kendornya, serta tak bertenaga. Sehingga Mahesa Jenar malah terkejut.
074
Dengan tak disengaja maka mulailah Mahesa Jenar memandangi tubuh Ki Ardi. Ternyata
baru saat itulah ia dapat mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya,
perhatiannya telah terikat oleh pahatan orang itu.
Ki Ardi meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia tidaklah pendek. Umurnya telah agak
lanjut, dan ini ditandai oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika
Mahesa Jenar memandang mata orang tua, yang menatapnya dengan keheran-heranan atas
kelakuannya, Mahesa Jenar menjadi terkejut. Meskipun orang itu matanya yang tampaknya
sedemikian bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga nampaklah
dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin dalam, seakan-akan sumur itu akan
mengisap hanyut. Mahesa Jenar menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas,
sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin cepat.
Sadarlah Mahesa Jenar kemudian, bahwa ia sama sekali tidak berhadapan dengan seorang
yang mengutamakan kekuatan jasmaniah. Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan
batin yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat mempengaruhi orang lain.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga
segera tangan Ki Ardi dilepaskan dan ia meloncat tiga langkah surut.
Sagotra sama sekali tidak tahu maksud serta akibat perbuatan Mahesa Jenar itu, sehingga ia
masih saja berdiri diam seperti patung. Tetapi ia menjadi heran, ketika dilihatnya tiba-tiba
Mahesa Jenar membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata, Maafkan aku Ki Ardi,
aku telah salah duga terhadap Bapak.
Ki Ardi masih saja memandanginya dengan sorot mata keheranan. Bahkan kesan-kesan
ketakutannya pun masih ada. Dan inilah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin pening.
Orang yang mempunyai pengaruh sedemikian besarnya, hanya dengan sorot matanya saja,
tetapi yang seakan-akan tidak sadar akan kekuatannya sendiri, sehingga masih saja berkesan
ketakutan.
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Bagaimanapun, ia adalah seorang
bekas prajurit pengawal raja yang sudah sering mengalami hal-hal yang tampaknya diluar
kewajaran. Maka dalam hal itu pun segera Mahesa Jenar sadar, bahwa pastilah ada suatu
rahasia yang menyelubungi orang tua itu. Pastilah ada hal-hal yang sengaja disembunyikan.
Mungkin ia sengaja berbuat demikian supaya orang tidak mengenal atau menduga, bahwa
sebenarnya ia mempunyai kelebihan dari orang lain.
Maka dengan hormatnya, sekali lagi Mahesa Jenar berkata, Maafkan, aku yang salah duga
terhadap Bapak.
Sejenak kemudian tampaklah bibir orang itu bergerak-gerak dan terdengarlah suaranya kecil
bergetar, "Tuan, apakah salahku sehingga Tuan menyakiti aku?"
Mahesa Jenar menundukkan mukanya dengan penuh penyesalan atas kelancangannya. Maka
jawabnya, "Bapak, sama sekali Bapak tidak bersalah. Tetapi akulah yang berbuat kesalahan
terhadap Bapak."
Orang tua itu tidak menjawab lagi. Hanya matanya yang sudah cekung itu merenung jauh
sekali menembus gelap malam. Kembali Mahesa Jenar kagum atas mata itu, yang seakanakan dapat menelan segala isi padang ilalang luas itu, bahkan isi dari hutan Tambakbaya.
Ingin ia menghubungkan orang tua ini dengan Ki Ageng Pandan Alas yang diduganya juga Ki
Santanu. Tetapi Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang mempunyai kekuatan jasmaniah
luar biasa, sehingga hanya dengan kapak batu kuno ia dapat melukai sebatang pohon yang
besarnya lebih dari empat pemeluk, hampir separonya. Sedangkan orang tua ini mempunyai
tubuh yang kendor dan sama sekali tak bertenaga. Apalagi baru beberapa saat berselang Ki
Ageng Pandan Alas pergi bersama-sama Rara Wilis. Meskipun demikian, setiap kemungkinan
bisa terjadi. Mengingat hal itu semua, Mahesa Jenar semakin sibuk berpikir.
Akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa sebaiknya ia dengan baik-baik bertanya, mengenai
pahatan itu.
"Bapak..., yang kau lakukan mendorong keinginanku untuk mengetahui pahatan yang sedang
Bapak buat itu," kata Mahesa Jenar.
Orang itu menjadi heran mendengar kata-kata Mahesa Jenar. "Adakah dengan membuat
pahatan ini aku telah berbuat kesalahan terhadap tuan? " jawab orangtua itu.
"Tidak Bapak," sahut Mahesa Jenar cepat-cepat, " Tetapi bolehkah aku bertanya, apakah yang
sedang Bapak pahat itu? "
Kembali orang itu heran. Kemudian dengan langkah yang lambat serta agak kebongkok
bongkokan orang itu berjalan menjauhi pahatannya beberapa depa, lalu mengamat-amati
dengan seksama.
Tiba-tiba saja ia tersenyum, serta matanya menjadi cerah. "Pahatanku sudah hampir selesai.
Apa yang tadi tuan tanyakan?"
"Pahatan itu.... Apakah yang sedang Bapak pahat?" tanya Mahesa Jenar.
"Tidakkah Tuan tahu.... " kata orang tua itu sambil mendekati pahatannya. Dan kemudian
diraba-rabanya hasil kerjanya itu dengan mesra. "Bukankah ini seekor naga? Katakanlah
Tuan, apakah aku tidak berhasil melukis seekor naga?"
"Tentu, tentu," jawab Mahesa Jenar dengan cepat
.
"Lalu apa yang Tuan tanyakan?" tanya orang tua itu.
"Maksudku, apakah yang Bapak lukiskan itu seekor naga, atau suatu bentuk dari benda-benda
yang pernah Bapak lihat sebelumnya?"
Orang tua itu semakin heran. "Adakah Tuan pernah melihat sesuatu benda yang mirip dengan
pahatanku ini?"
Mahesa Jenar jadi ragu. Mula-mula ia ingin mengatakan tentang keris Nagasasra yang
mempunyai bentuk yang sama dengan pahatan naga itu. Mustahil kalau kesamaan itu
hanyalah kebetulan saja. Kesamaan cita dalam cipta yang sampai sedemikian dekatnya
dengan aslinya. Kesamaan yang sedemikian itu pastilah yang satu diilhami oleh yang lain atau
malahan salinan sepenuhnya. Tetapi akhirnya diurungkannya keinginan itu. Karena tidak akan
banyak gunanya. Sebab pastilah orang tua itu sengaja merahasiakan.
Akhirnya Mahesa Jenar hanya berkata, "Tidak... Bapak, tetapi apa yang Bapak pahatkan
adalah suatu bentuk yang dahsyat sekali. Ataukah Bapak pernah melihat seekor naga yang
sedemikian?"
075
Ki Ardi mengerutkan keningnya. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum. "Belum, Tuan. Aku
belum pernah melihat seekor naga pun. Yang pernah aku lihat hanyalah ular-ular kecil yang
sering berkeliaran di sekitar tempat ini. Tetapi aku pernah mendengar dongeng dongeng
tentang seekor naga. Nah, menurut gambaran angan anganku sedemikianlah kira-kira
bentuknya."
Kembali orang tua itu meraba-raba pahatannya. Ia nampaknya bangga serta bahagia sekali
atas hasil kerjanya.
"Tuan...," katanya kemudian, "Silakan Tuan berdua duduk. Aku ingin menyelesaikan
pekerjaan ini, sekarang juga. Sebab tidaklah mungkin untuk ditunda. Sementara itu silakan
Tuan mendengarkan dongeng tentang naga yang sedang aku pahatkan ini."
Tanpa menunggu jawaban, Ki Ardi segera mulai dengan kerjanya kembali. Mahesa Jenar dan
Sagotra segera mengambil tempat duduk di dekat api yang masih menyala-nyala. Suaranya
gemeretak, karena ledakan-ledakan kecil yang ditimbulkan oleh dahan-dahan yang sedang
dimakan api.
Sambil memahat, Ki Ardi mulai berceritera.
"Naga ini menurut ceritera dilahirkan dalam dua alam yang berbeda tempatnya. Tetapi dalam
pahatanku ini, tidaklah kedua-duanya aku lukiskan, tetapi aku ingin mendapat satu bentuk
kesatuan dari dua ekor naga itu. Seekor naga dilahirkan di samodra, sedangkan satu lagi
dilahirkan di angkasa. Tetapi diatas bumi ini mereka bertemu dan bersahabat. Keanehan dari
kedua ekor naga itu adalah, yang seekor bersisikkan emas, sedangkan yang seekor, di leher,
perut serta ekornya berbalutkan intan permata. Pada suatu hari, raja yang sedang berkuasa
diatas bumi ini, merasa disusahkan oleh seorang putrinya," kata Ki Ardi mengawali ceritanya.
"Putri itu," lanjut Ki Ardi, "jatuh cinta kepada seorang yang sama sekali tak dikehendaki oleh
ayahandanya. Sebab laki-laki itu bukanlah laki-laki biasa. Menurut ceritera, laki-laki itu
berasal dari bintang kemukus yang sering membawa bencana. Hanya karena laki-laki itu
terlalu sakti, maka tidak ada yang berani mengganggunya. Maka pada suatu ketika bertemulah
raja itu dengan kedua ekor naga yang sedang merantau mengelilingi bumi ini.
Raja itu kemudian minta kedua ekor naga itu untuk mengusir laki-laki yang mengganggu
puterinya. Kedua ekor naga itu menyanggupinya. Didatanginya laki-laki yang berasal dari
bintang kemukus itu. Maksudnya, apabila tidak perlu, masalahnya akan diselesaikan dengan
damai. Tetapi rupanya laki-laki itu merasa yakin akan kesaktiannya, sehingga akhirnya
terjadilah pertempuran yang maha dahsyat. Kedua ekor naga itu pun ternyata mempunyai
kesaktian yang luar biasa. Laki-laki itu dengan bersenjatakan petir di kedua belah tangannya
menyerang dengan ganasnya, sedangkan naga yang bersisik emas itu, dari mulutnya
menyembur api yang menyala-nyala. Sementara itu naga yang bersisik intan permata itu, dari
kedua matanya memancar sinar yang beracun."
"Tetapi karena kesaktian mereka masing-masing, senjata-senjata itu hampir tidak banyak
berguna. Laki-laki bintang itu ternyata tidak saja mampu bertempur di atas daratan. Sekalisekali ia terjun pula ke dasar lautan. Tetapi naga yang lahir di dalam samodra itu tidak
membiarkannya.
Disusullah ia ke dasar lautan dan bertempurlah mereka di sana. Air laut pun menjadi bergolak
seakan-akan mendidih. Kalau laki-laki itu jemu bertempur di lautan, terbanglah ia ke angkasa.
Dan bertempurlah mereka di udara."
"Demikian dahsyat pertempuran itu sampai langit menjadi gelap, hanya kadang-kadang saja
memancar kilat dan petir disela oleh semburan api yang tak terkira panasnya, keluar dari
mulut naga bersisik emas itu."
"Demikianlah pertempuran itu berlangsung sampai 40 hari, 40 malam. Tetapi masih saja
belum ada yang nampak akan kalah. Bahkan pertempuran itu semakin lama semakin sengit.
Sekali waktu terjadi di dalam samodra, dan sekali waktu di angkasa," cerita Ki Ardi.
Tiba-tiba orang tua itu berhenti, sambil perlahan-lahan ia berjalan mundur menjauhi
pahatannya. Sebentar ia tersenyum dan sebentar kemudian keningnya berkerut.
"Tuan, pahatanku telah selesai. Apakah kata tuan tentang ini?" kata orangtua itu kepada
Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar yang sejak semula telah merasakan keindahan pahatan itu menjawab, "Bagus,
Ki Ardi."
Ki Ardi tertawa perlahan. Lalu sambungnya, "Baru sekarang aku mendapat pujian atas hasil
kerjaku. Selama ini tidak pernah seorang pun, jangankan pujian-pujian, sedang perhatian saja
tidak pernah aku dapatkan. Sagotra dengan kawan-kawannya yang sering berkeliaran di
daerah ini, sama sekali tidak dapat menikmati hasil pekerjaanku. Nah, Sagotra, apa katamu
sekarang?"
Sagotra yang sejak tadi berdiam diri, menjadi agak bingung untuk menjawab pertanyaan Ki
Ardi itu. Maka ia menjawab sekenanya saja, "Bagus, Ki Ardi."
Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar jawaban Sagotra. "Apa yang bagus?"
Sagotra menjadi agak tersipu mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mau kalah. "Nagamu
itu Ki Ardi, kalau saja bersisikkan emas benar-benar, serta berbalutkan intan permata,
mungkin umurmu tidak lebih dari malam ini."
Kembali Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. "Pastilah itu terjadi kalau nagaku benar-benar
seperti dongeng yang pernah aku dengar itu. Tetapi sesudah kau bunuh aku, kau juga akan
mati ditelan nagaku ini."
Rupanya Sagotra bukan ahli berdebat. "Orang tua gila. Kalau kau tanyakan pendapat orang
lain mengenai pahatanmu itu, pastilah kau mengharap orang itu memujinya. Tetapi
pahatanmu itu sebenarnya sangatlah jelek," gerutu Sagotra.
076
Ki Ardi masih saja tertawa. Rupanya ia sudah biasa bergaul dengan Sagotra serta kawankawannya Lawa Ijo yang lain.
"Sebaiknya kau makan dulu, baru menilai pahatanku ini. Nah masuklah ke mulut gua itu,
nanti kau akan mendapatkan jagung bakar. Makanlah itu, baru kau memberikan pendapatmu,"
kata Ki Ardi kepada Sagotra.
Tetapi Sagotra rupanya malu dengan adanya Mahesa Jenar di situ. Karena itu pura-pura saja
ia tidak mendengar. Bahkan ia berkata terus, "Ki Ardi, aku lebih suka mendengar
dongenganmu daripada menyaksikan pahatanmu itu."
Sambil masih tertawa, Ki Ardi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah aku
lanjutkan dongeng itu, tetapi aku ingin bertanya, siapakah kawan barumu ini?"
Mendengar pertanyaan itu darah Mahesa Jenar tersirap, sedang Sagotra menjadi bingung,
bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sebentar mereka berdiam diri mencari jawaban,
akhirnya Mahesa Jenar yang menjawab, "Ki Ardi aku dan Sagotra secara kebetulan saja
bertemu di perjalanan. Dan Sagotra telah berbaik hati mengantarkan aku ke arah api yang
Bapak nyalakan."
Ki Ardi mengangguk-angguk kecil. "Anehlah kalau hal itu terjadi. Biasanya apa yang
dilakukan oleh Sagotra dan kawan-kawannya membunuh dan merampas terhadap siapa saja
yang dijumpainya di daerah ini, " lanjutnya.
"Ki Ardi, jangan kau membual. Lebih baik kau berkata atau berceritera tentang hal-hal yang
baik, potong Sagotra dengan nada tidak senang."
Mendengar kata Sagotra yang diucapkan dengan nada keras, Ki Ardi nampak agak takut juga.
Maka katanya membetulkan, "Maaf Sagotra... maksudku bukan tidak baik, aku hanya ingin
bergurau saja. Nah sekarang aku lanjutkan saja ceriteraku."
Kemudian Ki Ardi mengambil tempat duduk di hadapan Mahesa Jenar, juga di dekat api.
Sebentar kemudian mulailah ia melanjutkan ceriteranya.
"Kedua ekor naga itu, yang telah berumur 40 hari 40 malam, belum dapat menguasai
lawannya. Karena itu pertempuran semakin bertambah sengit. Seluruh penduduk bumi
menjadi ketakutan. Tidak ada tempat untuk mengungsikan diri. Sebab pertempuran itu terjadi
di seluruh permukaan bumi, di seluruh lautan, dan diseluruh langit. Raja bumi itu pun menjadi
bertambah prihatin. Apalagi putrinya setiap hari selalu menangis saja. Tetapi untuk
mengabulkan permintaan putri itu, tidak terlintas di dalam pikiran ayahanda raja. Karena itu ia
tidak tahu apa yang akan dikerjakan. Akhirnya ia terpaksa menunggu saja akan kesudahan
pertempuran yang maha dahsyat antara laki-laki dari bintang kemukus itu dengan dua ekor
naga yang dimintai bantuan.
Demikianlah pertempuran itu masih berlangsung terus, di laut timbul gelombang sebesar
gunung, di darat bertiup angin topan yang dahsyat. Sedangkan di udara, petir menyambarnyambar guruh dan bunga-bunga api yang maha panas. Sampai hari yang ke-100, keadaan
masih belum berubah, hati raja bertambah gelisah pula.
Maka pada hari yang ke 101, dengan tidak disangka-sangka menghadaplah seekor naga yang
amat sederhana, ke hadapan raja. Naga itu berwarna agak kehitam-hitaman. Matanya berkilatkilat seperti bintang. Dengan rendah hati naga itu berkata kepada raja, Paduka yang
memerintah kerajaan bumi, perkenankanlah hamba mengabdikan diri kepada Paduka serta
diperkenankan membantu kedua saudara hamba yang sedang bertempur melawan laki-laki
yang berasal dari bintang kemukus.
Tentu saja permintaan itu dikabulkan oleh raja. Maka dengan senang hati, naga itu langsung
menuju ke medan pertempuran yang saat itu sedang terjadi di daratan. Kedatangannya
menimbulkan perbawa yang luar biasa, sehingga dengan tiba-tiba saja pertempuran itu
berhenti sejenak.
Melihat kedatangan naga ini, mereka bertiga yang sedang bertempur menjadi heran. Maka
bertanyalah naga yang bersisik emas, Hai naga yang sangat sederhana, tanpa menunjukkan
tanda-tanda kebesaran apapun, apakah maksud kedatanganmu?
Naga itu menjawab, Saudaraku, aku datang untuk membantumu.
Mendengar jawaban itu, naga berbalut intan merasa tidak senang. Lalu katanya, Saudaraku
hanyalah mereka yang dapat menunjukkan tanda kebesarannya.
Alangkah sedih hati naga yang kehitam-hitaman itu, ditambah lagi laki-laki dari bintang
kemukus itu memakinya pula. Kau yang mirip sebatang pohon roboh itu akan turut serta
dalam permainan ini...?
Tetapi disabarkannya hati naga yang sederhana itu. Jwabnya, Terserahlah kata-kata kalian
atas diriku. Tetapi aku ingin menunjukkan pengabdianku.
Kalau demikian kerjakanlah itu sendiri, kata naga bersisik emas.
Ya, kerjakanlah sendiri, sahut naga yang bersalutkan intan.
Baiklah, jawab naga yang kehitam-hitaman itu. Silakan kalian beristirahat.
Mendengar kata-kata Naga Hitam itu, alangkah marahnya laki-laki bintang yang merasa
dirinya sangat sakti. Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun langsung diserangnya naga
hitam itu dengan kedua belah tangannya yang memegang petir. Tetapi apa yang
disaksikannya sangatlah mengagumkan. Naga hitam itu melingkar cepat sekali dan dengan
sekali menggerakkan ekornya kedua petir itu pun telah dapat direbutnya, dan dengan suara
menggelegar petir-petir itu dibantingnya di punggung gunung sampai pecah berserakan.
Laki-laki bintang itu terkejut menyaksikan hal yang demikian. Tetapi ia pun tidak kurang
saktinya. Segera kedua tangannya itu bergerak menangkap guruh yang sedang berkeliaran di
langit. Maka dengan sekuat tenaga, guruh itu pun dihantamkan ke kepala lawannya. Naga itu
melihat guruh yang dengan suara gemuruh mengarah ke kepalanya, segera menyemburkan
angin kencang dari mulutnya, sehingga guruh itu pun terlontar kembali ke arah laki-laki
bintang itu.
077
KARENA kecepatannya menghindar, laki-laki itu tidak hancur karena senjatanya sendiri.
Dengan kejadian-kejadian itu, laki-laki bintang kemukus yang merasa dirinya tak terkalahkan
itu menjadi marah sekali. Dikeluarkannya segala kesaktian serta kepandaiannya yang terakhir
untuk menyerang naga hitam itu. Maka segera terjadilah pertempuran yang tak terkira
dahsyatnya.
Tidak hanya lautan menjadi bergolak, topan mengalir dengan derasnya, serta petir
menyambar-nyambar, tetapi segera hutan-hutan menjadi terbakar. Lautan mendidih serta
gunung-gunung terlempar berserak-serakan. Kedua lawan yang sedang mengadu tenaga itu
telah mempergunakan apa saja yang dapat dipegangnya untuk dijadikan senjata.
Maka semakin ketakutanlah segenap penduduk negeri bumi itu. Pada hari yang ketujuh,
pertempuran itu bertambah seru dan cepat. Laki-laki bintang kemukus itu telah mengalami
perkelahian 100 hari melawan dua ekor naga yang cukup sakti. Tetapi tenaganya masih tetap
segar.
Sekarang ia baru tujuh hari bertempur melawan seekor naga yang dikatakannya sebagai
sebatang pohon yang roboh saja, namun ia merasa bahwa tenaganya telah mulai kendor. Ia
telah mencoba mengerahkan segala kesaktiannya, tetapi tidaklah banyak hasilnya.
Sekali waktu ia berhasil menangkap ekor naga hitam itu. Lalu dengan tangannya yang kokoh
kuat itu, diputarnya naga itu di udara, sehingga menimbulkan angin putaran yang luar biasa.
Baik di darat maupun di lautan. Banyak gunung dan pulau-pulau yang terangkat dan
terlempar bertebaran.
Tetapi naga itu tidak pula kehilangan akal. Tubuhnya yang kehitam-hitaman itu tiba-tiba
menyala-nyala, sehingga ketika tangan laki-laki bintang itu merasa panas, terpaksa naga itu
dilepaskan dan terlontar ke udara. Timbullah suatu pemandangan yang mengerikan. Suatu
lingkaran api berputar-putar di udara.
Sebentar kemudian berubahlah naga itu menjadi gumpalan api yang bergulung-gulung
menghantam lawannya. Laki-laki bintang itu menjadi agak kebingungan. Maka segera ia
menghindar dengan terjun ke dasar Samodra. Namun api-api itu pun menyusulnya ke dasar
samodra, dengan api masih tetap menyala, sehingga air lautan menjadi mendidih karenanya.
Segera laki-laki itu meninggalkan lautan, dan terbang ke udara. Naga itu juga tetap
mengejarnya.
Kemana laki-laki itu pergi, gumpalan api itu tetap menyusul di belakangnya, sehingga
akhirnya laki-laki bintang kemukus itu merasa bahwa ia tak mampu lagi menandingi naga
hitam yang dapat menyalakan api dari tubuhnya, jauh lebih panas daripada api yang keluar
dari mulut naga yang bersisik emas, dan jauh lebih berbahaya dari sorot beracun di kedua
belah mata naga yang berbalut intan permata.
Maka tidak ada jalan lain, kecuali kembali ke asalnya. Segera laki-laki bintang itu pun terbang
lebih tinggi, dan akhirnya lenyaplah ia berlindung di balik kabut beracun yang memancarkan
cahaya yang menyilaukan, yang menyelubungi dunianya, yaitu bintang kemukus.
Setelah melihat lawannya kembali ke asalnya, naga hitam itu merasa bahwa tugasnya telah
selesai. Segera ia turun kembali ke bumi untuk menemui kedua naga yang bersisik emas dan
berbalut intan. Mudah-mudahan setelah ia menunjukkan jasanya, sudilah kiranya kedua naga
itu mengaku sebagai saudara.
Tetapi alangkah kecewanya, ketika ia sampai di bumi, kedua ekor naga itu sudah tidak ada
lagi.
Maka menghadaplah naga hitam itu kepada baginda raja bumi untuk menanyakan kalau-kalau
kedua ekor naga itu sudah mendahuluinya menghadap. Di sepanjang jalan, naga hitam itu
selalu bersyukur di dalam hati, mereka dalam keadaan telah hampir pulih kembali. Orangorang sudah tidak lagi ketakutan.
Agak berbanggalah hatinya kalau ia mendengar beberapa orang menyebut-nyebutnya sebagai
pahlawan yang berhasil mengusir laki-laki bintang kemukus yang membawa bencana wabah
berbahaya. Tetapi kebanggaan itu disimpannya dalam hati, sebab ia merasa bahwa apa yang
dilakukannya adalah amal pengabdian semata.
Ketika ia menghadap raja bumi, alangkah terkejutnya waktu ia melihat upacara penyambutan
yang luar biasa. Ia bahkan menjadi malu dan kaku.
Ketika ia berkesempatan menghadap baginda, yang pertama ditanyakan adalah kedua ekor
naga yang bersisik emas dan berbalut intan. Tetapi dengan menyesal, baginda bersabda, Naga
Hitam.., kedua saudaramu itu telah meninggalkan kerajaan bumi di luar pengetahuan kami,
seorang menteri yang melihatnya, menanyakan kemana mereka pergi. Naga bersisik emas
menjawab bahwa ia akan pergi tanpa tujuan, sebab ia telah merasa bersalah menghinakan
engkau. Sedangkan naga yang berbalut intan berkata bahwa ia minta maaf kepadamu. Juga
mereka merasa malu sekali bahwa mereka tak dapat memenuhi janjinya, mengusir laki-laki
dari bintang itu.
Naga hitam itu menjadi sedih sekali. Hampir saja ia meneteskan air mata. Untunglah bahwa ia
sadar, kalau ia sedang berada diantara mereka yang menyambutnya dengan penuh kebesaran.
Dari baginda, naga hitam itu mendapat hadiah sebuah gua yang indah sekali, yang berdinding
emas dan bertahtakan intan berlian. Tetapi naga hitam itu masih saja senang berkeliaran di
rawa-rawa dan hutan-hutan, sebagai daerah permainannya masa kanak-kanak.
Sekali waktu masih terasa kesedihan hatinya mengenang kedua ekor naga yang pergi
meninggalkannya.
078
KI ARDI menghentikan ceritanya sejenak. Ia membetulkan duduknya sambil kembali
mengamat-amati pahatannya, seolah-olah ingin memahami kesesuaian antara bentuk
pahatannya serta isi ceriteranya.
Sagotra meskipun orang yang kasar, namun rupanya ia gemar juga mendengarkan dongeng
tentang kesaktian-kesaktian. Karena itu ketika beberapa saat Ki Ardi masih belum
melanjutkan ceriteranya, ia berkata, "Ki Ardi ceriteramu bagus sekali. Tetapi rupanya kau
sengaja menjengkelkan kami dengan memutus-mutus ceritera itu."
Sekali lagi Ki Ardi tertawa terkekeh-kekeh. Lalu jawabnya, "Sabarlah Sagotra, pastilah
ceritera itu aku lanjutkan.... Nah dengarlah baik-baik."
"Naga hitam itu sepanjang waktunya masih dipergunakan untuk mengharap pada suatu saat
bertemu kembali dengan kedua Naga yang dirasanya senasib. Apalagi setelah keduanya
mengaku bersalah terhadapnya."
"Tetapi akhirnya yang paling menyedihkan adalah, ketika ia mendengar kabar bahwa
terjadilah kerusuhan-kerusuhan di istana raja bumi. Banyak bangsawan dan kesatria saling
bertengkar, bertempur, bahkan saling membunuh. Soalnya adalah karena mereka berebut
untuk mendapatkan putri baginda yang pernah jatuh cinta pada laki-laki bintang kemukus.
Sedemikian hebatnya perebutan itu sehingga para bangsawan dan kesatria tidak malu-malu
lagi mempergunakan laskar pengikut masing-masing untuk mencapai maksudnya. Sehingga
memang kadang-kadang terjadilah pertempuran-pertempuran kecil diantara mereka."
"Hampir saja naga hitam itu marah, dan mengambil keputusan untuk memusnahkan sekalian
bangsawan dan kesatria, malahan kerajaan bumi sekaligus. Tetapi untunglah bahwa ia dapat
menyabarkan diri. Sebab ia pun pernah merasa berjuang untuknya."
"Adapun naga yang bersisik emas serta naga yang bersalut intan memang sebenarnya pergi
meninggalkan kerajaan bumi karena menyesal dan malu. Mereka pergi merantau tanpa arah
dan tujuan, dengan maksud untuk bertapa dan menjauhkan diri dari masalah-masalah lahiriah.
Sebab ternyata tanda-tanda kebesaran yang mereka miliki tidaklah dapat dipergunakan untuk
mengatasi lawan yang cukup sakti, bahkan tidak berguna sama sekali."
"Kabar kepergian kedua ekor naga itu menggemparkan kerajaan-kerajaan di luar bumi. Yaitu
kerajaan di bawah tanah, di bawah lautan dan di lapisan-lapisan langit. Serentak mereka
menyebar panglima-panglimanya untuk menemukan serta membujuk kedua ekor naga untuk
berpihak kepada mereka masing-masing."
"Dengan perhitungan kesaktian kedua ekor naga itu digabungkan dengan kesaktian-kesaktian
yang telah ada pastilah dapat mengalahkan kerajaan bumi, walaupun dibantu oleh naga hitam
yang sakti."
"Pada suatu saat sampailah ia di suatu daerah yang kelam. Daerah yang sama sekali tak
dikenal."
Kembali Ki Ardi berhenti. Dan kembali pula ia memandangi pahatannya. Sebentar kemudian
katanya, Nah, pada bagian inilah ceritera itu aku ambil sebagai bahan pahatanku ini. Daerah
kelam itu dikuasai oleh dua ekor harimau raksasa yang berkulit hitam legam. Ternyata kedua
ekor harimau ini pun ingin dapat menguasai kedua ekor naga itu. Baik secara halus ataupun
secara kasar."
"Ketika ternyata kedua ekor naga itu menolak bekerja sama dengan mereka, terjadilah suatu
perselisihan. Sehingga akhirnya pertempuranpun tak dapat dihindarkan. Sebenarnya kedua
ekor harimau itu tak dapat menguasai lawannya, kalau saja daerah mereka tidak
menguntungkan.
Daerah kelam yang penuh rahasia itu sangat membingungkan kedua ekor naga itu. Sehingga
akhirnya naga itu pun hanya bertahan apabila diserang. Tetapi setelah ia terjebak ke dalam
daerah itu, sulit bagi mereka untuk mencari jalan keluar."
Sampai sekian Ki Ardi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya legalah hatinya, seolah-olah
ia telah melahirkan suatu rahasia yang selama ini disimpannya.
Tetapi sementara itu Sagotrapun mendesak, "Tidakkah Ki Ardi akan mengakhiri dongeng
itu?"
"Mengakhiri...? Bagaimana aku akan mengakhiri? Kejadian itu memang baru sampai sekian,"
jawab Ki Ardi.
"Baru sampai sekian...?" tanya Sagotra heran.
Mahesa Jenar pun tidak kalah herannya. Apalagi ketika dilihatnya perubahan garis wajah Ki
Ardi. Kesan-kesan kejenakaan yang selama ini selalu tersembul diantara tawanya, lenyap
sama sekali. Bahkan ketika Mahesa Jenar memandang matanya, yang sejak semula sudah
mengagumkan, kini seakan-akan dunia ini ada di dalamnya.
Tetapi rupanya Sagotra tidak melihat perubahan itu, sehingga masih saja ia mendesak, "Ki
Ardi... katakanlah akhir dari dongeng itu. Nanti aku akan memuji pahatanmu itu pula."
Ki Ardi tersenyum, tetapi senyumnya kosong. Malahan tiba-tiba ia berkata sambil berdiri,
"Tunggulah Sagotra, akhir dari cerita ini masih agak lama. Sekarang aku akan masuk
sebentar. Kawanilah Tuan ini."
Rupanya Sagotra ingin lekas-lekas mendengar akhir ceritera itu sehingga ia menggerutu tak
habis-habisnya. Meskipun demikian Ki Ardi seolah-olah tidak mau lagi mendengarkan. Ia
berjalan perlahan- lahan masuk ke dalam goa dan sejenak kemudian lenyaplah ia ditelan
gelap.
Mahesa Jenar yang melihat perubahan itu, menjadi curiga. Tetapi ia sama sekali tak
menunjukkan kecurigaannya. Hanya saja karena mungkin segala sesuatu dapat terjadi, maka
haruslah ia bersiaga.
Apalagi ketika sampai beberapa lama, Ki Ardi masih juga belum muncul. Kecurigaan Mahesa
Jenar semakin bertambah. Kembali terasa betapa bodohnya, sehingga ia dapat dipermainkan
oleh keadaan. Ataukah ia sudah berubah menjadi seorang penakut, yang selalu diliputi oleh
perasaan was-was dan curiga...?
Sagotra pun akhirnya merasa tidak sabar, hanya masalahnya yang berbeda. Maka segera ia
pun berdiri dan memanggil-manggil Ki Ardi. Tetapi tidak ada terdengar orang menyahut.
Tampaknya Sagotra telah terbiasa bergaul dengan Ki Ardi. Tampaknya telah pula Sagotra
terbiasa masuk-keluar rumahnya. Maka, ketika panggilannya tiada mendapat sambutan,
segera Mahesa Jenar pun berdiri dan melangkah menuju ke mulut goa. Dan sejenak kemudian
ia pun telah lenyap ditelan gelap.
079
SAAT itu, Mahesa Jenar tinggal duduk seorang diri disamping api yang masih menyala-nyala.
Bayangan-bayangan yang ditimbulkan tampak selalu bergerak-gerak. Kadang-kadang
membesar bagai akan menerkam, dan kadang-kadang mengecil seperti akan lenyap.
Suasana malam itu rasanya diliputi oleh suatu rahasia. Dan ini sangat menggelisahkan Mahesa
Jenar. Aneh, bahwa pada saat itu ia merasa kehilangan ketenangan.
Sejenak kemudian, apa yang digelisahkan ternyata terjadi. Tiba-tiba dengan tak diketahui
arahnya, di atas bukit kapur kecil itu tampaklah sesosok tubuh manusia yang berdiri tegap.
Meskipun cahaya api itu samar-samar mencapainya, tetapi tidak dilihatnya wajah orang itu
dengan jelas, meskipun Mahesa Jenar yang berpandangan sangat tajam.
Segera Mahesa Jenar pun meloncat berdiri. Ia tidak tahu maksud orang itu. Tetapi pastilah ia
tergolong orang sakti, sehingga dengan begitu saja, tanpa diketahui arahnya, ia sudah hadir di
situ. Sehingga untuk menjaga diri dari segala kemungkinan, segera Mahesa Jenar memusatkan
pikirannya, mengatur pernafasannya serta menyalurkan segala kekuatannya ke sisi telapak
tangannya, meskipun ia belum bersikap.
