CANDI MURCA (LKH) Bagian 61-100
“Ya,” jawab Parra Hiswara. “Bayangkan betapa dinginnya aku ketika tahu tahu
berada di sela Merapi dan Merbabu tanpa baju, aku hanya mengenakan celana kombor
yang kupakai ini. Lihat, masih berlepotan tanah bukan? Dinginnya minta ampun. Orang
itu menyelamatkan aku dengan meminjamkan jaketnya.”
Yogi Sutisna mengangguk.
“Kita berangkat sekarang?”
“Ya,” jawab Parra Hiswara.
Maka perjalanan menempuh jarak kurang lebih empat ratus kilometer pun dimulai.
Dengan pikiran bermuatan penuh, amat penuh, Yogi Sutisna yang memegang stir
membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun hari yang telah larut malam dan
kendaraan berkurang drastis kepadatannya dan apalagi didukung kondisi jalan yang
halus, penunjuk kecepatan di dashboard melejit pada angka antara seratus sampai seratus
dua puluh kilometer per jam.
“Tidurlah,” Yogi Sutisna memberi saran.
Parra Hiswara menempatkan diri bersandar.
“Aku sedang berusaha, tetapi bagaimana bisa, muatan di otakku full, berjejal dan
penuh,” jawab Parra Hiswara.
Namun desau angin yang berpapasan dengan kendaraan serta penat yang
dialaminya menggiring Parra Hiswara kehilangan keutuhan kesadarannya dan menjebol
sekat yang membatasi wilayah mimpi dan alam nyata. Alam nyata di mana pikirannya
berada mulai bergoyang, lalu bergoyang lagi lebih keras dan akhirnya membawanya ke
persilangan antara sisa kesadaran dan kentalnya wilayah mimpi, hingga akhirnya Parra
Hiswara benar-benar berada di area mimpi, total dan lelap.
9.Parra Hiswara merasa berada di sebuah tempat, akan tetapi entah di mana.
Persilangan dari alam nyata menuju wilayah mimpi itu terjadi dengan sangat lembut
menjadikan Parra Hiswara merasakan sebagai sesuatu yang nyata, nyata, sangat nyata.
Demikian pula dengan kuda yang ia belai punggungnya, sangat nyata. Parra Hiswara
berada di atas punggung kuda? Hal itu ia rasakan sangat nyata! Desau angin yang
membelai tubuhnya, sejuknya angin pegunungan yang memenuhi rongga paru-parunya
sungguh nyata.
Malam penuh bintang dengan langit sangat bersih, namun amat ramai oleh suara
berbagai binatang malam yang bersahutan riuh rendah. Di kejauhan terdengar suara
puluhan anjing menggonggong bersahutan, bukan mewartakan adanya setan lewat tetapi
lebih karena anjing-anjing itu ketakutan dan berlarian. Di arah yang lain juga terdengar
suara harimau mengaum berbalas auman harimau lain, namun bukan sedang
memamerkan kegarangannya, akan tetapi binatang-binatang itu sedang melenguhkan
kecemasan.
“Ada apa dengan kepanikan binatang-binatang itu?” tanya Parra Hiswara yang amat
penasaran.
Setelah merasa menghabiskan waktu untuk sebuah perjalanan panjang, setidaknya
demikianlah Parra Hiswara merasa, malam itu ia menyempatkan diri untuk istirahat
sekaligus memberi kesempatan kepada kudanya untuk juga beristirahat. Udara malam tak
begitu dingin, akan tetapi nyamuk-nyamuk yang beterbangan sangat mengganggunya.
Parra Hiswara membuat perapian lagi di arah yang lain untuk membendung binatang
penghisap darah yang jumlahnya tidak bisa dihitung itu, berdengung-dengung di
telinganya. Namun Parra Hiswara salah hitung. Nyamuk-nyamuk itu sama sekali tidak
terpengaruh oleh perapian yang dibuatnya yang terbaca itu dari rasa gatal yang tidak
hanya menyerang kakinya akan tetapi juga di telapak tangannya, leher, kening dan bagian
tubuh yang terbuka.
Waktu tengah menjamah wilayah melewati tengah malam. Parra Hiswara yang
beranjak berbaring bergegas bangun saat kudanya meringkik. Parra Hiswara sangat
mengenali kudanya, maka ia sangat mengenali kegelisahannya. Kuda tunggangannya
yang tengah berbaring itu bangkit dan berdiri. Kuda itu kembali meringkik pelahan. Parra
Hiswara yang tanggap atas isyaratnya segera ikut bangun dan memerhatikan keadaan.
Dengan telinganya Parra Hiswara mencoba mencermati keadaan. Akan tetapi tak ada
sesuatu yang mencurigakan.
“Ada apa?” tanya Parra Hiswara.
Kudanya menjawab dengan meringkik kecil.
Parra Hiswara berusaha menyaring segala macam suara dan memerhatikan suasana,
namun Parra Hiswara tak menemukan sesuatu yang janggal. Meski demikian Parra
Hiswara yakin kudanya memiliki ketajaman pendengaran jauh lebih tajam dari
telinganya, kuda itu tentu melihat sesuatu atau mendengar sesuatu. Parra Hiswara
bertambah heran melihat kuda tunggangannya menunjukkan sikap gelisah. Bahkan
kegelisahan kuda itu kian menjadi.
“Ada apa?” Parra Hiswara mengulang bertanya.
Parra Hiswara yang merasa penasaran itu segera berdiri tegak. Kali ini dengan
sengaja Parra Hiswara memusatkan segenap perhatiannya pada segala suara yang
tertangkap telinganya. Dalam sikap yang demikian Parra Hiswara sebenarnya sedang
membangunkan aji sapta pangrungu, bentuk aji kanuragan yang bisa dimanfaatkan
menangkap suara yang amat lemah sekalipun.
Akhirnya Parra Hiswara memang mendengar sesuatu, suara gemuruh dan riuh,
gemerasak bagaikan suara barisan hantu.
“Suara apa itu?” tanya pemuda itu kepada diri sendiri.
Kudanya semakin gelisah. Kuda itu merasa ada sesuatu yang ditakutkan. Parra
Hiswara yang akhirnya mampu menangkap suara yang lamat-lamat terbawa angin dari
kejauhan merasa heran karena tak berhasil memastikan dan menemukan jawaban,
kegiatan apa yang terdengar riuh itu. Suara gemuruh itu datang kian dekat menyebabkan
kudanya langsung lari lintang-pukang, berderap kencang meninggalkannya. Parra
Hiswara melihat rupanya memang benar-benar ada sesuatu yang ditakuti kudanya.
Parra Hiswara tetap berdiri tegak di tempatnya dengan telinga yang ia buka lebarlebar, Parra Hiswara menyimak suara yang begitu riuh yang terbawa angin itu dengan
lebih cermat. Parra Hiswara mencoba memerhatikan dan memilah-milah namun yang ia
dapat hanya sekadar riuhnya suara tanpa bisa menerka dengan tepat, suara apa itu.
Pemuda itu bertambah heran saat tiba-tiba melihat beberapa ekor kijang berlari kencang,
seperti berusaha menyelamatkan diri. Rasa penasaran Parra Hiswara makin menjadi
ketika melihat beberapa binatang besar juga berlarian. Dua ekor kerbau hutan berderap
cepat ke arahnya nyaris menabraknya. Harimau lari tunggang-langgang melintasinya dan
tidak tidak menganggapnya sebagai santapan.
“Suara apa itu?” tanya Parra Hiswara pada diri sendiri. “Mengapa perbawanya
demikian besar sehingga binatang-binatang berlarian mencari selamat?”
Suara riuh itu semakin mendekat. Rasa heran Parra Hiswara hingar-bingar ketika
kemudian melihat sesuatu yang luar biasa.
“Kalong?” Parra Hiswara terperanjat. “Kelelawar berukuran besar, waah, banyak
sekali.”
Akhirnya sumber suara yang riuh itu memang terjawab. Parra Hiswara terbelalak
menyaksikan ampak-ampak25 yang ternyata binatang-binatang kalong dengan jumlah
tidak terhitung. Seperti barisan lampor kalong itu terbang ke utara dengan suara mencicit
yang riuh rendah. Maka Parra Hiswara mulai memahami kenapa kudanya ketakutan
ketika akhirnya melihat dengan mata kepala sendiri seekor kerbau hutan terjebak,
dikeroyok binatang malam itu dengan ganasnya.
“Gila,” Parra Hiswara tidak bisa menahan rasa kagetnya.
Kalong adalah hewan sejenis kelelawar yang berukuran lebih besar. Binatang itu
pemakan buah-buahan, bukan pemakan daging. Mengapa perilakunya berubah?
Pertanyaan itu dengan sangat segera mengganggu benaknya.
Namun Parra Hiswara tetap berdiri tegak di tempatnya. Dari tempat ia berada, Parra
Hiswara menyaksikan ribuan binatang menyusui yang bisa terbang itu semakin mendekat
ke arahnya. Bahkan beberapa ekor yang berada paling dekat mulai mengitarinya.
Tak tercegah Parra Hiswara merasa ngeri. Pemuda itu siap berancang-ancang untuk
menghindar melarikan diri. Parra Hiswara melihat ada sebuah sungai yang bisa
digunakan untuk menghindar dari binatang-binatang berperilaku aneh dan tidak wajar itu.
Jika ia ambyur ke dalam sungai dan menyelam, kalong itu tentu tidak bisa berbuat apaapa.
Namun rasa ingin tahunya mendorong pemuda itu untuk bertahan. Dengan ranting
yang terbakar ujungnya Parra Hiswara menghalau kalong itu agar tidak mengganggunya.
Seekor tersambar ayunan ranting, kalong itu terkapar mati. Namun yang lain
berdatangan, jumlahnya makin banyak. Ribuan yang lain beterbangan merata di segala
penjuru.
Parra Hiswara tidak menduga gerakan kalong-kalong itu ternyata demikian cepat
dan ganas. Ketika Parra Hiswara menyadari keadaan dengan utuh, ia agak terlambat
karena kalong-kalong itu telah mengepungnya. Parra Hiswara terlambat untuk
menyelamatkan diri. Parra Hiswara tak mempunyai pilihan lain kecuali mempertahankan
diri. Seekor kalong yang menyambar berhasil dihantam dengan ayunan ranting, akan
tetapi beberapa ekor yang lain menyambarnya bersamaan. Parra Hiswara berloncatan
berusaha menjauhkan diri. Akan tetapi binatang bersayap lebar itu memiliki kegesitan
luar biasa.
Parra Hiswara gugup dan mengayunkan rantingnya dengan cepat dan sekuat tenaga
untuk membentuk perlindungan yang sangat rapat, akan tetapi jumlah kalong yang
beterbangan mengitarinya semakin banyak dan semakin padat. Selincah apa pun pemuda
itu, menghadapi kalong-kalong dengan jumlah tidak terhitung yang menyerang susul-
menyusul menyebabkan Parra Hiswara kalang-kabut. Akan tetapi jumlah binatang yang
ujutnya mengerikan itu sangat banyak. Bagai ampak-ampak, kalong yang jumlahnya
ribuan itu mengepungnya. Sedemikian banyaknya binatang itu sehingga di antara mereka
saling menunggu giliran untuk menyerang.
Apa boleh buat, Parra Hiswara tak punya pilihan lain. Pemuda itu segera melompat
menjauh dari kerumunan binatang itu, dengan cepat Parra Hiswara bersedekap
memusatkan lima inderanya, menyatukan nalar lan budine26.
Dibangunkan dengan tergesa-gesa, maka sejenak kemudian sebuah pusaran angin
berputar cepat mengelilingi tubuhnya. Semakin lama semakin cepat dan semakin cepat.
Kalong-kalong yang bermaksud menerobos pusaran angin terlempar dan teremas.
Kelelawar itu berjatuhan dalam keadaan mati. Parra Hiswara mempertajam pusaran angin
itu. Udara mampat yang berputar melindungi tubuhnya makin melebar. Kalong-kalong
yang mencoba menerobos terputar untuk kemudian terlempar jauh. Udara yang pekat
menyebabkan sayap-sayapnya lumpuh.
“Kalau sudah begini, apa yang bisa kalian lakukan ha? Majulah kalian semua!”
Parra Hiswara berteriak menantang.
Pusingan angin yang melindunginya itu membubung semakin tinggi. Jika semula
angin ribut itu hanya berputar mengelilingi tubuhnya, akhirnya Parra Hiswara merasa
sudah tiba waktunya angin itu bergerak. Maka angin lesus itu menggeliat cepat
meninggalkan Parra Hiswara yang tetap berdiri tegak, meliuk mengitarinya sambil
memperdengarkan suara mencicit. Kalong-kalong yang terjebak pada pusaran angin
berpusing itu ikut terputar. Angin ribut itu berputar kencang, semakin lama semakin
menggila. Kalong-kalong yang telah berubah perilakunya itu terhisap dan terputar untuk
kemudian terlempar dengan keadaan sudah tak bernapas lagi.
“Andai mereka adalah kalong biasa, aku tak akan membantainya, namun binatang
itu rupanya sangat kelaparan dan telah berubah perilakunya. Kalong adalah binatang
pemakan buah-buahan. Manakala kalong telah berubah menjadi binatang pemakan
daging, hal itu sungguh membahayakan kehidupan umat manusia Bukan hanya umat
manusia, juga keseimbangan kehidupan binatang lainnya.”
Udara berputar itu kian meraksasa. Ukurannya memang dibiarkan menggila. Berapa
pun jumlah kalong yang berusaha melawan, pusaran angin itu siap menampung.
Namun rupanya, ada pihak yang tidak senang melihat perbuatan pemuda itu.
Seseorang yang sebenarnya sudah cukup lama mengawasinya.
“Hentikan perbuatanmu, anak muda,” teriak orang itu.
Parra Hiswara terlonjak. Sumber suara itu demikian dekat dengan telinganya.
Parra Hiswara terkejut karena begitu berbalik sudah ada seseorang yang berdiri
tegak di belakangnya, tanpa diketahui bagaimana ia bisa hadir di tempat itu. Sekejab
Parra Hiswara bagai dibelit oleh pesona sihir melihat ujut orang itu. Seorang wanita
dengan rambut berkibar ditiup angin dengan wajah yang jelita.
“Kau bermaksud membantai binatang piaranku dengan menggunakan permainan
pusaran angin itu?” wanita itu bertanya.
Parra Hiswara yang terpesona gugup. Pemuda itu seperti kehilangan akal.
“Kau siapa?” tanya Parra Hiswara setelah menenangkan diri.
“Namaku Prabanjara Uwwara Kenya pemuja Batari Kali,” jawab Wanita itu datar.
Pada umumnya, batara adalah sebuah sebutan untuk Dewa yang bersemayam di
kahyangan. Batara Guru adalah Raja dari para Dewa yang membawahi beberapa Dewa
yang lain. Sebaliknya sebutan Batari adalah untuk Dewa wanita sebagaimana Durga
mendapat sebutan Batari Durga. Parra Hiswara merasakan sesuatu yang janggal pada
nama itu. Tetapi Parra Hiswara kemudian bersimpulan, wanita di depannya itu hanyalah
wanita aneh, dengan nama yang aneh pula dan menggembalakan peliharaan yang aneh
pula.
“Kalong-kalong itu piaraanmu?” tanya Parra Hiswara dengan heran.
Parra Hiswara tidak menyangka kalong-kalong dengan jumlah ribuan dan perilaku
yang berubah menjadi ganas itu ternyata ada pemiliknya, ada yang memelihara.
“Ya,” jawab perempuan cantik itu.
“Wanita apa pula orang ini?” pikirnya.
Parra Hiswara menoleh ke arah pusaran angin yang telah dilepas dan dibiarkan
terbang menjadi dirinya sendiri. Udara yang tenang tidak mendukung pusaran angin itu
untuk hidup dan berkembang. Angin lesus itu kemudian terlihat meliuk ke arah selatan.
Kalong-kalong dalam jumlah yang tak terhingga masih beterbangan di atas. Parra
Hiswara menjadi yakin binatang-binatang itu piaraan wanita yang berdiri di depannya,
terbukti dengan siulan panjang yang dilakukan mencegah binatang-binatang itu melayang
turun. Parra Hiswara bahkan melihat, binatang bersayap lebar itu melanjutkan terbang
berarak ke utara.
Parra Hiswara menatap wanita itu dengan mata tak berkedip.
“Sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan kegemaran dan urusan orang lain. Aku
tidak peduli ada orang yang memiliki kegemaran memelihara ular atau harimau sekalipun
asal orang itu mampu menjaga agar binatang piaraannya itu tidak membahayakan orang
lain. Tetapi, aku melihat binatang piaraanmu itu berbahaya. Kalong-kalong itu tak wajar.
Biasanya kalong-kalong binatang pemakan buah buahan. Tetapi kalong-kalong itu telah
mengeroyokku. Bahkan kulihat seekor kerbau mati dikeroyok.”
Wanita cantik itu hanya tersenyum. Parra Hiswara harus mengakui betapa
cantiknya. Senyumnya benar-benar mampu menghanyutkan iman laki-laki mana pun.
Tetapi Parra Hiswara juga melihat, betapa di balik kecantikan dan senyum yang
mempesona itu bersembunyi bahaya yang mengintai serta berkesanggupan
menjerumuskan seseorang ke dalam kesulitan dan bencana.
“Kau sudah mengetahui namaku,” kata wanita yang mengaku bernama Prabanjara
Uwwara Kenya pemuja Batari Kali. “Sebaliknya namamu siapa, anak muda?”
Parra Hiswara merasa heran karena wanita yang usianya hanya terpaut sedikit
dengan dirinya, bahkan mungkin lebih muda itu menyebutnya anak muda, terasa sekali
wanita itu meremehkan, atau menganggap Parra Hiswara terlampau kecil dibanding
dirinya.
“Namaku Parra Hiswara,” jawab Parra Hiswara tegas.
Perempuan cantik itu mendekat.
“Apabila bukan karena takdir, aku sudah membunuhmu karena kau lancang
membantai binatang piaranku.”
Parra Hiswara bertambah heran.
Wanita cantik itu kemudian bersiul sangat panjang dan melengking. Parra Hiswara
kaget saat melihat sesuatu berwarna putih melesat dengan cepat dari atas dan hinggap di
pundak wanita itu. Ketika diperhatikan lebih cermat, binatang itu ternyata kalong yang berkulit aneh, warnanya putih bersih, namun matanya kemerahan. Tatapan mata kalong
itu beringas.
“Tunggu!” cegah Parra Hiswara melihat wanita itu akan pergi.
“Ada apa?” jawab Batari kali dengan bertanya.
“Apa yang kaumaksud dengan takdir?” desak Parra Hiswara.
Wanita cantik itu tersenyum.
“Kelak kau akan tahu, beberapa tahun mendatang kau akan menemukan apa yang
menjadi jawabnya. Pada saatnya nanti kau akan merasa, kau memang punya urusan
denganku,” jawabnya.
Parra Hiswara penasaran.
“Urusan apa?” tanya Parra Hiswara yang tidak sabar.
Batari Kali menoleh, senyumnya mengembang.
“Bersabarlah,” ucap wanita itu. “Cepat atau lambat, takdir yang kumaksud pasti
akan datang.”
“Aku tak akan membiarkanmu pergi dari tempat ini sebelum kau mengatakan,
takdir apa yang kaumaksud.”
“O ya?” balas wanita itu dengan nada sinis. “Modal kemampuan apa yang akan
kaugunakan untuk mencegahku? Angin lesus itu?”
Parra Hiswara merasa wanita di depannya itu tersinggung. Wanita itu mengibaskan
lengannya, kelelawar putih yang hinggap di pundaknya itu melesat terbang membubung
tinggi. Parra Hiswara merasa heran ketika melihat wanita dengan kecantikan luar biasa
itu membuka ikat kepala yang membelit kening.
Parra Hiswara terhenyak.
“Ha?” Parra Hiswara mengkucal-kucal matanya.
Namun apa yang dilihatnya tak berubah. Di kening wanita itu terdapat sebuah mata,
mata ke tiga. Parra Hiswara gemetar menggigil. Parra Hiswara bahkan tak bisa mengucap
apa pun. Meskipun sulit percaya, Parra Hiswara harus melihat keganjilan dari segala
macam biang keganjilan. Wanita itu benar-benar memiliki sebuah mata yang terletak
tepat di kening. Bila mata itu terpejam terlihat sebuah lekukan seolah ada garis pada
kening itu.
Parra Hiswara merasa dadanya rontok dan degup jantungnya berhenti ketika dari
mata ke tiga yang terletak di kening itu muncrat sebuah cahaya yang menghajar sebuah
batu besar yang teronggok di sisi kanannya. Batu sebesar anak gajah itu meledak, pecah
berantakan. Debu mengepul dari batu pecah itu, serpihannya terasa pedih ketika
menjamah kulit tubuh Parra Hiswara. Apa yang terjadi itu membuat Parra Hiswara hanya
bisa terbelalak.
Wanita aneh itu kemudian bersiul melengking. Kalong berwarna putih yang
berputar di atas melesat turun dan hinggap di pundaknya. Tak peduli pada Parra Hiswara
wanita itu membentangkan tangannya, seperti bersayap wanita itu terbang melesat cepat
membubung ke langit, kemudian lenyap ditelan kegelapan malam.
Parra Hiswara gemetar.
Parra Hiswara mendekat ke bongkahan batu yang telah menjadi serpihan-serpihan
kecil. Jika serangan yang melesat dari tatapan mata itu menghajar kepalanya, Parra
Hiswara sulit membayangkan apa yang akan terjadi dengan otaknya. Parra Hiswara terus
mengarahkan pandangan matanya ke arah mana perempuan pemilik mata tiga itu lenyap
dari pandangannya. Pada arah tatapan matanya, di sana mendung sedang tebal dan petir
muncrat memamerkan gelegarnya.
10.Suaranya yang memekakkan telinga menyentakkannya dan melemparkan Parra
Hiswara kembali ke alam nyata. Terkejut Yogi Sutisna melihat temannya tersentak dan
berteriak. Bergegas Yogi Sutisna berusaha menepikan kendaraan dengan mesin masih
tetap menyala.
“He, ada apa?” tanya Yogi yang amat kaget.
Parra Hiswara tersengal, bahkan tercekik. Yogi Sutisna bergegas menginjak pedal
rem dan melepas pedal gas sambil memarkir mobilnya. Yogi membuka tutup botol
kemasan dan segera menyerahkan pada temannya. Parra Hiswara meneguk air kemasan
itu dengan segala gugupnya. Jelalatan tatapan mata Parra Hiswara memerhatikan suasana
di luar kendaraan.
“Di mana kita sekarang?” tanya Parra Hiswara.
Yogi Sutisna yang terheran-heran tak dengan segera menjawab pertanyaan itu.
“Kamu mimpi buruk?” tanya Yogi.
“Lebih dari sekadar mimpi buruk,” jawab Parra Hiswara.
Yogi Sutisna tak dengan segera memahami dan memerhatikan bagaimana Parra
Hiswara benar-benar seperti orang yang kehausan. Parra Hiswara bahkan mengguyurkan
sisa air kemasan itu ke rambutnya. Parra Hiswara bergegas keluar dari mobil dan berjalan
mondar-mandir dengan mengusung segala kebingungannya. Demikian paniknya Parra
Hiswara, berulang kali ia menjambaki rambutnya sendiri, berulang kali menghentakkan
kaki ke tanah dengan sangat kasar seolah melalui caranya ia berharap sesuatu muncul
dari tanah yang terbelah.
Yogi Sutisna menyusul.
“Lebih dari sekadar mimpi buruk tadi bagaimana?” tanya Yogi.
Namun Parra Hiswara tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia berusaha mengenali
di mana sedang berada.
“Kita baru saja melewati perbatasan Jawa Tengah dan Timur,” tahu apa yang ada di
benak temannya Yogi Sutisna mendahului menjawab.
Parra Hiswara segera mengenali tempat itu, dengan demikian perjalanan yang
ditempuh sudah lebih dari seratus kilometer. Tempat di mana sekarang ia berada bila
siang hari banyak digunakan oleh para pengendara beristirahat sambil menikmati kelapa
muda yang dijual berderet-deret kurang lebih di sepanjang satu kilometer tepi kanan
maupun kiri jalan raya besar itu.
Dengan lunglai bagai orang yang telah terperas tenaganya, Parra Hiswara
melangkah ke bangku bambu panjang tidak jauh dari tumpukan kupasan kelapa yang
telah mengering. Parra Hiswara duduk namun dengan segera bangkit lagi, ia pilih
berjalan mondar-mandir lalu duduk lagi. Niat berbaring ia batalkan, ia pilih menjambaki
rambutnya sendiri.
Yogi Sutisna hanya memerhatikan apa yang diperbuatnya. Yogi Sutisna bersilang
tangan di dada.
“Kamu mimpi apa?”
Parra Hiswara memerhatikan wajah temannya sebaliknya Yogi Sutisna balas
memandang dengan segenap raut muka bingung. Parra Hiswara memejamkan mata,
sekuat tenaga ia berusaha mengumpulkan kenangannya atas peristiwa luar biasa yang
terjadi sekita lima jam sebelumnya. Akan tetapi Parra Hiswara yang dari awal telah
mengalami benturan-benturan kejadian tak masuk akal harus mengakui bukan perkara
gampang menerima pengalamannya itu sebagai sebuah kenyataan.
“Parameswara,” gumamnya.
Yogi Sutisna menyimak penyebutan nama itu.
“Kamu bermimpi bertemu lagi dengan orang bernama Parameswara itu?”
Parra Hiswara menggeleng.
“Bukan begitu,” jawab Parra Hiswara. “Aku bermimpi diriku adalah Parameswara.
Aku sedang berada di sebuah tempat yang luas, aku melihat ada banyak sekali binatangbinatang berlarian ketakutan, kuda tungganganku juga harus melarikan diri dariku karena
ketakutan, suara gemuruh yang tidak jelas berasal dari apa yang menjadi penyebab semua
ketakutan itu.”
Yogi Sutisna menyentuh lengan sahabatnya, minta waktu untuk menyela.
“Kendaraanmu kuda?”
Parra Hiswara memejamkan mata untuk mencoba merekonstruksi kembali apa yang
dialami dalam mimpinya. Parra Hiswara mencoba mengenali mengapa kendaraannya
seekor kuda, mengapa bukan mobil, mengapa bukan motor?
“Kudaku ketakutan dan bahkan berlari meninggalkan aku, binatang-binatang hutan
berlarian menyelamatkan diri, bahkan juga harimau. Lalu muncul jawaban dari suara
yang gemuruh itu yang ternyata berasal dari ribuan ekor kelelawar berukuran besar,
kelelawar besar, binatang-binatang itu terbang bersama-sama bagaikan kabut pekat
meninggalkan suara gemerasak, apalagi mereka terbang rendah.”
“Binatang-binatang itu seperti kita pernah melihat di Makasar?” Yogi Sutisna
menyela.
Yogi Sutisna masih memiliki kenangan itu. Dulu saat melakukan penelitian di
Makasar, Sulawesi, di sebuah kampung penduduk membiarkan ribuan ekor kalong hidup
serasi dengan masyarakat setempat tanpa ada yang mengusik ketenangan mereka.
Awalnya, seseorang memelihara beberapa pasang, namun dari yang semula hanya
beberapa pasang itu berkembang menjadi puluhan, menjadi ratusan dan bahkan menjadi
ribuan. Siang malam binatang bersayap lebar itu menimbulkan suara berisik namun sudah
sangat akrab dengan telinga penduduk. Sisi positip dari keberadaan kalong-kalong itu,
desa di mana kelelawar dalam ukuran raksasa itu dipelihara terbebas dari hama tikus.
Tikus-tikus ketakutan dan pilih pergi dari wilayah itu, termasuk nyamuk. Tidak jelas,
apakah kalong-kalong itu memangsa nyamuk, atau gelombang suaranya menyebabkan
para nyamuk merasa tidak nyaman. Bahkan ular juga jarang berada di tempat itu.
“Seperti di Makasar?” ulang Yogi Sutisna sekali lagi.
Parra Hiswara mengangguk membenarkan.
“Terus?” pancing Yogi Sutisna yang melihat Parra Hiswara masih mengalami
kesulitan mengusai diri.
“Binatang-binatang itu berubah sifat. Harimau berlarian menyelamatkan diri,
kerbau hutan dan binatang apa pun yang semula berada di padang luas melarikan diri,
semua itu menjadi pertanda kalong-kalong itu tak lagi doyan buah, tetapi ia suka segala
sesuatu yang serba berdarah,” Parra Hiswara menambah.
Yogi Sutisna termangu beberapa jenak. Akan tetapi di mata Yogi Sutisna, mimpi
tetaplah mimpi. Seberapa pun mengerikan mimpi itu, tetaplah mimpi, sesuatu yang
abstrak, sering pula berisi kejadian-kejadian tanpa bentuk.
“Tetapi itu mimpi kan?” celetuknya.
Parra Hiswara sontak meradang, celetukan sahabatnya itu menyentuh pegas rasa
jengkelnya. Tiba-tiba Parra Hiswara yang semula duduk itu berdiri dan berjalan hilir
mudik.
“Bagaimana caraku meyakinkan kamu persoalan yang kualami, termasuk mimpiku
bukan sesuatu yang sepele?” ucap Parra Hiswara dengan napas yang tersengal. “Aku
terperosok ke dalam goa bawah tanah, aku melihat orang-orang tidur, aku bertemu
dengan orang yang mengaku sebagai diriku bernama Parameswara, bukan Parra Hiswara,
lalu aku terlempar demikian jauh, saat terperosok aku berada di Malang, di pekarangan
rumah kontrakanku, tetapi begitu muncul aku berada di tempat yang tidak masuk akal,
aku berada di antara bangunan-bangunan candi yang langsung lenyap setelah aku
melangkah turun meninggalkannya, tempat candi murca itu di kaki Merapi dan Merbabu,
berada di antara dua gunung. Merapi dan Merbabu yang jaraknya ratusan kilometer dari
tempatku semula. Masih kurangkah semua itu? Mimpiku nyata, benar-benar nyata. Aku
tidak merasa mimpiku lumrah seperti biasanya. Pertama, aku bertemu dengan perempuan
cantik bernama Prabanjara Uwwara Kenya pemuja Batari Kali itu di bawah tanah dalam
keadaan tidur telanjang, aku punya kesempatan sangat luas memerhatikan dirinya yang
sedang tidur itu. Aku melihat ada semacam luka di keningnya yang ternyata luka itu.”
Parra Hiswara berhenti dan menggigil.
“Ya Tuhan, Aku menandai, lipatan luka di kening itu rupanya mata ke tiga yang
terpejam. Bayangkan, bayangkan rangkaian peristiwa yang kualami itu, semua itu benarbenar hadir sebagai sesuatu yang nyata. Kamu tidak boleh menganggap mimpiku tadi
sebagai kembang tidur.”