Melihat kesiagaan Mahesa Jenar, orang itu tertawa lirih. Bunyi tertawanya lunak dan
menyenangkan. Ketika kemudian orang itu berkata, Mahesa Jenar menjadi terkejut, sampai
tubuhnya gemetar. Suara orang itu ternyata kecil dan nyaring.
"Mahesa Jenar, tidak perlu kau kerahkan ilmumu Sasra Birawa, aku tak bermaksud apa-apa.
Maafkan kalau aku mengejutkan engkau."
Ternyata suara itu pernah didengarnya. Ya, bahkan baru saja. Suara itu adalah suara Ki Ardi.
Jadi ternyata benarlah dugaannya, bahwa Ki Ardi bukanlah orang sembarangan.
Apalagi ketika orang itu melambaikan sebilah keris yang tampaknya seperti membara di
kegelapan malam. Jantung Mahesa Jenar serasa akan berhenti.
"Kalau begitu, Tuan adalah Ki Ageng Pandan Alas," sahut Mahesa Jenar tergagap.
"Ya... sengaja aku bersembunyi di sini untuk membayangi setiap gerak Pasingsingan yang
aku sangsikan keasliannya. Sebab Pasingsingan, adalah sahabatku dimasa muda, tidaklah
tergolong dalam aliran hitam. Dan sementara ini, Pasingsingan memelihara murid
kesayangannya yang kau lukai, biarlah aku mengurus keluargaku pula. Kau sementara ini
dapat tinggal di sini. Seminggu lagi kau dapat menuai jagung di belakang bukit ini. Baru
setelah itu kau lanjutkan perjalanmu.
Sayanglah jagung itu kalau tak ada yang memetiknya," ujar orang itu.
Dengan tak sengaja Mahesa Jenar melangkah maju mendekati bukit kapur itu. Tetapi segera
Ki Ardi yang ternyata juga Ki Ageng Pandan Alas mencegahnya.
"Mahesa Jenar, aku masih belum mempunyai waktu untuk menemuimu. Yang penting kau
ketahui adalah tak perlu Sagotra kau beritahu masalah ini. Mungkin ia sudah berubah pikiran,
tetapi di dalam keadaan terpaksa sulitlah ia menyimpan rahasia. Juga kau tak perlu
menjelentrehkan ceritera yang baru saja aku ceritakan. Aku percaya bahwa pasti kau tahu
maksudnya, kalau aku katakan bahwa Naga Hitam itu kemudian dikenal dengan nama Kyai
Sengkelat."
"Nah, Mahesa Jenar," kata Ki Ardi kemudian, baiklah aku pergi dahulu, aku harap kita dapat
bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik.
Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Ki Ageng Pandan Alas telah pergi dengan
cepatnya dan segera lenyap ditelan gelap.
Sepeninggal Ki Ageng Pandan Alas, kembali Mahesa Jenar merasa, bahwa apabila ia
berhadapan dengan tokoh-tokoh itu, alangkah kecil dirinya. Ki Ageng Pandan Alas, Ki
Pasingsingan dan yang pernah didengarnya lagi dari gurunya tentang orang-orang yang
setingkat dengan mereka itu, kecuali gurunya sendiri almarhum juga yang terkenal dengan
sebutan Pangeran Gunung Slamet, Ki Ageng Sora Dipayana dari pinggang Gunung Merbabu
yang kemudian hampir tak pernah terdengar namanya, dan juga yang terkenal dengan sebutan
yang aneh Titis Angentan yang berasal dari Banyuwangi yang memiliki kesaktian seperti
Adipati Blambangan Wirabumi yang hanya dapat dikalahkan oleh Raden Gajah pada waktu
itu.
Tetapi sementara Mahesa Jenar merenungkan dirinya, teringatlah ia akan pesan Ki Ageng
Pandan Alas tentang dongengannya yang dihubungkannya dengan Kyai Sengkelat. Cepatcepat ingatan Mahesa Jenar bekerja. Akhirnya diketemukanlah hubungan dongengan Ki Ardi
itu dengan cerita yang pernah didengarnya. Yaitu tentang Naga yang bersisik emas dan
bersalut intan pastilah yang dimaksud Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang pada
waktu itu, untuk menyembuhkan penyakit seorang putri Majapahit, terpaksa pada suatu
malam bertempur di udara dengan sebilah keris sakti pula yang bernama Kyai Condong
Campur.
Tetapi kedua keris itu tak dapat menyelesaikan tugasnya, malahan Kyai Sabuk Inten agak
mengalami luka-luka, patah sedikit ujungnya. Sementara itu Kyai Sangkelat yang dapat
mengusir Kyai Condong Campur sehingga menjelma menjadi bintang kemukus yang masih
mendendam kepada umat manusia dengan memancarkan bermacam-macam kuman penyakit.
Juga jelaslah sudah sekarang dimana Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada.
Pastilah kedua keris itu ada di tangan suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Dengan
menceriterakan itu pastilah maksud Ki Ageng Pandan Alas minta kepadanya untuk
menemukan kembali kedua keris itu. Tentu saja Mahesa Jenar menerima tugas ini dengan
penuh tanggung jawab.
Sementara itu tampaklah Sagotra keluar dari dalam goa. Ia masih saja menggerutu. Orang itu
gila, dimana ia bersembunyi, gumamnya.
"Tuan... orang itu tidak ada di dalam rumahnya. Sudah aku aduk sampai ke sudut-sudutnya
tetapi aku tak bisa menemukannya. Memang kalau orang itu sedang kambuh gilanya, rumah
ini sering ditinggalkan begitu saja sampai berhari-hari. Mungkin kini tiba-tiba sakitnya itu
datang lagi, kata Sagotra kepada Mahesa Jenar."
080
"Sudahlah Sagotra," jawab Mahesa Jenar "janganlah kau pikirkan orang tua itu. Biarlah ia
mendapatkan kepuasan dengan caranya sendiri. Sekarang baiklah kita bicarakan masalah kita
sendiri, masalahmu dan masalahku."
Tiba-tiba tersadarlah Sagotra terhadap keadaannya, sehingga membelitlah kembali
kegelisahan hatinya.
"Sagotra," kata Mahesa Jenar melanjutkan, "apakah kau akan kembali kepada kawankawanmu ?. Kalau demikian pertimbanganmu, sekarang aku kira belum begitu terlambat.
Tentang diriku terserah kepadamu. Apakah akan kau laporkan kepada kawan-kawanmu
apakah tidak."
Tampaklah Sagotra diam-diam menimbang-nimbang dipikirkannya setiap segi yang mungkin
menguntungkan dan yang mungkin mencelakakan. Bagaimanakah akibatnya kalau ia kembali
kedalam gerombolannya. sedangkan kalau tidak lalu kemanakah ia akan pergi ?. Setelah
Sagotra berkenalan dengan seorang seperti Mahesa Jenar, terasalah betapa miskinnya hidup
dalam sarang gerombolan. Meskipun ia tidak pernah merasakan kekurangan akan sandang
dan pangan, tetapi ternyata bukanlah itu-itu melulu yang diperlukan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup. Karena itu, timbulah keinginannya untuk dapat menemukan suatu
kehidupan baru.
"Tuan," katanya kemudian, "sebenarnya aku tidak lagi mempunyai keinginan untuk kembali
kepada gerombolanku. Tetapi karena selama ini aku hanya mengenal penghidupan yang
sedemikian, aku menjadi bingung, bagaiman aku harus memulai penghidupan baru. Atau
barangkali kalau tuan menghendaki, aku dapat ikut serta dengan tuan kemana tuan pergi."
Mendengar permintaan Sagotra, Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan. Sudah wajarlah
kalau Sagotra merasa canggung untuk memulai suatu macam penghidupan yang lain daripada
selama ini dilakukannya. Tetapi iapun tidak akan dapat menerima Sagotra selalu bersamanya.
Sebab banyaklah hal-hal yang tidak boleh dimengerti oleh orang lain, yang harus dikerjakan.
Tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat suatu pikiran yang dapat menolong menemukan jalan
keluar. Katanya "Sagotra, kau tidak dapat terus menerus bersamaku. Sebab akupun tidaklah
tahu pasti akan masa depanku. Tetapi aku mau menunjukkan kau suatu jalan keluar yang
barangkali dapat kau tempuh, apabila benar-benar kau menghendaki jalan keluar dari
penghidupanmu yang hitam sekarang ini. Dan sekaligus kau dapat menolong aku pula,
maukah kau ?"
Sagotra memandang Mahesa Jenar dengan mata yang hampir tak dapat berkedip. Permintaan
Mahesa Jenar untuk menolongnya adalah suatu penghormatan baginya. Karena itu
dijawabnya kemudian "Tuan, apa yang tuan perintahkan pasti akanaku lakukan dengan
sepenuh kemampuan yang ada padaku. Nah katakankah tuan."
"Sagotra," kata Mahesa Jenar selanjutnya "tolonglah aku menyampaikan kabar kepada
sahabatku. Pergilah kau menyeberang hutan Tambak Baya. Terserahlah jalan mana yang akan
kau ambil. Tetapi arahnya adalah arah diamana kau temukan aku tadi, sedikit agak ke utara.
Kau akan sampai disebuah desa diseberang hutan Tambak Baya yang bernama Cupu Watu.
Dari sana kau langsung menuju kearah timur. Lewat sebuah candi yang terkenal dengan nama
Candi Tara, bekas tempat pemujaan dewi Tara. Dari sana kau langsung menuju Prambanan.
Temuilah Demang yang bernama Panaggalan. Sampaikan salam keselamatanku kepadanya.
Dan katakanlah aku mengharap kedatangan adiknya Ki Dalang Mantingan di daerah Rawa
Pening, dua hari sebelum purnama penuh, pada bulan terakhir tahun ini."
"Katakanlah bahwa Ki Dalang Mantingan sudah tahu kepentingannya. Selanjutnya atas
tanggunganku mintalah perlindungan kepadanya untuk dapat hidup dalam lingkungan
keluarga Kadenmangan itu. Asal kau mau mencurahkan segala ketulusan serta keihlasan hati,
pastilah kau akan diterima dengan baik."
Sagotra agak berbimbang sebentar mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Memang ia selalu
ragu-ragu untuk dapat mempercayai dirinya sendiri. tetapi ia tidak mau mengecewakan
Mahesa Jenar. Karena itu ia berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan memenuhi permintaan itu
sedapat-dapatnya.
Maka setelah segala petunjuk-petunjuk yang diperlukan telah diberikan oleh Mahesa Jenar,
segera Sagotrapun bersiap untuk menempuh suatu perjalanan yang cukup berbahaya bagi
dirinya. Tetapi sebenarnya Sagotra bukanlah seorang penakut. Dan ia termasuk tokoh yang ke
6 sesudah Wadas Gunung, Carang Lampit dan sebagainya diantara ke-20 orang yang sedang
mencegat Mahesa Jenar. Karena itu setelah berketetapan hati untuk menempuh perjalanan itu,
maka iapun tak pula mengenal gentar.
Karena perjalanan didaerah hutan itu akan berlangsung beberapa hari, meskipun dengan agak
malu-malu sedikit diperlukannya juga mengambil beberapa ontong jagung sebagai bekal
perjalanannya.
Dan berangkatlah Sagotra pada malam itu juga supaya tidak terlambat. Sebab apabila
ditunggu sampai besok pastilah beberapa lawannya sudah mencarinya.
Sepeninggal Sagotra, Mahesa Jenar segera merasa betapa sepinya tinggal seorang diri
ditengah padang, dibawah sebuah bukit kapur. Tetapi bagaimana juga ia ingin memenuhi
permintaan Ki Ageng Pandan Alas untuk tinggal kira-kira seminggu di tempat itu.
081
RUPANYA Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang pula pada tanaman-tanamannya kalau tak
ada yang memetiknya. Tetapi karena menunggu jagung itulah maka Mahesa Jenar terpaksa
terikat dalam keadaan yang sulit.
Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal seluruh daerah di sekitar bukit
kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak terdapat
tanaman jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat sebuah blumbang
yang berair jernih.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi.
Merebus jagung dan membakar daging hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi
tanaman jagung, kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya.
Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi sebuah tugas yang besar, yaitu
membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian
disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu dua hari lagi pasti sudah
masak untuk dipetiknya.
Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah rencananya.
Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari
apabila malam tiba, seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang tajam
menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara. Suara itu semakin lama
semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa
Jenar tidak tahu siapakah kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak menimbulkan
hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa Jenar menyelinap masuk ke dalam goa.
Dari sana, dari dalam gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka
mendekati perapian.
Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan mendekati perapian. Di muka
sendiri berdiri seorang gagah tegap. Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak
kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat dan berkumis lebat.
Di belakang mereka berjalan beberapa orang yang tampak garang-garang.
Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa Jenar berdegupan. Segera teringatlah
ia akan wajah seseorang yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah
Mahesa Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar Watu Gunung, yaitu
Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah orang yang berjalan paling
depan itu Wadas Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan gerombolan
Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.
Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak perlu, ia akan menghindari
bentrokan-bentrokan yang akan terjadi.
Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan nyaringnya. “Ardi..., Ki Ardi...!”
Mahesa Jenar jadi bimbang. Perlukah panggilan itu dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah
segera dikenal bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia berdiam diri
saja.
Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi lagi, teriaknya. “Ardi..., hai Ki
Ardi. Jangan main-main. Kali ini waktu kami hanya sedikit. Kami hanya ingin mendapat
beberapa ontong jagung untuk makan kami besok. Sesudah itu kami akan pergi.”
Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.
“Orang tua gila. Masih saja ia suka bermain gila dalam waktu yang begini.”
“Ki Ardi...! Kami sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan
selagi kami tergesa-gesa,” teriak yang tinggi kurus itu kemudian.
Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban. Rupanya Wadas Gunung menjadi
jengkel.
“Carang Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil saja persediaan
makanan yang ada. Aku masih ingin menunggu setan itu sampai tiga hari,” kata Wadas
Gunung. Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung. Rupanya dalam menunggu
kedatangannya, rombongan itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan
yang ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang. Apakah yang akan
dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat berbahaya. Apabila benarbenar ada diantara mereka yang masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi perkelahian.
Dan perkelahian melawan beberapa orang, di ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan
baginya.
Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang Lampit dan Bagolan itu memasuki
goa, Mahesa Jenar telah lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang
tiba-tiba itu sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan yang pendek
bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan, bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru
setelah beberapa saat Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia, “Siapakah
kau yang berada di rumah Ki Ardi?”
“Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.
Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya, “Sudah sejak lama aku mengenal Ki
Ardi. Tetapi tak pernah aku mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”
“Aku kira tidak ada perlunya untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,” jawab
Mahesa Jenar
Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi sementara itu ia pun tidak
habis-habisnya mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang
cocok dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena itu tiba-tiba saja ia
bertolak pinggang dan dari mulutnya berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang
menusuk-nusuk ulu hati, seperti suara jeritan hantu kubur.
Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai tertawanya, tahulah Mahesa Jenar,
bahwa Wadas Gunung telah mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi
segala kemungkinan.
082
SETELAH beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan demikian suara itu berhenti,
berteriaklah Wadas Gunung itu dengan suaranya yang nyaring.
“Hai, seluruh rombongan yang sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya.
Pantaslah, bahwa orang ini dapat memperpanjang umurnya sampai sembilan hari, karena ia
disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi bagaimanapun akhirnya orang itu dapat kami temukan
juga. Nah, sekarang pandanglah orang ini dengan baik, amatilah dengan saksama, sebab
sebentar lagi ia harus kita binasakan. Sekarang kita boleh mengaguminya sebagai seorang
yang perkasa, yang telah berhasil membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan yang dapat
melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami adalah setinggi gunung, sedalam lautan.
Sekarang bersiaplah dan jangan lepaskan orang ini. Juga setelah orang ini binasa, harus
dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah berusaha membebaskan orang ini dari tangan kita.”
Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang anggota gerombolan itu
mempersiapkan diri dan mencabut senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka
bersenjatakan sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan anggota
rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua. Di tangan kirinya ia
memegang pisau belati panjang, sedang tangan kanannya menggenggam sepotong carang
pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih dari lima jengkang.
Bagolan, di kedua belah tangannya menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung
sendiri ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa Jenar. Ia pun memegang
dua buah senjata di kedua belah tangannya. Yaitu belati panjang.
Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai menimbang diri. Hatinya terasa
berdegupan juga. Sebab orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan
sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi kini mereka menggenggam
senjata masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di manakah tempat yang
paling menguntungkan untuk melawan mereka ?
Di mulut goa, ia tidak akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau ujungujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit baginya untuk menghindar. Maka
lebih baik baginya apabila bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan
kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar membantunya.
Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar mendapat serangan, segera ia meloncat dengan
kecepatan yang luar biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan tahu-tahu
Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat api yang menyala-nyala. Secepat kilat
tangannya memegang dua batang kayu yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang
cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala kemungkinan.
Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua orang sangat heran sampai terdiam
seperti patung. Dengan loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan
begitu saja sudah dapat ditembus.
Menyaksikan buruannya telah berada di luar jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali.
Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada anak buahnya segera untuk
mengepung kembali.
Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking,
dan Tembini, langsung menyerang. Meski dikurangi Sagotra, tujuh tokoh itu merupakan
tenaga gabungan yang luar biasa kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak
gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa Jenar
dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera melihat bahaya yang akan datang.
Sudah pasti Mahesa Jenar tidak akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang
yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar mencari akal. Maka
dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua cabang kayu di
tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah penyerang-penyerangnya. Segera
bara-bara api serta potongan-potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan
mengarah kepada lawan-lawannya.
Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tak
terlintas di dalam pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas.
Karena itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api. Mereka yang sempat
menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang mereka yang tidak lagi mempunyai
kesempatan, segera berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing.
Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan waktu. Segera ia melompat serta
memutar kedua potong kayunya, menyerang keenam orang yang masih belum sempat
mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil yang cukup baik. Kayu di
tangan kirinya dengan derasnya menyambar Cemara Aking.
Melihat serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka
yang dapat dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan kedua pisau belati
panjangnya yang disilangkan di muka kepalanya.
Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga tangan Cemara Aking tidak
mampu untuk melawannya. Ia tak berhasil menghindarkan kepalanya dari benturan kayu
Mahesa Jenar.
Segera pemandangannya menjadi kuning berputaran, serta kepalanya seolah-olah ditindih
batu yang besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang
dan akhirnya ia terduduk lemah.
Dalam saat yang bersamaan pula, tangan kanan Mahesa Jenar sempat menyambar lambung
Carang Lampit. Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang cukup pula sehingga
ia berhasil mengurangi tekanan serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun
demikian lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah banyak mengurangi
kebebasan geraknya.
Melihat kedua kawannya dikenai dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi
bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta keseganan yang merambati hatinya.
Segera iapun membuka sebuah serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.
083
MAHESA JENAR dengan gerakan yang sedikit saja, dengan menarik tubuhnya miring tanpa
mengubah letak kakinya, telah dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan
tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut lawannya. Melihat
serangannya gagal serta malahan mendapat serangan balasan, segera Wadas Gunung meloncat
ke samping.
Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak, dengan sebuah tombak terkait.
Melihat kilatan senjata yang dengan cepatnya mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak
terkejut. Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai kegesitan yang luar biasa. Tetapi
segera Mahesa Jenar melihat kekurangan lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya
akan berhasil, ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak lagi
mempunyai tenaga cadangan.
Melihat hal itu segera Mahesa Jenar dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata
tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Tangan
Tembini bergetar hebat sampai terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa
Jenar. Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya sehingga terseretlah
tombak Tembini itu, dan terlepas dari tangannya.
Tetapi belum lagi Mahesa Jenar menangkap tombak pendek itu, Bagolan orang yang pendek
bulat, dengan garangnya meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa
Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang memegang kayu dimana
tombak Tembini menancap, pastilah belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum
Bagolan mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya, Mahesa Jenar dengan
kekuatan yang hampir penuh melemparkan kayu di tangan kirinya ke arah Bagolan.
Kayu itu meluncur cepat, sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis
serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan Mahesa Jenar terlalu deras dan
keras. Maka ketika terjadi benturan yang hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta
terlempar bersama kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak terhingga
pada telapak tangan Bagolan.
Dengan demikian maka terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari mengambil
bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap itu Mahesa Jenar telah dapat mencabut
tombak berkait Tembini yang menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang cukup
baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang. Meskipun pada saat itu segera datang pula
serangan Wadas Gunung dan Seco Ireng bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat
pula satu demi satu dipunahkan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api yang dinyalakan Mahesa Jenar
sudah tidak lagi menyala.
Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang berpandangan tajam sekali. Ia melawan
kerubutan itu dengan berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan kadangkadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-orang sembarangan. Ternyata
Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang
Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung.
Untunglah orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya tidaklah berbahaya sekali.
Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan
Watu Gunung dulu mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini dan Cemara
Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja, karena kepalanya masih pening sekali.
Disamping itu mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari
segala jurusan.
Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan dahsyatnya, dimana masing-masing pihak
berusaha untuk mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur membayanglah warna fajar.
Langit yang kelam menjadi kemerah-merahan, sedangkan bintang fajar memancar dengan
cemerlangnya.
Melihat cahaya merah itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Apabila sebentar lagi
langit menjadi terang, akan sulitlah kedudukannya. Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa
bahwa tenaganya sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Melawan 6 orang cukup kuat,
ditambah lagi yang lain-lain yang telah pula mulai bergerak mengeroyoknya, adalah suatu
pekerjaan yang barangkali diluar kemampuan tenaganya yang biasa.
Tekanan yang kuat dari Wadas Gunung, serangan yang tiba-tiba dari Tembini yang telah
bersenjatakan pisau belati panjang, gempuran-gempuran bola bertangkai Bagolan, sambaransambaran carang ori yang tidak kalah berbahayanya, serta tusukan-tusukan parang Seco Ireng
yang dahsyat adalah bahaya-bahaya yang setiap saat dapat merenggut jiwanya.
Dalam keadaan gelap, mereka masih agak ragu-ragu mempergunakan senjata itu, sebab
Mahesa Jenar selalu berusaha untuk membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari sudah
terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan mampu melawan sampai tengah hari
saja. Karena itu mengingat keselamatan diri, tugas yang masih harus diselesaikan serta
pertimbangan yang sebaik-baiknya, adalah membinasakan gerombolan hitam itu.
084
TERLINTAS dalam pikiran Mahesa Jenar untuk segera menyelesaikan pertempuran ini
sebelum fajar. Adapun cara satu-satunya adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra
Birawa, di sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan kemahirannya mempergunakan
segala macam senjata dengan tangan kirinya. Dan untunglah pada saat itu ia memegang
sebuah tombak berkait. Dengan mempergunakan gabungan kedua macam kekuatan itu ia
memperhitungkan bahwa ia akan dapat mengakhiri pertempuran sebelum cahaya matahari
yang pertama.
Tetapi belum lagi ia melaksanakan maksudnya, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat
mengejutkan dan tak terduga-duga.
Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo siap untuk menyerang Mahesa Jenar bersamasama, terjunlah seseorang ke kancah pertempuran. Meskipun Mahesa Jenar tidak
berkesempatan untuk mengenal orang baru itu dengan seksama, tetapi sepintas ia melihat
bahwa orang itu berperawakan sedang, serta bersenjatakan sebuah kapak sangat besar.
Tampaknya ia tidak begitu lincah, tetapi mendengar desing ayunan kapaknya dapat diduga
betapa besar tenaganya.
Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memutar kapaknya, dan langsung menyerang pengikutpengikut Wadas Gunung. Sejenak kemudian terjadilah dua lingkaran pertempuran yang amat
dahsyat. Dengan hadirnya orang baru, yang masih belum sempat dikenalnya, Mahesa Jenar
merasa bahwa pekerjaannya menjadi berkurang. Sebab mau tidak mau perhatian Wadas
Gunung sebagai pemimpin rombongan menjadi terpecah, sehingga ia tidak lagi dengan
sepenuhnya mengadakan tekanan kepada Mahesa Jenar. Apalagi ternyata luka di lambung
Carang Lampit tidak dapat dianggap ringan. Di arah luka itu terasa makin lama semakin sakit.
Karena itu gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah dan hampir tak berarti. Demikian
juga keadaan Cemara Aking.
Di dalam dua lingkaran pertempuran itu, Mahesa Jenar harus melawan tokoh-tokoh
gerombolan Lawa Ijo yang sudah tidak begitu penuh lagi kekuatannya, sedang anggotaanggota gerombolan itu terpaksa tidak dapat turut serta mengeroyok Mahesa Jenar, sebab
mereka harus melayani pendatang baru yang dengan garangnya menghantam mereka dengan
kapaknya.
Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa Jenar pun merasa masih belum waktunya
mempergunakan ilmunya Sasra Birawa. Sebab ia merasa bahwa bersama dengan orang baru
itu ia akan dapat mematahkan kekuatan Wadas Gunung.
Perhitungan Mahesa Jenar memanglah tepat. Meskipun orang baru itu tidak begitu lincah,
tetapi tiba-tiba sambaran kapaknya selalu diikuti dengan berdesingnya angin maut. Anggotaanggota gerombolan Lawa Ijo yang mencoba menangkis ayunan kapak itu, senjatanya
terlepas dan terpatahkan.
Melihat keadaan itu Wadas Gunung menjadi marah sekali. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan
Mahesa Jenar yang bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi kepadanyalah ia
menyimpan dendam. Karena itu dengan teriakan nyaring ia memerintahkan Bagolan untuk
melawan orang berkapak itu.
Mendengar perintah Wadas Gunung segera Bagolan dengan loncatan panjang meninggalkan
gelanggang dan segera terjun ke lingkaran pertempuran lain. Ternyata Bagolan pun
mempunyai tenaga raksasa. Sehingga dalam pertempurannya melawan orang berkapak itu
seringkali terjadi benturan-benturan yang dahsyat antara bola besi bertangkai dengan kapak
raksasa itu.
Bagaimanapun perkasanya orang berkapak itu, ketika ia harus melawan keroyokan yang
sedemikian banyaknya ditambah lagi dengan seorang tokoh seperti Bagolan, akhirnya tampak
juga bahwa ia agak terdesak.
Sebaliknya Mahesa Jenar yang lawannya berkurang lagi seorang menjadi semakin leluasa
bergerak. Tetapi dalam pada itu segera ia melihat kerepotan orang yang bersenjatakan kapak
itu. Maka segera iapun menjadi cemas.
Meskipun ia sama sekali belum mengenalnya, tetapi pada saat ia melibatkan diri dalam
pertempuran itu, adalah sangat menguntungkannya. Karena itu ia tidak dapat membiarkan saja
ketika ia melihat orang berkapak itu terdesak.
Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar berpikir bahwa sebaiknya pertempuran tidak
terbagi. Ia dan orang berkapak itu harus berada dalam satu lingkaran pertempuran
menghadapi seluruh gerombolan. Dengan demikian ruang pertempuran menjadi bertambah
sempit.
Mendapat pikiran yang demikian segera Mahesa Jenar memutar tombaknya, dan dengan
gerakan kilat ia meloncat menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat sekali ia
meloncat kesamping orang yang bersenjata kapak itu, sambil berkata, “Ki Sanak, baiklah kita
bekerja bersama. Kau hadapi separo lingkaran, aku separo. Disamping itu kita pergunakan
setiap kesempatan untuk menghantam lawan.”
Orang berkapak itu tidak menjawab tetapi ia tahu maksud Mahesa Jenar, maka segera ia pun
menempatkan diri beradu punggung dengan Mahesa Jenar.
Kembali hati Wadas Gunung terperanjat melihat kelincahan Mahesa Jenar. Mengertilah ia
sekarang kenapa Pasingsingan memaksanya membawa 20 orang anak buahnya bersama-sama
untuk menangkap satu orang saja. Ternyata buruannya memang bukan orang biasa. Tetapi
Wadas Gunung adalah orang yang berpengalaman cukup, sehingga ketika ia melihat sikap
Mahesa Jenar dan orang berkapak itu saling membelakang, tahulah ia maksudnya.
Untuk mencegah kesulitan-kesulitan selanjutnya, cepat-cepat ia memerintahkan untuk
menghantam lawan sebelum mereka mencapai keseimbangan dalam bekerja bersama. Ia
sendiri beserta tokoh-tokoh rombongan itu segera melancarkan serangan-serangan yang
berbahaya. Tetapi karena perubahan keadaan yang demikian cepatnya itu, tidak semua anak
buah Wadas Gunung dapat mengikuti jalan pikiran pimpinannya, sehingga dalam
pelaksanaannya terjadilah kekacauan.
Karena lawan mereka berkumpul pada satu titik, maka ketika mereka akan menyerang
bersama-sama, terjadilah desak-mendesak diantara mereka, sehingga mereka tidak leluasa
mempergunakan senjata masing-masing. Dalam keadaan yang demikian, segera Mahesa Jenar
mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
085
MAHESA JENAR segara meloncat maju, dan memutar tombak berkaitnya seperti balingbaling. Kemudian dengan gerakan yang sangat mengejutkan lawannya, Mahesa Jenar
langsung menyerang beberapa orang yang berdiri di hadapannya. Mendapat serangan yang
tak terduga-duga ini, tak seorang pun sempat mengelak diri, sehingga dalam satu ayunan
Mahesa Jenar sekaligus dapat melukai 4 orang anggota gerombolan Lawa Ijo, dan
melemparkan beberapa senjata dari tangan pemiliknya.
Melihat kejadian itu, tergetarlah hati para anggota gerombolan Lawa Ijo, sehingga hampir
serentak mereka berdesakan mundur. Untunglah bahwa para pemimpin gerombolan itu cepat
bertindak. Serentak mereka berloncatan maju dan dengan dahsyatnya mereka melakukan
serangan-serangan balasan.
Melihat orang ini tampil, segera Mahesa Jenar menarik diri serta menyesuaikan
kedudukannya dengan orang yang bersenjatakan kapak, yang ternyata telah pula memutar
kapaknya untuk melindungi dirinya dan sekali-sekali menyambar mereka yang berani
mendekatinya.
Dalam siasat perkelahian ternyata Wadas Gunung pun tak kalah cerdiknya. Untuk memecah
kerja sama lawannya, segera Watu Gunung memerintahkan untuk melumpuhkan kedudukan
yang lemah. Karena itu berkumpullah tokoh-tokoh mereka untuk menyerang orang berkapak
itu bersama-sama.
Tetapi maksud ini pun segera diketahui oleh Mahesa Jenar, karena itu katanya kepada orang
berkapak itu, “Ki Sanak, baiklah kita selalu bergerak, supaya tak dapat mereka patahkan batas
diantara kita.”
Kali ini orang berkapak itu pun tidak menjawab, tetapi rupanya ia pun mengerti maksud
Mahesa Jenar. Maka ketika Mahesa Jenar mulai dengan loncatan loncatannya kesana-kemari,
orang itu pun selalu menyesuaikan dirinya, meskipun ia tidak selincah Mahesa Jenar.
Melihat perubahan cara bertempur Mahesa Jenar, Wadas Gunung mengeluh dalam hati.
Belum lagi rencananya dapat berjalan lancar, ia harus sudah menghadapi keadaan baru.
Sehingga kembali timbul kekacauan di barisannya. Kesempatan ini pun dipergunakan oleh
Mahesa Jenar dan orang berkapak itu. Dengan deras sekali kapak raksasa itu terayun, dan tiga
buah senjata melesat dari tangan pemiliknya, dan sekaligus dua orang tersobek dadanya.
Disamping itu dengan lincahnya pula Mahesa Jenar mengadakan serangan. Tombaknya
mematuk-matuk membingungkan. Dalam serangan ini pun ia berhasil melukai dua orang
sekaligus. Bahkan dalam serangan berikutnya, pundak Tembini tergores oleh tombaknya
sendiri.
Mengalami hal itu, Tembini menjadi marah bukan buatan. Matanya merah menyala. Tetapi
baru saja ia akan meloncat menerkam lawannya dengan kedua pisau belatinya, mendadak
Wadas Gunung yang tidak pula kalah marahnya menyaksikan Tembini dilukai, telah
mendahuluinya mengadakan serangan yang dahsyat sekali.
Mendapat serangan Wadas Gunung dengan penuh kekuatan, segera Mahesa Jenar menarik
diri, meloncat kecil kesamping, dan dengan satu putaran mengait senjata-senjata di tangan
Wadas Gunung. Tetapi Wadas Gunung pun cukup siaga. Segera ia menarik kedua tangannya.
Sayang bahwa ia agak terlambat sehingga satu dari pisaunya tak dapat dipertahankan
sehingga jatuh dari tangannya.
Wadas Gunung adalah seorang pemarah yang keras hati. Bahkan karena marahnya, kadangkadang ia kehilangan perhitungan. Juga pada saat itu. Ia pun menjadi mata gelap. Dengan
sebuah pisau yang masih ada di tangannya, ia meloncat menyerang Mahesa Jenar sejadijadinya.
Serangan ini ternyata sangat menguntungkan Mahesa Jenar, sebab belati Wadas Gunung lebih
pendek dari tombak berkait yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Karena itu Mahesa Jenar sama
sekali tidak menghindar. Hanya tombaknya yang dijulurkan menanti terkaman Wadas
Gunung.
Melihat mata tombak mengarah ke dadanya, Wadas Gunung terperanjat. Tetapi ia telah
terlanjur meloncat keras sekali. Maka segera ditariknya pisaunya untuk menangkis tombak
Mahesa Jenar. Tetapi tangan Mahesa Jenar adalah tangan yang perkasa, sehingga pukulan
pisau Wadas Gunung, yang tak dapat dilakukan dengan sepenuh tenaga, karena ia sendiri baru
dalam keadaan meloncat, tidaklah banyak artinya.
Tetapi pada saat terakhir, Bagolan telah berusaha menyelamatkan pemimpinnya. Dengan
sekuat tenaga ia melemparkan bola besinya ke arah kepala Mahesa Jenar. Melihat bola besi
bertangkai itu melayang ke arahnya sedemikian kerasnya, maka mau tidak mau Mahesa Jenar
harus berusaha menghindar dengan menggerakkan kepalanya. Dan tepat pada saatnya,
kembali Tembini yang meskipun sudah terluka, menunjukkan kegesitannya bergerak.
Dengan satu loncatan Tembini memukul tombak berkait Mahesa Jenar yang sedang berusaha
menghindari bola besi itu, sekuat-kuat tenaganya. Maka terdengarlah suara berdentang senjata
beradu. Oleh pukulan Tembini dengan kedua buah pisau belati panjangnya, ujung tombak
Mahesa Jenar berhasil digerakkan. Meskipun demikian Wadas Gunung tak dapat
membebaskan dirinya sama sekali, sehingga ujung tombak berkait itu merobek paha
kanannya.
Sambil mengerang kesakitan, Wadas Gunung meloncat beberapa langkah mundur. Tetapi
karena kesakitan yang amat sangat, ia pun beberapa kali terhuyung-huyung hampir jatuh.
Kejadian itu rupanya sangat berpengaruh pada semangat bertempur Wadas Gunung.
Meskipun ia menyesal sekali tak dapat membalaskan dendam adiknya serta pemimpinnya,
tetapi tak adalah yang dapat dilakukan. Ia juga menjadi marah sekali kepada orang berkapak
yang telah mencampuri urusannya. Selain itu juga kepada Sagotra, salah seorang anak
buahnya, ia menjadi marah sekali, serta berjanji dalam hatinya, bahwa anak itu diketemukan
pastilah akan dikupas kulit kepalanya. Sebab dalam keadaan yang sedemikian sulit, ia sama
sekali tidak menampakkan dirinya.
Dalam keadaan yang demikian tidak ada jalan lain bagi Wadas Gunung kecuali harus
menyelamatkan diri, meskipun hanya untuk sementara, sampai dapat tersusun kekuatan untuk
membalas dendam. Karena itu segera ia bersiul keras dan dengan segera pula anak buahnya
berloncatan mengundurkan diri dari gelanggang perkelahian.
Bagolan, yang ternyata mempunyai tenaga raksasa, segera mendukung Wadas Gunung, dan
dengan cepatnya berlari menjauhi lawannya. Sementara itu, yang lain berusaha melindungi
apabila mereka dikejar.
086
MELIHAT lawan-lawannya berlari, Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha mengejarnya.
Orang berkapak itu juga tidak.
Pada saat itu, warna langit di sebelah timur sudah semakin terang. Bayangan pepohonan serta
bentuk-bentuk batang-batang ilalang menjadi semakin jelas. Juga wajah orang berkapak itu
menjadi jelas.
Kalau sebelumnya, kecuali karena gelapnya malam, juga karena Mahesa Jenar tidak sempat
mengamati orang berkapak itu, kini ia dapat dengan jelas melihat wajahnya.
Dan ketika Mahesa Jenar melihat wajah orang itu, darahnya tersirap, seakan-akan ada sesuatu
masalah yang memukul rongga dadanya. Karena itu sampai beberapa saat ia berdiri diam
seperti patung.
Sedang orang berkapak itu, setelah melihat bahwa lawan-lawan Mahesa Jenar berlari, berdiri
seperti acuh tak acuh saja. Juga ketika ia melihat Mahesa Jenar memandangnya dengan wajah
yang membayangkan keruwetan hatinya, orang berkapak itu sama sekali tidak
mempedulikannya.
Akhirnya, setelah agak tenang hatinya, Mahesa Jenar segera mendekati orang itu sambil
berkata, ”Terimakasih atas segala pertolongan yang telah aku terima, sehingga aku
terbebaskan dari tangan mereka.”
Orang itu masih saja berdiri acuh tak acuh. Meskipun demikian ia menjawab pula, ”Tak usah
kau menyatakan terimakasih kepadaku. Ketahuilah bahwa kedatanganku membawa suatu
masalah yang harus kita selesaikan. Kalau aku menolongmu, itu adalah karena aku takut
bahwa masalah kita akan tetap merupakan masalah yang tidak selesai.”
Mendengar jawaban orang itu, sebenarnya Mahesa Jenar merasa sedikit tersinggung oleh
ketinggian hatinya. Tetapi meskipun demikian ia berusaha juga menyabarkannya. Katanya
pula, ”Bagaimanapun kali ini engkau telah melepaskan aku dari kekuasaan mereka.”
”Mungkin.... Tetapi belumlah pasti bahwa kau dapat melepaskan diri dari persoalan yang kau
hadapi sekarang,” jawab orang itu, masih dengan nada dingin.
Kembali Mahesa Jenar terpaksa menyabarkan dirinya. Meskipun hatinya bergetar hebat.
Sampai orang tadi melanjutkan, ”Kedatanganku kemari adalah pertama-tama karena
seseorang merasa mempunyai pinjaman sesuatu barang kepadamu. Dan tak seorangpun dapat
disuruhnya menyerahkan kembali. Akulah yang menyanggupkan diri untuk mengembalikan
barang itu kepadamu. Kedua, adalah karena masalahku sendiri. Masalah yang pada saat itu
kau putar-balikkan kenyataannya dengan mengumpankan seorang yang sama sekali tak
berarti. Kau kira bahwa dengan perbuatan yang demikian itu kau akan dapat
menyembunyikan kenyataan untuk seterusnya. Dengan kesombonganmu, menyediakan diri
dalam sayembara tanding itu, aku kira kau adalah seorang yang benar-benar jantan. Tetapi
menghadapi suatu masalah terakhir, kau melarikan diri.”
Darah Mahesa Jenar benar-benar bergolak hebat. Tuduhan-tuduhan yang datang bertubi-tubi
seperti mengalirnya sungai yang sedang banjir melanda dirinya tanpa diduga-duganya.
Sebenarnya Mahesa Jenar bukanlah termasuk seorang pemarah. Karena itu untuk menahan
diri, Mahesa Jenar menekankan giginya sampai gemeretak.
Apalagi ketika orang itu menyambung bicaranya, ”Nah, aku beri waktu kau sehari ini untuk
beristirahat. Aku kira kau masih lelah setelah mengalami pertempuran pagi ini. Sesudah hari
ini dan malam nanti, baiklah besok kita selesaikan masalah kita. Sayang aku tak dapat
menyaksikan sebaik-baiknya cara kau membela diri terhadap orang yang mengeroyokmu.
Sebab aku terlalu cemas menyaksikan pertarungan tadi. Kalau-kalau kau dapat dibinasakan,
maka aku akan tetap menyesali hidupku selama-lamanya. Tetapi mengingat apa yang telah
kau lakukan, serta apa yang baru saja terjadi, meskipun aku tidak menyaksikan dengan jelas,
kau adalah termasuk orang yang berkepandaian tinggi. Mungkin pula aku tak akan dapat
menyamai kepandaianmu. Tetapi bagaimanapun juga aku akan puas dengan penyelesaian
terakhir yang akan kita tentukan bersama.”
Hampir saja kemarahan Mahesa Jenar meledak. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat
menahan diri. Apalagi ketika tiba-tiba dilihatnya orang itu memutar tubuhnya, lalu berjalan
perlahan-lahan menjauhinya.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak dengan gemetar menahan diri. Dipandangnya
punggung orang itu dengan seksama. Alangkah tinggi hatinya. Tetapi sejenak kemudian
Mahesa Jenar telah dapat menenangkan hatinya. Ia dapat memahami kenapa orang itu harus
bersikap sedemikian, bahkan sudah hampir merupakan sebuah kesombongan yang besar.
Tetapi menurut keterangan yang pernah didengarnya, sebenarnya ia bukanlah seorang yang
jahat. Ia hanyalah seorang yang mempunyai dua alam yang terpisah. Alam angan-angan dan
alam kenyataan. Juga ceritera tentang masa mudanya, yang selalu dipenuhi dengan
perantauan-perantauan yang penuh dengan kejadian-kejadian yang hebat-hebat, tetapi
kemudian tak ada lagi kesempatan baginya untuk mengalami kembali, membuatnya seperti
orang yang tak tahu melihat kenyataan.
087
PERLAHAN-LAHAN Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali. Apa yang baru saja
terjadi dianggapnya sebagai suatu kesalahpahaman saja. Hanya ia masih belum menemukan
jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya.
Sementara itu matahari telah semakin tinggi menanjak kaki langit. Terasalah betapa segar
sinarnya menyentuh tubuh Mahesa Jenar yang kelelahan. Tiba-tiba saja terasa betapa
penatnya setelah semalam suntuk harus melayani 19 orang gerombolan Lawa Ijo. Juga terasa
betapa kantuknya. Alangkah nikmatnya kalau tubuhnya segera beristirahat, meskipun hanya
sejenak. Tapi baru saja Mahesa Jenar melangkah akan memasuki guanya, berdesirlah hatinya
mendengar seruling yang seperti membelai hatinya.
Segera ia menghentikan langkahnya dan melemparkan pandang ke arah suara seruling yang
berderai sesegar wajah pagi. Dilihatnya diatas sebuah batu hitam yang besar, orang berkapak
itu duduk meniup serulingnya. Kapaknya disandarkan pada batu tempat ia duduk.
Mahesa Jenar adalah juga seorang penggemar lagu. Ia sendiri sebenarnya pandai juga meniup
seruling. Karena itu, ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya. Maka ia
mengurungkan niatnya untuk beristirahat. Malahan ia berdiri bersandar bibir goa dan dengan
nyamannya mendengarkan lagu yang memancar begitu segar.
Dan diluar sadarnya ia bergumam, “Pantaslah kalau orang menyebutnya Seruling Gading.
Kepandaiannya meniup seruling hampir sampai pada tingkat sempurna. Ternyata apa yang
diceriterakan Ki Asem Gede sama sekali tidak berlebih-lebihan.”
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja ia teringat kepada masalah yang harus diselesaikannya
dengan Seruling Gading. Masalah yang ingin ia kuburkan sedalam-dalamnya. Yang kini tibatiba saja telah muncul kembali dalam bentuk yang justru lebih tegas. Karena itu ia menjadi
gelisah. Bukan karena ia harus berhadapan dengan Seruling Gading yang apabila ia tetap
dalam pendiriannya, akan merupakan suatu pertempuran yang tak dapat dianggap ringan,
tetapi seperti masalah yang pernah dihadapinya beberapa waktu yang lalu, ialah menang atau
kalah, ia akan tetap menyesali dirinya.
Berpikir tentang masalah itu, perhatiannya terhadap lagu itu jadi berkurang. Malahan kembali
terasa betapa penatnya setelah ia bekerja keras semalam suntuk. Karena itu timbullah kembali
keinginannya untuk beristirahat.
Maka segera ia pun melangkah masuk ke dalam goa, dan merebahkan diri diatas sebuah tikar
batang ilalang yang dibentangkan diatas sebuah batu panjang. Tetapi bagaimanapun ia
berusaha untuk melupakan, meskipun hanya sejenak, namun pikirannya tetap masih saja
melingkar-lingkar kepada Seruling Gading.
Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat sesuatu, sampai ia terloncat berdiri. Bukankah Seruling
Gading itu pada saat ia tinggalkan berada dalam keadaan lumpuh...? Dan bukankah Ki Asem
Gede telah meminjam biji bisa ularnya untuk mencoba menyembuhkan kelumpuhan itu...?
Ia jadi teringat pula kata-kata Seruling Gading bahwa ia mendapat suatu titipan untuknya.
Karena pada saat pikirannya sedang digelisahkan oleh sikap tinggi hati orang itu, sampai ia
tidak begitu memperhatikan kata-katanya. Titipan itu pastilah dari Ki Asem Gede untuk
mengembalikan biji bisa yang telah menyembuhkan kaki Seruling Gading.
Mengingat hal-hal itu semua, Mahesa Jenar menjadi bimbang. Apakah Ki Asem Gede tidak
mengatakan kepadanya bahwa barang yang dibawa untuknya itulah yang telah
menyembuhkan kakinya? Ataukah Ki Asem Gede takut bahwa dengan demikian si Tinggi
Hati itu akan semakin tersinggung?
Mula-mula Mahesa Jenar berhasrat untuk mengatakan hal itu, tetapi niat itu diurungkan.
Sebab kalau Ki Asem Gede saja tidak mau mengatakannya, pastilah ada sebabnya.
Tetapi sejenak kemudian, mendadak wajah Mahesa Jenar menjadi terang. Ia telah menemukan
suatu cara untuk menyelesaikan masalah itu, meskipun ia terpaksa sedikit menyombongkan
diri, serta mempunyai kemungkinan yang berlawanan dengan tujuannya.
Maka setelah mendapat pikiran yang demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya
tidak lagi digelisahkan oleh kehadiran Seruling Gading. Bahkan tiba-tiba kembali ia bisa
menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding-dinding goa.
Dalam tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin berceritera tentang derai air laut
yang membelai pantai.
Suaranya gemericik berloncat-loncatan. Alangkah riangnya. Seriang anak domba yang
dilepaskan di padang hijau, di bawah lindungan gembala yang pengasih.
Namun tiba-tiba hampir mengejutkan, nada itu melonjak berputaran melukiskan datangnya
topan yang dahsyat serta kemudian mengguruh menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat
datang bergulung-gulung menghantam keriangan wajah pantai.
Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar adalah, Seruling Gading dalam lagunya yang
gemuruh dahsyat itu, berhasil menyelipkan sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah
perahu kecil sedang berusaha mencapai pantai sambil melawan tantangan alam yang ganas
itu. Tetapi mendadak lagu itu berhenti sampai sekian, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut
pula karenanya.
Rupanya Seruling Gading dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri,
dalam perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan
gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian ia tetap berjuang untuk masa
depannya.
Untuk ketenteraman hidupnya. Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar memuji di dalam
hatinya. Hanya saja, perwujudan dari ketabahan Wirasaba dalam menghadapi tantangan hari
depannya, kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang kurang tepat, sehingga sifatnya yang
memang sudah tinggi hati itu, mencapai bentuk yang agak berlebih-lebihan. Sampai sekian,
Mahesa Jenar tidak sempat lagi terlalu banyak menilai Seruling Gading. Kelelahan dan
kantuknya tak dapat lagi ditahannya, sehingga sesaat kemudian ia jatuh tertidur.
088
SERULING GADING yang baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh, ditambah pula
dengan pertempuran yang baru saja dilakukan, tidak pula kalah lelahnya. Maka, ketika
matahari sudah melewati puncak langit, segera ia pun terserang kantuk pula.
Apalagi ketika angin silir mengusap tubuhnya. Terasa betapa nyamannya. Karena itu segera
Seruling Gading mencari tempat yang teduh, di bawah bayangan pohon yang rindang, untuk
merebahkan diri. Dan sejenak kemudian ia pun tertidur.
Baru ketika matahari hampir tenggelam, Seruling Gading terbangun oleh suara seruling.
Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia
sendiri demikian mahirnya meniup seruling sampai orang menyebutnya Seruling Gading.
Tetapi di sini, di padang rumput, di sela-sela hutan rimba, ia mendengar dengan telinganya
sendiri suara seruling yang demikian indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya.
Siapakah yang lebih pandai, selain ia sendiri, yang mendapat julukan Seruling Gading?
Siapakah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini...?
Lebih kagum lagi ketika ia mendengar, bagaimana orang yang meniup seruling itu berusaha
untuk mengulang kembali ceriteranya yang telah diungkapkan lewat nada siang tadi. Ceritera
tentang derai air laut yang membelai pantai, gemericik berloncat-loncatan. Bahkan ceritera itu
kini dilengkapi dengan desir angin yang bermain bersama burung-burung camar yang
beterbangan dengan lincahnya.
Tetapi dengan tiba-tiba pula, nada itu melonjak melingkar-lingkar bagaikan topan yang
dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak
mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu, terselip
pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil sedang menyusup
diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai.
Sampai sekian perasaan Seruling Gading menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah
meniup seruling sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna. Juga ia
sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha melukiskan kembali
ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda, tetapi mempunyai bentuk yang sama.
Tetapi tiba-tiba Seruling Gading terlonjak bangkit. Perahu kecil yang sedang berjuang matimatian untuk mencapai pantai itu, tiba-tiba terseret oleh deru gelombang dahsyat, serta
kemudian diputar oleh topan yang ganas. Sehingga nada lagu itu menjadi menjerit seperti
tangis anak-anak yang kehilangan ibunya.
Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling Gading tersinggung bukan main. Tahulah ia sekarang
maksudnya, bahwa peniup seruling ingin menghinanya sebagai seorang yang minta belas
kasihan, serta sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai seorang yang tinggi hati,
Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya tiba-tiba menjadi bergelora. Timbullah
keinginannya untuk menjawab hinaan itu, serta menghantam lewat nada pula.
Tetapi ketika ia ingin mengambil serulingnya dari dalam bajunya, kembali Seruling Gading
terperanjat, sampai menjerit nyaring karena marahnya. Serulingnya yang dibuat dari pring
gadhing, serta tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Ketika
sekali lagi ia memperhatikan warna suara yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya,
ternyata bahwa seruling itu adalah miliknya.
Kembali Seruling Gading menggeram. Dua kali ia dihinakan oleh orang yang meniup seruling
itu. Pertama-tama orang itu menuduhnya sebagai anak-anak yang berteriak-teriak minta belas
kasihan, sedang yang kedua, orang itu berhasil mencuri serulingnya tanpa diketahui.
Maka cepat-cepat ia berdiri. Diangkatnya kepalanya untuk mengetahui dari mana arah suara
seruling itu. Tetapi kembali darahnya meluap-luap. Suara seruling itu ternyata melingkarlingkar tak tentu arahnya. Meskipun sudah beberapa lama ia mencoba untuk mengetahui,
tetapi ia tidak berhasil. Semakin keras suara seruling itu, semakin ribut pulalah gemanya
bersahut-sahutan susul-menyusul dari segala arah. Sehingga semakin bingung pulalah
Seruling Gading.
Ia sendiri adalah seorang peniup seruling yang hampir sempurna pula. Tetapi ia tidak
memiliki tenaga lontar yang sedemikian membingungkan. Getaran yang dapat diisinya
dengan tenaga, hanyalah dapat untuk menghantam perasaan seseorang, sebagai suatu tenaga
kekerasan. Tetapi tenaga yang sedemikian lunak, namun memusingkan tidaklah dipunyainya.
Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang meniup dan sekaligus
mencuri serulingnya itu, pastilah bukan orang sembarangan. Meskipun demikian Seruling
Gading bukanlah orang yang lekas menjadi cemas dan takut. Tetapi ia adalah orang yang
tinggi hati dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri.
Apalagi ketika diingatnya bahwa satu-satunya orang yang berada di daerah itu hanya Mahesa
Jenar. Marahnya semakin menjadi-jadi. Sehingga ia tidak lagi bisa menguasai gelora
perasaannya, Seruling Gading itu berteriak keras, “Hai pengecut yang hanya berani menghina
dari tempat yang jauh dan tersembunyi, coba tampakkanlah dirimu...!”
Tetapi suaranya sendiri juga hanya menghantam bukit kecil di padang ilalang itu, serta
berpantulan susul-menyusul. Sedangkan suara seruling itu masih saja merintih-rintih hampir
putus asa.
Ketika suara teriakannya tidak mendapat sahutan, Seruling Gading semakin marah. Sekali lagi
ia berteriak bertambah keras. Tetapi juga suaranya tak mendapat sahutan.
Maka sedemikian marahnya Seruling Gading, serta ketidaktahuannya, kepada siapa
kemarahannya itu harus diarahkan. Tiba-tiba kapaknya diayunkannya deras sekali
menghantam sebatang pohon sebesar tubuh orang, yang berdiri di hadapannya.
Sedemikian besar tenaganya, sehingga pohon itu sekaligus berderak-derak patah dan roboh
seketika.
Bersamaan dengan robohnya pohon itu, terdengarlah suara memujinya dari kejauhan.
“Bagus..., bagus Wirasaba. Tenagamu memang tenaga raksasa.”
Seruling Gading terkejut mendengar suara itu. Segera ia membalikkan diri untuk mencari
siapakah yang telah memujinya. Tetapi juga ia tak dapat menemukan seseorang. Apalagi pada
saat itu matahari telah tenggelam. Yang tampak hanyalah bentuk-bentuk bukit-bukit kapur
dan puntuk-puntuk kecil yang dibalut oleh hitamnya malam.
089
RASANYA darah Seruling Gading sudah benar-benar mendidih. Ia merasa sebagai seorang
kanak-kanak yang sedang dipermainkan. Demikian bingung serta marahnya, akhirnya ia
berlari ke mulut goa di bukit kapur, dimana dilihatnya Mahesa Jenar siang tadi masuk.
Kembali di sana ia berteriak ke dalam goa. “Hai... pengecut yang tak tahu malu. Keluarlah.
Tak perlu kita menunggu esok. Marilah kita selesaikan masalah kita sekarang juga.”
Seruling Gading berteriak asal berteriak saja, tanpa mengharapkan jawaban. Sebab telah
sekian kali ia melakukannya, namun tidak ada jawaban.
Tetapi tiba-tiba saat itu terdengarlah orang menjawab, sehingga malahan Seruling Gading
terkejut sampai tersentak. Arah jawaban itu ternyata sama sekali tidak dari dalam goa, tetapi
malahan dari arah belakangnya, sehingga secepat kilat ia pun membalikkan diri.
“Wirasaba...” kata suara itu, “janganlah kau terlalu cepat berpanas hati. Sebab dengan
demikian itu, akan mudah menghilangkan ketenangan berpikir. Kalau kita tidak lekas-lekas
menjadi marah, mungkin kau tidak akan terlalu sulit mencari aku. Nah di sinilah aku.”
Mendengar kata-kata itu, serta ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu duduk di atas
batu hitam, tempat ia meniup seruling siang tadi, tubuhnya menjadi gemetar karena
kemarahan yang memuncak. Benar-benar ia dipermainkan.
Karena itu, tanpa berpikir panjang segera ia berlari ke arah bayangan di atas batu hitam itu.
Apalagi ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu benar-benar Mahesa Jenar, maka
menggeramlah Seruling Gading. “Setan, kau jangan mencoba menolong dirimu, menakuti aku
dengan permainan hantu-hantuan itu. Bagaimanapun juga aku tetap dalam pendirianku.
Menyelesaikan masalah kita dengan laku seorang jantan, sekarang juga.”
Sementara itu bulan yang sudah tidak bulat lagi mulai menampakkan dirinya, seperti
mengapung di langit, diantara mega-mega yang mengalir dihembus angin. Sinarnya yang
kuning berpencaran diantara batang-batang ilalang, serta bukit-bukit kapur.
Diantara cahaya bulan berkedipan, wajah-wajah bintang yang iri hati atas kurnia alam kepada
bulan itu, yang memiliki kecantikan yang sempurna.
Dalam taburan sinar bulan, tampaklah wajah Wirasaba yang merah menyala, membayangkan
kemarahan yang meluap-luap. Tangan kanannya menggenggam kapaknya erat sekali, siap
diayunkan untuk membelah kepala Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat gelagat itu. Karena itu ia pun segera mempersiapkan diri, meskipun
tampaknya ia tidak mengubah sikap duduknya. Bahkan masih dengan tersenyum ia berkata
tidak menjawab tantangan Seruling Gading. “Wirasaba..., maafkan kalau aku meminjam
serulingmu tanpa izinmu. Sebab aku tidak mau mengganggu membangunkan kau, nampaknya
kau terlalu nyenyak tidur. Mungkin kaupun sangat lelah setelah menempuh perjalanan yang
begitu jauh serta permainan pagi tadi yang sama sekali tak menyenangkan.”
“Cukup!” bentak Wirasaba. “Jangan kau coba lagi merendahkan aku. Sebaiknya kau jangan
terlalu yakin akan kehebatanmu dengan mengalahkan Samparan dan Watu Gunung, serta
dengan pertunjukanmu pagi tadi. Sebelum kau mampu melenyapkan diri dalam satu kedipan
mata, jangan kau merasa dirimu tak terkalahkan.
Sekarang bersiaplah kau. Ambillah senjatamu, tombak berkait yang kau pergunakan pagi tadi.
Biarlah kita lihat bersama bagaimanakah akhir persoalan kita.”
Mahesa Jenar melihat bahwa kemarahan Seruling Gading telah mencapai puncaknya.
Meskipun demikian ia masih ingin berusaha untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Baru kalau usahanya gagal ia akan melaksanakan rencananya.
“Wirasaba... baiklah tawaranmu aku terima, tetapi tidakkah kau ingin mendengarkan dari
mulutku keterangan-keterangan yang barangkali belum pernah kau dengar sebelumnya?” kata
Mahesa Jenar.
“Ha...?” teriak Wirasaba, “alangkah pengecutnya kau. Dengan pembelaan-pembelaan itu kau
ingin menghindari penyelesaian secara jantan. Kau barangkali ingin menjelaskan bahwa kau
sama sekali tak mempunyai pamrih apa-apa dengan memasuki sayembara tanding itu. Kau
tentu akan berkata, bahwa karena kau adalah sahabat mertuaku Ki Asem Gede. Tetapi pasti
kau tidak mengatakan bahwa kau takut menghadapi cara penyelesaian seperti yang aku maui.
Juga kau pasti tidak akan mengatakan bahwa kau telah mengumpankan Samparan untuk
membersihkan namamu, setelah kau tak berani menerima tawaranku.”
“Wirasaba...” potong Mahesa Jenar. “Bagaimana aku sempat mengumpankan Samparan,
sedang saat itu aku selalu berada di hadapanmu?”
“Ooo.... tidakkah ada pencuri yang berhasil mengambil milik orang lain di hadapan orang itu
sendiri...?” jawab Seruling Gading.
Sampai sekian Mahesa Jenar yakin bahwa Seruling Gading tidak lagi dapat diajak berunding.
Karena itu kemungkinan yang lain adalah, menyelesaikan menurut rencananya.
090
MAHESA JENAR kemudian berkata, “Wirasaba yang digelari orang Seruling Gading... kau
adalah orang yang perkasa dengan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada
kekuatan orang biasa. Seseorang yang belum pernah melihat kau mengayunkan kapakmu pun
tentu dapat menduga yang demikian itu, dengan menilik senjatamu yang mempunyai ukuran
terlalu besar bagi senjata umumnya itu telah menunjukkan betapa tinggi hatimu. Kau adalah
orang yang tidak dapat mendengarkan keterangan orang lain selain mendengarkan angananganmu sendiri. Tetapi, Wirasaba, ketahuilah bahwa bagaimanapun perkasanya kau, jangan
kau menepuk dada serta menyangka bahwa aku tidak berani menerima tantanganmu pada saat
itu. Dengarlah, apa yang dapat dilakukan oleh seorang yang lumpuh seperti kau pada waktu
itu? Apa pula arti keperkasaanmu dengan hanya mampu duduk di pinggir ranjang....?”
Belum lagi Mahesa Jenar selesai dengan kata-katanya, Wirasaba sudah tidak dapat menahan
diri lagi. Darahnya sudah bergelora membakar kepalanya. Karena itu dengan tidak
mengucapkan sepatah katapun, serta dengan menekan giginya, dihimpunnya segala
kekuatannya. Dan dengan dahsyatnya ia berteriak. Bersamaan dengan itu, kapak besar itu
terangkat dan dengan derasnya terayun mengarah kepala Mahesa Jenar yang masih saja duduk
di atas batu hitam itu.
Memang Wirasaba benar-benar memiliki tenaga raksasa. Ayunan kapak yang dilambari
kemarahan itu, menimbulkan suara berdesing yang hebat sekali, sehingga seolah-olah bunyi
sangkakala yang memberi pertanda bahwa dewa maut akan melakukan kewajibannya.
Tetapi sementara itu Mahesa Jenar telah siap pula. Memang ia menunggu-nunggu saat yang
demikian itu. Saat kemarahan Wirasaba mencapai ke puncaknya.
Maka ketika kapak itu dengan cepatnya mengarah kepalanya, iapun segera meloncat
selangkah ke samping, sehingga kapak itu tidak mengenai sasarannya. Demikian kerasnya
Wirasaba menghantamkan senjatanya, maka ketika kapak itu tak mengenai Mahesa Jenar,
terhantamlah batu hitam yang semula dipakai sebagai tempat duduknya.
Dan ternyatalah betapa besar kekuatan Wirasaba. Dalam benturan itu, berderailah bungabunga api. Serta bertebaranlah pecahan-pecahan yang dilemparkan dari luka batu hitam itu,
yang ditimbulkan karena hantaman kapak Wirasaba, meskipun batu itu sangat keras.
Melihat luka di atas batu hitam itu, Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Tetapi sementara
itu sampailah ia kepuncak permainannya. Ia ingin menaklukkan ketinggian hati Seruling
Gading dengan sebuah pertunjukan yang tidak kalah seramnya. Dalam waktu yang sekejap
itu, segera ia mengatur jalan pernafasannya, memusatkan perhatian serta kekuatannya di sisi
telapak tangan kanannya. Segera disilangkannya tangan kirinya di muka dada. Satu kakinya
diangkat ke depan serta tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi.
Sejenak kemudian dengan garangnya ia meloncat ke depan batu itu, dan sebelum Wirasaba
menarik kapaknya, segera Mahesa Jenar menyusul menghantam batu hitam itu dengan
tangannya yang dilambari dengan ilmu Sasra Birawa. Alangkah dahsyat akibatnya. Batu
hitam yang sedemikian kerasnya, yang terluka tak sampai sejengkal oleh pukulan kapak
Wirasaba dengan tenaga raksasanya, pada saat itu, dengan bunyi yang mengejutkan pecah
berserakan karena sisi telapak tangan Mahesa Jenar.
Wirasaba terkejut bukan alang kepalang, sampai tanpa disengaja ia terloncat surut serta
kapaknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya menggigil serta jantungnya berdegupan tanpa
dapat dikuasainya. Sampai beberapa saat ia berdiri termangu seperti kehilangan kesadaran,
dan tak mengerti apa yang harus dilakukannya, karena ia telah melihat suatu kejadian yang
sama sekali tak dapat dibayangkan sebelumnya.
Demikianlah sampai beberapa saat Wirasaba berdiri kaku, sampai tiba-tiba terasa pundaknya
ditepuk orang. Dengan geragapan ia memandang kepada orang itu, yang tidak lain adalah
Mahesa Jenar yang membangunkannya sambil berkata, “Tenanglah hatimu Wirasaba. Itu tadi
hanyalah suatu permainan yang jelek.”
Wirasaba masih belum memiliki seluruh kesadarannya, sehingga ia tidak dapat menjawab
kata-kata Mahesa Jenar, kecuali memandangnya saja dengan pandangan yang berputar-putar
kebingungan.
Sampai kembali Mahesa Jenar berkata sambil menuntunnya duduk di atas sebuah gundukan
tanah. “Wirasaba..., lupakan semua yang telah terjadi. Marilah kita bercakap-cakap sebagai
sahabat yang telah beberapa hari tidak bertemu.
Bukankah kau dapat banyak berceritera tentang Ki Asem Gede, Kakang Dalang Mantingan,
Kakang Demang Penanggalan serta sahabat-sahabat lain di Pucangan dan Prambanan...?
Sesudah itu aku juga banyak sekali mempunyai ceritera yang barangkali menarik.”
Seperti kanak-kanak yang dibimbing ibunya, Wirasaba sama sekali tak menolak. Ia menurut
saja kemana Mahesa Jenar menuntunnya, serta seperti orang bermimpi pula ia duduk
disamping Mahesa Jenar.
Ketika sampai beberapa saat Wirasaba masih berdiam diri, kembali Mahesa Jenar bertanya,
“Wirasaba... siapakah yang memberitahukan kepadamu serta Ki Asem Gede bahwa aku
berada di sini?”
Kini lamat-lamat Wirasaba telah dapat mendengar pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar serta
telah dapat mengerti. Tetapi meskipun demikian ia masih belum juga dapat menjawab, sebab
ia baru mengumpulkan kembali ingatan-ingatan atas kejadian-kejadian yang baru saja berlalu.
Wirasaba adalah seorang tinggi hati yang dalam perbendaharaan pengalamannya selalu
dipenuhi dengan kejadian-kejadian dahsyat di masa mudanya, serta keunggulan kekuatan atas
hampir terhadap semua lawan-lawannya. Sampai ia dipisahkan dari cara hidupnya itu oleh
racun-racun yang melumpuhkan simpul-simpul saraf kakinya.
Tetapi meskipun dalam keadaan lumpuh, masih saja ia merasa keperkasaannya tidak
berkurang. Sehingga suatu ketika sampailah saatnya kakinya dapat sembuh kembali. Dengan
demikian ia semakin merasa dirinya akan dapat mengulangi peristiwa kemenangan demi
kemenangan yang pernah dicapainya.
Apalagi pada saat itu ia menghadapi suatu peristiwa yang menurut pendapatnya adalah suatu
hinaan bagi sifat kejantanannya. Kehadiran Mahesa Jenar yang telah membebaskan istrinya
dari tangan Samparan, diterimanya dengan pengertian yang salah.
091
KETIKA seseorang yang bernama Sagotra datang kepada mertua Wirasaba dan mengabarkan
bahwa Mahesa Jenar berada di daerah Pliridan, maka maksud Wirasaba untuk membuat
perhitungan tak dapat dikekang lagi, meskipun kakinya baru saja sembuh dan belum pulih
kembali seperti sediakala.
Tetapi tiba-tiba, ketika ia telah dapat bertemu dengan orang yang dicarinya itu, disaksikannya
suatu peristiwa yang bermimpipun belum pernah diangankan. Hanya dengan telapak tangan
saja, batu hitam sebesar itu dapat dihantam hancur.
Bagaimanakah jadinya kalau yang dikenai sisi telapak tangan itu kepalanya?
Menghadapi peristiwa itu, rontoklah sifat tinggi hatinya. Mendadak tanpa menjawab
pertanyaan Mahesa Jenar, Wirasaba berdiri serta membungkuk hormat. Siapakah sebenarnya
Tuan yang telah membingungkan perasaanku?
Sambil tersenyum, Mahesa Jenar menunduk hormat pula. Lalu jawabnya, Sebagaimana kau
ketahui, aku adalah Mahesa Jenar.
Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah bahwa ia sama sekali tidak
puas dengan jawaban itu. Sebab orang yang dapat berbuat demikian pastilah orang yang
sudah punya nama.
Karena itu ia memberanikan diri untuk mendesak, Tuan, tetapi barangkali Tuan mempunyai
sebuah gelar lain yang dapat memperkenalkan diri Tuan...?
Mahesa Jenar ragu-ragu sejenak. Adakah untungnya kalau disebutkannya gelar
keprajuritannya? Tetapi kemudian ia berpikir, barangkali dengan demikian ia dapat
mengurangi kepahitan yang baru saja dialami oleh Wirasaba.