Parra Hiswara berjalan mondar-mandir sambil meremas-remas rambutnya dengan
gemas, jengkel dan bahkan marah. Isi kepalanya riuh oleh upayanya merekonstruksi
semua yang dilihat dan dialami. Sekuat tenaga Parra Hiswara berusaha merangkairangkaikan semua informasi yang ia miliki.
“Di goa itu, ketika pusaran asap mulai melibasku, aku sempat melihat walau tidak
cukup jelas bagaimana ujut kalong berwarna putih yang bahkan sempat menyambar
tanganku. Dalam mimpi tadi, aku melihat ujutnya dengan lebih jelas. Bahkan amat jelas,
tatapan matanya yang kemerahan menjadi pertanda ia benar-benar doyan darah, doyan
daging, amat mengerikan.”
Lalu hening, suasana beberapa jenak menjadi senyap. Beberapa kendaraan lalu
lalang ada pula yang beriringan terdiri dari beberapa kendaraan besar dan kecil, bus-bus
melaju kencang, truk yang sarat muatan terlihat merayap di jalan tanjakan, sementara
beberapa kendaraan yang antre di belakangnya seperti tak sabar ingin segera mendahului
truk itu.
Parra Hiswara merogoh saku jaket yang ia pakai. Dengan penuh perhatian ia
mencermati sekepalan intan yang kini berada dalam genggaman tangannya. Ditimpa oleh
kendaraan yang lalu lalang, intan itu menyemburatkan cahaya dengan aneka warna.
“Ada banyak sekali benda macam ini di ruang bawah tanah, di bawah rumah
kontrakanku itu. Kamu berminat?”
Jenis pertanyaan yang tidak terduga itu menyebabkan Yogi Sutisna malah terdiam,
ia tidak memiliki jawaban yang harus diberikan.
“Nilai benda ini mahal sekali,” Parra Hiswara melanjutkan.
Yogi Sutisna menyunggingkan senyum, ia segera bergeser menempatkan diri agak
menjauh.
“Kita lanjutkan perjalanan lagi?” tanya Yogi.
Parra Hiswara menengadah, mengarahkan pandangan matanya kepada sahabat
karibnya.
“Benda ini mahal sekali, kamu tidak ingin memiliki?” ulangnya.
Yogi menggeleng. “Benda itu mungkin bisa menimbulkan bencana padaku, bisa
jadi akan ada yang tak ikhlas bila benda itu jatuh di tangan orang yang tidak berhak.
Kelelawar berwarna putih itu boleh jadi akan memburu pemegang benda itu sampai ke
liang semut.”
Parra Hiswara menanggapi apa yang diucapkan sahabatnya itu dengan serius,
sebagai sesuatu yang mungkin terjadi. Benda-benda berharga yang membawa kutukan
sudah pernah ia dengar kisahnya. Intan bernama Kohinoor menyimpan kisah mistis.
Siapa pun yang menyimpan atau menguasai permata itu akan mati mengenaskan. Apakah
benda yang kini berada dalam genggaman tangannya juga menyimpan kekuatan kutukan
macam itu?
“Kita melanjutkan perjalanan?”
Parra Hiswara yang mulai tenang mengangguk.
“Aku yang pegang stir,” Parra Hiswara meminta.
“Jangan, kamu tidak akan bisa berkonsentrasi.”
Parra Hiswara tidak bisa menolak alasan itu, dengan jiwa sedang tak stabil, bisa saja
ia mengambil tindakan yang tak terduga. Jika ia membanting stir dengan mendadak
karena kaget oleh sesuatu yang muncul dari kedalaman benaknya, hal itu akan bisa
menimbulkan kecelakaan.
Yogi Sutisna kembali membawa kendaraannya melaju di antara kepadatan lalu
lintas yang memenuhi jalan raya. Namun Yogi Sutisna tidak terpancing untuk menginjak
pedal gasnya dalam-dalam, meski juga tidak bisa disebut pelan. Di sebelahnya, pikiran
Parra Hiswara tertuju pada istrinya. Memikirkan keadaannya, Parra Hiswara merasa
gelisah. Dianggap hantu merupakan keadaan yang sangat tidak nyaman, sebagaimana
Yogi Sutisna di awal perjumpaan kembali telah menganggapnya sebagai hantu. Lantas
bagaimana dengan isterinya? Bagaimana dengan Mahdasari?
Parra Hiswara memijit kening atas nama pusing.
“Apa yang sedang kaupikir?” tanya Yogi Sutisna.
Parra Hiswara tidak menoleh, juga tidak menjawab. Pandangannya jatuh ke
pepohonan yang semua bergerak cepat ke belakang. Secepat kendaraan melaju, di langit
bulan juga bergerak cepat timbul tenggelam menyusup bayangan pepohonan.
Mendadak Parra Hiswara merasa jantungnya akan berhenti berdenyut.
“Berhenti,” teriaknya dengan amat kasar.
Yogi Sutisna segera menepikan kendaraannya dan menginjak pedal rem. Rasa ingin
tahunya terpancing.
Parra Hiswara bergegas membuka pintu dan mengarahkan perhatiannya ke sesuatu
yang melayang di angkasa, jaraknya tak begitu jauh, namun benda apa yang ia lihat
mampu memacu jantungnya untuk bekerja lebih kencang.
“Ya Tuhan,” desisnya.
Yogi Sutisna menempatkan diri berdiri di sebelahnya.
“Apa?” tanya lelaki yang kehidupan rumah tangannya berada di ambang
kehancuran itu.
Yogi Sutisna ikut mengarahkan pandangan matanya tertuju ke arah sama dengan
arah pandangan mata Parra Hiswara. Diterangi cahaya bulan yang benderang, nun di atas
sana terlihat sesuatu terbang membubung dengan bentangan sayapnya yang lebar dengan
warna sangat mencolok. Ayunan sayapnya sangat khas selayaknya gerakan sayap
kelelawar. Jantung Yogi Sutisna berdegup lebih kencang ketika binatang bersayap lebar
namun memiliki ukuran lebih besar dari kalong itu meluncur pada jarak sangat dekat dan
terlihat sangat jelas untuk kemudian hinggap di dahan pohon mahoni yang tumbuh di tepi
jalan. Mata binatang itu kemerahan.
“My God,” Yogi Sutisna berdesis.
Yogi Sutisna kini merasa melihat bukti nyata yang tak terbantah, bahwa apa yang
diceritakan dan dialami Parra Hiswara sungguh nyata.
“Ia mengikuti kita,” bisik Parra Hiswara dengan suara nyaris lenyap.
Yogi Sutisna merapatkan tubuhnya ke pintu mobil bagian belakang. Yang muncul
di benaknya adalah kemungkinan menggunakan bedil berburunya dan diarahkan ke
binatang bersayap itu. Berbekal pengalamannya sebagai pemburu, ia yakin pasti mampu
mengarahkan tembakannya tepat pada bagian dadanya. Sasaran yang lebih kecil dan
berada pada jarak lebih jauh bisa digapai, apalagi objek kali ini berukuran besar dan
berjarak tak lebih dari dua puluh lima meter. Jika harus mengarahkan ke bagian matanya
sekalipun, Yogi Sutisna merasa bisa menggapainya.
Parra Hiswara mengesampingkan ketakutan yang sempat menggilasnya. Parra
Hiswara merasa perjalanan pengalaman anehnya sudah kelewatan. Tanpa keraguan ia
melangkah mendekati binatang itu. Dengan sengaja Parra Hiswara menantangnya,
tangannya bahkan bertolak-pinggang.
Yogi Sutisna mengarahkan bedilnya, lurus ke sasaran. Namun Parra Hiswara yang
melihat perbuatannya bergegas mencegah.
“Jangan dulu, kita lihat apa maunya. Ia bukan binatang sewajarnya, setidaknya ia
mempunyai kecerdasan dan sedang punya keperluan,” ucap Parra Hiswara.
Yogi Sutisna menurunkan laras senjatanya.
Binatang bersayap berbentuk kelelawar itu tetap berada di tempatnya. Parra
Hiswara merasa telah dua kali melihat binatang yang dari tampilannya tampak jelek
mengerikan itu, dengan demikian kali ini adalah yang ke tiga. Pertama ketika ia berada di
lorong bawah tanah, sesaat menjelang terlibas pusaran angin yang melemparkannya
menembus batas dimensi ruang waktu, ia sempat menandai ujut binatang itu yang
berusaha menyambarnya. Pertemuan ke dua dengan binatang itu terjadi di mimpinya, itu
terjadi baru saja.
Beberapa saat waktu bergulir, yang terjadi seperti saling menunggu. Binatang itu
bergayut di dahan tak melakukan apa-apa. Ketika Parra Hiswara mendadak curiga adanya
kemungkinan binatang itu tidak sendirian, dengan segera ia mengarahkan perhatiannya
ke pepohonan, siapa tahu perempuan cantik bermata tiga itu hadir di tempat itu, atau
siapa tahu ratusan atau ribuan ekor kalong yang menyapanya melalui mimpi berada di
sekitarnya. Namun Parra Hiswara tidak melihat kemungkinan itu. Binatang berwarna
putih itu amat mungkin hanya sendiri.
“Kauyakin bisa mengenainya?” Parra Hiswara bertanya.
“Yakin,” jawab Yogi Sutisna.
Parra Hiswara sampai pada putusan yang telah ditimbangnya.
“Baik, tembaklah,” kata Parra Hiswara.
Parra Hiswara menempatkan diri berdiri di belakang Yogi Sutisna dengan bedil
berburu yang diarahkan tepat ke sepasang mata berwarna kemerahan. Yogi Sutisna
menerapkan rumus nabitepi dengan baik. Nabitepi adalah rumus untuk menjadi
penembak yang baik. Yogi menghentikan napas, merapikan bidikan dan siap tarik picu.Ledakan berasal dari bedil itu rupanya lumayan mengagetkan binatang itu, binatang
berasal dari masa lampau yang usia panjangnya membawanya tersesat jauh hingga zaman
sekarang. Binatang bersayap itu lebih terperanjat lagi ketika melihat benda amat kecil
bergerak cepat menerjang tubuhnya. Parra Hiswara maupun Yogi Sutisna meyakini
hantaman peluru itu tentu menyakitinya.
Kelelawar besar itu tersentak kaget dan dengan segera membubung mengarahkan
geraknya lurus pada Yogi Sutisna, namun dengan segera Yogi Sutisna merendahkan
tubuh yang apabila kelalawar raksasa itu memaksakan geraknya ia akan menabrak mobil.
Kelelawar yang tidak berhasil menggapai sasaran itu mengayuh sayapnya membubung ke
udara, melesat sangat cepat semakin lama semakin tinggi. Dengan penuh perhatian Parra
Hiswara dan Yogi Sutisna mengikuti gerak binatang itu melalui tatapan matanya.
Binatang itu terbang seperti mengarah ke bulan, ujutnya semakin lama semakin
kecil untuk kemudian lenyap tidak ada jejaknya.
“Aku mengenainya,” bisik Yogi Sutisna, “aku yakin mengenainya.”
Suasana menjadi hening, senyap. Suara yang riuh berasal dari lalu lalang kendaraan
yang melaju meramaikan alur lalu lintas dari arah Jawa Tengah menuju Jawa Timur.
Dihimpit beban yang demikian berat kembali Parra Hiswara mengeluh. “Aku tak
tahu, mengapa aku harus mengalami keadaan rumit macam ini. Aku tak tahu mengapa
aku yang terpilih takdir aneh ini.”
Benturan demi benturan yang dialami memang layak menyebabkan Parra Hiswara
cemas. Persoalan yang datang dengan tiba-tiba dan melilitnya dengan beringas adalah
merupakan persoalan yang tak bisa dianggap sepele dan semua itu terjadi begitu saja.
Libasan takdir aneh yang menerpanya datang dengan mendadak tanpa bermimpi atau
memperoleh firasat apa pun sebelumnya. Parra Hiswara bersandar mobil sambil
menjambaki rambut. Meski Parra Hiswara yang bingung, akan tetapi derajad bingung
yang sama ikut menulari dan menggilas Yogi Sutisna.
“Kepada siapa?” Parra Hiswara berbisik.
Meski diucapkan dalam bisikan, Yogi Sutisna bisa mendengar pertanyaan tidak
lengkap dengan getar memelas itu dengan cukup jelas.
“Kepada siapa apa maksudnya?” Balas Yogi.
“Kepada siapa aku bisa meminta penjelasan paling masuk akal terhadap apa yang
kualami ini. Kepada siapa aku bisa bertanya?” tanya Parra Hiswara amat parau.
Yogi Sutisna tentu tidak memiliki jawaban pertanyaan itu.
“Kita lanjutkan perjalanan?” balas Yogi Sutisna.
Namun Parra Hiswara masih terpancang pada kebingungannya.
“Coba bayangkan,” ucapnya bergetar. “Bagaimana aku harus menjelaskan keadaan
yang aku alami ini kepada isteriku yang pasti menganggapku telah mati, bagaimana aku
menjelaskan kejadian aneh ini pada mertuaku. Ke depan, apa saja yang akan kuhadapi?
Padahal aku merasa sangat yakin, ini hanya awal belaka.”
Yogi Sutisna tidak memiliki komentar apa pun.
“Berangkat?” tanya Yogi Sutisna.
Parra Hiswara mengangguk, namun menjelang masuk ke dalam mobil ia
menyempatkan menengadah memerhatikan angkasa, mencari sesuatu yang barangkali
membubung berputar di atas sana. Hal yang sama dilakukan Yogi Sutisna.
Mobil yang perjalanannya sejenak terganggu itu kembali melaju.
11.(Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka)
Malam di perguruan Kembang Ayun yang hanya terpisah beberapa desa jaraknya
dari perguruan Badran Arus, suasana benar-benar tintrim27, sepi senyap. Beberapa buah
obor yang dipasang telah padam karena kehabisan minyak. Hanya obor utama yang
terletak di depan pendapa yang dijaga jangan sampai padam. Persediaan minyak jarak
atau minyak lemak untuk obor itu cukup untuk pagi berikutnya bahkan sampai sepekan
ke depan.
Parameswara termangu di kegelapan dirundung keraguan. Semua orang perguruan
telah menganggapnya mati karena dililit angin lesus atau yang dikenal cleret tahun. Jika
kini Parameswara muncul, bisa jadi akan dianggap hantunya yang gentayangan. Semua
orang akan terkejut dan heboh dan oleh karenanya merupakan pilihan yang sulit. Namun
Parameswara tidak memiliki pilihan lain. Akhirnya Parameswara menyingkirkan jauhjauh semua keraguan, dengan tenang pemuda itu melangkah melintasi regol dan melepas
suara batuk yang meminta perhatian.
“Siapa itu?” tanya seorang siswa padepokan yang sedang melintas.
Parameswara menyiapkan jawaban. “Aku,” jawab Parameswara pendek.
Namun suara Parameswara adalah suara yang gampang dikenali. Pemuda yang
menjaga obor supaya tidak padam itu kaget, lalu terperanjat bukan kepalang.
Segera obor dicabutnya, bahkan dua sekaligus, satu dipegang tangan kiri, satu yang
lain dipegang tangan kanan.
“Kau?” tanya pemuda itu dengan mata serasa akan lepas.
Parameswara berusaha tersenyum, meski sungguh senyum yang terasa aneh.
“Ya,” jawab Parameswara.
Butuh waktu lama diperlukan siswa perguruan itu untuk meyakini siapa yang kini
berdiri di depannya.
“Kau masih hidup?” Suara pemuda itu nyaris tertelan oleh gemuruh di dadanya
sendiri.
Rasa gembiranya benar-benar meluap melihat Parameswara ternyata masih hidup.
Parameswara tersenyum ketika pemuda itu memerhatikan kakinya, dengan obor di tangan
ia mencermati apakah kakinya menginjak tanah ataukah melayang. Kalau melayang bisa
dipastikan dia bukan Parameswara tetapi hantu.
“Kau mengira aku sudah mati? Dan kau mengira aku yang ada di depanmu ini
hantu?” tanya Parameswara.
Pemuda itu terlonjak, dan berteriak-teriak tak terkendali. Suaranya langsung pecah
menyita perhatian.
“Parameswara masih hidup. Parameswara masih hidup.”
Bukan hanya berteriak, namun kentongan juga dipukul bertalu-talu. Beberapa siswa
yang tidur bergelimpangan di pendapa berloncatan sambil mencabut senjata, mereka
mengira padepokan mereka mendapat serangan, apalagi nada kentongan yang dipukul
adalah tanda bahaya. Ketika mereka tahu duduk persoalannya, dan apalagi ketika melihat
Parameswara anak kedua guru mereka masih hidup, seketika meluaplah kegembiraan
mereka. Parameswara yang baru saja muncul itu dikepung dengan berbagai pertanyaan.
Parameswara hanya tersenyum.
Di biliknya Dyah Narasari yang sulit tidur terlonjak kaget oleh suara kentongan itu.
“Terjadi apakah di pendapa itu?” tanya Dyah Narasari pada seorang murid yang
sedang lewat dengan langkah bergegas.
“Kakakmu kembali,” jawab pemuda itu dengan gugup.
“Ha?” Dyah Narasari kaget dan kemudian menggigil.
Parameswara, kakak yang disayangi itu kembali? Pemuda itu masih hidup? Dengan
bergegas Dyah Narasari meloncat turun dan berlari. Ki Ajar Kembang Ayun yang
mendapat laporan dari Ki Ajar Pratonggopati tersenyum, senyum yang sederhana sebagai
gambaran kelegaannya melihat anaknya ternyata masih hidup. Ki Ajar yang sudah tua
dengan segudang pengalaman dan hati yang amat mengendap itu tidak perlu berlonjaklonjak gembira. Parameswara yang sudah pulang itu segera diarak masuk ke dalam bilik
pribadi Ki Ajar. Akan tetapi hanya Dyah Narasari dan Ki Ajar Pratonggopati yang boleh
menemani masuk ke ruangan itu.
Parameswara yang mungkin merasa bersalah dan telah membuat kecemasan di
perguruan, dengan amat takjim bersujut mencium kaki Ki Ajar Kembang Ayun. Dyah
Narasari tidak pernah melihat kakaknya melakukan itu sebelumnya. Dyah Narasari tidak
kuasa menahan rasa haru melihat apa yang dilakukan kakaknya itu. Dyah Narasari segera
mengusap pipinya yang basah.
“Maafkan aku Ki Ajar,” kata Parameswara dengan suara amat serak saat menekuk
tubuh mencium kaki ayahnya.
Ki Ajar Kembang Ayun tersenyum. Rambut pemuda yang bersujut di kakinya itu
diusapnya. Bagaimanapun, setelah berita tentang bencana itu diterima Ki Ajar merasa
amat kehilangan. Hanya sebuah kejaiban bila Parameswara yang dilibas angin lesus itu
bisa kembali.
“Apa kau dengan sengaja menantang angin lesus itu Parameswara? Nampaknya
kauberhasil mengalahkan, menilik kau ternyata bisa kembali dengan selamat?” tanya Ki
Ajar Kembang Ayun.
Parameswara diam, tidak menjawab, tepatnya ia mengalami kesulitan menjawab.
“Kami semua sudah cemas kakang. Kami mengira kau sudah mati dihempaskancleret tahun itu,” Dyah Narasari menambah.
Parameswara masih menundukkan wajah.
“Mungkin karena sudah menjadi takdirku, Narasari,” jawabnya, “aku sendiri juga
sulit memahami. Kekuatan cleret tahun yang aku hadapi itu ternyata amat besar. Hanya
keajaiban yang terjadi karena ternyata aku tidak apa-apa.”
Semua memang layak tersenyum karena tidak perlu berduka. Ki Ajar Kembang
Ayun merasa lega karena rencananya tak perlu berubah. Dengan lenyapnya Parameswara,
Ki Ajar sempat bingung memikirkan nasib perguruan Kembang Ayun. Untunglah anak
kedua yang disayangi itu telah kembali. Masa depan Kembang Ayun dengan demikian
tidak perlu dibingungkan lagi. Namun Ki Ajar atau siapa pun tidak ada yang bisa
menebak isi hati pemuda itu. Dalam laut mungkin bisa diterka, kedalaman hati justru sulit
dikira. Parameswara bingung dalam mencari cara menyampaikan keinginan dan maksud
hatinya.
Dalam keadaan yang demikian itulah, terdengar suara derap kuda. Mahisa Branjang
yang baru datang menyerahkan kudanya kepada salah seorang siswa perguruan. Dengan
bergegas Branjang menuju ke bilik Ki Ajar Kembang Ayun, dan dengan senyum
merekah Dyah Narasari menjemput kedatangan kakak sulungnya itu.
“Nampaknya kakang sudah tahu ternyata kakang Parameswara selamat?” Dyah
Narasari bertanya.
“Ya,” jawaban Mahisa Branjang terasa datar. “Rahastri yang memberitahu.”
Ki Ajar Kembang Ayun tersenyum melalui matanya.
“Duduklah Branjang. Kita layak mengucap dan memujikan rasa syukur karena
Parameswara selamat dan telah pulang,” kata Ki Ajar Kembang Ayun dengan nada sabar
dan sareh28.
Mahisa Branjang memandangi wajah adiknya dengan tatapan mata penuh selidik.
Parameswara menunduk seperti sedang takut. Oleh keadaan janggal itu, baik Ki Ajar
Kembang Ayun maupun Ki Ajar Pratonggopati bisa menangkap adanya sesuatu yang tak
wajar. Namun Ki Ajar Kembang Ayun dan Pratonggopati merasa tidak perlu menelusuri
dan berharap sesuatu yang janggal itu akan terbuka dengan sendirinya.
“Peristiwa cleret tahun yang menimpamu kemarin itu, apa memang kau sengaja
Parameswara?” tanya Mahisa Branjang lugas dan ketus.
Pertanyaan yang membuat Ki Ajar Kembang Ayun tidak tahu ke mana arahnya
apalagi Parameswara tidak menjawab pertanyaan itu, Parameswara hanya menunduk.
Melihat adiknya ternyata diam seribu bahasa menyebabkan Mahisa Branjang bertambah
jengkel.
“Peristiwa itu memang benar kau sengaja Parameswara, agar semua orang mengira
kaumati?” desak Mahisa Branjang dengan suara yang lebih tegas.
Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati kaget. Dyah Narasari bergegas
pamer wajah penasaran. Parameswara menghela resah.
“Ada apa Mahisa Branjang?” tanya Ki Ajar Pratonggopati.
Mahisa Branjang tidak menoleh, dengan sikap itu ia menjawab pertanyaan Ki Ajar
Pratonggopati.
“Aku curiga apa yang dilakukan Parameswara itu hanya sekadar akal-akalannya
paman,” jawab Branjang sambil terus memandang wajah adiknya.
Pratonggopati makin merasa aneh.
“Apa maksudnya?” ulang orang kedua di perguruan Kembang Ayun itu.
Mahisa Branjang menyiapkan sebuah jawaban yang tegas dan mengagetkan.
“Parameswara tidak bersedia menjalankan perintah yang diberikan ayah untuk
memimpin perguruan ini. Ia ingin semua orang mengira dirinya mati. Dengan keadaan
seperti itu ia akan minggat dari Bumi Pesanggaran ini.”
Ki Ajar Kembang Ayun termangu dengan raut yang tidak menenteramkan hati
Parameswara. Wajah tuanya tampak keriput letih oleh perjalanan hidup yang panjang dan
oleh sebab itulah Ki Ajar bermaksud menyerahkan kepemimpinan perguruan yang amat
disegani di seluruh penjuru Jawa itu kepada Parameswara. Apa yang diucapkan Mahisa
Branjang cukup mampu memaksa wajah tua itu terkejut. Ki Ajar menoleh, dengan mata
tidak berkedip ia memandang Parameswara.
“Benar apa yang dikatakan kakakmu itu, Parameswara?”
Pertanyaan Ki Ajar Kembang Ayun itu memaksa Parameswara menundukkan
wajah. Parameswara merasa kian bersalah. Dengan amat berat Parameswara siap dengan
jawaban yang mungkin terasa pahit bagi ayahnya.
“Aku minta maaf, ayah,” jawab Parameswara bergetar.
Dyah Narasari beringsut dari tempat duduknya. Ada sebuah hal yang sulit diterima
dan dimengerti oleh Dyah Narasari.
“Kumohon ayah berkenan mengijinkan dan merestui perjalananku. Memang benar
apa yang dikatakan oleh kakang Branjang, aku bermaksud pergi.”
Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati saling melempar pandang dan
butuh waktu beberapa kejab untuk mencerna apa yang diinginkan Parameswara. Dyah
Narasari yang kemudian justru tersodok.
“Kakang Parameswara akan pergi?” tanya Narasari.
Parameswara mengangguk.
“Bagaimana dengan tugas yang harus kakang emban? Bukankah ayah memilih
kakang untuk menjadi pucuk pimpinan perguruan ini?” tanya gadis itu.
Parameswara yang semula menunduk agak menengadahkan kepala. Parameswara
menoleh sekilas kepada adiknya.
“Aku tidak bisa menerima tugas itu Narasari. Lebih dari itu aku tidak berhak,”
jawab Parameswara. Sebuah jawaban yang aneh.
Ki Ajar Pratonggopati, atau yang juga sering dipanggil dengan sebutan Tiyang
Ageng Pratonggopati mulai merasa curiga, ada sesuatu yang tak wajar pada pemuda di
depannya itu. Bahwa Parameswara berpendapat dirinya tak berhak menjadi pimpinan di
perguruan Pesanggaran, pasti ada orang yang mengipasinya.
“Kenapa kau merasa tak berhak Parameswara? ayahmu kakang Ajar Kembang
Ayun menjatuhkan pilihan kepadamu, tentu sudah dipertimbangkan matang-matang. Kau
masih muda, dengan demikian kau memiliki waktu yang cukup panjang untuk
memajukan perguruan ini,” kata Pratonggopati.
Namun Parameswara menggeleng.
“Atau karena Ken Rahastri?” tanya Narasari.
Pertanyaan itu seperti palu besar yang menghajar dada Parameswara dengan begitu
kuatnya. Menyebabkan dada menjadi sesak, Parameswara mengalami kesulitan untuk
bernapas.
“Kakang kecewa karena tak diijinkan menjalin hubungan dengan Ken Rahastri. Jadi
benar itu penyebabnya? Kalau memang benar itu penyebabnya, kakang ini termasuk
manusia apa binatang? kakang akan tega mengawini keponakan sendiri? Hanya binatang
yang tak bisa membedakan mana keponakan, mana saudara, mana anak atau mana orang
tua.”
Pedas sekali sindiran itu. Membuat Parameswara sedikit tersengal.
“Jangan diam saja kakang. Berbicaralah,” bentak Narasari.
Parameswara menoleh pada adiknya. Suaranya terdengar datar,
“Kalau aku menginginkan Ken Rahastri, sebenarnya tidak ada batasan yang bisa
menghalangi kami. Sebagaimana kalau aku mengawinimu, juga tidak ada rintangan yang
menghadang,” jawab Parameswara dengan suara datar.
Narasari terlonjak, wajahnya merah padam. Anak bungsu Ki Ajar Kembang Ayun
itu menggigil. Ucapan Parameswara itu benar-benar menyentuh permukaan hatinya dan
meninggalkan rasa aneh. Namun Parameswara memang memberinya jawaban itu. Baik
Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati tidak merasa salah dengan dengan
jawaban itu. Hanya Mahisa Branjang yang tidak terlalu terkejut karena pemahaman atas
latar belakang yang telah lebih dulu diperolehnya.
Dyah Narasari tidak habis mengerti mengapa pikiran Parameswara sudah begitu
keblinger, tidak bisa membedakan warna hitam dari warna lainnya.
Parameswara yang menengadah itu menunduk lagi.
Namun bagi Ki Ajar Kembang Ayun maupun Ki Ajar Pratonggopati, jawaban
Parameswara atas pertanyaan Dyah Narasari itu telah menjadi petunjuk, bahwa rahasia
yang selama ini tersimpan rapat telah terbuka. Kini Parameswara mulai mempersoalkan
jati dirinya. Ki Ajar Kembang Ayun terpaksa menarik napas panjang, dengan tarikan
napas yang terasa nyeri di ulu hati.
“Siapa orang yang telah meracuni hatimu, Parameswara?” tanya Ki Ajar Kembang
Ayun dengan nada amat kecewa.
Parameswara kembali merasa gamang. Ki Ajar Kembang Ayun adalah orang yang
paling ia hormati dan cintai. Haruskah Parameswara melukai perasaan orang tua itu
dengan membongkar semua masalah yang diketahuinya, sekaligus meminta keterangan
yang belum diketahuinya.
Mahisa Branjang beringsut.
“Memang ada orang yang telah memberitahu Parameswara, ayah. Orang tidak
dikenal karena kemunculannya selalu diselubungi dengan teka-teki. Orang itu menguasai
Panglimunan.”
Kali ini Ki Ajar Kembang Ayun benar-benar kaget. Demikian juga Ki Ajar
Pratonggopati tidak bisa menutupi gugupnya. Dyah Narasari yang masih belum tahu
duduk persoalannya hanya bisa bingung sambil memandang wajah kedua kakaknya.
“Benar apa yang dikatakan kakangmu, Parameswara?” tanya Ki Ajar Kembang
Ayun.
Parameswara mengangguk.
“Apa benar orang itu menguasai aji Panglimunan?” kembali Ki Ajar bertanya.
Kali ini Parameswara tidak cukup menjawab dengan anggukan kepala. “Orang itu
memang menguasai Aji Panglimunan ayah. Tubuhnya bisa lenyap dari pandangan
mataku. Namun demikian, gerak tubuhnya masih bisa kutangkap dengan telingaku.”
“Apa yang dikatakan orang itu kepadamu?” tanya Ki Ajar Pratonggopati.
“Orang itu mengatakan, aku tidak berhak mewarisi kepemimpinan perguruan.
Orang itu juga mengatakan, aku bukan anak kandung Ki Ajar Kembang Ayun.”
Ruangan itu menjadi hening. Parameswara seperti orang yang kelelahan karena
untuk membuka persoalan itu Parameswara membutuhkan segenap tenaga dan kebulatan
hati. Ki Ajar Pratonggopati juga terdiam seperti orang yang kehilangan akal. Namun yang
paling bergemuruh oleh kenyataan yang tidak terduga itu adalah Dyah Narasari. Gadis itu
kaget mendapati kenyataan Parameswara itu bukan saudara kandungnya.
“Ajian Panglimunan adalah ajian yang berbahaya sekali. Ajian panglimunan akan
menyebabkan tubuh orang yang menguasainya bisa lenyap, menghilang dari pandangan
mata. Karena bisa kasat mata itulah maka ajian itu menjadi berbahaya. Dengan tubuh
lenyap dari pandangan orang yang menguasai bisa berbuat seenaknya. Jika orang yang
menguasai ajian itu punya kegemaran terhadap wanita maka akan banyak wanita yang
terancam oleh tindak perbuatan asusila yang dilakukannya. Itu sebabnya aku melarang
siapa pun mempelajari ilmu itu. Tetapi siapa mengira kini muncul orang yang menguasai
ajian itu.”