Sebagai seorang yang tinggi hati, pastilah Wirasaba akan menderita batin untuk seterusnya
kalau ia sampai dapat dikalahkan oleh orang yang tak bernama. Karena itu, jawabnya,
Wirasaba..., ketahuilah bahwa sebenarnya akulah yang bernama Rangga Tohjaya.
Mendengar nama itu, membersitlah warna merah di wajah Wirasaba, serta jantungnya
berdegup keras. Pantaslah kalau yang dapat berbuat sedemikian dahsyatnya itu adalah orang
yang bergelar Rangga Tohjaya. Karena itu kembali ia membungkuk hormat.
Tuan Rangga Tohjaya yang perwira, maafkanlah segala kelancanganku. Karena Tuan telah
berbuat kemurahan hati untuk membebaskan istriku. Maka berdosalah aku, yang telah berani
menuduhkan hal yang sama sekali tidak wajar kepada Tuan. Karena itu aku serahkan diriku
kepada Tuan untuk menerima hukuman apapun yang Tuan kehendaki, kata Wirasaba dengan
suara yang berat penuh penyesalan.
Kembali Mahesa Jenar tersenyum.
Wirasaba... tidaklah ada hukuman yang pantas aku berikan kepadamu. Sebab wajarlah kalau
seseorang dalam perjalanan hidupnya suatu kali mengalami keterlanjuran. Hanya pengalaman
yang demikian itulah yang dapat menjadi peringatan. Bahwa untuk selanjutnya kita harus
lebih hati-hati dalam tiap-tiap tindakan kita. Tetapi selain dari itu semua, tadi kau katakan
bahwa kau mendapat suatu titipan dari seseorang. Apakah itu? kata Mahesa Jenar.
Wirasaba menjadi seperti tersadar. Lalu ia menjawab, Tuan, aku mendapat titipan dari
mertuaku Ki Asem Gede. Sebuah bumbung kecil yang aku tidak tahu isinya.
Sesudah berkata demikian segera Wirasaba mengambil bumbung dari kantong ikat
pinggangnya dan diserahkannya kepada Mahesa Jenar.
Segera bumbung itu pun diterima oleh Mahesa Jenar, serta ketika dilihat isinya, betul bahwa
yang di dalamnya adalah biji bisa ular yang telah dipinjamkan kepada Ki Asem Gede.
Wirasaba... kata Mahesa Jenar kemudian, tidakkah Ki Asem Gede mengatakan kepadamu,
apakah kasiat benda yang kau bawa ini?
Tidak Tuan, jawab Wirasaba sambil menggelengkan kepalanya.
Ketahuilah, benda ini adalah biji ular yang sangat keras, yang dapat dipergunakan sebagai
obat pemusnah bisa atau racun yang lain. Bagi perjalanan hidup, benda ini sangat penting
artinya, sebab dengan benda ini pula Ki Asem Gede telah berhasil menyembuhkan
kelumpuhanmu, jelas Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar ini, Wirasaba kembali terkejut. Ditambah pula dengan
perasaan haru yang mendalam. Ternyata atas pertolongan Rangga Tohjaya ini pula
kelumpuhan kakinya itu disembuhkan. Mengingat hal itu semua, semakin dalamlah
penyesalan yang dirasakannya.
Sementara itu Mahesa Jenar telah mengajukan pula beberapa pertanyaan mengenai Ki Asem
Gede. Kademangan Pucangan serta Prambanan, dan banyak hal mengenai orang-orang yang
pernah dikenalnya. Karena itu sebentar kemudian pembicaraan telah dapat berlangsung
lancar.
Dari pembicaraan itu diketahui, ternyata sepeninggal Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan
pun segera kembali ke Prambanan. Dan menurut Wirasaba yang mendengar dari Ki Asem
Gede, bahwa orang yang bernama Mantingan itu telah kembali ke Wanakerta.
Setelah pembicaraan mereka berlangsung beberapa lama, berkisar dari yang satu ke yang lain,
maka berkatalah Mahesa Jenar, Nah, Wirasaba, marilah kita anggap bahwa apa yang pernah
terjadi itu merupakan suatu mimpi yang tak menyenangkan. Dan sekarang ternyata kita telah
bangun dan melupakan mimpi itu. Karena itu kembalilah kepada istrimu seperti pada masa
kau datang untuk mengambilnya dahulu.
Baiklah Tuan..., aku akan kembali kepada keluargaku, serta mengatakan apa yang sudah aku
lihat, jawab Wirasaba.
Sekarang, sambung Mahesa Jenar, Marilah kita beristirahat. Besok kita akan melakukan tugas
kita masing-masing. Kau akan kembali kepada keluargamu, sedang aku masih dinanti oleh
suatu tugas berat.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, Wirasaba termenung sejenak. Lalu katanya, Kalau Tuan
masih harus melalukan tugas berat, dapatkah kiranya aku membantu?
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Wirasaba..., bagaimanapun beratnya, tetapi aku tak
dapat membagi pekerjaan itu dengan orang lain. Karena itu dengan menyesal aku tak dapat
menerima tawaranmu.
Wirasaba menjadi terdiam. Tugas apakah yang sedang dihadapi Mahesa Jenar? Tetapi karena
Mahesa Jenar sendiri telah menyatakan keberatan atas tawarannya, maka ia pun tidak berani
lagi mendesak.
092
SEJENAK kemudian Mahesa Jenar telah berdiri, sambil melangkah ia berkata, ”Selamat
malam Wirasaba, beristirahatlah. Kalau kau mau, tidurlah di dalam goa bersama aku. Besok
kita bisa menuai jagung. Dan sesudah itu kita berangkat dengan tujuan masing-masing.”
Segera Wirasaba pun berdiri, serta berjalan mengikuti Mahesa Jenar, masuk ke dalam goa,
untuk bersama-sama beristirahat, sebelum esok paginya mereka masing-masing akan
menempuh perjalanan yang cukup berat.
Bagi Mahesa Jenar, adalah sebaik-baiknya segera meninggalkan tempat itu. Sebab apabila
Wadas Gunung beserta kawan-kawannya sampai dapat mencapai sarangnya, sebelum ia
meninggalkan tempat itu, mungkin untuk selama-lamanya ia tidak akan lagi dapat pergi.
Karena tidaklah mustahil kalau Pasingsingan sendiri akan melakukan pembalasan.
Ketika ayam hutan pada fajar pagi harinya mulai berkokok, Mahesa Jenar pun segera bangun.
Wirasaba bangun pula. Sejenak kemudian ketika sudah mulai terang tanah, keduanya
berkemas.
Tetapi sebelum mereka pergi, Mahesa Jenar bersama Wirasaba memerlukan memenuhi pesan
Ki Ageng Pandan Alas untuk menuai jagung di belakang bukit kapur, serta menyimpannya di
dalam goa. Mungkin pada suatu saat Ki Ageng Pandan Alas akan kembali lagi ke goa itu, atau
salah satu dari mereka pada suatu kali akan mengunjungi tempat itu.
Ketika semuanya sudah selesai, maka yang pertama-tama siap untuk berangkat adalah
Wirasaba. Atas permintaan Mahesa Jenar, Wirasaba membawa bekal beberapa ontong jagung.
Sesudah sekali lagi Wirasaba minta maaf serta menyatakan terima kasihnya, maka segera ia
pun berangkat ke timur, kembali kepada keluarganya dengan perasaan yang seolah-olah baru
sama sekali.
Sepeninggal Wirasaba, segera Mahesa Jenar pun ingat akan tugasnya. Maka tanpa disengaja,
ia berdiri di atas sebuah gundukan tanah sambil memandang ke arah barat, ke arah hutan
Mentaok yang pekat oleh pepohonan liar, dari yang paling kecil sampai yang paling besar.
Pohon-pohon raksasa serta pohon-pohon yang membelit.
Meskipun masih agak jauh, tetapi lamat-lamat hutan yang liar itu telah tampak sebagai suatu
tabir yang di belakangnya tersembunyi banyak sekali rahasia dan bahaya.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak pernah takut untuk
menghadapi bahaya yang bagaimanapun besar. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia bisa
memperhitungkan tindakan-tindakannya. Apa yang harus diusahakannya sekarang adalah
membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten dari tangan Sima Rodra. Sebelum itu berhasil,
harus dihindari kemungkinan-kemungkinan yang akan menggagalkan usahanya.
Bahaya yang paling besar yang dihadapinya, apabila ia menempuh hutan itu adalah
kemungkinan bertemu dengan Pasingsingan. Sebab bila ia bertemu dengan orang itu, pastilah
ia tidak akan dapat melepaskan diri. Bahkan tidak mungkin baginya untuk dapat bertahan
menghadapi tokoh yang terkenal itu.
Karena itu timbul pikiran dalam diri Mahesa Jenar untuk menempuh jalan lain. Ia bisa pula
mengambil jalan utara. Lewat hutan Turi di kaki Gunung Merapi. Lalu sesudah itu akan
dilaluinya lapangan batu-batu yang luas. Konon daerah ini telah pernah dilanda banjir batu
yang dimuntahkan dari Gunung Merapi, sehingga merupakan daerah yang sama sekali tak
dapat ditumbuhi pepohonan. Karena itu daerah ini biasa disebut Ngentak-entak.
Dari sana akan sampailah perjalanan itu ke daerah hutan di lembah antara Gunung Merapi dan
Merbabu. Dan apabila ia mendaki sedikit lambung Gunung Merbabu itu, akan sampailah ia di
daerah Parangrantunan. Dari sana ia harus turun dan berjalan ke barat agak ke selatan.
Meskipun perjalanan melewati daerah ini pun harus menerobos rimba-rimba yang tak kalah
dahsyatnya dari alas Mentaok, tetapi kemungkinan untuk bertemu dengan Pasingsingan
adalah tipis sekali.
Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan
untuk mengambil jalan utara, meskipun daerahnya agak lebih sulit. Kecuali hutan-hutan yang
cukup lebat, juga harus didaki tebing-tebing yang curam serta harus dituruni lembah-lembah
yang terjal.
Setelah tetap hatinya, maka dengan berbekal beberapa ontong jagung , Mahesa Jenar segera
berangkat. Tidak ke barat, tetapi ke utara, untuk menghindari kemungkinan rintanganrintangan yang akan dapat menggagalkan usahanya.
Saat itu, matahari telah cukup tinggi. Sinarnya telah terasa hangat mengenai tubuh. Tetapi
meskipun demikian, burung liar masih bersiul ramai, seolah-olah menyatakan ucapan selamat
jalan kepada Mahesa Jenar yang sedang memulai kembali perjalanannya untuk menemukan
pusaka yang lenyap dari perbendaharaan Kraton Demak.
Namun demikian pikirannya masih saja terganggu oleh kata-kata Samparan, bahwa yang
sedang diperebutkan oleh golongan hitam itu adalah keturunannya saja dari keris Nagasasra
dan Sabuk Inten, jadi bukan keris aslinya. Kalau demikian, bila Sima Rodra benar-benar
menyimpan keris itu, adalah hanya keturunannya saja, ataukah aslinya seperti yang
digambarkan oleh Ki Ageng Pandan Alas...?
093
DUA tokoh ternama ternyata mempunyai pendapat yang berbeda tentang Keris Nagasasra dan
Sabuk Inten. Pasingsingan menganggap bahwa yang ada di luar Kraton itu adalah
keturunannya saja, sehingga ia menyuruh Lawa Ijo untuk mencari pusaka aslinya. Menilik hal
tersebut ternyata Pasingsingan tidak mengetahui bahwa pusaka aslinya itu sedang lenyap dari
perbendaharaan Kraton.
Demikianlah dengan beberapa pemikiran dan persoalan Mahesa Jenar berjalan dengan
cepatnya, dengan satu harapan untuk dapat segera sampai ke tempat tujuannya. Menurut
perhitungannya, apabila tidak ada suatu halangan, ia akan sampai ke tujuan kira-kira lima hari
empat malam.
Tidak banyak hal-hal yang dialami Mahesa Jenar dalam perjalanannya, kecuali kesulitankesulitan melawan alam. Tetapi itu pun satu demi satu dapat diatasinya. Dan hal-hal yang
demikian bagi Mahesa Jenar bukanlah merupakan rintangan dibandingkan dengan orang yang
bernama Pasingsingan.
Apabila malam tiba, Mahesa Jenar selalu mencari tempat untuk tidur, di atas cabang-cabang
pohon untuk menghindari gangguan-gangguan binatang buas. Sedang di siang hari, ia berjalan
sejak matahari terbit sampai matahari terbenam.
Maka pada hari ketiga, Mahesa Jenar telah dapat meninggalkan daerah-daerah hutan di lereng
Gunung Merbabu, untuk segera sampai ke Pangrantunan.
Tetapi demikian ia sampai ke daerah persawahan Pangrantunan, hatinya segera dikejutkan
oleh sebuah panji-panji yang terpancang dengan megahnya, bergambar harimau hitam yang
sedang mengaum hebat.
Harimau hitam itu digambar di atas dasar merah darah, pada kain yang dianyam dari serat
kulit kayu yang dikemplong halus.
Melihat panji-panji itu segera Mahesa Jenar dapat menebak, bahwa panji-panji itu adalah
tanda-tanda yang ditinggalkan oleh Gerombolan Sima Rodra. Tetapi apakah kepentingannya,
panji-panji itu dipasang di tempat ini? Itulah yang menjadi pertanyaan. Apalagi di daerah
Pangrantunan.
Menurut keterangan gurunya, Pangrantunan pernah menjadi pusat percaturan para tokoh sakti.
Sebab di daerah ini beberapa puluh tahun yang lalu pernah diadakan semacam pertemuan dari
beberapa tokoh sakti yang saat ini pada umumnya sudah tidak pernah menampakkan diri lagi.
Diantara beberapa tokoh yang pernah mengadakan pertemuan itu adalah Almarhum Ujung
Kulon, Pasingsingan, Titis Anganten serta Ki Ageng Pandan Alas. Adapun yang menjadi tuan
rumah dalam pertemuan itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana, yang pada saat itu menjadi
kepala daerah Perdikan Pangrantunan.
Sekarang, di bekas daerah yang terkenal itu berkibar panji-panji sebuah gerombolan dari
golongan hitam. Ini adalah suatu hal yang aneh. Tidak adakah seorangpun murid Ki Ageng
Sora Dipayana yang dapat mempertahankan kebesaran namanya...? Ataukah memang Ki
Ageng Sora Dipayana tidak mengambil seorang murid pun...? Atau barangkali gerombolan
Sima Rodra ini sudah merasa demikian kuatnya sehingga berani meremehkan kebesaran Ki
Ageng Sora Dipayana...?
Hal itu hanyalah mungkin apabila gerombolan Sima Rodra ini seperti juga gerombolan Lawa
Ijo, yang didalangi oleh salah seorang dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Tetapi kemungkinan ini adalah tipis sekali. Keberadaan Pasingsingan dalam kalangan hitam
telah cukup mengejutkan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas sendiri perlu membayanginya,
untuk membuktikan kebenarannya. Apalagi tokoh-tokoh lain, yang tidak seaneh
Pasingsingan, pastilah akan semakin menggemparkan.
Karena hal-hal yang mencurigakan itu, maka Mahesa Jenar harus berhati-hati untuk tidak
mengalami hal-hal yang merugikan dirinya serta tugasnya. Dengan penuh kewaspadaan ia
berjalan selangkah demi selangkah mendekati desa yang berada di hadapannya, yang menurut
ingatannya adalah desa Pangrantunan.
Dahulu, saat Mahesa Jenar belum lama berguru, pernah diajak gurunya bersama sama dengan
Kebo Kenanga menjelajahi hampir seluruh pulau Jawa bagian tengah. Dan pada suatu kali ia
pernah diajak pula mampir ke Pangrantunan. Sayang pada saat itu Ki Ageng Sora Dipayana
sedang tidak di rumah, sehingga mereka tidak dapat bertemu. Meskipun demikian, oleh
gurunya banyak yang diceriterakan tentang orang ini. Tentang keistimewaankeistimewaannya, serta tentang budinya yang luhur.
Ketika Mahesa Jenar telah mendekati desa itu, maka kesan pertama-tama didapatnya adalah,
daerah ini telah mengalami banyak kemunduran. Dinding-dinding desa sudah tidak serapi
beberapa tahun yang lalu. Saluran-saluran air juga telah tidak teratur, bahkan banyak parit
yang kering. Maka semakin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa sepeninggal Ki Ageng Sora
Dipayana, tak ada orang lain, baik keturunannya maupun muridnya yang dapat melanjutkan
memelihara kebesaran nama daerah ini.
Rupanya Ki Ageng Sora Dipayana setelah memutuskan menarik diri dari pergaulan, sudah
tidak menaruh perhatian lagi kepada daerahnya.
Maka, ketika Mahesa Jenar melihat seorang petani tua sedang mencangkul tanah yang
tampaknya keras dan tandus, ia memerlukan mendekatinya. Barangkali darinya dapat
didengar ceritera tentang sebab-sebab kemunduran daerah ini, serta yang penting panji-panji
yang dipancangkan oleh Sima Rodra itu.
Melihat orang asing mendatanginya, maka petani tua itu pun berhenti mencangkul, serta
mengawasi Mahesa Jenar dengan saksama. Meskipun pandangan matanya tidak
memancarkan kecurigaan, tetapi jelas mengandung pertanyaan-pertanyaan.
Setelah sampai di hadapan orang itu, segera Mahesa Jenar membungkuk hormat. Orang itu
ternyata juga orang yang ramah dan sopan.
Karena itu sambil tertawa ia pun membungkuk hormat. Malahan sebelum Mahesa Jenar
bertanya, ia sudah mendahuluinya.
“Selamat datang di daerah ini Anakmas, rupa-rupanya Anakmas memerlukan
pertolonganku?”
Mendapat sambutan yang demikian ramahnya serta tak diduga-duga, Mahesa Jenar
terperanjat. Maka cepat-cepat dijawabnya, “Mudah-mudahan kedatanganku tidak
mengganggu pekerjaan Bapak.”
“Tidak... tidak... sama sekali tidak. Apakah yang dapat aku kerjakan untuk Anakmas?” sahut
orang itu.
“Aku ingin mendapat beberapa keterangan mengenai daerah ini,” jawab Mahesa Jenar.
094
ORANG TUA itu mengangguk-angguk kecil. Cangkulnya lalu diletakkannya. Katanya
kemudian, “Baiklah Anakmas, kalau saja aku mengetahui, pastilah aku akan menjawabnya.
Banyakkah keterangan-keterangan yang Anakmas perlukan?”
“Tidak, Bapak... hanya sekedar sebagai petunjuk jalan,” jawab Mahesa Jenar.
“Keterangan mengenai apakah itu?” tanya orang tua itu.
“Bapak...” sambung Mahesa Jenar, “Apakah Bapak mengetahui mengenai panji-panji yang
terpancang di tepi desa itu?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajahnya berubah. Tampaklah kecemasan
membayang di wajahnya.
“Keterangan mengenai bendera itu agak panjang Anakmas. Kalau Anakmas sudi, marilah
mampir ke pondokku sebentar. Barangkali aku dapat menyuguhkan sesuatu, walaupun hanya
air kelapa sebagai penawar haus. Serta barangkali sedikit keterangan mengenai panji-panji
merah itu.”
Mahesa Jenar sulit untuk menolak ajakan orang tua yang nampaknya sangat terbuka hatinya.
Ditambah lagi dengan keinginannya mendengar keterangan-keterangan tentang panji-panji
yang bergambar harimau itu. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali dengan ucapan terima
kasih ia menerima ajakannya.
Ternyata rumah orang tua itu tidaklah begitu jauh. Hanya berjarak beberapa tonggak saja dari
sawahnya yang tampaknya tidak begitu subur. Rumahnya tidak lebih dari sebuah gubug yang
sudah agak miring, meskipun tampaknya masih agak baru, serta beratapkan daun ilalang.
Dengan ramah pula dipersilahkan Mahesa Jenar masuk serta duduk di atas balai-balai bambu
satu- satunya, di samping sebuah paga dan tlundhak tempat lampu.
“Duduklah Anakmas, aku ambilkan untuk Anakmas buah kelapa muda,” kata orang itu.
“Terima kasih, Bapak. Aku senang sekali mendapat sebuah kelapa muda. Tetapi biarlah aku
sendiri memanjatnya. Apakah Bapak yang sudah setua ini masih dapat memanjat pohon
kelapa?” jawab Mahesa Jenar.
Orang itu tersenyum, lalu jawabnya, “Meskipun aku sudah tua, tetapi karena tak ada orang
lain di dalam rumah ini, jadi aku masih harus mengerjakan apa-apa sendiri. Juga memanjat
kelapa. Malahan tidak saja mengambil buahnya, bahkan aku juga nderes beberapa pohon.”
“Bapak masih nderes juga? — tanya Mahesa Jenar keheranan.
Orang tua itu mengangguk. Dan karena itu Mahesa Jenar terpaksa percaya bahwa orang tua
itu masih mampu memanjat pohon kelapa. Karena itu ia tidak lagi mencoba menghalangi
orang itu memanjat pohon kelapa.
Sejenak kemudian orang itu sudah kembali masuk rumahnya, dengan membawa dua buah
kelapa muda yang sudah diparas serta dilubangi, langsung disuguhkan kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar yang baru saja berjalan di bawah terik matahari, menerima kelapa muda itu
dengan gembira serta berterima kasih, sehingga dengan sekali minum habislah isi dari sebuah
kelapa muda.
Maka setelah Mahesa Jenar berisitirahat sejenak, mulailah ia menanyakan kembali tentang
panji-panji merah bergambar harimau itu.
“Panji-panji itu adalah panji-panji dari sebuah gerombolan yang dikepalai oleh suami-istri
yang menamakan dirinya Sima Rodra.” Orangtua itu mulai bercerita.
Desa-desa yang diberinya panji-panji semacam itu, adalah pertanda bahwa desa itu telah
menjadi daerah yang setiap bulan harus menyediakan pajak bahan makanan untuk
gerombolan itu. Demikian juga daerah ini, yang baru menjadi daerah perbekalan Sima Rodra
sejak dua bulan yang lalu. Setiap bulan, mereka datang untuk memasuki setiap rumah yang
ada.
Mahesa Jenar mendengarkan cerita orang tua itu dengan penuh keheranan. Sampai sekian
jauh tindakan Sima Rodra di daerah itu tanpa mendapat gangguan apapun.
“Bapak... apakah Sima Rodra menentukan apakah yang harus diserahkan oleh masing-masing
kepadanya?” Mahesa Jenar akhirnya bertanya kepada orangtua itu.
“Tidak. Mereka tidak menentukan bahan apa yang harus diserahkan, tetapi asal saja mereka
menyediakan. Mungkin beras, kelapa, jagung dan sebagainya,” jawab orang itu.
“Jadi, tidakkah penduduk di daerah ini mendapat perlindungan dari siapapun?” tanya Mahesa
Jenar selanjutnya.
Orang tua itu menghela nafas dalam-dalam. Wajahnya yang sudah berkerut-kerut karena
garis-garis umur itu, tampak semakin berkerut.
“Anakmas, benar apa yang Anakmas katakan,” jawab orang itu. Memang, penduduk di daerah
ini seolah-olah tidak mendapat suatu perlindungan dari siapapun. Sebab daerah ini adalah
daerah perdikan, yang sebenarnya segala sesuatu, seluk-beluk pemerintahan dan keamanan
serta kesejahteraan rakyatnya telah bulat-bulat diserahkan kepada daerah ini sendiri. Tetapi
pimpinan daerah perdikan yang sekarang ini rupanya tidak begitu menghiraukan keadaan
rakyatnya.
“Bukankah daerah ini mula-mula dipimpin oleh seorang sakti serta bijaksana yang bernama
Ki Ageng Sora Dipayana?” sela Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab orang tua itu.
“Tetapi Ki Ageng itu telah lama mengundurkan diri dari pemerintahan. Daerah Pangrantunan
ini sepeninggalnya dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing diserahkan kepada dua
orang putranya. Maksudnya jelas, supaya tidak ada rebutan diantara mereka. Tetapi akibatnya
adalah seperti sekarang ini. Daerah Utara yang dipimpin oleh Ki Ageng Gajah Sora, yang
berkedudukan di Banyu Biru mengalami kemajuan yang pesat. Tetapi daerah ini, yang
dipimpin oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora, dan berkedudukan di Pamingit, mengalami
kemunduran dalam hal kesejahteraan rakyatnya. Pangrantunan, yang pernah menjadi pusat
pemerintahan, sekarang tidak lebih dari sebuah desa kecil yang terpencil dilambung Gunung
Merbabu ini,” jelas orangtua itu, melanjutkan ceritanya.
Tampaklah wajah orang tua itu semakin bersedih. Rupanya ia sedang mengenang masa jaya
dari desanya ini. “Bapak... apakah Bapak mengalami masa-masa pemerintahan Ki Ageng Sora
Dipayana?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
095
ORANG itu tampak ragu-ragu sebentar. Lalu akhirnya ia menggelengkan kepalanya. “Aku di
sini adalah orang baru. Tetapi sebelum aku tinggal di tempat ini aku sudah banyak mendengar
ceritera tentang Ki Ageng Sora Dipayana,” katanya.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi jelaslah bahwa rabaannya mengenai
kemunduran daerah ini adalah benar. Tetapi disamping itu ia mempunyai kesan yang aneh
terhadap orang tua itu. Menilik caranya bicara, pastilah ia bukan orang biasa seperti yang
tampak pada tata lahirnya, yang tidak lebih dari seorang petani miskin.
“Anakmas...” orangtua itu melanjutkan, “pada hari ini, kebetulan adalah hari pungutan pajak.
Karena itu, tak seorang pun yang meninggalkan rumahnya. Mereka menanti dengan setia,
kedatangan para pemungut pajak. Dan karena itu pulalah maka tadi tak seorang pun yang
Anakmas jumpai di sawah, kecuali aku.”
“Kenapa Bapak tidak berbuat seperti orang lain?” desak Mahesa Jenar. Orang itu
menggelengkan kepala. “Aku tak mau,” jawabnya.
Belum lagi mereka habis bercakap-cakap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda.
Orang tua itu tampak agak terkejut.
“Anakmas, itulah mereka datang. Pergilah ke belakang rumah ini supaya Anakmas tidak
terlibat,” kata orang itu.
Mahesa Jenar ingin membantah, sebab ia sama sekali tidak dapat membenarkan kezaliman
yang demikian itu berlangsung terus. Tetapi sebelum ia sempat berkata, dengan penuh
wibawa orang itu mendesaknya. Entahlah pengaruh apa yang menusuk perasaan Mahesa
Jenar, sehingga ia tidak dapat membantah lagi.
Sebentar kemudian benarlah apa yang dikatakan. Beberapa orang yang dipimpin oleh seorang
yang bertubuh tegap tinggi serta berambut hampir di seluruh mukanya, datang dan langsung
memasuki rumah orang tua itu. Tanpa berkata apa-apa orang tua itu dengan ganasnya diseret
keluar dan dipukuli dengan cemeti semau-maunya.
“Panggil seluruh penduduk desa ini...!” teriaknya kemudian.
“Suruhlah mereka menyaksikan contoh bagi mereka yang mau sengaja menghindari
kedatangan kami.”
Sesaat kemudian anak buahnya telah berhasil memaksa penduduk desa itu berkumpul serta
menyaksikan pertunjukan yang mengerikan. Semua penduduk tidak terkecuali, tua-muda,
laki-laki dan perempuan, dengan wajah yang ketakutan terpaksa berkumpul di halaman rumah
petani tua itu.
Beberapa orang perempuan menutup mukanya dengan kedua belah tangannya, sedang
beberapa orang laki-laki hanya bergumam, “Kasihan orang tua itu, kenapa ia tidak memenuhi
permintaan orang-orang itu saja? Bukankah dua-tiga butir kelapa telah dapat
membebaskannya dari derita yang sedemikian?”
Sementara itu orang yang tinggi besar itu berhenti memukul. Lalu dengan lantangnya ia
berkata, “Lihatlah, para penduduk daerah Pengrantunan. Inilah sebuah contoh dari seorang
yang dengan sengaja membantah peraturan kami. Pada waktu kami datang untuk pertama
kalinya pagi tadi, ia telah menghindarkan diri dengan meninggalkan rumahnya. Untunglah
bahwa ketika kami datang untuk kedua kalinya ia sudah ada di dalam rumahnya, sehingga aku
dapat memaafkannya untuk tidak membakar habis rumahnya serta merampas semua miliknya.
Tetapi meskipun demikian kami anggap perlu untuk sedikit memberi pelajaran kepadanya.”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, kembali cemetinya terayun-ayun di udara serta dengan
derasnya memukul-mukul orang tua itu. Segera beberapa jalur garis-garis merah darah
membekas di punggung yang sudah berkerut-kerut serta hampir tak berdaging itu.
Kembali beberapa orang memejamkan matanya. Apalagi ketika orang tinggi besar itu
semakin keras memukul, terdengarlah jeritan-jeritan tertahan keluar dari mulut orang tua yang
disiksa dengan ganasnya itu.
Tetapi meskipun demikian, meskipun ada kesan-kesan kesetia kawanan diantara penduduk,
ternyata sama sekali tidak berani berbuat sesuatu. Beberapa ratus orang laki-laki yang
tampaknya juga tegap-tegap dan kuat, tak dapat berbuat apa-apa melihat salah seorang warga
desanya disiksa di hadapan matanya oleh tidak lebih dari 10 orang.
Ini adalah suatu hal yang aneh. Hanya dalam waktu berapa tahun saja, desa ini tidak hanya
mengalami kemunduran kemakmuran serta pemerintahan tetapi juga mengalami kemunduran
jiwa yang sangat mengejutkan. Suatu daerah dimana seorang sakti yang bernama Sora
Dipayana tinggal dan memerintah, kini mengalami suatu penghinaan yang sedemikian
besarnya tanpa perlawanan sedikit pun.
Mahesa Jenar yang kemudian menggabungkan diri dengan para penduduk setempat
menyaksikan semua itu dengan darah yang bergolak. Ia tidak bisa membiarkan kelalimankelaliman serta kemaksiatan semacam itu berlangsung. Tetapi meskipun demikian ia
mempertimbangkan juga beberapa kemungkinan. Sayang bahwa saat itu ia masih belum bisa
menjajaki kekuatan Sima Rodra yang sebenarnya. Ia juga mempunyai dugaan bahwa apabila
terjadi sesuatu dengan orang-orangnya di suatu daerah pasti Sima Rodra tidak akan tinggal
diam. Mungkin daerah itu akan digilasnya habis, serta dijadikan lautan api. Karena itu
Mahesa Jenar jadi bimbang
096
ANCAMAN itu pasti merupakan salah satu sebab kenapa tak seorangpun yang berani
menentang peraturan Sima Rodra, kecuali malahan seorang tua yang sudah putih seluruh
rambutnya. Juga merupakan suatu sebab kenapa hanya dengan 10 orang, mereka berani
melakukan tugasnya, bahkan berani melakukan siksaan yang sedemikian kejamnya.
Cemeti orang berewok yang gagah itu masih tetap memukul-mukul dengan bunyi yang
menyentak-nyentak. Juga dari mulut orangnya sendiri pun tak habis-habisnya terdengar caci
maki dan umpatan-umpatan yang kotor.
Melihat semuanya itu, hati Mahesa Jenar semakin tidak tahan lagi. Tetapi hanya karena
perhitungan keselamatan penduduk setempat, ia tidak segera bertindak. Ia telah memutuskan
untuk mengikuti gerombolan itu sampai jauh keluar desa. Di sanalah ia akan memuntahkan
segala kemauan hatinya, kemarahannya serta kebenciannya. Sebab dalam wawasannya, ke 10
orang itu tidaklah lebih dari kelinci-kelinci yang sama sekali tak bekerja, kecuali hanya
berteriak-teriak saja.
Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi tak tahan lagi, ketika ia melihat orang tua yang kesakitan itu
dengan menangis-nangis memeluk kaki orang yang tinggi besar dan sedang memukulinya itu,
minta untuk dimaafkan. Tetapi apa yang didapatnya, adalah tidak saja pukulan-pukulan
cemeti, juga kakinya yang besar-besar itu, yang sedang dipeluk demikian eratnya, dengan
sekuat tenaga dikibaskan, sehingga orang tua yang malang itu terpelanting.
Pada saat itu hampir saja Mahesa Jenar meloncat maju. Tetapi, tiba-tiba terasa punggungnya
ditepuk orang dengan mengandung tenaga dalam yang luar biasa besarnya. Mendapat tepukan
yang bertenaga luar biasa itu, Mahesa Jenar sangat terkejut. Apalagi ketika ia menoleh dan
melihat orang yang menepuknya. Malahan hampir saja ia berteriak, kalau saja orang itu tidak
mendahuluinya berkata, “Sst, jangan sebut namaku, panggil aku dengan sebutan lain.”
Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga demikian terkejutnya Mahesa
Jenar menjawab sambil tergagap,
“Baik Ki Ageng....”
“Sst...,” kembali Ki Ageng Pandan Alas berdesis, sambil tersenyum geli, “Jangan kau sebut
itu.”
“Ach...,” jawab Mahesa Jenar. “Aku menjadi bingung atas kehadiran Tuan yang tiba-tiba.”
“Kau akan menolong orang itu?” tanya Ki Ageng Pandan Alas masih berbisik.
“Ya, aku tidak sampai hati melihat siksaan yang sama sekali tak berperikemanusiaan itu,”
jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum dengan wajah Ki Ardi yang jenaka. Kemudian katanya,
“Seharusnya kau berpikir sebaik-baiknya.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar teringat akan kecurigaan atas
pembicaraan orang tua itu. Maka jawabnya, “Memang, Tuan, aku merasakan beberapa
keanehan dari orang itu.”
“Nah lihatlah apa yang akan terjadi,” potong Ki Ageng Pandan Alas, sambil menunjuk kepada
orang tinggi besar yang sedang memukuli petani miskin itu.
Benarlah bahwa sejenak kemudian terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga.
Tiba-tiba saja orang yang tinggi besar itu tubuhnya menjadi kejang. Wajahnya berubah
menjadi pucat. Beberapa kali ia meneriakkan kata-kata yang tak begitu jelas, dan hanya dalam
waktu yang singkat ia terjatuh tak tahu diri.