Pandangan Ki Ajar Kembang Ayun terlihat sayu penuh keprihatinan.
“Adi Pratonggopati,” kata Ki Ajar Kembang Ayun.
“Bagaimana kakang?” jawab Pratonggopati.
“Coba kauperiksa ruang perbendaharaan pusaka. Lihat apakah kitab Sekar Langit
masih berada di tempatnya,” perintah Ki Ajar Kembang Ayun.
Ki Ajar Pratonggopati segera bangkit berdiri. Ki Gede Pratonggopati memberi
isyarat kepada Branjang untuk mengikutinya. Suasana di dalam ruang itu menjadi amat
senyap. Parameswara menunduk dalam-dalam sedang Dyah Narasari tidak tahu harus
bagaimana atau berbuat apa.
Ki Ajar Pratonggopati dan Branjang menuju ke ruangan tengah dari bangunan
induk itu. Dengan bersama-sama keduanya menggeser sebuah batu besar yang dalam
sehari-hari berguna sebagai meja. Namun begitu meja batu itu digeser, di bawahnya
ternyata terdapat sebuah lorong menuju ke sebuah ruangan di bawah tanah. Dengan
menggunakan obor Ki Ajar Pratonggopati dan Branjang masuk. Bau apek menjemput
hidung mereka.
Ki Ajar Pratonggopati merasa jantungnya bagaikan berhenti berdenyut setelah
membuka sebuah peti kayu, di dalam peti kayu itu kosong tidak terdapat apa-apa dengan
demikian benar apa yang dicemaskan Ki Ajar Kembang Ayun. Kedua orang itu bergegas
kembali memberikan laporan.
“Bagaimana?” tanya Ki Ajar Kembang Ayun.
“Kitab itu hilang ayah,” jawab Mahisa Branjang.
Tatapan mata Ki Ajar Kembang Ayun tertuju kepada saudara mudanya, seolah
bertanya mengapa bisa terjadi keadaan yang seperti itu. Namun Ki Ajar Pratonggopati
sama bingungnya dengan kakaknya. Wajah Ki Ajar Kembang Ayun berubah beku atas
nama rasa cemasnya, sekaligus karena membayangkan, siapa kira-kira orang yang telah
mencuri kitab Sekar Langit itu.
Dalam keadaan yang demikian itulah tiba-tiba Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar
Pratonggopati menengadahkan kepala. Ada sesuatu yang menjadi perhatiannya, sesuatu
yang mengalir melalui udara menyapa apa pun dan siapa pun. Dyah Narasari mencoba
untuk ikut memerhatikan namun Dyah Narasari tidak berhasil. Demikian juga dengan
Mahisa Branjang dan Parameswara. Agaknya, apa pun yang mengalir di udara itu, hanya
Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati yang mampu menangkapnya.
Ki Ajar Kembang Ayun bangkit.
“Ada apa ayah?” tanya Mahisa Branjang yang heran.
Ki Ajar Kembang Ayun memandang halaman pendapa yang tampak dari tempatnya
berada.
“Agaknya ada orang yang ingin dengan bertemu kita,” Ki Ajar berkata. “Ayo kita
keluar semua untuk menjumpai tamu itu.”
Dengan langkah tertatih Ki Ajar Kembang Ayun berjalan, dipapah dengan hati-hati
oleh Dyah Narasari di sebelah kanan dan Ki Ajar Pratonggopati di sebelah kirinya. Anak
pertama Ki Ageng yang memimpin perguruan Badran Arus menyusul di belakangnya
sementara Parameswara merasa isi dadanya semakin berdetak kencang.
Para siswa yang bergerombol di halaman sambil membicarakan Parameswara yang
kembali dengan selamat, serentak terdiam. Para siswa yang bergerombol itu mengira Ki
Ajar akan berbicara dengan mereka, ternyata tidak. Ki Ajar terus melangkah ke halaman,
bahkan terdiam sedikit lama, menengadah seperti mencari bintang yang hilang. Namun
apa yang diucapkan Ki Ajar mengagetkan mereka. Ki Ajar berbicara dengan orang lain.
“Keluarlah Ki Sanak29, bukankah kauingin bertemu denganku?” ucap Ki Ajar
Kembang Ayun dengan suara yang lantang.
Suara yang diucapkan oleh Ki Ajar Kembang Ayun itu bukan suara sewajarnya
karena didorong oleh tenaga yang berasal dari wilayah bawah sadar yang sudah tidak
terukur tingkatnya. Suara itu terdengar bergelombang menyusup gelap malam membuat
beberapa ekor burung hantu yang tengah mengintai tikus terbang berhamburan. Getar
suara itu juga memberi pengaruh nyata pada pohon jati yang meranggas, menyebabkan
daun-daunnya yang kering terkejut, tak mampu bertahan dari dahannya, daun-daun jati
itu pun luruh melayang ke bumi.
Agaknya Ki Ajar Kembang Ayun tidak perlu mengulang karena sejenak kemudian
terdengar suara tertawa yang bergema pula. Suara itu berada dalam jarak yang cukup
dekat, namun tidak seorang pun yang melihat sosok orangnya. Warna suara siapa pun itu
juga tak kalah sangar dari kekuatan yang dilepas Ki Ajar Kembang Ayun. Suara tawa itu
menggetarkan udara dengan cara kasar. Beberapa ekor tikus dalam jarak dekat bergegas
lari berhamburan menjauhkan diri. Suara itu agaknya menyakiti telinga mereka.
Ki Ajar Kembang Ayun memejamkan mata. Justru dengan ketajaman mata hati,
seolah menggunakan ilmu sapta panggraita30, Ki Ajar Kembang Ayun memperkirakan di
mana orang yang tertawa itu berada. Rupanya manakala bagi orang lain merupakan
sebuah kesulitan luar biasa untuk mengetahui letak orang yang tertawa itu, bagi Ki Ajar
Kembang Ayun dan adiknya bukanlah perkara yang sulit.
“Mengapa orang itu tidak muncul kakang?” bisik Narasari pada Mahisa Branjang.
Mahisa Branjang tidak menoleh.
“Orang itu menggunakan aji Panglimunan, Narasari,” jawab Branjang sambil
berbisik pula.
Dyah Narasari merasa tegang. Aji Panglimunan, sebuah puncak ajian yang mampu
membuat orang yang menguasainya hilang itu, keberadaannya nyaris seperti sebuah
dongeng yang sulit dipercaya. Kini Dyah Narasari menjadi salah seorang saksi, ajian itu
ternyata benar-benar ada. Dyah Narasari mendadak gelisah tersadar oleh kemungkinan
ayahnya akan mengalami kesulitan menghadapi siapa pun orang itu.
“Nampaknya kau merasa berkepentingan denganku Ki Sanak, tetapi mengapa
kauselubungi dirimu dengan ajian Panglimunan?” tanya Ki Ajar Kembang Ayun.
Ki Ajar seperti berbicara pada sesuatu yang tak ada.
Lagi-lagi terdengar suara tertawa bergelak seperti menertawakan segenap orang
yang berada di tempat itu. Para siswa perguruan Kembang Ayun merasa bingung dan
heran karena tidak melihat lawan bicara Ki Ajar. Mereka merasa aneh, karena ujut orang
itu tak terlihat namun terdengar suaranya.
“Aku memang berkepentingan denganmu,” orang yang menyelubungi diri di balik
ajian itu menjawab. “Perkara aku menutupi bayangan tubuhku dengan aji Panglimunan,
itu hanya sekadar sebuah cara agar ujutku yang sebenarnya tidak diketahui. Ada banyak
orang di sini yang akan membuatku malu.”
Ki Ajar Kembang Ayun termangu.
Parameswara yang dari awal telah menggunakan ketajaman telinganya, sudah tahu
di sebelah mana orang tidak kasat mata itu berdiri. Sebaliknya Mahisa Branjang dan
Dyah Narasari masih mencari-cari. Mahisa Branjang memejamkan mata, dengan cara itu
ia mencoba membedakan segala macam suara yang singgah di telinganya. Antara ular
yang merayap ingin tahu dan suara tikus yang melejit lari menjauh dari ular itu. Ternyata
sungguh sulit menebak di sebelah mana orang yang sedang menjadi perhatian itu berada.
“Katakan apa keperluanmu!” desak Ki Ajar.
Sejenak suasana sedikit hening dengan udara tetap mengombak. Waktu yang ada itu
dipergunakan untuk bergeser. Orang yang lenyap itu telah berpindah tempat. Akan tetapi
gerakan bergeser yang dilakukan oleh orang itu masih bisa ditangkap oleh Parameswara,
juga oleh Ki Ajar Kembang Ayun dan Ki Ajar Pratonggopati.
“Aku akan mengatakan dengan tegas kepadamu Ki Ajar,” terdengar sebuah suara,
“bahwa sebenarnya kau sama sekali tidak memiliki hak berada di bumi Pesanggaran ini.
Parameswara, anak yang kaupungut dari pinggiran jalan itu juga tidak berhak mewarisi
kekuasaan di perguruan Kembang Ayun. Kau tidak pantas menggunakan nama Ki Ajar
Kembang Ayun. Sebaiknya kaugunakan namamu yang sebenarnya, Padmanaba.”
Udara bagai digoyang.
Dibelejeti jati dirinya seperti itu, menyebabkan Ki Ajar Kembang Ayun merasa
dadanya sesak. Dyah Narasari yang belum tahu siapa sesungguhnya nama ayahnya itu
kaget mendapati nama Padmanaba disebut. Benarkah Ki Ajar Kembang Ayun itu juga
bernama Padmanaba? Jika demikian mengapa orang yang menyelubungi diri di balik
ajian Panglimunan itu menuduh ayahnya tidak berhak berada di perguruan Kembang
Ayun?
Namun siapa pun orang itu nampaknya gusar karena Parameswara disiapkan untuk
mewarisi kedudukan perguruan Kembang Ayun.
Perguruan Kembang Ayun memang layak menjadi sorotan. Perguruan yang di kaki
Gunung Raung sebelah selatan itu memang mempunyai pengaruh yang besar terhadap
beberapa perguruan dan dunia olah kanuragan yang tersebar di seluruh jawa hingga
menyeberang ke pulau Bali. Bahkan pemerintahan Kediri di bawah Sri Kertajaya tidak
mungkin mengabaikan suara perguruan Kembang Ayun. Kedudukan perguruan Kembang
Ayun menjadi sorotan banyak pihak karena menjadi panutan nyaris seluruh jagad olah
kanuragan31. Dalam menghadapi kebijakan penguasa, banyak perguruan yang menunggu
bagaimana Kembang Ayun dalam bersikap. Lebih dari itu peran Ki Ajar Kembang Ayun
yang diyakini sebagai pemegang kunci mantra terhadap terbukanya tabir pelindung air
terjun seribu angsa di mana di tempat itu tersimpan air suci yang memiliki khasiat akan
menjadikan siapa pun peminumnya menjadi sakti mandraguna. Air suci itulah yang oleh
banyak pihak disebut Tirtamarthamanthana Nirpati vasthra Vyassa Tripanjala. Konon
siapa orang yang mampu menenggak Tirtamarthamanthana tak hanya akan menjadi sakti
mandraguna namun sekaligus terbebas dari kematian, usianya akan sangat panjang,
mampu melintasi ratusan tahun.
Peran luar biasa macam itulah yang menyebabkan siapa pun yang terpilih sebagai
pimpinan perguruan akan menjadi pusat perhatian, apalagi jagad olah kanuragan juga
beranggapan siapa yang menjadi pimpinan perguruan Kembang Ayun dengan sendirinya
akan mewarisi mantra-mantra pembuka tabir itu dan bahkan memiliki peluang memiliki
Tirtamarthamanthana Nirpativasthra Vyassa Tripanjala untuk diri sendiri, padahal
sebagai penjaga pintu gerbang menuju keberasaan benda pusaka di air terjun seribu angsa
itu peluang itu terbuka sangat lebar.
Siapakah orang yang menggugat itu?
“Jadi kau berpendapat aku tak berhak menduduki jabatan pimpinan tertinggi di
Kembang Ayun?” pancing Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun.
Orang tak terlihat itu sigap dalam menyediakan jawaban.
“Ya,” jawab orang yang tak kelihatan itu dengan tegas.
Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun tersenyum lalu berubah menjadi tertawa datar.
Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun melangkah maju beberapa ayunan kaki. Pimpinan
perguruan Badran Arus Mahisa Branjang dan Dyah Narasari menduga orang yang tidak
terlihat itu sedang didekati. Parameswara yang memejamkan mata tahu orang itu sedang
melangkah mundur.
“Mungkin kaubenar,” kata Ki Ajar,” mungkin aku memang tidak berhak berada di
tempat ini. Siapa tahu malah kaulah orang yang mestinya berkuasa di sini, oleh karena itu
mengapa kau tak menampilkan diri. Mengapa harus malu sehingga kauperlu menghilang
seperti itu? Silahkan tampakkan ujutmu Ki Sanak.”
Orang tak kelihatan itu tertawa.
“Culas sekali kau Padmanaba. Mengapa sebaliknya tidak kauceritakan dengan
gamblang kepada semua orang, siapa sebenarnya dirimu. Dari mana asal-usulmu, hingga
kemudian kauberhasil berada di sini? Janganlah menunggu orang lain yang mengelupas
kulitmu,” suara orang itu bergelombang.
Ki Ajar Kembang Ayun tertawa. Nada suaranya terdengar tenang dan tidak merasa
terpancing oleh orang yang kasat mata itu.
Baik Ki Ajar Kembang Ayun maupun Ki Ajar Pratonggopati sebenarnya sudah bisa
menebak siapa sebenarnya orang yang bersembunyi di balik lindungan aji Panglimunan
itu merasa kecewa. Orang yang selama ini diberi kepercayaan, rupanya telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan itu. Orang itulah yang telah membongkar ruang
rahasia tempat penyimpanan kitab Sekar Langit. Namun Ki Ajar Kembang Ayun belum
merasa perlu membuka jati diri orang itu. Ki Ajar masih ingin mengetahui, apa saja yang
dikehendaki orang itu.
“Siapa pun kau Ki sanak, agaknya kau banyak mengetahui seluk-beluk perguruan
ini. Kau bahkan mengetahui asal-usul anakku Parameswara, kau bahkan menguasai Ajian
Panglimunan. Ajian yang menurutku sangat berbahaya karena jika disalah-gunakan bisa
mencelakakan banyak orang. Bagaimana kaubisa menguasai ajian itu? Kau pasti mencuri
ilmu itu dari penyimpanannya?”
Orang yang tak kelihatan itu tertawa.
“Kau mengira aku tak berhak mempelajarinya Padmanaba?” balas orang itu dengan
suara menyimpan dendam. “Aku justru merasa sangat berhak. Bahkan jauh lebih berhak
daripada dirimu. Tidak ada orang yang bisa menyalahkan aku karena telah mempelajari
kitab Sekar Langit. Justru kaulah yang telah mengebiriku, Padmanaba.”
Mahisa Branjang dan Parameswara saling pandang. Kini mereka sedikit
mempunyai gambaran, siapa orang yang telah mencuri dan mempelajari kitab Sekar
Langit itu. Dyah Narasari mendadak menjadi gelisah. Itu karena ia merasa amat akrab
dengan orang itu.
Ki Ajar menghela napas panjang dalam rangka mengisi semua lorong di paru-paru
yang terasa nyeri. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun layak kecewa karena kepercayaan
yang diberikannya kepada orang itu telah diselewengkan amat jauh. Kini ada orang yang
telah menguasai aji panglimunan, artinya orang lain akan berada di dalam bahaya oleh
munculnya orang berkemampuan itu justru karena orang itu berpendapat, kemampuan aji
Panglimunan sebaiknya disebarluaskan, tidak malah dimusnahkan.
“Tidak ada gunanya kau berlama-lama memamerkan kemampuan itu Taji Gading.
Cepat menampaklah,” akhirnya Ki Ajar Kembang Ayun menyebut nama.
Dyah Narasarilah yang paling tak nyaman saat nama itu disebut. Mahisa Branjang
yang sudah menduga orang yang menggunakan aji Panglimunan itu adalah Ki Ajar Taji
Gading, masih tetap kaget meski sudah menyangka sebelumnya. Pun Para siswa yang
bergerombol menjadi saksi kejadian itu juga tidak kalah terperanjat. Segenap degup
jantung mereka serasa berhenti berdetak, tidak berayun lagi.
Malam yang sepi dan hening itu kembali dipecah oleh lontaran suara tawa yang
menggema memantul-mantul. Perhatian Parameswara tidak bergeser dari arah yang telah
diyakininya, di sana orang yang melenyapkan diri itu berada. Kemampuan Parameswara
yang cukup tinggi dalam menyerap berbagai suara yang disamarkan memang mampu
digunakan dengan tepat. Tak sulit bagi Parameswara untuk menentukan arah.
Dari arah yang diperhatikannya itu kabut kemudian bagai bergolak.
Semula hanya lamat-lamat belaka. Seperti ada bayangan tipis yang tak jelas, namun
semakin mengombak dan mengarah. Sesuatu yang tidak jelas itu mulai membentuk diri,
dari kabur dan samar-samar semakin lama semakin menemukan bentuk, ke sosok orang
berjubah. Parameswara merasakan dadanya berdesir.
Memang orang itu yang telah menemuinya serta membongkar jati dirinya, hingga
Parameswara kemudian tahu keberadaannya di Perguruan Kembang Ayun itu bukanlah
anak Ki Ajar Kembang Ayun. Seperti dikatakan oleh orang berjubah itu, Parameswara
mungkin dipungut dari pinggir jalan, dari kelompok anak-anak yang kleleran32.
Benarkah orang itu Taji Gading? pamannya sendiri?
“Kenapa kaulakukan semua ini, Taji Gading?” Ki Ajar Pratonggopati tidak bisa
menguasai diri.
Orang itu memang Ki Ajar Taji Gading. Orang itu telah membuka topengnya, di
belakang topeng yang dikenakannya ternyata masih ada selembar topeng tipis lagi.
Ketika orang itu mencopot topeng berikutnya, maka semua keluarga besar perguruan
Kembang Ayun dapat melihat dengan seksama, dia memang benar Ki Ajar Taji Gading,
orang ke tiga paling berkuasa di Perguruan Pesanggaran setelah Ki Ajar Kembang Ayun
dan Ki Ajar Pratonggopati. Hal itu seketika menimbulkan rasa penasaran dan resah oleh
pertanyaan, kenapa Ki Ajar Taji Gading yang selama ini demikian baik dan sabar tibatiba berulah aneh.
Beberapa orang siswa menyalakan obor hingga halaman pendapa itu menjadi terang
benderang dan amat mampu menerangi semua wajah hingga tampak jelas. Dalam
siraman cahaya obor Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun memerhatikan wajah saudara
mudanya itu dengan amat kecewa. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun layak merasakan
kecewa itu karena telah lebih dari tiga puluh tahun membina Taji Gading. Akan tetapi
rupanya tidak mudah menghapus keserakahan dari hati seseorang sebagaimana pepatah
telah menyebut, watuk33 masih bisa diobati, namun watak sembuhnya bersamaan dengan
kematian datang menjemput. Apalagi Taji Gading merasa dirinyalah yang lebih berhak
atas mantra-mantra pembuka pintu masuk tempat rahasia di air terjun seribu angsa, juga
dirinyalah yang lebih berhak atas perguruan Kembang Ayun setelah saudara kandungnya
tak lagi bergairah mengambil kembali takhtanya.
“Apa yang kaukehendaki, Taji Gading?” kembali Ki Ajar Pratonggopati mendesak.
Taji Gading mendengus kasar.
“Aku menghendaki perguruan ini kembali ke keadaannya semula, seperti sebelum
Padmanaba itu datang kemari,” jawab Ki Ajar Taji Gading dengan suara yang tegas dan
lantang.
Narasari terheran-heran. Anak bungsu Ki Ajar Kembang Ayun yang selama ini
akrab dengan Ki Ajar Taji Gading itu benar-benar tidak menyangka pamannya akan
bersikap seperti itu. Paman yang dalam sehari-harinya selalu bersikap sabar, ternyata
menyimpan bongkahan api yang siap membakar siapa pun. Dyah Narasari yang merasa
mengenal itu ternyata belum mengenal sama sekali.
“Persoalan apakah yang menyebabkan paman Gede Taji Gading berbuat seperti itu,
kakang?” bisik Dyah Narasari kepada Mahisa Branjang.
Namun Mahisa Branjang diam tidak menjawab. Perhatian Branjang lebih terpusat
kepada persoalan yang dibawa Ki Ajar Taji Gading. Mahisa Branjang bergeser mendekat
ke belakang ayahnya. Hal yang sama dilakukan Dyah Narasari sementara dengan jantung
yang dipacu lebih kencang Parameswara tetap berdiri tegak di tempatnya. Otak pemuda
itu berputar deras. Dari tempatnya Parameswara memerhatikan bagaimana pamannya
melangkah berkisar, seolah mempersiapkan arena perang tanding. Melihat sikap saudara
tuanya itu Ki Ajar Taji Gading juga bergeser.
“Mengapa tiba-tiba di dalam kepalamu muncul pikiran buruk seperti itu, Ajar Taji
Gading?” desak Pratonggopati.
Dengus yang dilontarkan Taji Gading terasa sangat sinis dan melecehkan.
“Jangan kau pernah mengira setelah waktu berlalu sekian lama aku akan berubah
pikiran Pratonggopati. Kini telah tiba saatnya bagiku untuk meluruskan yang bengkok ke
tempat yang seharusnya,” jawab Taji Gading itu dengan tegas.
Ki Ajar Pratonggopati sulit memahami. Kekecewaan yang ia rasakan sama dengan
apa yang dirasakan Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun. Ki Ajar Taji Gading melangkah
mundur ketika Pratonggopati maju selangkah.
“Kauingin menjadi pimpinan di perguruan Kembang Ayun ini? Kau menginginkan
jabatan itu, Taji Gading?”
Ki Ajar Taji Gading itu tertawa bergelak.
“Bukan aku Pratonggopati,” jawab Taji Gading.
Pratonggopati mencuatkan alis. Parameswara, Mahisa Branjang dan Dyah Narasari
serentak terpancing rasa ingin tahunya.
“Lalu siapa?” desak Ki Ajar Pratonggopati.
“Orang yang paling berhak atas kedudukan pimpinan perguruan Kembang Ayun
telah datang. Dialah yang harus menjadi pimpinan perguruan Kembang Ayun.”
Dyah Narasari merasa sesuatu yang aneh. Di benaknya segera timbul pertanyaan
ada peristiwa apakah di masa lampau hingga pamannya itu menyebut sebuah nama yang
dianggapnya paling memiliki hak. Narasari terus menyimak serasa cemas kehilangan satu
kalimat pun dari percakapan yang terjadi itu.
“Siapa orang yang kaumaksud sebagai orang yang paling berhak dan akan segera
datang itu?” desak Pratonggopati, “Apakah Kuda Rangsang?”
Nama Kuda Rangsang disebut memang meninggalkan kesan yang aneh bagi Ki
Ajar Kembang Ayun sekaligus meninggalkan rasa nyeri. Sebenarnyalah pada kurun
waktu lampau, perguruan Kembang Ayun pernah dipimpin oleh Kuda Rangsang dengan
sepak terjangnya yang sangat tak terpuji. Hal itulah yang membuat Padmanaba bertindak
meredamnya. Apakah Kuda Rangsang kembali untuk meminta kekuasaan yang dulu
pernah dimilikinya? Atau ada hal lain mengingat bulan purnama yang dijanjikan, bulan
purnama dengan syarat khusus yang hanya akan terjadi empat puluh tahun sekali akan
segera datang, bulan purnama di mana ia harus membaca mantra pembuka pintu gerbang
air terjun seribu angsa, sekaligus itulah kewajibannya membuka peluang banyak orang
memperebutkan Tirtamarthamanthana Nirpativasthra Vyassa Tripanjala. Padahal di bulan
purnama yang akan datang itu bahkan Hantu Sabalangit pasti hadir sebagaimana para
orang sakti yang lain akan berdatangan di air terjun itu pula.
Semua perhatian tertuju kepada Ki Ajar Taji Gading yang diam membeku.
“Jangan hanya diam Taji Gading, jawablah pertanyaanku apakah Kuda Rangsang
bakal merebut kekuasaan di perguruan Kembang Ayun ini?”
Ki Ajar Taji Gading menengadah sejenak, memandangi bulan. Ia lakukan itu seperti
mencermati benda dengan ujut macam apakah bagian gelap di permukaan bulan itu. Ajar
Taji Gading kembali mengarahkan tatapan matanya pada saudara seperguruannya.
“Kakang Kuda Rangsang mungkin telah kehilangan nafsunya, akan tetapi tidak
demikian dengan Ranggasura,” jawabnya. “Aku dan kakang Kuda Rangsang sependapat
bahwa untuk selanjutnya kekuasaan atas perguruan ini dikembalikan kepada Ranggasura,
juga kekuasaan atas pembacaan mantra air terjun seribu angsa dikembalikan padanya.”
Nama Ranggasura ternyata terdengar lebih asing lagi, bahkan di telinga Ki Ajar
Pratonggopati dan Padmanaba. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba tak
memiliki keterangan apa pun terkait nama itu.
“Siapakah Ranggasura itu?” desak Pratronggopati.
“Ranggasura, anak kakang Kuda Rangsang kini terpanggil jiwanya untuk menuntut
kembali apa yang menjadi haknya.”
Itu rupanya, alasan utama yang menyebabkan orang bertopeng yang ternyata Ki
Ajar Taji Gading sama sekali tidak menghendaki Parameswara menerima kekuasaan dari
ayahnya. Akan tetapi sebagaimana Dyah Narasari, Parameswara juga tak tahu persoalan
apakah yang terjadi di masa lalu yang menyebabkan kini timbul masalah yang tampak
ruwet.
“Taji Gading,” kata Ki Ajar Pratonggopati dengan suara bergetar sebagai ungkapan
rasa kecewanya. “Ketika dahulu kakang Padmanaba meringkus Kuda Rangsang dan
melumpuhkannya adalah karena perbuatan dan kejahatannya yang tidak termaafkan.
Dengan sikapmu yang seperti ini, dan apalagi dengan diam-diam kau telah mencuri kitab
Sekar Langit dan mempelajari Aji Panglimunan, apakah dengan demikian kau berencana
menghidupkan kembali upacara-upacara aneh yang meminta banyak korban itu?”
Untuk pertanyaan itu Ajar Taji Gading memiliki jawabnya.
“Itu bukan urusanmu Pratonggopati,” jawab Taji Gading, “yang aku kehendaki
pada saat ini adalah, pengembalian kekuasaan atas perguruan ini kepada orang yang
memang berhak memilikinya termasuk penguasaan atas bait-bait mantra pembuka
gerbang air terjun seribu angsa. Selanjutnya kakang Padmanaba harus pergi. Ia tidak
berhak berada di tempat ini. Termasuk kau.”
Ki Ajar Pratonggopati yang sangat kecewa itu terpaksa menghela sebuah tarikan
napas panjang untuk mengisi semua lorong paru-paru yang kosong. Ucapan Ki Ajar Taji
Gading menempatkan Dyah Narasari semakin tidak mengerti karena bukankah mengusir
ayahnya itu sama dengan mengusir dirinya pula?
“Masih ada kesempatan bagimu untuk menyadari keadaan dan meminta maaf pada
kakang Ageng,” desis Pratonggopati.
Ki Ajar Taji Gading tersenyum dan mendengus.
“Aku tak akan melakukan itu,” jawabnya dengan tegas.
Ki Ajar Pratonggopati rupanya amat tidak telaten dengan perdebatan yang terjadi.
Laki-laki kurus dengan rambut yang sudah memutih semua itu segera menyingsingkan
lengan baju. Melihat sikap itu maka segenap murid perguruan segera bergerak mundur
mengambil jarak untuk memberikan ruangan yang leluasa untuk berperang tanding. Para
siswa bergegas bertindak, beberapa obor yang semula dipadamkan segera dinyalakan lagi
sehingga tempat itu menjadi terang benderang.
“Apa yang akan kaulakukan?” tanya Ki Ajar Taji Gading.
Pandangan Ki Ajar Pratonggopati amat tajam menjamah wajahnya.
“Jika aku biarkan perbuatanmu, maka tatanan yang ada ini akan rusak. Daripada
nantinya menjadi bibit penyakit, maka lebih baik aku musnahkan saja sekarang.”
Ki Ajar Taji Gading tertawa terkekeh. Selama ini Ajar Taji Gading tidak pernah
beradu tanding olah kanuragan melawan Pratonggopati. Akan tetapi dengan diam-diam
ia telah menggembleng diri tanpa ada waktu sejengkal pun yang tak ia manfaatkan.
Dengan aji panglimunan yang berhasil ia kuasai, apa yang bisa dilakukan Pratonggopati
padanya?
“Kaupikir kau akan sanggup melawanku Pratonggopati? Namun baiklah, mari aku
layani apa yang kaukehendaki. Bahkan seandainya semua orang yang ada di sini ikut
turun mengeroyok, Taji Gading tidak akan takut.”
Persoalan telah bergeser. Masalah yang dibawa Ki Ajar Taji Gading tampaknya
tidak cukup diselesaikan dengan rembugan34. Ki Ajar Kembang Ayun dengan segala
keprihatinannya hanya memerhatikan apa yang akan dilakukan Pratonggopati dan Taji
Gading. Kedua saudara seperguruan itu saling menempatkan diri pada arah yang saling
bersimpangan. Keduanya siap berlaga mengadu ketinggian ilmu kanuragan. Para siswa
yang selama ini menuntut ilmu di Padepokan itu tergelitik rasa ingin tahunya untuk bisa
melihat sejauh mana ketinggian ilmu yang dimiliki Ki Ajar Pratonggopati dan Ajar Taji
Gading. Sungguh sebuah kesempatan yang amat langka.
Setelah diam beberapa jenak, Ki Ajar Pratonggopati membuka dengan sebuahgerakan kembangan35, gerak tangan saling silang sebagai pertanda persiapan sebuah
serangan. Hal yang sama dilakukan oleh Ki Ajar Taji Gading.
Dengan bersamaan kedua orang itu melejit, tubuhnya melenting saling serang.
Benturan pertama telah terjadi seolah menjadi awalan untuk meningkat pada
serangan berikutnya. Dengan gesit Ki Ajar Pratonggopati itu meliuk mengayunkan
lengan menyambar kepala, Ki Ajar Taji Gading bergerak menghindar dengan tangan
mengayun pula. Benturan yang terjadi memancing sebuah getar yang mengoyak udara.
Ki Ajar Pratonggopati terdorong mundur bersamaan dengan hal yang sama dialami Ajar
Taji Gading. Untuk meredam jangan sampai terjatuh, Ajar Taji Gading memanfaatkan
daya dorong itu itu untuk melenting ke udara dan melayang turun pelahan dengan tangan
membentang tak ubahnya kalangkyang menjelang hinggap di dahan.