Segera terjadilah suatu kegemparan. Beberapa orang anak buahnya segera berloncatan untuk
memberikan pertolongan, tetapi usaha itu sia-sia. Orang yang tinggi besar dan berewok itu
ternyata sudah tidak bernapas lagi.
Melihat kejadian itu, salah seorang anggota gerombolan itu menjadi marah sekali. Ia pun
bertubuh tinggi besar, tetapi tidak berewok. Rambutnya bahkan hanya tumbuh jarang-jarang.
Segera ia meloncat maju dengan wajah yang merah padam. Ia sebenarnya tidak tahu apakah
sebabnya maka kawannya mengalami nasib yang demikian.
Tetapi karena yang menjadi sebab menurut pikirannya adalah orang tua yang tak mau
mentaati peraturan itu, maka kepadanyalah kemarahannya akan ditumpahkan.
Melihat sikap yang garang sekali, orang tua itu tampaknya menjadi semakin ketakutan. Maka
dengan gemetar segera iapun berlutut dan mencium kaki orang yang sedang marah itu. Tetapi
juga orang itu sama sekali tak menghiraukan. Bahkan sedemikian marahnya karena ia telah
kehilangan pemimpinnya, ia bermaksud membunuh saja orang tua itu. Maka dengan
menggeram hebat sekali ia mencabut golok yang terselip dipinggangnya.
Tetapi belum lagi ia berhasil mencabut golok itu, iapun tiba-tiba menjadi kejang-kejang pula,
dan tak lama kemudian iapun jatuh tak sadarkan diri, untuk kemudian menghembuskan
nafasnya yang penghabisan.
Melihat hal itu, semakin gemparlah mereka yang menyaksikan. Terutama para gerombolan
Sima Rodra. Ke-8 orang sisanya, bagaimanapun marahnya, tak seorang pun lagi yang berani
berbuat sesuatu atas orang tua itu.
Sebab mereka mengira bahwa orang tua itulah yang menyebabkan kematian kedua orang
kawannya. Maka ketika salah seorang dari mereka dengan perasaan takut meloncat ke atas
kudanya, yang lain pun berbuat demikian.
Ketika mereka akan pergi, salah seorang dari mereka sempat pula menakut-nakuti penduduk.
“Kamu semua telah mencoba melawan kami. Baiklah, lain kali kami akan datang, dan
membunuh kamu semua sampai ke anak cucu.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, segera mereka melarikan kuda mereka kencang-kencang.
Sepeninggal mereka, penduduk yang menyaksikan peristiwa itu semua, untuk sementara
tertegun kaku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tiba-tiba mereka
sadar akan arti ancaman gerombolan Sima Rodra itu bagi keluarga mereka masing-masing.
Kalau benar hal itu akan mereka lakukan, pastilah mereka akan ludes tanpa ada yang
melanjutkan nama serta garis keluarga masing-masing.
097
MENGINGAT hal yang demikian itu, penduduk Pangrantunan segera menjadi ketakutan.
Takut pada pembalasan yang bakal datang, karena seorang tua yang belum lama tinggal di
tempat itu tidak mau memenuhi permintaan gerombolan Sima Rodra untuk menyerahkan dua
tiga butir kelapa.
Kalau mula-mula mereka merasa kasihan kepada orang tua itu, kini tiba-tiba berubah menjadi
perasaan marah. Alangkah kikirnya orang tua itu. Serta karena kekikirannya maka seluruh
penduduk akan mengalami akibatnya. Meskipun andaikata dua orang anggota gerombolan itu
mati karena kebetulan saja, tetapi orang tua yang kikir itulah yang menjadi sebabnya. Apalagi
kalau orang tua itu sengaja meracun atau menyihirnya.
Dalam pada itu tiba-tiba penduduk yang bertubuh pendek ketat penuh dengan otot-otot yang
menonjol, berteriak dengan kerasnya.
“Hai, saudara-saudara penduduk desa ini. Siapakah sebenarnya yang bersalah andaikata
gerombolan Sima Rodra marah kepada kita?”
Maka terdengarlah jawaban dari segenap penjuru. “Orang tua itu, orang tua yang kikir itu.”
Orang tua yang tadi dipukuli gerombolan Sima Rodra itu menjadi bertambah gemetar.
“Saudara-saudaraku, apakah salahku terhadap desa ini. Aku telah menerima hukumanku
karena aku tidak mau membayar pajak bahan makanan kepada gerombolan Sima Rodra. Lalu
apa lagi kesalahanku terhadap kalian?”
“Jangan banyak omong,” bentak orang yang tinggi kekurus-kurusan. “Sejak kau tinggal di
desa ini bulan yang lalu, kau hanya mendatangkan bencana saja. Sekarang kau
mempergunakan ilmu sihir atau senjata-senjata racun untuk membunuh anggota gerombolan
Sima Rodra itu, tanpa mempertimbangkan akibatnya. Bukankah kau tadi mendengar sendiri
ancaman mereka terhadap desa kita?”
Orang tua itu seolah-olah menjadi bertambah ketakutan, seperti seekor tikus yang sudah
berada di dalam cengkeraman kucing yang sedang marah.
Sementara semua peristiwa itu berlangsung, Mahesa Jenar yang tidak mengerti terhadap
semua yang terjadi, menjadi diam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan
terhadap orang tua itu. Apakah ia harus menolong ataukah dibiarkannya saja menjadi korban
kemarahan penduduk.
Ki Ageng Pandan Alas dapat meraba perasaan Mahesa Jenar, maka katanya, “Mahesa Jenar,
jangan kau ributkan orang tua itu. Ia cukup mampu, bahkan berlebihanlah kemampuannya
untuk menjaga diri.”
“Tuan...,” tanya Mahesa Jenar, “permainan apakah yang sedang dilakukan oleh orang tua itu
sebenarnya? Adakah orang itu pula yang telah melakukan pembunuhan terhadap kedua orang
anggota gerombolan itu?”
“Ya....,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Tangan orang itu adalah tangan maut apabila
dikehendakinya. Dengan sekali tekan pada urat-urat tertentu, seseorang tidak akan dapat
hidup lebih dari lima tarikan nafas lagi.”
Mahesa Jenar mendengar keterangan itu dengan penuh keheranan. Alangkah saktinya.
Sehingga akhirnya ia bertanya, “Tuan..., guruku, termasuk Tuan yang mempunyai ciri Keris
Sigar Penjalin, serta yang akhir-akhir ini dengan sebuah tembang Dandanggula yang merdu.”
“Ah..!” potong Pandan Alas, “kau senang pada lagu itu?”
“Tentu... tentu,” sahut Mahesa Jenar, “tetapi siapakah orang tua itu, yang sama sekali tidak
mempergunakan ciri-ciri khusus?”
“Aneh kau Mahesa Jenar,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Kalau ciri-ciri khusus itu
ditunjukkan pada setiap saat dan tempat maka ia akan kehilangan arti kekhususannya. Kecuali
hanya dalam saat-saat yang perlu dan penting. Tentang orang tua itupun demikian pula. Ia
menganggap sama sekali tidak perlu untuk memperkenalkan dirinya di hadapan penduduk
ini.”
“Tetapi siapakah sebenarnya orang itu?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum lucu, tepat seperti pada saat Sagotra mendesaknya untuk
melanjutkan ceritera tentang dua ekor naga yang bertempur melawan orang bintang kemukus.
“Mahesa Jenar... sebenarnya kau harus dapat menerka. Siapakah yang paling berkepentingan
dengan daerah ini? Beberapa tokoh sakti yang kau kenal? Siapakah diantara mereka yang
paling tersinggung apabila daerah ini sampai dinodai? Aku, yang tidak begitu berkepentingan,
memerlukan untuk membuktikan kebenaran berita yang aku dengar bahwa daerah ini telah
merupakan daerah yang harus menyerahkan bulu bekti kepada salah satu gerombolan aliran
hitam. Bagaimanapun aku merasa tidak rela atas hal yang berlaku itu, sebab aku pernah ikut
serta menikmati kebesaran daerah ini, sebagai daerah sahabatku. Tetapi untunglah bahwa
yang berhak telah datang untuk melindungi daerahnya,” jawab Pandan Alas kemudian.
Mendengar penjelasan Ki Ageng Pandan Alas hati Mahesa Jenar berdesir.
“Jadi, beliau itukah Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.
“Sst... jangan terlalu keras,” desis Pandan Alas.
Perasaan Mahesa Jenar menjadi terputar-putar tidak karuan menyaksikan kenyataan itu.
Gembira, terharu, sedih dan segala macam, berkecamuk di dadanya. Seorang yang sakti, serta
telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan, terpaksa turun tangan, dan benar-benar
mempergunakan tubuhnya sendiri, untuk soal-soal tetek bengek yang seharusnya dapat
diselesaikan oleh orang lain.
Tetapi disamping itu, tumbuh pulalah perasaan hormat serta kekaguman Mahesa Jenar atas
sifat kepemimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. Sehingga apabila perlu, ia sendiri tidak segansegan untuk bertindak serta mengorbankan diri.
Sementara itu, kemarahan rakyat Pangrantunan rupa-rupanya sudah memuncak. Sehingga
beberapa orang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tinjunya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari seorang yang bertubuh gemuk, tinggi dan berwajah
keras seperti batu, “Saudara-saudara, marilah kita tangkap saja orang itu. Kita serahkan
kepada Sima Rodra sebagai tumbal untuk keselamatan desa kita.”
“Bagus... bagus.... Setuju..., setuju....” teriak yang lain dari segala penjuru.
098
ORANG TUA yang tidak lain adalah Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, tampak semakin
ketakutan. Tetapi perasaan Mahesa Jenar sudah tidak lagi tersiksa menyaksikan kejadiankejadian itu.
"Tetapi... ," kata orang tua itu mencoba membela dirinya kembali, "Apa yang aku lakukan
sebenarnya bukanlah maksudku sendiri. Bagaimana aku berani membantah peraturan pajak
itu? Apalagi apa-apa yang dibutuhkan telah ada tersedia."
"Bukan maksudmu sendiri...?," tanya yang tinggi kekurus-kurusan.
"Ya, bukan!", jawab orang tua itu.
"Lalu, siapakah yang menyuruhmu berbuat demikian?" tanya yang pendek ketat dengan otototot yang menjorok keluar."
Kembali terjadilah suatu hal di luar dugaan. Tiba-tiba orang tua itu menunjukkan jarinya
kepada Mahesa Jenar dan Pandan Alas.
"Orang asing beserta anaknya itulah yang telah memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan
dari gerombolan Sima Rodra. Aku sama sekali tidak tahu maksudnya, tetapi aku tak berani
menolaknya. Tanyakan pada anak muda itu, apakah maksudnya ia berbuat demikian," kata
orang tua itu.
Mendengar jawaban itu, serta merta semua mata memandang kepada Mahesa Jenar dan Ki
Ageng Pandan Alas yang berdiri tidak begitu jauh di belakang mereka.
Sedang Mahesa Jenar sendiri, yang tidak menduga sama sekali akan terlibat dalam masalah
itu, menjadi terkejut tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia jadi cemas.
Kalau saja kemarahan penduduk ditujukan kepada Mahesa Jenar, lalu apa yang harus
dikerjakan. Haruskah ia melawan dan mungkin akan menimbulkan bencana bagi penduduk
yang seharusnya mendapat perlindungan?.
Tetapi ia lebih tidak mengerti lagi, ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas yang
sama sekali tak berkesan apa-apa, malahan wajahnya tampak menggelikan. Sehingga terpaksa
ia bertanya, "Kenapa Ki Ageng Sora Dipayana membebankan masalah ini kepada kami,
Tuan."
"Mahesa Jenar... Dalam keadaan demikian, sebagaimana kau ketahui orang tua itu telah
mengetahui kehadiranku. Serta malahan ia mempunyai cara yang aneh untuk mengucapkan
selamat datang. Tetapi rupa-rupanya ia masih belum perlu langsung menemuiku seperti juga
aku merasa belum waktunya.
Tetapi terang ia minta tolong kepadamu untuk menjelaskan maksudnya. Nah Mahesa Jenar,
terserah pelaksanaannya kepadamu, untuk membangkitkan kembali jiwa kejantanan bagi
penduduk daerah ini. Tolonglah orang tua itu serta kalau perlu berilah sedikit penerangan dan
pertunjukan yang mengesankan," jawab Pandan Alas berbisik.
Sementara itu perhatian semua orang telah tertuju kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan
Alas. Bahkan ada diantara mereka yang sudah mulai bergerak mendekati. Seorang yang kurus
pendek dengan suara yang menjerit bertanya kepada Mahesa Jenar, "He anak muda...,
benarkah kau memaksa kepada orang tua itu untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra?"
Mahesa Jenar merasa akan canggung juga untuk menjawab, sampai orang kurus itu
membentaknya kembali, "Ayo jawab!"
Tetapi Mahesa Jenar masih juga rikuh untuk berbuat gagah-gagahan di hadapan Ki Ageng
Sora Dipayana. Karena itu ia untuk beberapa saat hanya dapat memandangi wajah orang tua
itu, yang tiba-tiba tidak ada lagi perhatian terhadapnya, tetapi tersenyum-senyum sambil
mengangguk-angguk kepada Ki Ageng Pandan Alas.
Sebaliknya wajah Ki Ageng Pandan Alas yang kemudian berubah menjadi ketakutan.
Melihat permainan itu semua hampir-hampir Mahesa Jenar tak dapat menahan tertawanya.
Rupa-rupanya sedemikian karib persahabatan orang-orang sakti pada saat itu, sehingga
sampai hari tuanya pun mereka masih saja bergurau, meskipun dalam keadaan yang demikian.
Sejenak kemudian ketika Mahesa Jenar masih juga belum menjawab, Ki Ageng Sora
Dipayana berteriak, "Ya, itulah orangnya yang memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan
Sima Rodra, sehingga mungkin akan menimbulkan bencana."
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar menjadi sadar bahwa ia harus benar-benar membantu
orang tua itu untuk kepentingan kebangkitan daerah Pangrantunan. Karena itu ia menjawab,
"Ya, akulah yang memaksa orang tua itu untuk tidak menyerahkan pajak kepada Sima
Rodra."
"Jadi... kaulah biang keladi dari bencana ini, " teriak salah seorang dari mereka.
"Tangkap juga orang itu," teriak yang lain tiba-tiba.
"Bagus, tangkap juga orang itu. Kita serahkan pula kepada Sima Rodra untuk tumbal
bersama-sama orang tua celaka itu," sahut yang gemuk tinggi serta berwajah keras seperti
batu.
"Tangkap..., tangkap.... " teriak yang lain bersama-sama. Dan serentak mulailah mereka
bergerak.
Melihat gerakan itu Ki Ageng Pandan Alas tampaknya menjadi ketakutan sekali, sehingga
tubuhnya gemetar. Dan tiba-tiba ia meloncat melarikan diri.
"Tangkap..., tangkap...." teriak penduduk itu dengan marahnya, ketika mereka melihat salah
seorang dari orang asing itu melarikan diri. Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara Mahesa Jenar,
"Jangan kejar dia. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan."
099
SUARA itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga yang dapat langsung merangsang mereka
yang mendengarnya, sehingga terkejutlah semua orang yang sedang siap untuk memburu Ki
Ageng Pandan Alas. Mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi. Tetapi yang terasa oleh
mereka hanyalah suara Mahesa Jenar itu seperti memukul dada mereka masing-masing,
sehingga dengan demikian serentak mereka berhenti.
Mereka tersadar ketika Ki Ageng Pandan Alas sudah lenyap, sehingga salah seorang berteriak
marah sekali.” He..., kenapa dibiarkan orang tua tadi melarikan diri. Sekarang jangan
lepaskan anak muda itu.”
”Jangan takut aku melarikan diri, “ jawab Mahesa Jenar dengan suara yang mantap.
”Aku akan tetap tinggal di sini. Tangkaplah.”
Mendengar tantangan itu, beberapa orang yang sudah akan menyerbu justru terhenti. Mereka
menjadi ragu-ragu dan bimbang. Kenapa orang itu begitu berani menghadapi seluruh
penduduk Pangrantunan.
”Saudara-saudara penduduk Pangrantunan, salahkah aku kalau aku menasehati orang tua itu
untuk tidak tunduk kepada gerombolan liar yang mengganggu ketenteraman desa kalian?, “
kata Mahesa Jenar selanjutnya.
Mendengar pertanyaan itu semua orang menjadi terdiam. Memang dalam hati kecil mereka,
sama sekali mereka tidak rela menyerahkan harta benda mereka kepada orang-orang yang
datang untuk memerasnya. Tetapi karena ketakutan dan tidak adanya pimpinan, mereka
terpaksa melakukannya. Baru setelah beberapa saat terdengar jawaban diantara mereka.
“Tetapi dengan tindakan itu, nasib kita semua akan celaka.”
”Nasib saudara-saudara bukanlah mereka yang menentukan,” sambung Mahesa Jenar. “Tetapi
ada di tangan saudara sendiri. Kenapa saudara tidak berbuat sesuatu?”
Kembali mereka terdiam mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Ya, kenapa mereka tidak pernah
berpikir untuk suatu usaha menghindarkan diri dari pemerasan itu. Tetapi apakah yang dapat
dilakukan...?
Tiba-tiba diantara mereka berteriak seorang yang berkumis tebal dan bermata tajam seperti
mata burung hantu. “Hai anak muda, kau jangan memperuncing kemarahan kami. Dengan
omonganmu itu kau akan berusaha menjelomprongkan kami ke lembah kesengsaraan yang
lebih hebat. Kau lihat sekarang, betapa sulitnya keadaan kami sehari-hari, tiba-tiba orang tua
celaka itu menambah beban kesulitan kami karena hasutanmu. Sekarang kau berusaha untuk
menghasut seluruh penduduk. Apa kau kira kami ini semuanya orang-orang bebal seperti si
tua celaka itu? “
”Memang...,” jawab Mahesa Jenar, “aku ingin menghasutmu supaya kamu semua tidak lagi
mau menyerahkan sebutir padi pun kepada Sima Rodra.”
”Dengan perbuatan itu,” sambung si kumis tebal dan bermata Burung Hantu, “apakah
keuntunganmu? Nah, sekarang tutup mulutnya dan jangan mencoba melawan. Kau akan kami
ikat bersama-sama orang tua itu untuk tumbal keselamatan desa ini. Bukankah begitu kawankawan...?”
”Betul..., betul....,” sahut mereka hampir serentak.
Dan bersamaan dengan itu, mulailah mereka beramai-ramai menyerbu Mahesa Jenar. Tetapi
seperti patung, Mahesa Jenar tetap di tempatnya. Melihat orang asing itu sama sekali tidak
bergerak, kembali mereka jadi ragu-ragu dan malahan berhenti beberapa langkah di sekitar
Mahesa Jenar. Mereka memandang dengan mata yang bertanya-tanya. Bahkan beberapa
diantaranya malahan mulai agak takut-takut melihat sikap yang sedemikian tenangnya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Juga Ki Ageng Sora Dipayana tak kalah
sedihnya. Sebab dengan peristiwa itu terbuktilah betapa mundurnya keberanian penduduk
menghadapi suatu persoalan.
Beberapa tahun yang lalu mereka adalah rakyat yang cukup tangguh dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan. Tetapi sekarang mereka tidak lebih dari segerombolan pengecut yang
berjiwa budak yang paling rendah. Ketika Mahesa Jenar sempat mengerlingkan mata kepada
Ki Ageng Sora Dipayana, alangkah terperanjatnya, melihat mata orang tua itu mengaca.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “Ya..., itulah yang telah menghasutku, kenapa kalian diam saja?
Bukankah kalian akan menangkapnya?”
Selesai mengucapkan kata-kata itu segera ia meloncat menyusup di antara orang banyak dan
langsung menyerbu Mahesa Jenar. Mahesa Jenar segera menangkap maksud Ki Ageng Sora
Dipayana. Meskipun dengan agak segan dan malu-malu, ia meladeni juga orang tua itu. Maka
segera terjadilah perkelahian. Ki Ageng Sora Dipayana bergerak dengan sekenanya saja.
Memukul, menendang tak berketentuan. Tetapi maksudnya untuk memancing keberanian
penduduk, ternyata berhasil.
Melihat orang tua itu mendahului menyerang, segera yang lain pun bertindak. Melihat orangorang kampung itu mulai berlari-lari untuk menangkapnya, segera Mahesa Jenar meloncat
kesana kemari dan sekadar mengadakan perlawanan. Dalam beberapa benturan Mahesa Jenar
mengetahui bahwa diantara mereka ada juga yang mempunyai kekuatan cukup serta
pengetahuan tata berkelahi yang agak tinggi.
Karena itu anehlah kalau daerah ini tidak dapat berbuat sesuatu untuk melawan kekuasaan
Sima Rodra.
Maka, kunci dari kemunduran ini pasti terletak pada pimpinan. Bagaimanapun, kepala daerah
Perdikan Pengrantunan yang sekarang adalah putra Ki Ageng Sora Dipayana, yang bernama
Ki Ageng Lembu Sora. Apakah Ki Ageng Lembu Sora ini sama sekali tak memiliki sifat-sifat
ayahnya? Bukankah apabila dikehendaki untuk melawan Sima Rodra, daerah ini tidak berdiri
sendiri?
Pangrantunan hanyalah salah satu dari desa-desa yang berada di dalam lingkaran Perdikan
yang sekarang berkedudukan di Pamingit. Tetapi menilik kekuatan Pangrantunan ini sendiri
ditambah dengan daerah-daerah lain, pastilah mereka dapat setidak-tidaknya mencegah
kekuasaan Sima Rodra atas daerah ini.
Maka setelah mereka berkejar-kejaran serta berkelahi beberapa lama, segera Mahesa Jenar
meloncat dengan tangkasnya menembus kepungan mereka, lalu dengan teguhnya berdiri
menghadapi penduduk Pangrantunan yang mengejarnya itu sambil berteriak nyaring, “Cukup
kawan-kawan, permainan kita ternyata berhasil baik. Jangan menyerang aku lagi. Aku tidak
akan melawan. Aku akan tunduk kepada kalian. Tetapi sebelumnya aku ingin berbicara
sedikit lagi kepada kalian.”
100
KETIKA penduduk Pangrantunan yang sedang mengejar Mahesa Jenar itu melihat buruannya
meloncat dengan tangkasnya, seolah-olah melampaui kemampuan manusia biasa, serta dalam
waktu yang hanya sekejap itu telah dapat dengan tiba-tiba berdiri di luar kepungan mereka,
hati mereka tergetar hebat. Segera mereka sadar bahwa itu pastilah orang yang berilmu tinggi.
Karena itu, kembali mereka berhenti beberapa langkah di sekeliling Mahesa Jenar, yang
dengan tegapnya berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja.
Kesadaran mereka akan ketinggian ilmu orang asing itu, ternyata telah menuntun ingatan
penduduk Pangrantunan kepada kekaguman-kekaguman mereka terhadap orang dari daerah
mereka sendiri. Terutama pemimpin mereka yang mereka cintai dengan sepenuh hati, yang
sejak beberapa tahun lalu telah menyisihkan diri. Yaitu Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi tak seorang pun diantara mereka yang dapat mengenal, bahwa orang yang mereka
kenangkan itu, telah ada diantara mereka. Bahkan baru saja mengalami siksaan di hadapan
mereka. Orang kedua yang mereka kagumi adalah Ki Ageng Gajah Sora, putra sulung Ki
Ageng Sora Dipayana. Meskipun belum dapat memiliki seluruh ketinggian ilmu ayahnya, Ki
Ageng Gajah Sora telah dapat digolongkan manusia yang memiliki kelebihan dibanding
manusia biasa.
Orang ketiga sesudah itu adalah Ki Ageng Lembu Sora, adik Ki Ageng Gajah Sora. Orang
inilah yang sekarang menerima kepercayaan dari ayahnya untuk menggantikan kedudukannya
sebagai kepala daerah perdikan Pangrantunan bagian selatan. Tetapi tabiat seseorang ternyata
tidak dapat ditentukan dari tetesan darah yang menurunkan. Ki Ageng Lembu Sora yang oleh
ayahnya diharapkan akan dapat melanjutkan cita-citanya untuk mengembangkan daerahnya,
ternyata yang terjadi adalah kebalikannya. Ia lebih mementingkan kesenangan sendiri.
Bahkan kadang-kadang ia sampai melupakan kedudukannya sebagai pengayom. Malahan
tidak jarang ia berbuat hal yang dapat melukai hati rakyatnya. Hal-hal yang demikian itu
menimbulkan banyak kegelisahan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang akhirnya
menjadikan rakyat tidak peduli lagi kepada keadaan di sekelilingnya, kecuali kepentingan
mereka sendiri-sendiri.
Dan sekarang tiba-tiba muncul seorang yang agaknya termasuk orang yang berilmu tinggi dan
bertabiat aneh. Kalau orang ini memaksakan sesuatu peraturan yang bertentangan dengan
kemauan gerombolan Sima Rodra, maka akan celakalah nasib penduduk setempat. Sebab
mereka tentu tidak akan mampu melawan salah satu diantaranya.
Sementara itu ketika setiap otak dari mereka yang ada di halaman itu sedang dipenuhi dengan
berbagai masalah dan persoalan-persoalan, terdengarlah Mahesa Jenar mulai berkata,
"Saudara-saudara penduduk Pangrantunan. Setelah kita bermain-main sebentar, aku mendapat
kesimpulan bahwa daerah ini bukanlah daerah yang seharusnya dapat menjadi lembu perahan
bagi gerombolan Sima Rodra. Seberapakah sebenarnya kekuatan dari gerombolan itu
dibandingkan dengan keperkasaan kalian? Kalau kalian merasa bahwa apa yang kalian
sediakan untuk gerombolan Sima Rodra setiap bulannya bukanlah kekayaan yang berharga,
memang mungkin sekali. Tetapi arti dari kesediaan saudara-saudara menyerahkan pajak
kepada gerombolan itulah yang sebenarnya patut disesalkan. Sebab dengan demikian kalian
telah menempatkan diri kalian sendiri di bawah kekuasaan Sima Rodra. Apalagi kalau kalian
sampai pada perhitungan nilai dari barang-barang itu kalian kumpulkan, lalu kalian jual.
Maka pastilah dalam waktu yang singkat kalian dapat mendirikan banjar-banjar desa, tempattempat ibadah dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu, kalian adalah rakyat yang merdeka,
bukan rakyat yang diperbudak oleh Sima Rodra, yang patut mempergunakan segala sumber
kekayaan kalian untuk kepentingan kalian sendiri. Nah saudara-saudara, pertahankan
kemerdekaan ini. Kalau perlu dengan darah dan jiwa kalian."
Kata-kata Mahesa Jenar ini terasa seperti membakar dada mereka yang mendengarnya,
disamping perasaan malu dan sesal yang menghantam bertubi-tubi.
Hampir semua orang tampak menundukkan mukanya, seolah-olah hendak langsung
memandang kekecilan jiwa mereka masing-masing. Disamping itu, makin jelaslah dalam
ingatan mereka, keperwiraan serta kejantanan yang pernah mereka alami semasa
pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana.
Mahesa Jenar dapat merasakan, bahwa kata-katanya berhasil menusuk langsung kedalam
sanubari pendengarnya. Karena itu sambungnya, Nah saudara, keputusan terakhir adalah di
tangan saudara-saudara. Masihkah saudara ingin merdeka, ataukah saudara telah merasa
berbahagia dalam penindasan dan pemerasan Sima Rodra? Kalau saudara memilih yang
kedua maka aku bersedia untuk saudara-saudara tangkap serta saudara-saudara serahkan
kepada Sima Rodra sebagai tumbal keselamatan penduduk.
Kalau kata-kata Mahesa Jenar yang terdahulu telah membakar dada rakyat Pangrantunan,
maka kata-katanya yang terakhir itu bagaikan cermin yang langsung diletakkan di hadapan
mereka. Sehingga semakin jelaslah noda-noda yang melekat dalam wajah kepribadian
mereka.
Untuk mempertegas kata-katanya, Mahesa Jenar melanjutkan, "Saudara-saudara, kalau
saudara-saudara sudah merasa bimbang maka sebaiknya saudara-saudara pulang saja sambil
merenungkan pilihan manakah yang saudara-saudara anggap paling sesuai dengan sifat serta
watak saudara-saudara. Sekarang saudara-saudara kami persilahkan meninggalkan halaman
ini. Selama saudara merenungkan kemungkinan yang paling menguntungkan bagi saudarasaudara, aku ingin minta ijin untuk dua-tiga hari. Setelah itu, aku akan datang lagi untuk
menerima keputusan kalian."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang terakhir, penduduk Pangrantunan itu saling pandang.
Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Sampai kembali Mahesa Jenar berkata, "Aku
harap kalian meninggalkan halaman ini untuk merenungkan apa yang akan saudara lakukan.
Aku yakin bahwa saudara akan memilih keputusan yang benar demi tanah tercinta serta
kebesaran nama daerah ini, yang telah diletakkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana."
Meskipun Mahesa Jenar mengucapkan kata-katanya dengan lunak serta sopan, tetapi
tajamnya seperti sembilu yang langsung membelah jantung mereka, sehingga terasa suatu
desiran yang pedih di dalam dada masing-masing.
101
SAMBIL menundukkan kepala serta langkah yang lemah, penduduk Pangrantunan mulai satu
demi satu bergerak meninggalkan halaman rumah petani tua yang sama sekali tak
diketahuinya, bahwa beliaulah Ki Ageng Sora Dipayana.
Dalam kepala mereka berkecamuklah seribu macam masalah. Tetapi satu hal yang telah
menyusup di dalam hati mereka tanpa mereka sadari. Sejak saat itu mereka bertekad untuk
mempertahankan tanah tercinta ini dari segala macam penindasan dan pemerasan. Kalau perlu
akan mereka pertaruhkan darah dan nyawa.
Ketika tidak ada lagi seorang pun di halaman petani miskin itu, segera Mahesa Jenar
menundukkan kepalanya kepada Ki Ageng Sora Dipayana sambil berkata, "Tuan...,
maafkanlah aku yang sama sekali tidak tahu bahwa Tuanlah yang terkenal dengan sebutan Ki
Ageng Sora Dipayana."
Orang tua itu tersenyum.
"Tak apalah. Kalau sampai engkau tidak mengenal, maka berbanggalah aku. Sebab dengan
demikian aku merasa bahwa permainanku dapat berhasil," jawab orang tua itu.
Kembali Mahesa Jenar menghormat.
"Dengan ini atas nama perguruanku aku menyampaikan hormat," kata Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk lemah.
"Rupanya kau adalah satu-satunya waris dari gurumu," kata Ki Ageng Sora Dipayana.
"Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya waris yang harus menjunjung nama perguruanku.
Tetapi kemampuanku sangatlah terbatas, sehingga aku sangat cemas bahwa tugas itu tak akan
berhasil," jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa lirih.
"Aku tadi ternyata salah tebak. Ketika aku melihat orang tua dari Gunung Kidul yang
malahan terkenal dari Wanasaba tadi, aku mengira bahwa kau adalah muridnya. Tetapi ketika
aku melihat kau melangkah, barulah aku tahu bahwa kau adalah murid Ki Ageng Pengging
Sepuh," sahut Sora Dipayana.
Benar Ki Ageng, aku adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, jawab Mahesa Jenar lagi.
Siapakah namamu? tanya Ki Ageng kemudian.
Mahesa Jenar Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar.
Lalu adakah kau mendapat tugas dari perguruanmu sehingga kau sampai ke daerah
Pangrantunan ini?
Mendengar pertanyaan Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar jadi bimbang. Haruskah ia
menyatakan tujuan sebenarnya, ataukah tidak? Dalam kebimbangan hati, Mahesa Jenar tidak
segera dapat menjawab sehingga dalam beberapa saat ia berdiri kebingungan. Ki Ageng Sora
Dipayana ternyata memang orang yang bijaksana. Karena itu segera ia menyambung,
Mungkin kau mendapat tugas rahasia dari seseorang. Nah, kalau begitu baiklah aku bertanya
soal lain saja.
Tidak, Ki Ageng... tidak..., potong Mahesa Jenar tergagap.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa perlahan. Kemudian ia bertanya, Kaukah satu-satunya Ki
Ageng Pengging, yang masih ada? Gurumu almarhum adalah sahabat dekatku. Jadi jangan
kau menaruh prasangka apapun kepadaku. Nah, tinggallah untuk sementara bersama aku di
Pangrantunan.
Terima kasih Ki Ageng, terpaksa aku dengan menyesal tak dapat memenuhi, sebab aku masih
harus meneruskan perjalanan, jawab Mahesa Jenar.
Begitu tergesa-gesa? potong Ki Ageng.
Benar Ki Ageng.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut,
dan tiba-tiba terloncat kata dari mulutnya, Ke Gunung Tidar?
Pertanyaan ini rupanya mengejutkan Mahesa Jenar, sehingga ia kebingungan, sampai Ki
Ageng Sora Dipayana meneruskan, Bagus, pergilah ke sana. Barangkali ada perlunya. Aku
menduga bahwa kau tidak akan menderita sesuatu kalau kau cukup hati-hati. Bukankah Ki
Ageng Pengging Sepuh terkenal dengan Sasra Birawa-nya? Aku kira kau telah memiliki itu
pula.
Mahesa Jenar tak dapat berbuat lain kecuali mengiakan semua kata-kata Ki Ageng Sora
Dipayana, meskipun ia sendiri tak habis heran, kenapa orang tua itu dapat menebak
maksudnya dengan tepat.
Meskipun demikian..., sambung orang tua itu, kau harus tetap waspada. Sebab penghuni
Gunung Tidar bukan pula orang yang patut direndahkan. Dan jagalah bahwa kau dapat
langsung mendekati tempat tinggal Sima Rodra.
Usahakan untuk tidak diketahui oleh para penjaga-penjaganya. Sebab bagaimanapun, jumlah
yang banyak akan turut serta menentukan keseimbangan pertempuran. Apalagi disamping
Sima Rodra sendiri masih ada beberapa orang yang termasuk orang-orang yang berilmu.
Kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu bagi Mahesa Jenar merupakan petunjuk yang sangat
berharga. Maka dengan perasaan yang gembira ia mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga.
Kau pernah ke Gunung itu? tanya Ki Ageng Sora Dipayana kemudian.
Belum Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar. Tetapi aku pernah lewat desa Gelangan di dekat
Gunung itu.
Desa yang berbentuk gelang serta di tengah-tengahnya ada danaunya? tanya Ki Ageng Sora
Dipayana.
Benar Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar.
102
KI AGENG Sora Dipayana kemudian menyarankan Mahesa Jenar agar mengambil jalan ke
arah desa itu. Sebab kau akan terlalu banyak membuang waktu. Sebaiknya kau mengambil
jalan yang biasa dilalui oleh gerombolan itu, melewati hutan bagian selatan. Kau tidak perlu
lagi mencari-cari jalan, sebab daerah itu sering dilewati oleh anak buah Sima Rodra sehingga
seakan-akan telah menjadi sebuah jalan raya. Sedang kalau kau bertemu dengan satu-dua
orang dari mereka maka hal itu bukanlah hal yang perlu diributkan. Kau dapat dengan mudah
menyembunyikan diri, atau dengan semudah itu pula membinasakan mereka, kata Ki Ageng.
Mahesa Jenar mendengarkan semua nasihat itu dengan saksama. Memang pekerjaan yang
akan dilakukan bukanlah pekerjaan yang gampang. Dengan petunjuk-petunjuk yang diterima
dari Ki Ageng Sora Dipayana, semakin teranglah jalan yang akan ditempuhnya.
Nah Mahesa Jenar, kata Ki Ageng Sora Dipayana akhirnya, memang sebaiknya kau tidak
banyak membuang waktu. Kau dapat segera berangkat sekarang juga. Kalau tidak ada
halangan, besok malam kau sudah akan sampai ke pusar pulau Jawa itu. Ingatlah, hindari
pertemuan dengan para pengawal gunung. Pergilah langsung ke lambung utara. Di sana
terletak sebuah goa tempat tinggal suami-istri Sima Rodra itu. Sedang untuk mendekati bukit
itu ambillah jalan sebelah selatan, ambillah waktu ketika matahari telah terbenam.
Sekali lagi Mahesa Jenar mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Dan sesudah itu ia
mohon diri untuk segera melanjutkan perjalanannya ke Gunung Tidar. Ia sudah memutuskan
untuk mengikuti segala petunjuk yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi satu hal yang sama sekali tak diduganya, adalah bahwa dengan memberikan segala
petunjuk itu, Ki Ageng Sora Dipayana telah membuat suatu rencana. Rencana yang hanya
diketahui oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu sendiri. Karena itu ketika ia melihat Mahesa Jenar
dengan langkah yang tetap berjalan menurut petunjuknya, tampaklah orang tua itu tersenyum
sambil bergumam, Mudah-mudahan rencanaku berhasil. Bukankah dengan demikian aku
telah membuat suatu jasa pada mereka...
Sementara itu Mahesa Jenar berjalan dengan langkah yang cepat. Ia mengharap bahwa besok
malam ia sudah dapat sampai ke tempat tinggal Sima Rodra. Menilik rencana pertemuan dari
golongan hitam, dimana Sima Rodra akan ikut serta, maka dapatlah dibayangkan bahwa
setidak-tidaknya Sima Rodra sendiri atau berdua dengan istrinya, pasti mempunyai tingkat
kepandaian sama dengan Lawa Ijo.
Ditambah lagi mereka ternyata memiliki pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Karena itu,
ia harus berhati-hati dalam tiap tindakannya untuk mendapatkan kembali keris Nagasasra dan
Sabuk Inten.
Ketika itu, ketika ia telah agak jauh meninggalkan desa Pangrantunan, matahari telah condong
ke barat. Angin yang bertiup agak kencang dari hutan terasa betapa silirnya. Meskipun
demikian panas yang dipantulkan oleh debu-debu di jalan terasa seperti menyengat-nyengat
kaki. Karena itu Mahesa Jenar semakin mempercepat langkahnya. Sekali-kali ia meloncatloncat di atas rumput yang tumbuh di tepi-tepi jalan.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah meninggalkan daerah-daerah persawahan
Pangrantunan. Ia mulai memasuki daerah-daerah padang ilalang dan hutan-hutan kecil untuk
segera sampai ke induk hutan yang memagari tanah perdikan Pangrantunan.
Tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang berjalan cepat-cepat itu mendengar suara ringkik kuda.
Segera ia menghentikan langkahnya serta bersiap-siap, kalau-kalau suara ringkik kuda itu
berasal dari gerombolan Sima Rodra. Tetapi sampai beberapa saat ia sama sekali tidak
mendengar langkahnya. Karena itu Mahesa Jenar menduga bahwa kuda itu pastilah berhenti.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar menyusup batang-batang ilalang, mendekati arah suara
ringkikan kuda itu. Setelah beberapa langkah, benar-benar Mahesa Jenar melihat kuda
lengkap dengan pelananya, tetapi tidak ada penunggangnya. Maka timbullah kecurigaannya.
Tiba-tiba ia menjadi sangat terkejut ketika dilihatnya di samping kuda itu, menggeletak
sesosok tubuh yang rupa-rupanya sudah tidak bernyawa lagi.
Perlahan-lahan dan hati-hati ia merunduk mendekati mayat itu. Ternyata bahwa mayat itu
adalah mayat seorang laki-laki yang gagah. Di tangannya masih tergenggam sebatang tombak
pendek. Ketika Mahesa Jenar mengamat-amati daerah di sekitar mayat itu, sama sekali tidak
terdapat bekas-bekas telapak, baik telapak kuda maupun telapak kaki manusia yang lain
kecuali telapak kuda yang seekor itu.
Ketika Mahesa Jenar sudah yakin bahwa di sekitar tempat itu sama sekali tidak ada bahaya,
maka mulailah ia mengamat-amati mayat orang gagah itu dengan saksama.
Wajah mayat itu tampak biru kemerah-merahan, hampir di seluruh permukaan kulitnya
tampak noda-noda biru kemerah-merahan. Melihat tanda-tanda itu segera Mahesa Jenar dapat
menerka bahwa orang itu pasti meninggal karena racun.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar mencari, masih belum dapat ditemukan luka yang
menyebabkan kematian orang itu. Baru ketika mayat itu ditelungkupkan, tampaklah sebuah
jarum sumpit yang masih menancap di punggungnya. Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa
orang itu telah diserang dari belakang. Atau kemungkinan lain orang itu dikenai sumpit pada
waktu ia sedang melarikan diri.
Lebih heran lagi Mahesa Jenar ketika melihat pada ikat pinggang orang itu, yang lebarnya
hampir selebar telapak tangan, dan dibuat dari kulit kerbau, tampaklah sebuah pahatan yang
mirip dengan dua ekor ular yang saling membelit. Mula-mula Mahesa Jenar agak bingung
menafsirkan gambar itu, tetapi akhirnya berdesirlah jantungnya. Ini pastilah gambar dua ekor
uling. Kalau demikian maka orang ini pasti termasuk salah seorang anggota gerombolan yang
dikenal dengan nama pimpinannya, sepasang uling dari Rawa Pening.
Tetapi kenapa ia sampai kemari, juga siapa yang membunuhnya, merupakan suatu teka-teki
bagi Mahesa Jenar. Yang terang baginya adalah, bahwa orang itu belum terlalu lama
meninggal. Mungkin pagi tadi, atau malahan sesudah hampir tengah hari.
103
BELUM lagi Mahesa Jenar selesai meneliti tubuh mayat itu, tiba-tiba terdengarlah derap
beberapa ekor kuda. Cepat-cepat Mahesa Jenar memperhatikan arahnya, lalu dengan cepat
sekali ia meloncat ke gerumbul yang terdekat. Ia harus berusaha untuk bersembunyi, sebab ia
masih belum tahu siapakah yang datang. Beberapa saat kemudian derap kuda itu sudah dekat
benar, dan segera muncullah dari dalam hutan beberapa orang berkuda. Rupanya mereka
sedang mencari sesuatu atau mencari jejak, sebab hampir semua dari mereka mengawasi jalan
yang akan dilewatinya.
Melihat rombongan itu, sekali lagi Mahesa Jenar tersirap. Diantara orang-orang berkuda itu,
Mahesa Jenar melihat, bahwa meskipun orang itu berpakaian laki-laki, tetapi jelas bahwa ia
adalah seorang perempuan. Maka tanggapan Mahesa Jenar segera mengarah kepada istri Sima
Rodra. Sedangkan apakah Sima Rodra sendiri ada diantara mereka, Mahesa Jenar masih
belum tahu.
Rombongan itu ternyata benar-benar sedang mencari jejak kaki. Malahan jejak kaki orang
yang meninggal itu. Karena itu, pada mayat orang gagah itulah rombongan berkuda itu
mengarah. Dengan demikian Mahesa Jenar harus semakin rapat bersembunyi.
Ternyata setelah mereka dekat serta semakin jelas, jumlah mereka seluruhnya ada tujuh
orang, satu diantaranya seorang perempuan yang sudah hampir setengah umur, tetapi menilik
tubuh serta wajahnya ia masih tampak lincah dan cantik.
Ketika salah seorang dari mereka melihat mayat itu, ia segera berteriak, Itulah dia... Ki Lurah.
Mendengar teriakan itu, seorang yang bertubuh tegap, gagah, bahkan lebih agak gagah dari
mayat itu, segera meloncat turun dari kudanya dan berjalan mendekati mayat itu, yang segera
disusul oleh satu-satunya perempuan dalam rombongan itu.
Melihat mereka berdua, segera Mahesa Jenar menebak bahwa mereka berdualah yang
terkenal dengan suami-istri Sima Rodra.
Setelah mereka sampai pada mayat itu, segera suami-istri itu berjongkok mengamat-amati.
Kemudian segera tangannya meraih tombak pendek itu.Hem.., sayang adi Gemak Paron.
Terpaksa aku membunuhnya. Kalau tidak, pastilah Kiai Kala Tadah ini jatuh ke tangan
sepasang Uling Rawa Pening, gumamnya.
Mungkin tujuannya lebih dari itu, sahut istrinya, Mungkin Adi Gemak Paron mendapat tugas
untuk mengambil kedua keris itu.
Mungkin juga, jawab si suami, sebab kalau tidak, tugas yang penting itu pastilah bukan Adi
Gemak Paron yang harus melaksanakan.
Tetapi kejadian ini pasti ada akibatnya, sela istrinya, Apakah kakak-beradik dari Rawa Pening
itu akan tinggal diam?
Pasti tidak, jawab si suami, Tetapi ia tidak pula akan bertindak gegabah. Sebab kalau
tindakannya terdengar oleh golongan lain, pasti akan menimbulkan keributan pula. Pastilah
Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya tidak pula akan tinggal diam.
Si istri tampak berpikir sejenak, lalu katanya, itu berarti akan mempercepat saat pertemuan
akhir tahun ini di Rawa Pening. Mungkin mereka akan bersama-sama datang ke Gunung
Tidar untuk memperebutkan pusaka-pusaka itu.
Mungkin, jawab suaminya. Itu berarti pekerjaan kita bertambah berat.
Lalu bagaimana dengan Adi Gemak Paron itu? potong istrinya. Sebab Adi Yuyu Rumpung
yang lolos dari kejaran kami pasti segera akan melaporkan kejadian ini.
Belum lagi mereka menentukan sikap, tiba-tiba terdengarlah derap kuda dari arah lain.
Tampaklah bahwa semua orang dalam gerombolan itu terkejut. Tidak terkecuali suami-istri
Sima Rodra.
Rupa-rupanya Adi Gemak Paron tidak hanya berdua, desis si istri.
Kau benar, jawab suaminya. Bersiaplah kalian, perintahnya kepada anak buahnya.
Maka segera mereka pun bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Suara derap kuda itu
semakin lama semakin jelas. Dan Mahesa Jenar pun tidak kalah cemasnya, sebab arah derap
kuda itu menuju kepadanya. Karena itu, ia pun melipat dirinya lebih kecil lagi di bawah
sebuah gerumbul yang berdaun rapat.
Sejenak kemudian kuda yang larinya seperti terbang meluncur hanya beberapa langkah di
samping Mahesa Jenar. Melihat penunggang-penunggangnya, Mahesa Jenar agak keheranheranan pula. Mungkinkah mereka dari gerombolan Uling Rawa Pening? Sebab tampaklah
wajah mereka berbeda dengan wajah-wajah gerombolan Sima Rodra. Sedangkan pakaian
mereka pun sama sekali tidak seperti pakaian orang yang mati itu.
Rombongan yang kedua ini terdiri dari orang yang jumlahnya lebih banyak. Semua kira-kira
ada 15 orang. Ketika rombongan yang kedua ini melihat rombongan Sima Rodra, mereka pun
tampak terkejut. Maka dengan segera mereka menarik tali kekang kuda mereka, sehingga
kuda-kuda mereka berdiri dan berhenti seketika.
Melihat rombongan yang baru saja datang itu, ternyata Sima Rodra beserta anak buahnya
bertambah terkejut lagi, sehingga ketika rombongan yang kedua itu telah berhenti. Sima
Rodra segera berkata, Aku menyampaikan hormat yang setinggi-tingginya kepada rombongan
Ki Ageng Lembu Sora.
Mendengar sapa Sima Rodra itu, giliran Mahesa Jenar yang terkejut bukan kepalang. Inilah
orangnya yang bernama Ki Ageng Lembu Sora, putra kedua dari Ki Ageng Sora Dipayana.
Ki Ageng Lembu Sora adalah seorang yang bertubuh sedang, berwajah keras. Matanya
memancarkan sinar ketamakan dan pemujaan kepada nafsu-nafsu jasmaniah.
Sambil masih duduk di atas kudanya ia menjawab, Salamku kepada kalian.
Terima kasih Ki Ageng, jawab Sima Rodra.
Kenapa kalian berada di tempat ini? tanya Ki Ageng Lembu Sora.
Kami sedang mengejar orang ini, Ki Ageng, jawab Sima Rodra sambil menunjuk kepada
mayat Gemak Paron.
Siapakah dia? tanya Lembu Sora kembali.
Ia berusaha untuk mencuri pusaka kami, Kiai Kala Tadah. Untunglah bahwa aku dapat
mengenainya dengan sumpit, sehingga ia tidak dapat melarikan diri lebih jauh lagi, jawab
Sima Rodra.
104
LEMBU SORA tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Dari
manakah dia?"
"Dari daerah Rawa Pening," jawab Sima Rodra.
"Gerombolan yang dipimpin oleh Uling Rawa Pening...?" Lembu Sora menegaskan.
"Ya," jawab Sima Rodra.
Sekali lagi Lembu Sora mengangguk-angguk.
Untunglah gerombolan Uling itu sampai sekarang masih diberi kesempatan berdiri. Kalau saja
Kakang Gajah Sora sudah mau bertindak maka umur gerombolan itu tidak akan lebih dari
satu senja, kata Lembu Sora kemudian.
Rupanya hal itu pun disadari oleh sepasang Uling itu, sehingga mereka tidak berani berbuat
apa-apa di dalam wilayah kekuasaan Ki Ageng Gajah Sora. Meskipun secara perseorangan
belumlah pasti bahwa kakak-beradik Uling itu dapat dikalahkan oleh Gajah Sora, sahut Sima
Rodra.
"Kau yakin akan hal itu?" potong Lembu Sora.
"Hal yang mungkin sekali," jawab Sima Rodra.
Lembu Sora tampak mengernyitkan alisnya. Ia tampak tidak begitu senang mendengar
keterangan Sima Rodra itu. Seperti kau yakin bahwa kau tidak dapat aku kalahkan, katanya
kemudian.
Sima Rodra menarik nafas panjang. Tampaklah betapa tajam pandangan matanya.
Perlahan-lahan ia menegakkan kepalanya, memandang ke arah puncak-puncak pohon raksasa
yang bertebaran di hutan. Jelas, betapa ia mencoba menguasai dirinya untuk tidak bertindak
tergesa-gesa.
Sebentar kemudian, baru Sima Rodra menjawab, "Ki Ageng, aku tidak ingin berkata
demikian. Selama kita masih saling menghormati persetujuan kita. Biarlah, apa saja yang
akan terjadi di daerah Banyu Biru dan Rawa Pening. Sedang diantara kita hendaknya tetap
berlaku persetujuan yang sudah sama-sama kita terima, supaya kita tidak usah menilai,
siapakah diantara kita yang lebih kuat. Sedangkan apa yang berlaku sekarang aku rasa sudah
saling menguntungkan."
Wajah Lembu Sora menjadi tegang pula. Rupanya ia pun sedang berusaha untuk menguasai
perasaannya."
Sejenak kemudian dengan mata yang berapi-api ia berkata, "Bagus, kalau kau masih tetap
dalam pendirianmu itu. Tetapi aku dengar kau mulai membuat perkara. Karena itu aku
sekarang memerlukan berkeliling pagar perdikanku untuk mengetahui kebenaran berita bahwa
kau mulai merambah ke daerah lalu lintas dengan Pamingit."
"Itu tidak benar, " potong Sima Rodra, "Aku tidak biasa berbuat kecurangan-kecurangan yang
naif semacam itu. Mungkin dalam kehidupanku telah ribuan kali aku berbuat curang, tetapi
untuk keperluan yang cukup bernilai dan seimbang dengan kecurangan yang terpaksa aku
lakukan."
Sima Rodra diam sejenak. Suasana segera meningkat semakin tegang. Tampaklah bahwa
masing-masing telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap kemungkinan.
"Yang benar... dua orangku pagi ini telah mati di Pangrantunan, " lanjut Sima Rodra.
Lembu Sora tampaknya agak terkejut mendengar berita itu, sehingga ia bertanya, "Kenapa? "
"Sebabnya masih belum begitu jelas, sebab aku masih belum sempat mengusutnya, karena
ada peristiwa pencurian pusaka ini. Tetapi dua-tiga hari yang akan datang, pastilah aku sendiri
akan datang ke Pangrantunan untuk melihat siapakah yang telah berbuat kejahatan itu, "
jawab Sima Rodra.
Sima Rodra..., yang termasuk dalam persetujuan kita hanyalah sumbangan hasil bumi dari
penduduk Pangrantunan, bukan orang-orangnya, sahut Sima Rodra.
"Tetapi aku tidak membiarkan pembunuhan itu menjadi kebiasaan. Karena itu, yang bersalah
harus mendapat hukuman, " jawab Sima Rodra.
"Aku beri wewenang kau melakukan hukuman hanya kepada yang bersalah. Tetapi awas,
jangan berbuat sekehendakmu saja atas orang-orangku. Sebab ganti yang kau berikan
kepadaku akhir-akhir ini ternyata mulai merosot nilainya, " kata Lembu Sora.
Mendengar kata-kata Lembu Sora yang terakhir, tiba-tiba Sima Rodra tertawa menggelegar.
Katanya kemudian, "Jangan takut Ki Ageng, lain kali pasti akan lebih memberi kepuasan
kepada Ki Ageng..."
.
"Aku berkata sebenarnya, karena itu segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku akan
melanjutkan perjalanan sekarang," potong Ki Lembu Sora.
Sehabis mengucapkan kata-kata itu, segera ia menarik tali kekang kudanya, serta
mencambuknya keras-keras, sehingga kudanya terloncat dan berlari kencang. Para
pengikutnya segera mengikutinya pula. Suami-istri Sima Rodra bersama anak buahnya
mengawasinya sampai hilang di balik semak-semak.
Setelah itu kembali terdengar Sima Rodra tertawa tergelak-gelak.
"Orang gila. Rupa-rupanya masih juga ada sisa-sisa minatnya untuk meninjau daerah
perdikannya yang sebentar lagi pasti akan dapat aku telan seluruhnya," kata Sima Rodra
kemudian.
105
JANGAN terlalu tergesa-gesa. Apa kau kira Ki Ageng Gajah Sora akan tinggal diam? potong
istrinya.
Dengan kedua pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten itu di tangan kita, pastilah bahwa kita
akan menguasai segenap aliran hitam di pulau Jawa, seperti apa yang pernah kita janjikan
bersama. Sesudah itu apakah arti kekuasaan Gajah Sora. Sedangkan Demak sendiri lambat
laun pasti akan dapat aku lenyapkan pula, kata Sima Rodra.
Istri Sima Rodra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, Mudah-mudahan semua
itu tidak hanya merupakan sebuah impian yang akan lenyap bersama terbitnya matahari.
Si suami tertawa perlahan-lahan. Seperti kepada dirinya sendiri ia berkata, Aku harus bekerja
lebih keras. Mungkin akan banyak hal yang harus aku hadapi dalam perjalanan ke istana
Demak.
Lalu apa yang akan kita perbuat sekarang? Tiba-tiba istrinya bertanya.
Sima Rodra itu menjadi seperti orang yang tersadar dari lamunannya. Kembali ia mengamatamati mayat Gemak Paron.
Sebentar kemudian ia berkata, Marilah Nyai, sebaiknya kita kembali. Mungkin sehari dua hari
kakak-beradik Uling dari Rawa Pening akan berkunjung ke rumah kita. Baru sesudah itu kita
pergi ke Pangrantunan untuk mencari pembunuh-pembunuh itu.
Tidakkah kita selesaikan sama sekali masalah Pangrantunan yang tinggal tidak seberapa jauh
lagi?
Sima Rodra tampak agak berpikir, tetapi segera ia menjawab, Masalah Pangrantunan sama
sekali bukan masalah yang perlu mendapat perhatian banyak. Tetapi sepasang Uling itu
benar-benar memerlukan persiapan yang cukup untuk menyambutnya.
Setelah itu maka segera ia pun berdiri meninggalkan mayat Gemak Paron, langsung menuju
ke kudanya. Dan sejenak kemudian rombongan itu pun pergi meninggalkan mayat itu tetap
terkapar, sambil membawa kembali pusaka yang disebutnya Kiai Kala Tadah.
Setelah derap kuda mereka tak terdengar lagi, Mahesa Jenar perlahan-lahan keluar dari
persembunyiannya. Tanpa sadar ia menggelengkan kepalanya sambil mengusap dadanya.
Meskipun ia tidak tahu bunyi perjanjian antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, tetapi
bahwa Ki Ageng Lembu Sora bersedia menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk sumber
perbekalan dari golongan hitam, adalah suatu tindakan yang tercela.
Apapun yang diterima Lembu Sora dari Sima Rodra sebagai gantinya, hal itu adalah suatu
penghinaan atas kekuasaan yang dipegangnya, dengan membiarkan adanya kekuasaan asing
turut serta mencampuri masalah di dalam rangkah. Apalagi ketika Mahesa Jenar teringat akan
rencana Sima Rodra, tidak saja menguasai Perdikan ini, tetapi ia sudah mulai merintis jalan ke
Demak.
Tetapi ketika ia teringat bahwa Ki Ageng Sora Dipayana dengan ujudnya yang baru telah
kembali ke Pangrantunan, hatinya menjadi agak tenteram. Pasti orang tua itu tidak akan
membiarkan pengkhianatan itu tetap berlangsung. Sebab kekuasaan yang selalu dibayangi
oleh kekuasaan lain tidaklah lebih dari kekuasaan boneka.
Sebentar kemudian segera Mahesa Jenar sadar akan tugasnya. Ia harus cepat-cepat pergi ke
Gunung Tidar. Kalau benar apa yang diperhitungkan oleh Sima Rodra, yaitu kemungkinan
akan datangnya Uling dari Rawa Pening, maka ia harus berusaha untuk mendahuluinya.
Sebab kalau tidak, dan sepasang Uling itu sampai berhasil merebut kedua keris pusaka itu,
maka tugasnya akan bertambah sulit.
Karena itu Mahesa Jenar pun segera melanjutkan perjalanannya. Sejenak kemudian ia telah
memasuki daerah hutan yang cukup lebat pula. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng
Sora Dipayana, bahwa di dalam hutan itu seolah-olah telah dibuat sebuah jalan, yang
walaupun sempit tetapi cukup baik untuk lalu lintas kuda maupun orang berjalan. Maka
tidaklah ada kesulitan apa-apa bagi Mahesa Jenar untuk langsung menuju ke Gunung Tidar.
Tetapi belum lama ia menyusur jalan rimba, tiba-tiba didengarnya telapak kuda yang lari
sangat kencang dari arah depan.
Mula-mula Mahesa Jenar mengira orang-orang Sima Rodra. Tetapi ketika diketahuinya
bahwa suara derap kuda itu tidak lebih dari seekor, maka maksudnya untuk menghindar itu
diurungkan. Ia tetap saja berdiri menepi dengan maksud untuk mendapatkan suatu pengertian
baru tentang Sima Rodra dari orang itu.
Sebentar kemudian tampaklah seekor kuda yang lari seperti terbang menuju ke arahnya.
Penunggangnya adalah orang yang pendek kokoh dan berjambang tebal.
Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar, ia pun tampak terkejut. Segera ia menarik kekang
kudanya sehingga kuda itu berhenti beberapa langkah di hadapan Mahesa Jenar. Mula-mula
wajah orang itu tampak tegang.
Tetapi ketika ia melihat ikat pinggang orang itu, yang lebarnya hampir selebar telapak tangan
serta dibuat dari kulit kerbau, menjadi terkejut. Segera ia ingat kepada Gemak Paron yang
mati kena sumpit punggungnya, juga memakai ikat pinggang yang serupa.
Maka kesimpulan bagi Mahesa Jenar, orang ini pasti juga salah seorang dari gerombolan
Uling Rawa Pening. Mungkin orang inilah yang tadi disebut-sebut dengan nama Yuyu
Rumpung, yang berhasil meloloskan diri dari kejaran Sima Rodra.
Kalau demikian, kiranya Yuyu Rumpung tadi telah berhasil menyelinap ke dalam hutan,
sementara gemak Paron berlari terus. Kemudian setelah diketahuinya bahwa Sima Rodra telah
kembali ke sarangnya, ia segera berusaha untuk melarikan diri.
Orang berkuda itu, setelah memandangi Mahesa Jenar sejenak segera bertanya, Siapakah kau
yang berani lewat di jalan yang khusus bagi gerombolan Sima Rodra?
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menjajagi kekuatan gerombolan Uling ini,
dengan mencoba kekuatan salah seorang anggotanya yang terkemuka. Dengan demikian ia
akan dapat mengetahui kira-kira sampai dimana kekuatan anggota-anggota yang lain. Sedang
pimpinan rombongannya sendiri pastilah tidak akan banyak terpaut dengan Lawa Ijo, Jaka
Soka dan mungkin juga Sima Rodra.
106
SETELAH berpikir sejenak, Mahesa Jenar segera menjawab, Namaku Yuyu Rumpung, dan
berasal dari Rawa Pening. Aku adalah salah seorang kepercayaan kakak-beradik Uling untuk
mencari keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi sayang bahwa aku dan Gemak Paron hanya
berhasil mengambil tombak pendek yang bernama Kala Tadah. Itu saja Gemak Paron terpaksa
menebus dengan nyawanya, sedang tombak itu kembali kepada pemiliknya.
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, segera wajah orang itu, yang sebenarnya adalah Yuyu
Rumpung, menjadi merah menyala. Ia menjadi marah sekali karena jawaban itu seolah-olah
merupakan suatu sindiran akan ketidakmampuannya melakukan tugas yang dibebankan
kepadanya bersama Gemak Paron. Karena itu dengan gigi yang gemeretak ia berteriak.
Orang gila, jangan kau mau main-main dengan Yuyu Rumpung. Meskipun aku tidak berhasil
mencuri kedua pusaka itu, tetapi aku pasti akan bisa mematahkan lehermu. Tetapi sebelum
itu, supaya aku tahu, siapakah yang telah aku bunuh, hendaknya kau mengatakan namamu
yang sebenarnya.
Mendengar teriakan Yuyu Rumpung, Mahesa Jenar hanya tertawa dingin.
Kau memang lekas marah. Untuk melaksanakan tugas yang sulit itu seharusnya Uling Rawa
Pening memilih orang yang tenang dan dapat menguasai perasaannya. Mungkin Gemak Paron
tidak selekas engkau ini menjadi marah, jawab Mahesa Jenar.
Rupanya Yuyu Rumpung sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Segera ia meloncat dari
kudanya dan dengan suatu gerakan yang dahsyat ia langsung menyerang Mahesa Jenar
dengan suatu pukulan ke arah pelipis.
Ternyata Yuyu Rumpung adalah orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Pukulannya mengandung tenaga yang hebat, serta cepat.
Mendapat serangan yang demikian cepatnya, Mahesa Jenar segera merendahkan diri dan
dengan sebagian tenaganya ia mempergunakan ujung sikunya untuk menyerang lambung
lawannya. Tetapi Yuyu Rumpung pun ternyata lincah sekali, sehingga ia tidak terlambat
meloncat mundur menghindar. Tetapi dalam hati ia pun tidak habis heran.
Siapakah orang yang berjalan di dalam hutan seorang diri, tetapi mempunyai keuletan yang
sedemikian tinggi. Apalagi ia sudah tahu nama, asal serta tugas yang sedang dilaksanakan.
Mahesa Jenar tidak sempat merenung-renung, sebab ketika sadar bahwa serangannya gagal,
segera ia memutar tubuhnya, dan dengan kaki kirinya ia menghantam perut Yuyu Rumpung.
Sekali lagi Yuyu Rumpung terpaksa meloncat ke samping, tetapi kali ini ia tidak mau terusmenerus diserang. Karena itu demikian kakinya melekat diatas tanah, segera ia maju
menyodok perut Mahesa Jenar.
Kali ini sengaja Mahesa Jenar tidak menghindarkan diri, tetapi dengan tangannya ia memukul
tangan Yuyu Rumpung ke samping. Yuyu Rumpung yang percaya pada kekuatannya, ketika
melihat Mahesa Jenar menangkis pukulannya sama sekali ia tidak berusaha menarik
tangannya, malahan seluruh tenaganya dikerahkan. Maka segera terjadilah suatu benturan
yang keras sekali. Dengan tak diduga sama sekali oleh Yuyu Rumpung, bahwa lawannya
memiliki tenaga yang dahsyat, sehingga ia jatuh terguling.
Sebaliknya Mahesa Jenar pun merasakan kekuatan Yuyu Rumpung sehingga tangannya terasa
agak sakit.
Sampai sekian Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa orang ini kira-kira tidak lebih dari
Carang Lampit, orang kedua sesudah Wadas Gunung dalam gerombolan Lawa Ijo. Maka
ketika dengan sedikit kesulitan Yuyu Rumpung berdiri, segera Mahesa Jenar meloncatinya,
dan dengan tangannya yang kokoh kuat, segera ia menangkap kedua lengan Yuyu Rumpung,
dan dengan lututnya ia menekan punggungnya. Yuyu Rumpung terkejut melihat kegarangan
lawannya. Tetapi tak ada lagi kesempatan baginya untuk melepaskan diri.
Selanjutnya terdengar Mahesa Jenar bertanya, Yuyu Rumpung, selain kau dan Gemak Paron,
siapakah yang termasuk orang-orang penting dalam gerombolanmu?
Pertanyaan ini telah memusingkan kepala Yuyu Rumpung. Ia pun segera mengetahui bahwa
orang ini pasti bukan dari golongan hitam, sebab dari golongan itu, pada umumnya sudah
mengenal siapa-siapa yang menjadi orang-orang terpenting dalam gerombolan masingmasing.
Ketika sampai beberapa lama ia tidak menjawab, terasa tekanan lutut di punggungnya
semakin keras semakin keras. Sehingga terpaksa ia berkata, Apakah kepentinganmu dengan
mengetahui orang-orang kami?
Itu adalah soalku, yang kuminta hanyalah kau sebutkan nama-nama itu, dan jangan bohong,
jawab Mahesa Jenar,
Sementara itu punggung Yuyu Rumpung semakin terasa sakit, sehingga akhirnya ia tak dapat
mengelak lagi. Gemak Paron adalah orang kedua dalam gerombolan kami, sedang aku adalah
orang ketiga, jawabnya.
Siapakah orang pertama? tanya Mahesa Jenar lagi.
Orang pertama adalah kakang Seri Gunting.
Kenapa bukan Seri Gunting itu yang pergi untuk mencuri pusaka-pusaka itu?
Kakang Seri Gunting sedang tidak ada di rumah.
Kemana dia?
Ke Nusa Kambangan.
Ke tempat Jaka Soka?
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, Yuyu Rumpung menjadi bertambah heran. Rupanya
orang ini sudah agak banyak mengenal tokoh-tokoh hitam. Karena itu ia harus lebih berhatihati, sebab mungkin malahan seluruhnya sudah diketahui, sehingga pertanyaan-pertanyaannya
hanya merupakan sebuah pancingan saja.
Maka jawabnya, Ya, kakang Seri Gunting pergi ke tempat Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Tahulah ia bahwa kekuatan gerombolan hitam itu benarbenar seimbang, sehingga pertemuan akhir tahun di Rawa Pening benar-benar akan menarik.
Ketika Mahesa Jenar tidak memerlukan hal-hal lain lagi, segera Yuyu Rumpung dilepaskan,
tetapi ia tidak membiarkannya pergi berkuda.
Yuyu Rumpung, kau boleh pergi, tetapi aku ingin meminjam kudamu. Sedang kau dapat
mencari kuda Gemak Paron untuk kau pakai. Aku temukan tadi mayatnya di luar hutan. Kalau
kau akan mencarinya, pergilah membelok ke selatan, di mulut lorong ini, kata Mahesa Jenar.
107
Mahesa Jenar sengaja membiarkan Yuyu Rumpung berjalan kaki dan menunjukkan arah yang
salah atas mayat Gemak Paron, supaya orang ini tidak segera sampai di Rawa Pening. Ia
mengharap untuk dapat mendahului kakak beradik Uling itu.
Yuyu Rumpung yang tidak tahu maksud Mahesa Jenar, menjadi keheranan. Tetapi
bagaimanapun juga ia merasakan keperkasaan orang itu. Maka ketika ia mendapat
kesempatan untuk pergi, segera iapun meloncat dan melangkah cepat sekali menjauhi Mahesa
Jenar, meskipun ia menggerutu tak habisnya karena kudanya dirampas.
Sedangkan Mahesa Jenar merasa mendapat keuntungan dengan pertemuannya dengan Yuyu
Rumpung. Ia sudah mendapat gambaran sedikit tentang kekuatan gerombolan Uling Rawa
Pening, sedangkan keuntungannya yang lain ia telah dapat menghambat dijalan orang itu,
sehingga, kemungkinan untuk dapat mendahului sampai ke Gunung Tidar semakin besar.