Para siswa yang menyaksikan akibat benturan itu terkejut, dengan bergegas para
siswa itu memperlebar kalangan36 hingga arena perang tanding itu menjadi makin lapang.
Namun Ki Ajar Kembang Ayun tetap berdiri di tempatnya. Branjang dan Parameswara
serta Narasari segera bergeser mendampingi di kiri dan kanannya.
“Bukan main,” desis Taji Gading. “Kedalaman ilmumu ternyata makin sulit diukur
Pratonggopati.”
Pratonggopati tidak menjawab. Orang kedua di perguruan Kembang Ayun itu
menggeser kedudukan kaki kirinya kedepan dan agak berjongkok. Dengan kecepatan
sangat tinggi dan sulit diikuti geraknya, Ki Ajar Pratonggopati melejit melontarkan
sebuah serangan beruntun. Ayunan tangan kanannya, seandainya mengenai batu, maka
batu itu akan pecah berantakan. Akan tetapi lawannya adalah Taji Gading, saudara
seperguruannya yang tentu bukanlah bocah kemarin sore. Dengan bertumpu pada kaki
kirinya Taji Gading berputar cepat sebagai landasan kaki kanan yang mengayun deras
berputar menyambar. Pratonggopati yang melayang itu kaget melihat jebakan yang siap
menjemput. Ketika masih di udara dan mumpung masih sempat, Ki Ajar Pratonggopati
menggeliat dengan perhitungan yang cermat, tangan kanannya berubah menyambar
kepala. Berbalik Ajar Taji Gading yang terkejut menghadapi perubahan serangan yang
tak terduga itu. Ki Ajar Taji Gading tentu tidak mau kepalanya berantakan, maka Ki Ajar
Taji Gading bergegas menyilangkan kedua tangannya di atas kepala, lagi-lagi sebuah
benturan terjadi. Ki Ajar Pratonggopati melayang memanfaatkan kekuatan benturan itu
dan hinggap ke tanah dengan mantab. Sebaliknya Taji Gading terhuyung-huyung.
“Keparat,” Ki Ajar Taji Gading mengumpat.
Bagaimanapun serangan yang baru saja terjadi itu sempat merepotkannya.
Ki Ajar Taji Gading tidak perlu menunggu lebih lama untuk mengambil sikap.
Dengan gerakan cepat ke dua tangannya bergerak silang-menyilang membuat gerakankembangan. Kedua kakinya merendah. Gerakan yang sama rupanya telah dipersiapkan
oleh Ki Ajar Pratonggopati. Kedua lelaki yang semula bersaudara itu berubah menjadi
garang dan bagai saling mendendam.
Tatapan mata dua petarung itu saling mengintai celah. Bahwa ilmu olah kanuraganyang digunakan bersumber dari perguruan yang sama menyebabkan keduanya sudah bisa
menebak ke arah mana serangan akan diarahkan. Manakala demikian keadaannya, maka
kejelian dan perhitungan serta tingkat kemampuan bawah sadar yang dimiliki yang akan
berbicara dan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Maka perang tanding itu pun berlangsung dengan cepat merambah ke tingkat ilmukanuragan yang makin tinggi. Seumur-umur Parameswara maupun Dyah Narasari belum
pernah melihat kedua paman gurunya itu memamerkan ketinggian olah kanuragan yang
sudah mereka kuasai. Ketika akhirnya mereka mendapat kesempatan menyaksikan yang
belum pernah terjadi sebelumnya, mereka pun dibuat terbelalak.
Gesit bagai burung sikatan, Ki Ajar Taji Gading menyerang susul-menyusul dengan
serangan yang bergelombang. Namun Ajar Pratonggopati berubah menjadi batu karang.
Gempuran ombak macam apa pun dahsyatnya ternyata tidak menyebabkan batu karang
bergeser dari tempatnya. Menghadapi serangan beruntun itu ada saatnya Ki Ajar Pratonggopati harus melejit bagaikan ulat singgat justru mengagetkan lawannyan serta
memaksa Ajar Taji Gading berloncatan menghindar sambil mengumbar sumpah serapah.
Dyah Narasari yang selama ini bergaul dengan pamannya itu dan tak pernah mendengar
ia mengumpat, terkaget-kaget oleh berbagai perbendaharaan umpatan yang dikeluarkan.
Agaknya selama ini Ki Ajar Taji Gading mampu menyembunyikan sangat rapat watak
aslinya.
Pertarungan terus berlangsung dengan dahsyatnya. Kedua orang yang berlaga
mengadu nyawa itu telah memeras keringat. Tataran ilmu kanuragan yang mereka
gunakan merangkak selapis demi selapis ke tingkat yang lebih tinggi. Sambaran angin
akibat dari serangan-serangan yang mereka lakukan benar-benar membuat para siswa
perguruan terhenyak. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah menyaksikan pertempuran
macam itu. Ketika Ki Ajar Pratonggopati dan Ki Ajar Taji Gading kroda37 bagai singa
dan harimau, apa yang mereka lakukan sungguh mengerikan.
Sebaliknya bagi Parameswara, yang dalam waktu sekian lama ditempa oleh Ki Ajar
Kembang Ayun, pertarungan kedua paman gurunya itu benar-benar merupakan sebuah
pelajaran yang sangat berharga. Dengan seksama dan penuh perhatian Parameswara
memerhatikan cara Ki Ajar Pratonggopati bertahan dengan begitu kukuh dan rapat,
hingga amat sulit untuk ditembus, sebaliknya Parameswara juga mempelajari dengan
seksama bagaimana pamannya yang seorang lagi, Ki Ajar Taji Gading menyerang susulmenyusul bagaikan ombak dan prahara. Sulit untuk menebak siapa yang lebih tinggi
ilmunya, apakah Pratonggopati ataukah Taji Gading.
Sang waktu terus merambat merayap ke arah pagi, akan tetapi belum terlihat siapa
di antara keduanya yang akan unggul dalam perang tanding itu. Tiba-tiba saja bentuk
pertarungan yang terjadi berubah, Parameswara tertegun dan kemudian kaget. Branjang
dan Dyah Narasari tidak kalah terperanjatnya. Para murid perguruan yang menyaksikan
mungkin terlambat menyadari adanya perubahan yang terjadi. Setiap gerakan Ki Ajar
Taji Gading seperti bergelombang. Bayangan tubuhnya lenyap sejenak saat meloncat dan
muncul timbul tenggelam setiap kali bergerak dan tandang grayang38nya masih tetapnggegirisi39.
“Gila, ilmu apakah yang dipergunakan paman Taji Gading? aku belum pernah
melihat bentuk ilmu yang seperti ini. Apakah ini bagian dari ilmu yang dilarang dipelajari
itu?” Dyah Narasari sibuk bertanya dan mencari jawab.
Akan halnya Ki Ajar Pratonggopati, tiba-tiba saja mengalami kesulitan ketika
saudara seperguruannya itu menggunakan jenis ilmu kanuragan berbeda. Segera saja Ki
Ajar Pratonggopati harus berloncatan panjang untuk menghindar dari serangan yang
susul-menyusul dan sulit ditebak arahnya itu.
“Mau ke mana kau Pratonggopati?” teriak Taji Gading sambil menyusulkan sebuah
serangan.
Dengan beterbangan seperti kutu loncat Ki Ajar Taji Gading menyerang dengan
sangat ganasnya, tangan kanan dan kirinya bergerak susul-menyusul melontarkan
hantaman dengan kekuatan raksasa. Membuat kalang-kabut Ki Ajar Pratonggopati yang
harus menggeliat meliuk-liuk menghindari serangan itu.
“Kakang,” bisik Dyah Narasari, “apakah itu ilmu dari kitab Sekar Langit yang
hilang?”
Mahisa Branjang tidak menjawab karena Mahisa Branjang sama tak tahunya. Dyah
Narasari bermaksud bertanya kepada ayahnya, namun niat itu diurungkannya karena Ki
Ajar Kembang Ayun tidak menggeser perhatiannya dari perang tanding yang terus
berlangsung.
Perubahan yang terjadi itu menyebabkan Dyah Narasari merasa cemas. Dalam
pandang matanya Ki Ajar Pratonggopati makin terdesak oleh serangan yang dilontarkan
susul-menyusul itu. Para siswa yang menyaksikan perang tanding itu pun akhirnya juga
melihat perubahan yang terjadi. Mereka melihat gerakan-gerakan yang dilakukan Ki Ajar
Taji Gading benar-benar membingungkan. Setiap kali orang itu berloncatan maka ujut
tubuhnya bisa timbul tenggelam di antara ada dan tidak ada, di antara nampak dan tidak
tampak.
Hingga kemudian, sebuah hantaman kuat yang dilakukan Ki Gede Taji Gading itu
menghajar dada dengan telak, memaksa saudara seperguruannya berloncatan mundur dan
jatuh berguling-guling tepat di depan kaki Ki Ajar Kembang Ayun.
Namun Padmanaba hanya diam. Padmanaba atau Tiyang Ageng Ajar Kembang
Ayun sama sekali tidak tergerak untuk memberi bantuan pada saudara mudanya. Dengan
pelahan Ki Ajar Pratonggopati bangkit. Dari sudut bibirnya menetes darah merah.
Melihat itu Dyah Narasari cemas sebaliknya Ajar Taji Gading tertawa bergelak. Ajar Taji
Gading merasa puas.
“Sebaiknya kauminggir Pratonggopati. Sekarang kau bukanlah tandinganku. Aku
menginginkan Padmanaba. Ayo kakang Padmanaba, kauhadapi aku,” tantang Ki Ajar
Taji Gading.
Yang ditantang berlaga diam tidak menanggapi. Akan halnya Ki Ajar Pratonggopati
yang telah mengusap darah yang meleleh di sudut bibirnya mulai membuat kembangantangan baru. Gerakannya pelahan saja, namun memancing rasa ingin tahu. Parameswara
yang menduga akan terjadi perubahan memandangnya dengan tak berkedip. Parameswara
tahu, Ki Ajar Pratonggopati itu akan menggunakan ilmu kanuragan jenis lain
menghadapi tata kelahi yang digunakan Ajar Taji Gading.
Parameswara kemudian melihat adanya semacam bayangan tubuh yang tertinggal
setiap kali Ki Ajar Pratonggopati itu bergeser. Dengan pelahan bayangan tubuh yang
tertinggal itu lenyap. Bukan hanya Parameswara yang termangu menyaksikan pameran
kemampuan kanuragan amat luar biasa itu, akan tetapi Branjang dan Dyah Narasari juga.
Dyah Narasari layak terkejut mendapati pamannya menggunakan aji kanuragan yang tak
pernah dikenal sebelumnya. Sebagai anak Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun, Narasari
merasa janggal dirinya tidak memiliki perbendaharaan apa pun terkait jenis ilmu aneh
macam itu.
Ki Ajar Taji Gading yang semula meremehkan lawannya, terbungkam mulutnya
melihat kemampuan yang dipamerkan Ki Ajar Pratonggopati itu.
“Ilmu apa yang akan digunakan Pratonggopati itu?” bisik Taji Gading dalam hati.
Ki Ajar Pratonggopati telah siap. Tumpuan kakinya yang sedikit ditekuk dan tangan
kiri setengah menuding ke depan, tangan kanan sedikit diangkat di arah belakang seolah
memberi jawab atas apa pun yang akan dilakukan Ki Ajar Taji Gading. Pendek kata Ki
Ajar Pratonggopati telah siap untuk diserang siap pula untuk menggempur. Ki Ajar Taji
Gading tidak lagi berani meremehkan karena lamat-lamat, di tangan kanan lawannya itu
muncul asap tipis menjadi pertanda, betapa besar kekuatan yang tersimpan di tangan
kanan itu. Taji Gading bergeser kekiri lalu bergeser lagi ke kanan. Tangan kirinya silangmenyilang, tangan kanannya diarahkan ke bumi serta kemudian diangkat tinggi-tinggi.
“Kau mengira kau sudah menang Taji Gading?” balas Ajar Pratonggopati dengan
nada rendah nyaris berbisik namun terdengar sangat sangar.
Meski berbisik, namun karena suara itu digetarkan menggunakan tenaga berasal
dari alam bawah sadar sebagai tumpuan, maka tiap orang yang ada di halaman perguruan
Kembang Ayun bisa mendengarnya.
“Nah, Apa yang akan kaulakukan sekarang?” kembali Pratonggopati yang sudahwaringuten40 itu berkata.
“Akan kulihat apa yang akan bisa kaulakukan,” balas Taji Gading.
Segera Taji Gading meloncat mengapungkan diri dan melesat dengan serangannya
yang amat cepat dan trengginas. Bayangan tubuhnya lagi-lagi timbul tenggelam, ada
saat-saat tertentu tubuhnya lenyap dari pandangan mata.
Namun Ki Ajar Pratonggopati benar-benar sudah mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya untuk menghadapi serangan itu. Dengan cepat pula tubuhnya mengapung
dengan ringan di udara. Dengan gerakan yang sulit diikuti mata Ki Ajar Pratonggopati
berloncatan meninggalkan jejaknya di mana-mana, jejak yang membingungkan karena
tiba-tiba sosok Pratonggopati yang ada tidak hanya seorang, tetapi telah beranak-pinak
menjadi beberapa orang. Sambaran dahsyat yang dilakukan Ki Ajar Taji Gading ternyata
hanya mengenai tempat kosong.
Demikian Ki Ajar Pratonggopati berhenti meloncat maka bayangan-bayangan yang
tercipta itu memudar serta kemudian lenyap satu persatu. Apa yang dilakukan Ki Ajar
Pratonggopati itu memaksa Ki Ajar Taji Gading terheran-heran beberapa kejab. Namun
waktu yang ada itu digunakan dengan baik oleh Pratonggopati. Tangan kanannya yang
terangkat itu mengayunkan serangan dari jarak jauh. Ajar Taji Gading sungguh terlambat
menyadari keadaan. Gumpalan udara yang amat mampat mengejarnya.
Sebuah hantaman yang dirasakan seperti palu godam menghajar dadanya, hentakan
itu memaksanya jatuh berguling. Ki Ajar Taji Gading terpaksa menyeringai menahan rasa
sakit yang tak terkira. Darah segar muncrat dari mulutnya. Sebuah luka dalam tampaknya
segera menghadang sepak terjangnya
Wajah orang ketiga di perguruan Kembang Ayun itu benar-benar merah padam
seperti kepiting direbus. Taji Gading sungguh tidak mengira akan mendapat gempuran
yang tidak terduga, yang dengan telak menghantam dadanya.
Dengan tertatih-tatih Taji Gading itu berdiri.
“Keparat,” umpatnya.
Namun Ki Ajar Pratonggopati tidak mau berbuat curang dengan memanfaatkan
waktu yang ada itu. Seandainya Ki Ajar Pratonggopati mau, dengan serangan susulmenyusul di saat Taji Gading terluka seperti itu maka Taji Gading tentu akan menjadi
bulan-bulanan. Namun Ki Ajar Pratonggopati justru memberinya kesempatan kepada
saudara seperguruannya untuk bangkit dan mengumpulkan lagi segenap kekuatannya.
Dengan tertatih-tatih Ki Gede Taji Gading itu bangkit. Napasnya tersengal.
“Keparat,” lagi umpatnya dengan kasar.
Pratonggopati tertawa pendek.
“Seharusnya kautahu diri Taji Gading. Keinginanmu mengembalikan Perguruan
Kembang Ayun pada anak keturunan Kuda Rangsang, itu sama halnya mengembalikan
perguruan ini ke masa masa gelap sebagaimana sepak terjang Kuda Rangsang sendiri.”