Sedangkan kuda yang dirampasnya, sama sekali tak diperlukannya, sebab dengan kuda itu, ia
tidak lagi bebas untuk dapat menyusup kegerumbulan apabila ia berjumpa dengan orang yang
perlu dihindari. Juga jarak yang ditempuhnya sudah tidak begitu jauh lagi. Kalau misalnya ia
dapat mencapai Gunung itu sebelum sore, ia masih juga harus menunggu sampai matahari
terbenam. Maka akhirnya dilepaskannya kuda Yuyu Rumpung itu, dan Mahesa Jenar
melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.
Sementara itu cahaya merah telah membayang di langit mewarnai mega yang betebaran.
Sedang didalam hutan, sinar matahari yang sudah sangat lemah itu tidak kuasa lagi untuk
melawan kegelapan yang perlahan tapi pasti akan turun menyeluruh sampai kesegenap
lekuknya.
Malam itu seperti biasa dalam perjalanannya di hutan, Mahesa Jenar memilih tempat tidurnya
diatas cabang pohon untuk menghindari serangan binatang buas. Meskipun hutan itu tidak
segarang hutan Mentaok, tetapi didalamnya hidup pula jenis harimau yang cukup berbahaya,
yaitu harimau loreng. Malam itu tak ada sesuatu hal yang terjadi. Kecuali tubuh Mahesa Jenar
menjadi gatal digigit nyamuk yang banyaknya bukan main.
Ketika langit disebelah Timur mulai meremang, Mahesa Jenar segera turun dari tempat
istirahatnya. Dan setelah sekali dua kali ia menggeliat, maka ia segera memulai kembali
perjalanannya ke Gunung Tidar sambil mencari sumber air untuk mencuci mukanya. Jalan
yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata jauh lebih dekat daripada apabila
ia menempuh jalan yang direncanakannya semula. Jalan ini langsung memotong arah
ketujuannya. karena itu maka ia tidak perlu untuk tergesa sebab ia masih harus menunggu
gelap untuk bertindak.
Pada saat ia melewati longkangan hutan itu, ia dapat jelas melihat Gunung Tidar berdiri tegak
seperti jamur raksasa, yang konon merupakan pusar Pulau Jawa, sudah tidak begitu jauh lagi
dihadapannya. Sehingga perjalanan Mahesa Jenar kali ini merupakan sebuah perjalanan yang
justru diperlambat. Meskipun demikian ia masih juga agak kesiangan sampai didataran yang
mengitari bukit itu, sehingga ia mempunyai waktu sekedar untuk beristirahat.
Maka ketika sampai saaatnya matahari turun serta burung mulai berkitaran mencari tempat
untuk tidurnya, berdirinya Mahesa Jenar dengan wajah yang tegang memandangi Gunug
Tidar dimana berdiam suami isteri Sima Rodra, yang telah berhasil menyimpan sepasang
keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Dalam keadaan yang demikian seolah-olah ia mulai menilai dirinya kembali. Sudahkah ia siap
untuk melakukan tugas yang penting itu. Ia seorang diri harus terjun langsung kedalam sarang
sepasang harimau yang cukup ganas. Berkali-kali ia meremaskan tangannya dimana disimpan
senjata kepercayaannya Sasra Birawa.
Sementara kemudian, ketika benar-benar matahari telah melenyapkan diri dibalik Gunung
Tidar itu, mulailah Mahesa Jenar melaksanakan tugas untuk membebaskan kedua pusaka itu
berdasarkan petunjuk dari Kiai Ageng Sora Dipayana.
Untuk naik ke bukit itu, ia tidak langsung mendaki dari arah Timur, tetapi ia melingkar ke
Selatan dan dari sanalah dengan hati-hati sekali ai selangkah demi selangkah mendekati
lereng bukit itu. Sebentar ia berhenti untuk mendengarkan kalau ada langkah seseorang
ataupun tarikan napas. Untunglah bahwa telinga dan matanya cukup terlatih.
Ketika sampai pada tanjakan pertama dari Bukit Tidar tampaklah bahwa Sima Rodra benarbenar memasang perbentengan untuk melindungi sarangnya. Batu besar yang tampaknya
berserak itu ternyata merupakan pasangan yang apabila sedikit saja tersentuh, pasti akan
tergelincir dan menggelundung ke bawah. Untunglah bahwa tiap gerak Mahesa Jenar selalu
dilandasi oleh ketelitian serta kehati-hatian. Setelah merayap bebrapa saat Mahesa Jenar
berhasil melintasi pagar yang pertama untuk kemudian menjumpai benteng. Batu padas yang
besar disusun meninggi sampai hampir dua kali tinggi orang. Dengan hati-hati
Mahesa Jenar mendekati benteng itu. Kemudian dengan tangannya ia meraba-raba, seolah
ingin mengetahui sampai dimana kira-kira kekuatan padas itu. Mungkin dengan kekuatan
tangannya ia bisa, meskipun tidak sekaligus tetapi setidaknya sedikit demi sedikit
menghancurkan padas yang tidak sekeras batu.
KALAU Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar kemungkinannya bahwa
kedatangannya akan segera diketahui oleh pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di
dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk dapat melampauinya. Sekali lagi Mahesa
Jenar meraba-raba serta menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan memanjat
saja, dan kemudian meloncat masuk.
108
KALAU Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar kemungkinannya bahwa
kedatangannya akan segera diketahui oleh pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di
dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk dapat melampauinya. Sekali lagi Mahesa
Jenar meraba-raba serta menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan memanjat
saja, dan kemudian meloncat masuk.
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati memanjat dinding batu padas itu. Sampai di
atasnya ia tidak langsung meloncat, tetapi dengan perlahan-lahan sekali ia melekatkan dirinya
merapat dinding dan untuk beberapa lama ia menelungkup di situ sambil mengamat-amati
keadaan di dalam daerah sarang Sima Rodra itu.
Malam itu rasanya sepi sekali. Lebih sepi daripada malam-malam yang pernah dilewatinya.
Sekali duakali terdengar anjing liar menyalak di kejauhan, disaut dengan pekikan burung
hantu yang sedang mencari mangsa.
Mahesa Jenar masih saja berbaring menelungkup diatas dinding batu. Matanya berputar
menjelajahi seluruh lingkaran yang membentang di hadapannya. Adapun daerah di dalam
benteng Sima Rodra itu pun merupakan suatu lapangan yang bersemak-semak dan rumputrumput liar bertebaran tumbuh di sana sini. Sebenarnya tempat itu merupakan tempat yang
baik sekali untuk dapat menyusup mendekati goa Sima Rodra di lambung sebelah utara bukit
itu. Sebab dengan adanya semak-semak dan rumput-rumput liar itu, justru memberi
kemungkinan yang lain, bahwa di dalam semak-semak itulah orang-orang Sima Rodra
berjaga-jaga untuk mengawasi keamanan sarangnya.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar masih saja melekatkan dirinya pada dinding padas itu.
Tiba-tiba terasalah angin yang bertiup perlahan-lahan menghembuskan bau yang wangi. Bau
yang dibawa angin dari utara ini mempunyai pengaruh yang aneh sekali. Terasa betapa tubuh
Mahesa Jenar menjadi nyaman, serta matanya menjadi berat sekali.
Angin yang aneh ini datang mengalir terus-menerus seperti mengalirnya air sungai. Sehingga
pengaruhnya semakin lama semakin mencengkeram diri Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang terlatih lahir-batin. Untunglah bahwa ia
segera menyadari keadaannya, bahwa pasti ia telah kena pengaruh bau wangi itu, yang
sengaja disebarkan orang untuk melemahkan syaraf, sehingga orang menjadi kantuk.
Inilah kekuatan sirep yang seperti pernah dialami beberapa tahun lalu, yang disebarkan oleh
Lawa Ijo. Tetapi menilik kekuatannya, rasanya sirep kali ini agak lebih kuat dari yang dahulu,
serta sifatnyapun berlainan pula.
Karena itu Mahesa Jenar segera memusatkan kekuatan batin, dan seperti orang yang sedang
mengheningkan cipta, Mahesa Jenar diam tanpa bergerak di tempatnya berusaha melawan
pengaruh sirep itu.
Meskipun agak lambat, tapi sedikit demi sedikit ia berhasil menguasai dirinya kembali,
sehingga akhirnya ia merasa bahwa ia telah lepas dari daya sirep itu.
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Apakah sirep ini datang dari
Sima Rodra? Tetapi kalau benar demikian, maka anak buahnya sendiri yang tidak mempunyai
daya tahan yang cukup akan tertidur pula. Dengan demikian maka kekuatan mereka akan jauh
berkurang. Jadi adalah suatu kemungkinan bahwa sirep ini datangnya dari luar. Dari orang
lain. Tetapi siapa? Kakak-beradik Uling tak mungkin akan secepat ini mencapai Bukit Tidar,
kecuali kalau ia berada pada jarak yang dekat sejak Gemak Paron menyusup masuk ke goa
Sima Rodra ini.
Akh..., tak akan selesai pekerjaan ini dengan menimbang-nimbang saja. Lebih baik aku masuk
dan melihat keadaan, gerutu Mahesa Jenar.
Segera setelah itu, dengan tidak meninggalkan ke hati-hatian, Mahesa Jenar meloncat masuk
ke dalam lingkungan sarang sepasang harimau yang cukup ganas itu. Dengan mengendapendap ia berjalan, lewat lambung sebelah timur ia memutar ke arah utara.
Tetapi mendadak ia dikejutkan oleh teriakan yang mirip dengan aum seekor harimau, disusul
oleh jerit yang mengerikan. Pastilah suara ini berasal dari suami-istri Sima Rodra yang sedang
marah. Cepat Mahesa Jenar meloncat semakin dekat ke arah suara itu. Beberapa kali ia
melihat beberapa penjaga tidak dapat meloloskan diri dari pengaruh sirep yang tajam itu.
Ketika ia sudah semakin dekat, ia bertambah terkejut lagi ketika ia mendengar derap orang
berkelahi. Darah Mahesa Jenar segera bergejolak hebat. Siapakah yang telah mendahuluinya
masuk sarang Sima Rodra...?
Perlahan-lahan ia maju setapak demi setapak, sehingga akhirnya ia mendapat perlindungan
sebuah padas yang cukup besar di sebelah timur goa Sima Rodra.
Kembali darah Mahesa Jenar tersirap ketika ia menyaksikan suami-istri Sima Rodra itu
sedang bertempur dengan seorang yang bertubuh tinggi, berwajah bulat, serta berdada lebar.
Tetapi karena gelap, ia tidak dapat segera mengenal wajahnya. Pertempuran itu ternyata
berlangsung dengan hebatnya.
Suami-istri Sima Rodra ternyata memang bukan namanya saja yang garang. Tetapi
tandangnya pun tidak kalah hebat dengan namanya. Kakinya yang meskipun besar-besar,sebesar bumbung petung, tetapi seperti seekor harimau, dengan lincahnya ia meloncat,
menyerang dan menghantam. Sedang istrinya bertempur dengan tangan yang dikembangkan.
Segera Mahesa Jenar mengenal bahwa cara yang demikian selalu dipergunakan oleh seorang
yang sangat percaya akan kekuatan jari-jarinya, atau yang lebih mengerikan, ia bersenjatakan
kuku-kukunya yang beracun.
Melihat cara suami-istri Sima Rodra bertempur, segera ia mengingat akan ceritera Demang
Pananggalan. Maka Mahesa Jenar hampir dapat memastikan bahwa yang pernah datang ke
Prambanan serta pernah menculik gadis dan dibawa ke Gunung Baka adalah gerombolan
Sima Rodra ini. Maka ketika ia telah menyaksikan sendiri kegarangannya, ia pun menjadi
yakin bahwa Demang Pananggalan memang bukan lawan dari orang ini.
109
DALAM menghadapi segala hal, tampaknya suami-istri Sima Rodra selalu bertempur
bersama, sehingga untuk melawan orang yang baru setingkat Pananggalan pun mereka
bertempur bersama.
Kalau demikian halnya, maka bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi dalam pertemuan
golongan hitam di Rawa Pening? Bolehkah mereka bertempur berpasang-pasang, ataukah
hanya seorang-seorang?
Menilik gerak serta keperkasaannya, maka pastilah Sima Rodra sendiri memiliki kehebatan
yang sama dengan Lawa Ijo, sedang istrinya ternyata sedikit di bawahnya.
Tetapi karena perempuan itu bersenjatakan kuku-kukunya sendiri maka ia pun nampak sangat
berbahaya. Apalagi ketika sekali tampak di ujung kuku itu berkilat suatu cahaya, maka sudah
pasti bahwa di ujung kuku-kuku itu ditaruh logam yang mungkin sekali beracun.
Tetapi lawan Sima Rodra itu pun ternyata orang luar biasa. Mahesa Jenar sendiri pernah
bertempur berpuluh kali menghadapi orang-orang perkasa. Yang terakhir adalah Jaka Soka
serta Lawa Ijo. Tetapi untuk menghadapi dua orang sekaligus baginya adalah pekerjaan yang
berat sekali. Kalau ia terpaksa bertempur melawan keduanya, maka pastilah pagi-pagi ia
sudah mempergunakan ilmunya Sasra Birawa.
Sedang orang itu, yang bertempur dengan Sima Rodra, nampaknya tanpa mempergunakan
lambaran ilmu apapun, kecuali ketangkasan serta kekuatan jasmaniah yang cukup terlatih.
Maka, Mahesa Jenar tak berhenti menebak. Siapakah gerangan dia. Kalau yang datang kakakberadik Uling, hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan bertempur berpasangan pula.
Ataukah dia yang bernama Sri Gunting? Kalau orang ini Sri Gunting, maka Uling Rawa
Pening itu seharusnya mempunyai kesaktian yang luar biasa. Sambil berpikir berputar balik, Mahesa Jenar menyaksikan pertempuran yang berjalan seru
itu. Berkali-kali suami-istri Sima Rodra itu mengaum dan memekik hebat dibarengi dengan
serangan-serangan sangat berbahaya. Tetapi orang yang melawannya itu meskipun agak
kerepotan selalu juga berhasil menghindar, bahkan beberapa kali ia dapat mengadakan
pembalasan-pembalasan.
Gerak suami-istri Sima Rodra itu tampaknya memang serasi sekali dalam keganasannya.
Mereka selalu berhasil saling mengisi dengan gerak-gerak membingungkan. Kadang-kadang
mereka tidak menyerang, tetapi hanya berlari berputar mengelilingi lawannya, dan kadangkadang mereka bersama-sama menerkam dari arah yang berlawanan.
Sebaliknya, lawannya pun memiliki ketangkasan yang luar biasa pula. Sekali-kali ia melesat
jauh, tetapi sesaat kemudian ia sudah berdiri di satu sisi dari kedua-duanya dan menyerang
dengan pukulan yang dahsyat. Beberapa kali ia melingkar, meloncat dan berputar selagi
masih di udara. Tangannya bergerak menyambar-nyambar, seolah-olah berubah menjadi
seorang raksasa jelmaan Harjuna Sasra Bahu yang mempunyai seribu tangan memegang
seribu macam senjata, dalam ceritera pewayangan.
Demikianlah maka pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi karena Sima
Rodra seolah-olah dapat mensenyawakan diri, serta kekuatannya, maka semakin lama
tampaklah bahwa lawannya menjadi semakin terdesak.
Melihat keadaan itu, otak Mahesa Jenar bekerja keras. Bagaimanakah kalau ia mengambil
keuntungan dari pertempuran itu? Ia masih belum tahu sama sekali, siapakah gerangan yang
bertempur itu.
Tetapi menurut perhitungan Mahesa Jenar, ia lebih baik melawan yang seorang itu apabila
terpaksa, daripada melawan Sima Rodra suami-istri. Karena itu ia memutuskan untuk
menerjunkan diri dalam kancah pertarungan itu untuk membantu lawan Sima Rodra. Dan
sesudah itu ia akan mengadakan perhitungan dengan lawannya. Mudah-mudahan lawan Sima
Rodra itu tidak bersamaan maksud dengan kedatangannya, sehingga ia tidak perlu berhadaphadapan sebagai lawan.
Setelah Mahesa Jenar mendapatkan ketetapan hati, maka segera ia mempersiapkan diri.
Dibetulkannya ikat pinggangnya, kancing-kancing bajunya, dan ikat kepalanya, supaya nanti
tidak mengganggunya.
Demikianlah dengan menggeram keras untuk menandai kehadiran, Mahesa Jenar langsung
menyerang istri Sima Rodra, dengan suatu kepercayaan bahwa ia telah dibebaskan dari akibat
racun karena jasa kawan sepermainannya, Anis dari Sela. Racun Lawa Ijo yang
didapatkannya dari Pasingsingan pun tak berhasil membunuhnya, apalagi jenis racun yang
lain, yang tidak berasal dari orang seperti Pasingsingan.
Kedatangan Mahesa Jenar sangat mengejutkan mereka yang sedang bertempur, sehingga
suami-istri Sima Rodra berloncatan mundur. Lawannya pun sejenak berdiri termangu,
sehingga untuk sesaat suasana jadi hening, sepi seperti daerah kematian yang mengerikan.
Tetapi hal yang sedemikian itu tidak berlangsung lama, sebab terdengar suara parau Sima
Rodra membentak Mahesa Jenar. Hei, siapakah kau yang ikut serta mengantarkan nyawa?
Mahesa Jenar tidak menyahut pertanyaan itu, tetapi ia berkata kepada lawan Mahesa Jenar,
Aku belum mengenal Tuan, tetapi aku berdiri di pihak Tuan.
Sebelum orang itu menjawab, terdengar teriak istri Sima Rodra, Kita bunuh kalian berdua.
Istri Sima Rodra tidak menantikan lagi jawaban, tetapi dengan loncatan yang garang ia
menyerang dengan kuku-kukunya yang diarahkan kepada Mahesa Jenar.
Segera pertempuran itu dimulai kembali. Tetapi sekarang Sima Rodra tidak dapat lagi
mengurung lawannya, sebab sekarang mereka harus berhadapan satu lawan satu. Meskipun
demikian, tidak segera dapat dilihat siapakah yang akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Suami-istri Sima Rodra yang menjadi semakin marah itu bertempur semakin garang pula.
Mereka segera mengerahkan tenaga serta kesaktian mereka untuk segera dapat membinasakan
lawan-lawannya yang berani memasuki daerahnya, apalagi berani menantangnya.
Dalam keadaan demikian, lawan Sima Rodra itu sempat juga menyaksikan Mahesa Jenar
bertempur. Menyaksikan kelincahannya, keperkasaannya, serta kepercayaannya kepada diri
seperti lazimnya seorang perwira, ia pun menjadi berpikir tentang Mahesa Jenar. Sebab orang
yang memiliki kehebatan yang sampai ke tingkat itu, pastilah bukan orang sembarangan.
110
PERTEMPURAN itu berlangsung terus. Tetapi dalam beberapa saat kemudian tampaklah
bahwa Mahesa Jenar berhasil menguasai lawannya, sebaliknya orang yang telah bertempur
itupun, setelah lawannya berkurang seorang, dapat pula sedikit demi sedikit mendesak
musuhnya. Dengan demikian pertempuran itu ternyata sudah tidak seimbang lagi.
Dalam kemarahannya, suami-istri Sima Rodra itu bertempur semakin buas, liar dan kasar.
Sedang lawannya, tampaknya tetap tenang dan yakin.
Sesaat kemudian terdengar suara yang aneh keluar dari mulut Sima Rodra. Suara jeritan yang
mirip dengan aba-aba. Apalagi setelah itu, tampak pula gerak-gerak mereka yang
mencurigakan.
Meskipun mereka bertempur terus, tampak bahwa mereka sedang berusaha untuk mendekati
lobang goa. Mahesa Jenar maupun lawan yang seorang lagi, dapat segera menangkap maksud
itu, karena itu mereka menjadi lebih waspada.
Dan apa yang dicurigakan itu memang ternyata benar. Untunglah bahwa kawan bertempur
Mahesa Jenar memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Sehingga ketika pada suatu saat,
dengan sekali gerakan suami-istri Sima Rodra itu meloncat akan memasuki goanya, secepat
itu pula kawan bertempur Mahesa Jenar itu telah meloncat menghalang-halangi.
Kembali Sima Rodra mengaum hebat karena marahnya. Bersamaan dengan itu geraknya
menjadi semakin liar. Tetapi keadaan itu tetap tidak menolong dirinya, sehingga mereka tetap
terdesak terus. Dalam keadaan yang demikian sekali lagi terdengar suara aneh dari harimau
liar itu. Tetapi kali ini ternyata mereka lebih berhati-hati.
Demikian teriakan itu berhenti demikian mereka meloncat cepat seperti didera halilintar ke
balik sebuah batu besar di samping goanya. Segera Mahesa Jenar dan kawan bertempurnya itu
memburu. Tetapi terlambat.
Sesaat kemudian terdengar deru yang hebat dibalik batu itu, dan berguguranlah tanah di
sekitarnya menyeret batu besar itu seolah-olah terhisap kedalam sebuah lobang besar di
bawah tanah. Agar tidak turut terseret ke dalamnya, maka Mahesa Jenar bersama dengan
lawan Sima Rodra itu serentak meloncat mundur. Selanjutnya untuk beberapa lama mereka
hanya merenungi onggokan tanah bekas guguran itu.
Sebuah pintu rahasia, desis orang itu.
Memang sejak semula Mahesa Jenar juga menduganya demikian, apabila yang
berkepentingan sudah ada di dalamnya, dengan sedikit sentuhan pada alat yang diperlukan,
gugurlah tanah di atas pintu itu, dan menutup lubangnya sehingga mereka tidak akan dapat
dikejar, untuk selanjutnya keluar dari pintu rahasia yang lain.
Sebentar kemudian kembali orang itu berkata, Terimakasih atas pertolongan Tuan.
Aku hanya membantu mempercepat penyelesaian saja, sebab tanpa aku pun tampaknya Ki
Sanak pasti dapat menyelesaikan seorang diri, jawab Mahesa jenar.
Orang itu tertawa lirih. Tuan terlalu menyanjung aku. Tetapi sebenarnya bahwa kedatangan
tuan menyelamatkan nyawaku. Hanya sayanglah bahwa aku terpaksa tidak dapat terlalu lama
menemui Tuan, sebab ada satu pekerjaan yang harus aku selesaikan, katanya kemudian.
Jantung Mahesa Jenar berdesir lembut. Apakah gerangan yang akan dilakukannya? Karena itu
ia mencoba bertanya, Apakah yang memaksa Ki Sanak begitu tergesa-gesa?
Suatu pekerjaan yang tak berarti. Aku hanya ingin memeriksa keadaan di dalam goa,
jawabnya.
Mahesa Jenar mulai melihat adanya sesuatu rahasia pada orang itu. Karenanya ia tidak
bertanya tentang siapakah dia dan dari manakah datangnya, sebab pertanyaan yang demikian
tentu tidak akan mendapat jawaban. Maka kemudian ia hanya berkata, Bolehkah aku turut
serta masuk kedalam goa?
Orang itu tampak ragu-ragu sejenak, baru ia menjawab dengan mengajukan sebuah
pertanyaan, Tuan, apakah sebenarnya yang akan Tuan lakukan di atas bukit kecil ini?
Mendengar pertanyaan orang itu, Mahesa Jenar menjadi agak bingung. Tetapi pasti bahwa ia
tidak akan menyebutkan keperluan yang sebenarnya. Maka dijawabnya dengan sekenanya
saja, Aku datang untuk menuntut balas atas kematian kakakku di Pangrantunan.
Pangrantunan? sahut orang itu.
Ya, jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya kemudian, Tuan... orang Pangrantunan?
Ya, jawab Mahesa Jenar pendek.
Sayanglah bahwa Mahesa Jenar tak dapat melihat sorot mata orang itu di dalam gelap. Kalau
saja ia mengetahui, dapatlah ia mengerti bahwa orang itu curiga kepadanya.
111
SEJENAK kemudian orang itu berkata, Apakah yang Tuan lakukan seterusnya? Tuan pasti
tidak akan dapat menemukan Suami-Istri itu untuk beberapa lama.
Tak apalah. Tetapi aku hanya ingin melihat-lihat saja, jawab Mahesa Jenar.
Mudah-mudahan apa yang Tuan katakan benar. Silahkan Tuan melihat. Seterusnya aku
berjanji untuk membalas budi Tuan membinasakan suami-istri Sima Rodra pada kesempatan
lain. Semoga Tuan benar-benar tidak mempunyai kepentingan lain kecuali itu, gumam orang
itu. Kemudian orang itu pergi bersama Mahesa Jenar, memasuki goa Sima Rodra dengan hatihati. Mungkin terdapat berbagai rahasia di dalamnya. Goa itu sebenarnya tidaklah begitu
dalam. Tetapi di dalamnya terdapat beberapa ruang yang dindingnya dilapisi papan, tak
ubahnya seperti ruang-ruang rumah biasa. Ruang itu diterangi dengan oncor-oncor.
Dua ruang sudah mereka masuki, tetapi mereka tak menemukan sesuatu. Maka sampailah
mereka pada ruang yang ketiga, yang tidak seperti ruang-ruang lain. Ruang ini
mempergunakan pintu yang ditutup rapat. Ternyata pintu ini tidak hanya ditutup rapat, tetapi
juga dikancing dengan kancing yang tak dapat diketahui oleh orang lain.
Ketika sudah beberapa lama mereka tak berhasil membukanya, mereka menjadi tidak sabar
lagi. Mereka berdua sepakat untuk membuka pintu itu dengan paksa. Dengan demikian,
mereka mempergunakan kaki mereka untuk bersama-sama menjebol pintu kayu yang
terkancing itu.
Dengan satu tendangan yang hampir bersamaan mereka dapat memecahkan pintu itu, yang
dengan suara gemeretak pecah berserakan. Tetapi meskipun pintu itu sudah menganga lebar,
mereka tidak tergesa-gesa masuk. Sebab bukanlah mustahil bahwa ada apa-apa di dalamnya.
Setelah beberapa saat tak ditemukan apapun, maka dengan langkah yang sangat hati-hati
mereka melangkah masuk. Tetapi demikian mereka melangkahkan kakinya melewati tlundak
pintu, demikian serentak bulu roma mereka berdiri.
Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di atas sebuah meja yang dialasi dengan
kain beludru buatan Tiongkok yang berwarna kuning keemasan. Dan yang mengejutkan
mereka adalah cahaya yang biru kekuning-kuningan, yang memancar dari dua keris yang
diletakkan di atas kain beludru itu. Karena itu, untuk sesaat mereka tegak berdiri seperti
patung.
Mahesa Jenar, sebagai seorang perwira istana, sudah pasti bahwa apa yang dilihatnya itu
sangat mengharukan hatinya. Ia yakin sekarang bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten itu adalah
keris-keris yang asli.
Mahesa jenar memang pernah melihat keris itu beberapa kali, dahulu sebelum lenyap dari
Istana Demak. Memang tidak semua prajurit bahkan perwira yang beruntung dapat
menyaksikan keris itu. Karena Mahesa Jenar saat itu menjadi pengawal raja dan istana, maka
ia diberi kesempatan untuk menyaksikan pada saat keris itu dimandikan pada hari pertama
setiap tahun. Karena itu ia hampir tidak dapat lagi mengendalikan diri. Hampir saja ia
meloncat mendekati keris-keris itu kalau saja orang yang berdiri di sampingnya itu tidak
menggamitnya.
Apakah Tuan berkepentingan dengan keris-keris itu? kata orang itu.
Mahesa Jenar kini tak dapat mengelak lagi. Kedua keris yang dicarinya sudah ada di
hadapannya. Maka apapun yang terjadi haruslah dihadapinya.
Benar Ki Sanak, aku datang untuk kedua keris ini. Aku harap Tuan mempunyai kepentingan
yang tidak sama dengan kepentinganku, jawab Mahesa Jenar tegas.
Hem....! orang itu menggeram. Aku sudah menduga. Tetapi sayang bahwa kepentingan kita
sama.
Mendengar kata-kata orang itu seharusnya Mahesa Jenar tidak lagi terkejut, namun demikian
darahnya bergelora hebat. Ki Sanak, maafkanlah, aku tidak dapat melepaskannya lagi, kata
Mahesa Jenar sambil menahan diri.
Orang itu merenung sejenak. Dalam keremangan cahaya oncor-oncor, Mahesa Jenar melihat
betapa gelisah perasaannya, sehingga akhirnya keluarlah kata dari mulutnya, Tuan, aku telah
berhutang budi kepada Tuan. Tetapi aku akan tetap pada pendirianku untuk mendapatkan
benda-benda keramat dari Istana Demak itu.
Mahesa Jenar tidak tahu siapakah orang itu sebagaimana orang itu tidak mengenal Mahesa
Jenar. Karena itu mereka saling berketetapan hati untuk dapat menguasai kedua pusaka itu.
Bagaimanapun Mahesa Jenar menyabarkan diri, namun akhirnya terloncat pula kata-katanya
yang tajam, Ki Sanak, seharusnya tadi aku membiarkan Tuan bertempur seorang diri dan
sekaligus dibinasakan oleh suami-istri Sima Rodra itu.
Kalau demikian... Tuan akan berbuat kesalahan. Bukankah lebih mudah untuk melawan aku
seorang menurut pertimbangan Tuan daripada melawan mereka berdua? jawab orang itu,
yang meskipun nampaknya masih setenang semula, tetapi isi kata-katanya tidak kalah
runcingnya.
Sekali lagi darah Mahesa Jenar menggelegak. Ternyata orang itu dapat dengan cepat menebak
perhitungannya.
Ki Sanak benar, memang demikianlah apa yang akan aku lakukan, jawab Mahesa Jenar tanpa
tedeng aling-aling.
Baik Tuan. Tetapi sebaiknya Tuan mempertimbangkan sekali lagi, sahut orang itu.
Tidak ada pertimbangan lain, jawab Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar sudah pasti sekarang, bahwa ia harus bertempur melawan orang itu.
Sebenarnya ia masih bimbang terhadap bakal lawannya. Menilik sikap serta kata-katanya,
agak aneh kalau ia termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan pusaka-pusaka
itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar teringat pula keramahan Jaka Soka pada waktu ia akan
menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas hutan Tambakbaya, juga suami-istri
Sima Rodra itu sendiri, yang dengan ramah minta menginap di Kademangan Prambanan.
Karena itu ia tidak akan menilai orang itu dari sikap serta kata-katanya.
Sementara itu orang itu menjawab, Kalau demikian, marilah kita tentukan bersama, siapakah
yang berhak untuk menguasai kedua keris itu.
Mahesa Jenar sudah yakin bahwa memang demikianlah yang akan terjadi. Tetapi meskipun
demikian ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulut orang itu, mau tak mau ia terpaksa
menaruh hormat kepadanya. Kata-kata Tuan adalah kata-kata jantan. Mudah-mudahan aku
dapat mengimbangi kejantanan Tuan, jawab Mahesa Jenar kemudian.
112
YANG mengherankan, tetapi juga agak menjengkelkan Mahesa Jenar, orang itu masih saja
tertawa lirih. Marilah kita keluar, supaya kita tidak harus berdesak desakan dengan dindingdinding ruang ini, katanya.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia langsung melangkah keluar diikuti oleh orang itu. Sambil
berjalan Mahesa Jenar menimbang-nimbang tentang lawannya. Pastilah orang ini berilmu
tinggi dan pasti orang itu pula yang telah menyebarkan sirep sedemikian tajamnya.
Maka ketika mereka sudah sampai di luar goa, segera mereka saling berhadapan dengan
taruhan yang besar. Juga masing-masing menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan
lawan yang cukup tangguh. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali bekerja mati-matian
untuk memperebutkan kedua pusaka itu. Apalagi Mahesa Jenar yang langsung atau tidak
langsung ikut serta bertanggung jawab akan keselamatan pusaka itu. Maka taruhannya untuk
mendapatkan kedua keris itu adalah nyawanya.
Sejenak kemudian setelah mereka bersiap, terdengarlah orang itu berkata, Marilah Tuan,
permainan kita mulai.
Silahkan, jawab Mahesa Jenar pendek.
Dan segera terjadilah suatu pertarungan yang dahsyat. Meskipun mula-mula mereka
tampaknya agak segan-segan, tetapi ketika mereka merasakan benturan-benturan serta
tekanan-tekanan dari masing-masing pihak, akhirnya mereka tidak lagi mengendalikan diri.
Lawan Mahesa Jenar itu ternyata memang orang perkasa luar biasa.
Gerakan-gerakannya serba cepat dan mempunyai tenaga yang hebat, sehingga menimbulkan
desiran-desiran angin yang menyambar-nyambar mengiringi setiap gerak dari tubuhnya.
Sedang Mahesa Jenar adalah seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup baik,
sehingga setiap gerakan tangan serta kakinya selalu mempunyai arti serta membahayakan.
Tubuhnya yang tidak sebesar lawannya itu, bergerak-gerak seperti bayangan yang dengan
lincahanya menari-nari mengitari lawannya dengan belaian maut.
Lawannya yang bertubuh tegap itu lebih mempercayakan diri pada kekuatannya, sehingga
beberapa kali ia dengan beraninya menyerang dengan mempergunakan kedua tangannya,
bahkan dengan serangan-serangan berganda, sehingga suatu ketika Mahesa Jenar tidak sempat
lagi mengelakkan diri.
Pukulan orang itu, ditambah sekaligus dengan berat tubuhnya yang besar, mengenai pelipis
Mahesa Jenar demikian kerasnya, sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah ke
belakang. Tetapi rupanya ia tidak saja berhenti sampai sekian. Sebelum Mahesa Jenar dapat
memperbaiki keadaannya, kembali ia berhasil mengenai lambung Mahesa Jenar dengan
kakinya. Kembali Mahesa Jenar terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Untunglah bahwa
ia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga meskipun dengan agak kesulitan, dalam sekejap ia
telah berhasil tegak diatas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja.
Karena beberapa pukulan yang dapat mengenainya itu, Mahesa Jenar menjadi marah bukan
buatan. Wajahnya tampak menyala, serta matanya menyorotkan sinar-sinar yang
memancarkan pergolakan darahnya. Sekali ia melompat ke depan, dan dengan sebuah gerak
tipuan yang bagus ia berhasil menarik perhatian lawannya pada tangan-tangannya yang
menyerang ke arah kepala. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak tampak, ia
mengangkat kaki kanannya dan langsung menghantam dada lawannya.
Demikian keras serangan itu, sehinggam lawannya terpental beberapa langkah. Tetapi
demikian ia tegak, demikian ia telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan sesaat kemudian ia telah melangkah maju, dan dengan kuatnya ia menghantam ke
arah dada Mahesa Jenar. Dengan satu langkah, Mahesa Jenar bergerak ke samping, dan
demikian pukulan itu tidak mengenai sasarannya demikian Mahesa Jenar membalas dengan
sebuah pukulan pada wajah orang itu.
Kali ini Mahesa Jenar sekali lagi tak berhasil mengenainya, sehingga orang itu terdorong
mundur. Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi, sekali lagi ia menyodok perut
lawannya, sehingga orang itu menggeliat kesakitan dan meloncat beberapa langkah ke
samping. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Ia pun sekali
lagi meloncat dan dengan bergelombang ia menyerang bertubi-tubi sehingga orang itu
terdesak mundur dan mundur.
Tetapi rupanya keadaannya tidaklah tetap demikian. Tiba-tiba orang itu menggeliat ke
samping, dan dengan suatu putaran yang cepat ia berhasil membingungkan Mahesa Jenar,
yang ingin memotong putaran itu. Cepat ia mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat
ke samping lawannya, dan dengan suatu gerakan yang tangkas ia merendahkan diri. Setengah
lingkaran ia memutar tubuhnya untuk langsung menyerang Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut melihat gerakan-gerakan yang berubah-ubah itu, sehingga ketika
sebuah pukulan melayang ke wajahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri.
Demikian kerasnya pukulan itu sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah.
Pukulan itu terasa sakitnya bukan main.
Sebagai seorang perwira, tubuh Mahesa Jenar cukup mempunyai daya tahan yang kuat. Tetapi
dikenai oleh pukulan ini wajahnya menjadi panas dan sejenak pandangan matanya agak
kabur. Ketika ia mengusap wajah itu dengan tangannya, terasa sesuatu yang cair dan hangat
meleleh dari hidungnya.
Darah.
Mengalami kenyataan itu, marahnya semakin memuncak. Ia benar-benar harus berkelahi
dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Maka ketika orang itu menyerangnya kembali,
Mahesa Jenar segera merendahkan diri. Dengan pangkal telapak tangannya ia berhasil
menghantam dagu lawannya. Terdengarlah suara gemeratak gigi beradu. Demikian kerasnya
serta dibarengi kemarahan, maka pukulan Mahesa Jenar seperti berlipat-lipat dahsyatnya,
sehingga muka orang itu terangkat tinggi-tinggi.
Mahesa Jenar tidak mengabaikan kesempatan berikutnya. Selagi muka orang itu masih
terangkat, ia meloncat maju menumbukkan dirinya sambil menghantam perut orang itu
dengan lututnya. Terdengarlah orang it mengaduh tertahan dan terlontar surut. Mahesa Jenar
langsung memburu dan menghantamnya bertubi-tubi.
113
ORANG itu terdorong terus hingga suatu ketika ia tidak dapat mundur lagi karena
punggungnya sudah melekat dengan dinding padas. Mahesa Jenar melihat kesempatan itu. Ia
tidak mau melepaskan lawannya kali ini. Maka dengan kekuatan penuh ia meloncat maju dan
menghantamkan muka orang itu dengan kedua tangannya sekaligus. Tetapi orang itu ternyata
tidak menyerah demikian saja.
Tiba-tiba, ketika Mahesa Jenar meloncat, orang itu pun menyerang dengan kakinya ke arah
perut Mahesa Jenar. Serangan yang sama sekali tak diduga oleh Mahesa Jenar. Karenanya,
serangan itu bulat-bulat telah melemparkannya dan ia jatuh terguling beberapa kali.
Mahesa Jenar telah mengalami pertempuran dengan lawan yang beraneka macam.
Pada saat ia bertempur dengan Lawa Ijo, seorang tokoh hitam yang perkasa, ia pun
mengerahkan segenap tenaganya. Tetapi bagaimanapun ia tidak merasakan adanya tekanantekanan yang sedemikian hebatnya seperti saat ini. Tidak saja ia tidak berhasil menekan
lawannya, tetapi benar-benar ia merasakan bahwa tubuhnya menjadi sakit-sakit dan nyeri.
Mengingat bahwa yang dipertaruhkan adalah pusaka-pusaka istana, serta kesadarannya akan
pertanggungjawabannya sebagai seorang yang merasa turut serta membina kesejahteraan
rakyat, maka ia merasakan kengerian yang sangat apabila pusaka-pusaka itu sampai jatuh ke
golongan hitam yang manapun. Karena itu tidak ada jalan lain bagi Mahesa Jenar kecuali
membinasakan orang itu.
Pada saat ia tidak dapat menguasai lawannya, maka cara satu-satunya adalah mempergunakan
ilmunya Sasra Birawa. Maka ketika tidak ada pilihan lain, segera ia meloncat bangkit dan
segera ia memusatkan segala kekuatan batinnya serta mengatur pernafasannya, memusatkan
segala kekuatan lahir-batin pada telapak tangan kanannya.
Demikianlah ia berdiri di atas satu kakinya, sedang kakinya yang lain ditekuk ke depan.
Tangan kirinya disilangkannya di muka dadanya, sedang tangan kanannya diangkat tinggitinggi. Kemudian demikian cepat bagai sambaran kilat ia meloncat maju dan dengan dahsyat
ia mengayunkan tangan kanannya ke arah kepala lawannya.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar terkejut bukan buatan. Segera ia meloncat mundur
sambil berteriak, Tahan... Tuan, tahankan dulu.
Tetapi Mahesa Jenar sudah terlanjur bergerak. Kalau ia menahan serangannya maka kekuatan
yang sudah tersalur itu pasti akan memukul dirinya sendiri lewat bagian dalam tubuhnya.
Karena itu tidak ada cara lain kecuali melanjutkan serangannya untuk membinasakan
lawannya.
Melihat Mahesa Jenar tidak mengubah serangannya, tiba-tiba orang itu pun segera bersiap,
tidak menghindarkan diri, karena tidak ada kesempatan lagi, melainkan ia berdiri di atas
kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ke depan, lutut kaki kanannya diteuk
sedikit.
Mula-mula ia merentangkan kedua tangannya, tapi ketika pukulan Mahesa Jenar sudah
melayang, segera ia menyilangkan kedua tangannya di muka wajahnya.
Melihat sikap itu, jantung Mahesa Jenar seperti berhenti berdenyut karena terkejut.
Tetapi segala sesuatu sudah terlambat. Sebab tangan Mahesa Jenar sudah tinggal berjarak
beberapa cengkang saja dari orang itu.
Dengan satu gerakan pendek, kedua tangan yang disilangkan di muka wajahnya, orang itu
menahan hantaman tangan Mahesa Jenar. Dan sesaat kemudian terjadilah suatu benturan yang
maha dahsyat seperti berbenturnya halilintar. Akibatnya dahsyat pula. Orang itu terlempar jauh ke belakang dan bulat-bulat terbanting di
tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Matanya menjadi gelap dan nafasnya tersekat di
kerongkongan. Sebentar kemudian ia tak dapat merasakan sesuatu.
Pingsan.
Mahesa Jenar sendiri, yang menghantamkan ilmunya Sasra Birawa, merasakan bahwa
tangannya seolah-olah tertahan oleh selapis baja yang tebalnya lebih dari sedepa. Karena itu
kekuatan yang dilontarkan itu seolah-olah membalik dan memukul bagian dalam tubuhnya,
ditambah dengan desakan dari orang yang dipukulnya itu. Karena itu Mahesa Jenar juga
terlempar, tidak hanya seperti sebuah balok yang melayang, tetapi seperti kayu yang oleh
kekuatan raksasa dihantamkan ke punggung padas yang ada di belakangnya.
Demikian dahsyatnya Mahesa Jenar terbanting sehingga pada saat itu juga, pada saat ia
terhempas, ia sudah tak dapat lagi merasakan apa-apa kecuali kepekatan yang dahsyat
menerkam dirinya. Dan ia pun pingsan.
Demikianlah keadaan segera menjadi senyap. Hanya desir angin di rerumputan serta semaksemak yang kedengaran gemeresik lembut. Di kejauhan terdengar suara binatang malam, serta
gonggong anjing yang berebutan mangsa. Di mulut goa Sima Rodra itu menggeletak sebelahmenyebelah dua sosok tubuh yang sama sekali tak sadarkan diri.
Baru beberapa saat kemudian, oleh kesegaran angin yang mengusap wajahnya, orang itu,
yang telah bertempur mati-matian melawan Mahesa Jenar, yang ternyata mempunyai
ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga dialah yang pertama-tama dapat menarik nafas dan
perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya. Tetapi demikian ia berusaha bergerak terdengarlah
ia mengeluh perlahan. Ternyata tubuhnya terasa nyeri dan sakit seluruhnya.
114
UNTUK beberapa saat orang itu terpaksa berdiam diri, mengatur jalan pernafasannya serta
berusaha untuk menguasai kembali pikirannya.
Angin masih berhembus perlahan-lahan. Dan ini telah menolong menyegarkan tubuh orang
itu, sehingga beberapa saat kemudian ia berhasil dengan susah payah mengangkat tubuhnya
dan duduk bersandar pada kedua tangannya.
Berkali-kali ia menarik nafas panjang. Keringat dingin masih saja mengalir membasahi
seluruh pakaiannya. Baru setelah tubuhnya terasa bertambah segar ia perlahan-lahan bangkit
berdiri.
Ketika ia memandang ke daerah sekelilingnya, tiba-tiba matanya tertumbuk pada tubuh yang
masih terbaring tak bergerak, beberapa langkah dari mulut goa. Sekali lagi ia menarik nafas.
Ia tahu benar bahwa pukulan lawannya itu adalah pukulan yang tak ada taranya dahsyatnya.
Perlahan-lahan dan tertatih-tatih ia berjalan selangkah demi selangkah mendekati Mahesa
Jenar yang masih belum sadar. Dengan mata yang bercahaya orang itu memandangi tubuh
Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya.
Memandangi tubuh yang meskipun tidak setinggi dia, tetapi tampak kokoh kuat bagai seekor
banteng.
Ketika orang itu melangkah selangkah lagi mendekati Mahesa Jenar, terasa bahwa tubuhnya
semakin terasa sakit. Karena itu ia berhenti dan duduk di atas padas beberapa langkah dari
tubuh Mahesa Jenar yang masih terbujur tak bergerak.
Ia terpaksa menahan diri, tidak segera mendekatinya sampai tubuhnya sendiri agak terasa
kuat. Karena itu dibiarkannya Mahesa Jenar terbaring tak bergerak beberapa langkah di
hadapannya.
Ketika sekali lagi angin malam membelai tubuh-tubuh yang sedang kesakitan itu, tampak
bahwa Mahesa Jenar mulai bergerak-gerak. Dan sesaat kemudian ia sudah dapat membuka
matanya, meskipun masih samar-samar. Apalagi di dalam kegelapan malam.
Yang pertama-tama dilihatnya adalah bintang-bintang yang bertaburan di langit, dan sesudah
itu matanya tertumbuk pada tubuh tinggi tegap berdada lebar, duduk di atas padas di
hadapannya, yang dengan tajam memandanginya seperti sebuah bayangan hantu hitam yang
akan menerkamnya. Tetapi pada sat itu ia sama sekali tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh
tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Sambungan-sambungan tulangnya terasa seperti lepas dan tak
dapat dikuasainya. Karena itu kalau terjadi sesuatu ia sama sekali tak akan dapat membela
diri.
Maka sekali lagi Mahesa Jenar memejamkan matanya untuk mengumpulkan ingatannya. Dan
perlahan-lahan ketika tubuhnya terasa semakin segar karena angin malam yang lembut,
ingatannya pun sedikit demi sedikit menjadi cerah kembali meskipun kepalanya masih saja
pening dan seperti berputar-putar.
Apa yang baru saja dialami menjadi semakin jelas dalam kepalanya. Bagaimana ia
mempergunakan ilmu kepercayaannya Sasra Birawa dan bagaimana orang yang dihantamnya
itu merentangkan tangannya dan selanjutnya disilangkan di muka wajahnya.
Dan sekarang, orang yang dikenai ilmunya itu ternyata masih saja hidup dan duduk di
dekatnya. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar tiba-tiba merasa gembira sekali. Dan
kegembiraannya itu telah sangat mempengaruhi keadaannya, sehingga tiba-tiba ia dapat
duduk, meskipun dengan susah payah untuk menegakkan tubuhnya yang duduk lemah seperti
tak bertulang. Meskipun demikian, wajah Mahesa jenar tampak cerah dan matanya
menyorotkan cahaya segar.
Demikian pula orang yang duduk di atas padas itu. Ketika ia menyaksikan Mahesa Jenar telah
dapat duduk, ia pun menjadi gembira. Senyum yang tulus telah menggerakkan bibirnya.
Perlahan-lahan dengan suara parau ia menyapa, Tidakkah tuan mengalami sesuatu?
Mahea Jenar tersenyum pula, meskipun agak kecut. Bagaimana aku mengatakan bahwa aku
tidak mengalami sesuatu kalau bangun saja rasanya seperti tidak mungkin, jawab Mahesa
Jenar.
Orang itu menundukkan kepalanya seperti menyesali dirinya. Maafkan aku, katanya
kemudian.
Mendengar kata-kata itu segera Mahesa Jenar menyahut, Jangan Tuan menyalahkan diri
sendiri. Akulah yang seharusnya minta maaf kepada Tuan, sebab akulah yang pertama-tama
mulai. Berbahagialah aku bahwa Tuan ternyata sehat walafiat karena kesaktian Tuan.
Tuan salah duga. Aku pun mengalami keadaan seperti Tuan. Sampai sekarang aku masih
belum berhasil untuk mencapai jarak ke dekat Tuan terbaring, karena seluruh sendi tulangtulangku sakit bukan kepalang, karena di dalam tangan Tuan tersimpan aji Sasra Birawa,
sahut orang itu sambil tertawa lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi, maafkan aku, katanya.
Tak apalah... malahan aku merasakan suatu keuntungan, mendapat kehormatan mencicipi
ilmu Tuan yang maha dahsyat itu. Dan dengan demikian aku mengenal Tuan, yang pasti salah
seorang murid dari Paman Pengging Sepuh, jawab orang itu.
Mahesa Jenar mengangguk perlahan. Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya murid yang masih
harus menjunjung tinggi nama kebesaran Ki Ageng Pengging Sepuh Almarhum. Untung
jugalah bahwa aku tidak binasa kali ini. Kalau hal itu terjadi, berakhirlah nama perguruan
Pengging. Bukankah Tuan telah mempergunakan aji Lebur Sekethi?
Terpaksa. Hanya sekadar supaya aku tidak lumat, gumam orang itu seperti kepada diri sendiri.
Benar Tuan..., Tuan sama sekali benar. Akulah yang terlalu lancang. Tetapi siapakah
sebenarnya Tuan? Bukankah Lebur Sakethi itu menurut guruku Almarhum dan yang kukenal
adalah milik Ki Ageng Dipayana? potong Mahesa Jenar.
Tuan menebak dengan tepat. Karena itu ketika Tuan mengatakan bahwa Tuan adalah orang
Pangrantunan, segera aku menjadi curiga. Sebab Pangrantunan adalah daerah masa kanakkanakku. Aku adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana, jawab orang itu.
Apakah Tuan yang disebut Ki Ageng Gajah Sora? tanya Mahesa Jenar.
Benar Tuan. Akulah yang bernama Gajah Sora, jawab orang itu.
115
MENDENGAR jawaban itu, Mahesa Jenar jadi merenung. Untunglah bahwa tak terjadi
sesuatu dalam pertempuran tadi. Kalau saja ada salah langkah, maka akibatnya akan
mengerikan. Salah satu diantaranya pasti binasa. Sebab ajian seperti Sasra Birawa dan Lebur
Sakethi mempunyai daya yang dahsyatnya luar biasa. Tidak hanya sebagai ajian yang tidak
saja dipergunakan menyerang, tetapi juga bertahan.
Sejenak kemudian terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora bertanya kepadanya, Tetapi sampai
sekarang Tuan belum menyebut nama Tuan.
Mahesa Jenar seperti tersadar dari renungannya, maka jawabnya, Namaku adalah Mahesa
Jenar.
Mahesa Jenar? ulang Gajah Sora. Aku belum pernah mendengar nama ini dari ayahku yang
sering menyebut-nyebut nama sahabat-sahabatnya serta murid-muridnya. Bukankah seorang
murid Ki Ageng Pengging itu terbunuh...?
Ya, jawab Mahesa Jenar, Bahkan tidak saja ia muridnya, tetapi juga putranya.
Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Kebo Kenanga.... Bukankah begitu?
katanya.
Ya, jawab Mahesa Jenar pendek.
Kakaknya, Ki Kebo Kanigara, kabarnya lenyap tak meninggalkan bekas, sambung Gajah Sora
. Dan Tuan? Adakah Tuan mempunyai sebutan yang lain?
Semua yang Tuan katakan adalah benar. Akulah yang sedikit sekali mengenal sahabat-sahabat
guruku. Mungkin ini disebabkan Guru sudah lama melenyapkan diri, dan akhirnya diketahui
bahwa beliau telah wafat, sehingga tidak banyak yang dapat diceritakan kepadaku.
Adapun mengenai aku sendiri, memang benarlah kata Tuan, sebab sejak aku menjadi prajurit,
aku selalu dipanggil dengan nama Tohjaya.
Tohjaya..., ya Tohjaya, ulang Gajah Sora, Kalau nama ini memang pernah aku dengar. Tidak
saja dari ayahku, tetapi hampir setiap orang menyebutnya sebagai pengawal raja. Tetapi
kenapa Tuan sampai di sini?
Akhirnya dengan singkat Mahesa Jenar bercerita tentang segala-galanya yang pernah dialami.
Juga tentang pertemuannya dengan Ki Ageng Sora Dipayana di Pangrantunan dan
pertemuannya dengan Ki Ageng Lembu Sora.
Memang, anak itu agak bengal, sahut Gajah Sora kemudian. Biarlah lain kali aku
mengurusnya. Juga tentang sepasang Uling, yang sampai sekarang masih aku biarkan saja
sambil menunggu orang-orang golongan hitam itu berkumpul. Tetapi yang penting sekarang,
apakah yang kita lakukan?
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepala sambil memandangi mulut goa yang masih saja
ternganga seperti mulut seekor naga raksasa yang siap menelannya.
Beberapa saat ia agak kebingungan. Tetapi akhirnya ia berkata, Kalau saja tadi aku tahu
bahwa Tuan adalah Ki Ageng Gajah Sora, maka aku kira aku tidak akan mengganggu Tuan.
Nah Tuan, sekarang terserah kepada Tuan akan kedua keris itu.
Tidak, jawab Gajah Sora, Tuan lebih berhak untuk mengambilnya serta menyerahkan kembali
ke Istana Demak.
Aku adalah seorang perantau, sahut Mahesa Jenar, Aku kira lebih aman kalau Tuan yang
menyimpannya sampai datang waktunya untuk diserahkan kepada yang berhak nanti.
Tampaklah sejenak Gajah Sora merenung menimbang-nimbang. Akhirnya ia berkata,
Baiklah, sekarang kedua pusaka itu kita ambil dan kita bawa pulang. Bukankah Tuan sudi
singgah ke Banyu Biru sehari dua hari...? Atau sampai pada saat pertemuan kalangan hitam.
Di sana dengan aman segala sesuatu dapat kita bicarakan.
Tentu saja Mahesa Jenar tidak dapat menolak ajakan itu. Karena itu ia pun segera mengiakan.
Maka setelah itu, setelah mereka merasa bahwa tubuh mereka telah dapat dibawa berjalan,
masuklah mereka dengan sangat hati-hati ke dalam goa itu dan langsung menuju ke ruang
dimana kedua pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten disimpan.
Setelah menyembah beberapa kali, maka diambillah kedua pusaka itu dan dibawa keluar
seorang satu, dengan tujuan untuk membawanya ke Banyu Biru, ke rumah Ki Ageng Gajah
Sora yang untuk selanjutnya akan dibicarakan penyerahannya kepada yang berhak di Istana
Demak.
Tetapi belum lagi mereka sempat meninggalkan daerah bukit Tidar, tiba-tiba mereka
mendengar derap langkah kuda yang cukup banyak mendaki Gunung Tidar dari arah utara.
Kedatangan mereka ini sudah pasti sangat mengejutkan Mahesa Jenar maupun Ki Ageng
Gajah Sora.
Siapakah mereka? tanya Mahesa Jenar.
Entahlah, jawab Ki Ageng Gajah Sora sambil menggelengkan kepalanya. Derap kuda itu
semakin lama semakin dekat, dan tampaknya mereka langsung menuju ke arah goa.
Mereka menuju kemari, desis Gajah Sora.
Ya, mereka menuju kemari, ulang Mahesa Jenar.
Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita? Gajah Sora ingin mendapat pertimbangan.
Dalam kondisi tubuh mereka yang hampir remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan
cepat berbuat apa-apa seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena itu yang
sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari orang-orang berkuda itu.
Dengan keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita menghindari mereka, kata Mahesa
Jenar.
Baiklah. Marilah kita bersembunyi, jawab Gajah Sora.
Sementara itu, kuda-kuda itu semakin dekat. Segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari
tempat untuk berlindung, di bawah semak yang rimbun.
Belum lagi mereka selesai menempatkan diri, muncullah dari balik-balik padas beberapa
orang berkuda. Meskipun gelap malam masih menyeluruh, tetapi remang-remang mereka
dapat juga menyaksikan tubuh-tubuh orang-orang berkuda itu.
116
TEPAT di muka goa mereka menghentikan kuda mereka, dan langsung dengan suara lantang
terdengar salah seorang dari mereka berteriak, Hei Sima Rodra, sudah gilakah engkau. Kau
biarkan semua penjaga-penjagamu tidur?
Suara itu melontar memukul dinding-dinding padas dan dipantulkan kembali berturut-turut
beberapa kali. Namun tak ada jawaban yang terdengar. Berkali-kali orang itu berteriak-teriak
memanggil, tetapi juga tak pernah ada jawaban. Akhirnya mereka berhenti berteriak-teriak.
Ada sesuatu yang tidak beres. Hai salah seorang dari kamu, bangunkan semua orang yang
tidur. Juga pengawal-pengawal gerbang, kata salah seorang diantara orang-orang itu kepada
pengikutnya.
Baik Ki Lurah, jawab salah satu diantaranya. Dan sejenak kemudian terdengar langkah seekor
kuda menjauh.
Sementara itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar beruntung dapat menyaksikan orang-orang
berkuda itu dengan jelas. Yang berkuda paling depan adalah dua orang yang gagah tegap,
meskipun badannya tidak begitu besar. Mukanya tampak panjang meruncing, dan masing-
masing menggenggam sebuah cemeti panjang. Mereka tampaknya hampir seperti dua orang
kembar.
Ketika Mahesa Jenar sedang menduga-duga, terdengarlah Gajah Sora berbisik, Itulah
Sepasang Uling dari Rawa Pening. Yang di sebelah kanan itulah yang tua, yang disebut Uling
Putih, sedang yang lain adalah Uling Kuning.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah mereka yang bernama Uling Putih
dan Uling Kuning. Kedatangan mereka sudah pasti untuk menuntut dendam akibat
terbunuhnya salah seorang kepercayaannya.
Sebentar kemudian datanglah beberapa orang berlari-lari ke arah goa itu pula.
Mereka adalah anak buah Sima Rodra yang tertidur karena kekuatan sirep Gajah Sora. Salah
seorang diantaranya, yang gemuk agak pendek, bertubuh kuat seperti seekor orang hutan,
maju mendekati sepasang Uling yang masih saja duduk di atas kudanya.
Salam kami untuk Sepasang Uling dari Rawa Pening, katanya.
Rupanya kakak-beradik Uling itu sama sekali tak memperhatikan sapa itu. Bahkan salah
seorang dari mereka membentak, Hai, Sakayon, di manakah suami-istri macan liar itu?
Rupanya yang dipanggil Sakayon itu tersinggung juga hatinya. Buat apa kau cari mereka?
jawabnya.
Jangan banyak cakap. Cari mereka, bentak Uling Kuning.
Terdengar Sakayon mendengus, Hemm.... Kau kira kau bisa memerintah aku...? Tanyakan
dengan baik, aku akan menyuruh salah seorang untuk memanggilnya.
Sepasang Uling yang kasar itu menjadi marah. Kalau kau masih juga berlagak, aku patahkan
lehermu, teriaknya.
Tetapi Sakayon sama sekali tidak takut. Malahan terdengar ia tertawa. Kau jangan main
sekarat di sini. Katakan apa perlumu. Kalau suami-istri Sima Rodra tidak ada, akulah yang
harus menyelesaikan semua soal.
Ternyata Uling Kuning hatinya lebih mudah terbakar daripada kakaknya. Hampir saja ia
memutar cemetinya kalau Uling Putih tidak mencegahnya. Sedang Sakayon pun telah pula
menarik pedang pendek tetapi besar seperti tubuhnya.
Jangan layani dia, Kuning, kata Uling Putih, sambil menarik kekang kudanya dan melangkah
beberapa langkah maju.
Baiklah Sakayon... aku tunduk kepada peraturanmu. Tolong, katakan kepada Suami-Istri Sima
Rodra bahwa aku ingin menemui mereka, kata Uling Kuning.
Sakayon yang merasa mendapat kemenangan, membusungkan dadanya sambil menjawab,
Itulah namanya tamu yang tahu diri.
Lalu katanya kepada salah seorang anak buahnya, Panggilkan Ki Lurah. Katakan bahwa
kakak-beradik dari Rawa Pening ingin menemuinya.
Orang yang disuruhnya itu segera berlari ke dalam goa. Tetapi sebentar kemudian ia telah
muncul kembali dengan nafas yang terengah-engah. Kakang Sakayon..., Ki Lurah tidak ada di
dalam goa. Bahkan ruang penyimpanan yang tidak pernah terbuka itu pun tampaknya telah
dibuka dengan paksa, katanya gugup.
Hei...! teriak Sakayon terkejut. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi ia meloncat dengan
tangkasnya masuk ke dalam goa. Menilik geraknya maka Sakayon pun pasti termasuk orang
yang berilmu tinggi. Mungkin ia adalah kepercayaan Suami-Istri Sima Rodra. Sakayon telah
keluar dari dalam goa. Gerak-geriknya menunjukkan kegelisahan hatinya. Sejenak kemudian
tanpa berkata apapun ia berlari kesamping goa dimana Sima Rodra tadi lenyap.
Mereka telah mempergunakan pintu rahasia ini. Pasti terjadi sesuatu atas mereka, teriaknya.
Kemudian kembali ia berlari ke arah tamu-tamunya.
Mereka telah lenyap. Untuk tiga hari setidak-tidaknya kalian tak akan dapat menemui mereka.
Sedangkan kedua pusaka yang disimpannya itu telah lenyap pula. Kalau yang mengambil
Suami-Istri Sima Rodra, mereka tidak perlu memecahkan pintu, katanya dengan nafas yang
memburu.
Keris itu lenyap...? tanya Uling Putih. Suaranya pun menunjukkan suatu kecemasan yang
sangat. Kalau kata-katanya betul, pasti akan menimbulkan suasana yang panas dalam
pertemuan kami nanti, katanya.
117
ULING KUNING yang lebih kasar itu tidak berkata apapun, tetapi segera ia meloncat turun
dari kudanya dan langsung masuk goa.
”Kau tidak percaya?,” teriak Sakayon, “Baiklah, lihatlah sendiri.”
Rupanya Uling Putih tidak tega membiarkan adiknya memasuki goa seorang diri. Sebab
mungkin ada hal-hal yang tidak beres. Karena itu ia pun segera meloncat turun dan cepatcepat menyusul memasuki goa itu.
Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing diam sambil menunggu kakak-beradik itu
keluar dari mulut goa.
Sementara itu, ketika semua perhatian dicurahkan ke mulut goa, berbisiklah Gajah Sora,
“Tuan, bukankah kita dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyingkir dari kandang
macan ini? “
Rupanya Mahesa Jenar pun telah memperhitungkan demikian, sehingga ia segera
menyetujuinya. “Baik Tuan, tetapi jalan mana yang akan kita lalui?”
Apakah Tuan belum melihat gerbang dari benteng Sima Rodra ini? tanya Gajah Sora.
Belum, jawab Mahesa Jenar, Aku memasuki halaman ini dengan memanjat dinding belakang.
Tampaklah Gajah Sora tersenyum. Akh, Tuan kurang hati-hati. Seharusnya Tuan mengetahui
lebih dahulu sebelum berbuat sesuatu, arah-arah mana yang dapat Tuan lewati kalau bahaya
datang. Atau setidaknya Tuan telah memiliki pengetahuan tentang itu, katanya.
Mahesa Jenar tersenyum pula. Tuan benar. Aku memang kurang hati-hati. Tetapi apakah
sekarang kita dapat melewati gerbang? sahutnya.
Tentu, jawab Gajah Sora, Orang-orang yang menjaganya sedang berkumpul di sini.
Kalau demikian marilah kita pergi, sahut Mahesa Jenar lagi.
Maka sebentar kemudian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan hati-hati sekali menyelinap
dari satu rumpun ke rumpun yang lain, dari balik padas yang satu ke padas yang lain.
Selangkah demi selangkah mereka berhasil mendekati gerbang yang menghadap ke utara.
Gerbang ini dalam keadaan biasanya selalu dijaga dengan kuatnya oleh orang-orang
kepercayaan Sima Rodra. Tetapi orang-orang itu sekarang sedang berkumpul di depan goa
untuk dapat mencegah kalau sepasang Uling itu akan berbuat sesuatu. Maka dengan tidak
banyak mendapat kesulitan, Gajah Sora dan Mahesa Jenar berhasil keluar melewati gerbang
yang menganga tak terjaga.
Setelah itu, setelah mereka berada di luar, segera mereka meloncat ke dalam semak-semak
dan menjauhi benteng Sima Rodra itu dengan mengambil jalan menyusup rumpun-rumpun
liar dan menjauhi jalan yang semestinya. Dengan keadaan tubuh mereka yang hampir remuk
itu, mereka harus dengan hati-hati sekali menuruni tebing yang curam serta menloncati padaspadas yang rumpil. Untunglah bahwa mereka berdua mempunyai dasar kecekatan yang
cukup, sehingga meskipun dengan susah payah pula mereka dalam waktu singkat telah dapat
mencapai dataran di sebelah bukit kecil itu.
Tetapi demikian mereka merasa bahwa jalan yang akan mereka lalui tidak lagi sulit, mereka
mendengar lamat-lamat derap kuda yang keluar dari gerbang benteng bukit Tidar, yang
semakin lama terdengar semakin jauh. Rupanya sepasang Uling dari Rawa Pening itu ketika
sudah yakin bahwa Suami-Istri Sima Rodra tak dapat mereka temui, serta sepasang keris itu
tidak lagi berada di tangan mereka, mereka merasa bahwa tak ada gunanya lagi tinggal terlalu
lama di Bukit Tidar.
Setelah suara derap kuda itu lenyap, kembali Gajah Sora dan Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanan untuk secepat-cepatnya menjauhi gunung Tidar. Untuk menghilangkah jejak,
mereka tidak langsung berjalan ke timur, tetapi mula-mula mereka melingkar ke barat untuk
selanjutnya membelok ke utara, ke Banyu Biru.
Di perjalanan, ternyata bahwa Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang baru saja berkenalan itu
menjadi begitu akrab, seolah-olah mereka telah berkenalan bertahun-tahun. Dalam banyak hal
mereka selalu bersamaan pendapat dan perhitungan.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, serta mereka sudah yakin benar bahwa orang-orang
Sima Rodra tidak lagi dapat menemukan mereka, mereka merasa perlu untuk beristirahat,
untuk menyegarkan tubuh mereka. Maka dicarilah tempat yang sesuai untuk sekadar
melepaskan lelah.
Tetapi demikian mereka duduk bersandar di pepohonan, karena lelah dan tegang yang
dialaminya beberapa saat yang lalu, segera mereka jatuh tertidur.
Demikian nyenyaknya, sehingga mereka sama sekali tak merasa bahwa malam telah lama
lewat, dan matahari telah tinggi di langit.
Ketika cahaya matahari itu, menerobos daun-daun dan memanaskan tubuh mereka, kedua
orang yang kelelahan itu baru terbangun. Terasalah sesudah mereka beristirahat benar-benar,
meskipun hanya sebentar, tubuh mereka menjadi bertambah segar. Meskipun masih saja
terasa agak kaku-kaku dan nyeri, namun mereka telah sanggup untuk berdiri tegak dan
melangkah dengan tangkas, berkat daya tahan tubuh mereka yang cukup kuat.
Setelah mereka mencuci muka serta sekadar minum air dari sumber yang ditemukannya di
dekat mereka beristirahat, mulailah mereka melanjutkan perjalanan. Mula-mula mereka akan
singgah ke Pangrantunan untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi setelah
dipertimbangkan untung-ruginya, mereka membatalkan maksud itu.
Di perjalanan pulang itu, barulah mereka mengetahui bahwa wajah-wajah mereka tampaknya
seperti berubah. Beberapa noda biru dan bengkak-bengkak tampak di sana-sini. Hal itu
menunjukkan betapa hebatnya perkelahian mereka semalam. Sehingga apabila mereka saling
memandang, mereka menjadi tertawa sendiri.
Di samping itu, dalam hati masing-masing timbullah rasa kagum satu sama lain. Sebab dalam
pertempuran dan perkelahian yang mereka alami sebelum itu, jarang tubuh mereka dapat
disakiti, apalagi sampai biru-biru dan bengkak-bengkak.
assalamualaikum wr,wb
ReplyDeleteKi nawe… saya IBU linda,tki di malaysia
mengucapkan banyak2 terima
kasih kepada ki.Nawe
atas dana ghaib yang
kemarin aki berikan alhamdulillah ternyata itu benar2 ada
dan berkat bantuan
ki nawe saya bisa
melunasi semua hutan2
orang tua saya yang ada di
BANK BRI dan bukan hanya
itu AKi NAWE alhamdulillah
sekarang saya sudah bisa
bermodal sedikit untuk
mencukupi kebutuhan
keluarga saya sehari2. itu
semua berkat bantuan KI NAWE sekali lagi
makasih banyak yah KI NAWE…
yang ingin merubah nasib
seperti saya hubungi KI NAWE di nomor
0852-1837-9259 dijamin
100% ada atau silahkan
buktikan sendiri PESUGIHAN TAMPA TUMBAL