Ki Ajar Taji Gading menggeram marah.
“Dasar pengecut hina, lebih baik kaumati,” teriak Taji Gading.
Ki Ajar Taji Gading mengibaskan pakaiannya yang kotor oleh tanah. Halaman
perguruan itu sendiri telah berubah seperti pekarangan yang dibajak, siap ditanami.
Akibat dari perang tanding yang terjadi itu benar-benar sulit dimengerti, tanah bagai
diaduk dibalik-balik oleh tangan raksasa.
Ki Ajar Taji Gading yang telah berhasil menguasai diri itu kembali bermaksud
melanjutkan pertempuran. Sebaliknya Ki Ajar Pratonggopati segera mempersiapkan diri
pula. Agaknya Ki Ajar Taji Gading sangat marah dan telah menyiapkan aji pamungkas
yang menjadi andalannya. Sebaliknya Pratonggopati tentu saja tidak mau dilumat oleh
serangan yang mungkin sekali akan berupa banjir bandang.
Pratonggopati juga mempersiapkan diri.
Akan tetapi tiba-tiba Ki Ajar Kembang Ayun mengangkat tangan, memberi isyarat
kepada Pratonggopati untuk tidak melakukan apa pun.
“Batalkan niatmu adi Pratonggopati. Apa kau akan membunuhnya?” tanya Ki Ajar
Kembang Ayun atau Padmanaba dengan suara amat tenang.
Pratonggopati yang telah mengangkat tangan kanannya itu bergegas membatalkan
diri. Namun justru Taji Gading yang merasa tersinggung.
“Keparat,” Taji Gading mengumpat. “Kaukira aku takut ha? Menggapa kaucegah
dia, Padmanaba?”
Orang yang dipanggil Padmanaba itu diam. Pandangan matanya amat kecewa.
“Aku memberi kesempatan kepadamu untuk merenung, Taji Gading. Sadarilah
kekeliruanmu,” suara Ki Ajar Kembang Ayun terdengar penuh kesabaran.
Namun Ki Ajar Taji Gading memang tak mungkin mengubah sikapnya. Rupanya
Ki Ajar Taji Gading menyimpan perasaan kecewanya selama bertahun-tahun, perasaan
dendam dan mungkin sakit hati itu telah mengakar kuat di dalam hatinya. Kesempatan
yang diberikan Ki Ajar Kembang Ayun itu tentu tidak berarti apa-apa baginya. Ki Ajar
Taji Gading benar-benar telah bulat tuntutannya. Maka tiba-tiba saja orang itu meloncat
ke belakang, mengambil jarak yang cukup. Ajar Pratonggopati kembali mempersiapkan
diri namun kembali Ki Ajar Kembang Ayun mencegahnya.
“Sebaiknya kaumati, Padmanaba,” teriak Taji Gading.
Masih dengan darah yang menetes-netes dari sudut mulutnya, Ki Gede Taji Gading
kembali menyiapkan sebuah serangan. Kali ini yang dihadapinya bukan Pratonggopati,
namun Ki Ajar Kembang Ayun yang dalam kesehariannya berujut lelaki tua yang lemah,
yang sering diserang batuk di waktu malam. Namun Taji Gading tahu siapa sebenarnya
Padmanaba itu. Itulah sebabnya Taji Gading tidak memulai perang tanding itu dari awal.
Taji Gading langsung mengetrapkan puncak kemampuan kanuragannya, ilmu kanuraganyang berasal dari kitab Sekar Langit pula.
Taji Gading menggerakkan kedua tangannya silang-menyilang dengan pelahan.
Darah masih menetes-netes dari mulutnya namun tidak ia pedulikan. Segenap siswa
perguruan dan para cantrik yang mengabdi di Kembang Ayun memerhatikan apa yang
dilakukan Ki Gede Taji Gading itu dengan seksama.
Akhirnya, sebuah perubahan memang terjadi.
Bayangan tubuh Ki Ajar Taji Gading itu seperti bergelombang. Makin lama makin
kabur, semakin lamat-lamat dan tak begitu jelas. Ki Ajar Taji Gading kemudian lenyap
dari pandangan mata. Para siswa perguruan Kembang Ayun pun menjadi gempar. Ki Ajar
Taji Gading telah mengetrapkan Aji Panglimunan hingga ujutnya lenyap dari pandangan
mata. Dengan ajian yang aneh itu, Taji Gading nyaris bisa berbuat apa saja. Menyadari
kemungkinan terkena imbas bahaya, para siswa perguruan melangkah mundur memberi
ruang yang lebih lebar. Parameswara yang mencemaskan ayah dan sekaligus gurunya itu
segera menyiagakan diri demikian pula dengan Branjang dan Dyah Narasari. Akan tetapi
Ki Ajar Kembang Ayun yang bertubuh ringkih dan sakit-sakitan itu justru memberi
isyarat pada anak-anaknya untuk menjauh darinya.
Tak diketahui dari mana asalnya, terdengar sebuah suara Ki Ajar Taji Gading.
“Jangan salahkan aku jika hari ini kaumati, Padmanaba.”
Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba tidak menjawab, Lelaki tua itu justru
menyingsingkan lengan bajunya. Beberapa siswa yang akhir-akhir ini selalu mengikuti
perkembangan kesehatan Ki Ajar Kembang Ayun menjadi cemas. Apakah yang bisa
dilakukan Ki Ajar yang ada kalanya untuk pergi ke halaman menghirup udara pagi harus
dipapah oleh seorang cantrik untuk menghadapi Ki Ajar Taji Gading yang menguasai Aji
Panglimunan yang luar biasa itu.
Dari arah tidak kelihatan, Ki Ajar Taji Gading yang menyelubungi diri terdengar
menggeram seperti lengkingan seekor harimau marah. Kalau saja tubuhnya tampak, maka
akan terlihat Ki Ajar Taji Gading itu meloncat melontarkan serangan menyerang Tiyang
Ageng Kembang Ayun atau Padmanaba itu. Yang terlihat jelas karena kasat mata justru
apa yang dilakukan Ki Ajar Kembang Ayun. Pimpinan perguruan Kembang Ayun di
tanah Pesanggaran itu terlihat bergeser sekilas. Tangan kanannya tiba-tiba mengibas
cepat ke arah kirinya. Sebuah hantaman yang berasal dari serangan jarak jauh membuat
tanah yang menjadi sasarannya berhamburan. Para siswa pun terkejut bukan kepalang,
tak kurang Parameswara merasa jantungnya terpacu lebih cepat.
Serangan pendahuluan yang dilakukan Kembang Ayun itu rupanya bisa meredam
apa yang diperbuat Taji Gading. Dari sasaran terdengar tubuh melejit berguling-guling.
Parameswara dan Mahisa Branjang memasang ketajaman telinganya dengan sebaikbaiknya. Ada kalanya mereka berhasil menerka di mana Taji Gading berdiri, ada kalanya
pula mereka kehilangan jejak tak mampu menebak sama sekali. Hal yang demikian
adalah karena Ajar Taji Gading berusaha menyerap segenap suara yang timbul dari gerak
tubuhnya.
Namun meskipun Taji Gading itu lenyap dalam pelukan Aji Panglimunan, ternyata
tidak menjadi hambatan bagi Padmanaba untuk menghadapinya. Ke mana pun Ajar Taji
Gading itu bergeser maka Padmanaba selalu mengikutinya melalui ketajaman telinganya.
Ada kalanya bahkan dengan mengandalkan ketajaman panggrahita, tak lagi
mengandalkan indera pendengarannya.
“Keparat,” terdengar Taji Gading mengumpat.
Parameswara bingung menyadari suara itu muncul dari beberapa tempat.
Lagi-lagi terdengar sebuah auman keras, pertanda Ki Ajar Taji Gading telah siap
menyerang. Ki Ajar Kembang Ayun bergeser sedikit. Tangan kanannya mengepal sambil
menunggu sementara kedua kakinya yang tampak ringkih membentuk sebuah pertahanan
yang pasti memberi jaminan tak gampang bagi Taji Gading untuk menerobosnya. Maka
dengan tiba-tiba Ki Ajar Kembang Ayun mengapung bersamaan dengan suara desir tajam
menyambar. Tubuh tua itu ternyata menyimpan kelincahan yang mengagumkan. Ki Ajar
Kembang Ayun melejit dan kemudian meliuk, tangan kirinya mengayun deras. Kembali
sebuah serangan jarak jauh dilepas, gumpalan adara yang padat mampat menyambar amat
deras menuju sasarannya.
Sebuah hentakan yang kuat lagi-lagi menyebabkan tanah berhamburan. Akan tetapi
rupanya serangan yang dilakukan Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba itu amat telak
mengenai sasaran. Terdengar suara tubuh berguling-guling. Bahkan Dyah Narasari bisa
menebak dengan mudah ke mana arah tubuh yang terlempar itu. Pun demikian juga para
siswa perguruan berlompatan mundur dalam upaya menghindar.
“Keparat kau Padmanaba,” terdengar umpatan Taji Gading yang kamanungsan41.
Tubuhnya Taji Gading bergelombang timbul tenggelam.
Ki Ajar Taji Gading yang berusaha mempertahankan aji Panglimunan itu merasa
kesakitan yang luar biasa. Darah segar membasahi mulutnya hingga berlepotan, serta rasa
sakit yang teramat nyeri menyebabkan orang itu tak mampu lagi mempertahankan Aji
Panglimunan. Tubuhnya yang semula lenyap menampak lagi. Di antara ada dan tiada Ki
Ajar Taji Gading terhuyung-huyung. Dyah Narasari bahkan bisa menebak, dari mulutnya
Ki Ajar Taji Gading mengeluarkan darah sedar.
“Keparat, bangsat,” umpatnya sekali lagi dengan amat kasar.
Umpatan itu mengagetkan semua orang. Kini terlihatlah dengan nyata betapa kasar
orang itu. Semua siswa yang menjadi saksi kejadian itu melihat betapa Ki Ajar Taji
Gading ternyata bukan lawan yang berarti bagi Ki Ajar Kembang Ayun meski orang itu
telah menguasai aji Panglimunan yang membuat tubuhnya bisa menghilang dari pandang
mata. Ki Ajar Taji Gading yang kamanungsan itu seperti hantu terlambat bersembunyi
terjebak oleh datangnya pagi.
Napasnya tersengal.
“Keparat kau, Padmanaba,” umpatnya sambil mengusap darah di bibirnya.
Dengan tenang Ki Ajar Kembang Ayun melangkah mendekat.
“Aku beri kesempatan padamu untuk menyadari keadaan, Taji Gading.”
Ajakan itu tentu tidak akan membuat Taji Gading berubah pikiran. Dengan tatapan
matanya yang tajam dan terasa sirik mengiris, Taji Gading serasa ingin mencengkeram
wajah orang yang dibencinya itu dan membetot matanya sampai keluar dari kelopaknya.
Sudah sekian lama Taji Gading harus bersandiwara, dan itu merupakan pekerjaan yang
paling memuakkan baginya. Untuk menyadari keadaan? Itu hal yang tidak mungkin
baginya. Ki Ajar Taji Gading tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Meski ia
terluka, namun luka itu segera dikesampingkannya. Dengan menggeram keras Ki Ajar
Taji Gading mempersiapkan serangan susulan.
Padmanaba menunggu.
“Keparat, Iblis laknat matilah kau di tanganku,” sebelum menyerang ki Ajar Taji
Gading masih menyempatkan diri untuk mengumpat. “Terimalah ini Padmanaba. Remuk
kepalamu, hancur melalui hantaman tanganku.”
Didorong oleh kemarahan dan kebencian, Ki Ajar Taji Gading melenting dengan
gerakan kaki mengayun menyambar dengan cepat. Jika Padmanaba tidak menghindar,
maka ayunan kaki itu akan menghajar kepalanya. Namun Ki Ajar Kembang Ayun yang
sudah tahu ke mana arah gerakan lawannya itu mengayunkan pula tubuhnya dengan arah
berlawanan dengan bertumpu pada salah satu kakinya. Melihat apa yang dilakukan Ajar
Kembang Ayun itu Taji Gading segera menggeliat mengubah arah serangan. Dengan
berjungkir balik, tangannya mencengkeram dari atas, tubuhnya meluncur deras. Tetapi
tentu saja bukan hal sulit bagi Ki Ajar Kembang Ayun untuk mengatasi keadaan yang
tidak terduga-duga itu. Dengan berguling-guling Ki Ajar Kembang Ayun menghindar.
Serangan yang berasal dari atas itu meluncur deras menghajar tempat kosong, lagilagi tanah bagai diaduk dan debu berhamburan. Namun tetap saja Ki Ajar Taji Gading
bukanlah lawan yang seimbang bagi saudara tuanya. Ketika sekali lagi benturan antara
tangan dan kaki terjadi, Ki Ajar Taji Gading terpental jauh dan berguling-guling di atas
tanah. Mulutnya semakin berlepotan darah.
Kali ini Taji Gading mengalami kesulitan untuk bangkit. Serangan yang baru saja
terjadi serasa melumpuhkan tubuhnya. Kedua kakinya ngilu dan matanya berkunangkunang. Serangan yang dilakukan Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba, ternyata juga
sekaligus menggerayangi letak simpul-simpul syarafnya hingga terasa kaku dan sulit
untuk digerakkan.
“Keparat kau Padmanaba. Apa yang baru saja kaulakukan padaku?”
Padmanaba mengelus dada. Sudah sekian lama Padmanaba bergaul dengan Taji
Gading. Siapa mengira kurun waktu yang sekian panjang itu tidak mengubah sikapnya.
Benar kata pepatah, watuk bisa disembuhkan tetapi tidak dengan watak. Perilaku Ajar
Taji Gading akan terbawa sampai mati.
“Sadarlah Taji Gading, gunakan kejernihan pikiranmu,” ucap Tiyang Ageng Ajar
Kembang Ayun dengan nada tak berubah, tetap sabar jernih dari segala kebencian.
Taji Gading menggeram. Umpatnya kasar.
“Kaulah yang tidak tahu malu Padmanaba. Kau bukan apa-apa di tempat ini. Kau
juga tidak mempunyai hak berada di sini.”
Tiyang Ageng Kembang Ayun memandang Taji Gading dengan napas mengombak,
bukan kemarahan penyebabnya tetapi lebih karena kecewanya.
“Kalau kau menghendaki, aku tentu tidak akan keberatan menyerahkan takhta
kepemimpinan perguruan ini kepadamu.”
Apa yang dikatakan Ki Ajar Kembang Ayun itu seperti tak mempunyai arah yang
jelas. Ki Ajar akan menyerahkan kekuasaan kepada Taji Gading? Apakah benar akan
semudah itu? Sejenak setelah mengunyahnya Taji Gading justru merasakannya sebagai
sebuah penghinaan yang menyakitkan. Namun Taji Gading benar-benar tidak bisa
bergerak lagi. Aji Panglimunan yang digunakannya ternyata belum pantas dihadapkan
pada Padmanaba.
Padmanaba tidak terlampau lama memandanginya. Padmanaba bermaksud masuk
ke dalam pendapa.
Pratonggopati segera memberi isyarat kepada beberapa orang siswa untuk segera
meringkus Ki Ajar Taji Gading. Beberapa orang dengan cekatan segera bergerak, akan
tetapi beberapa orang siswa yang lain merasa ragu diganggu oleh sebuah pertanyaan,
apakah pantas Ki Ajar Taji Gading mendapat perlakuan seperti itu?
Di saat yang demikian itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa yang bergema. Suara
tertawa yang terpantul-pantul dari segala sudut. Makin lama suara itu makin melengking
tinggi, terasa menusuk-nusuk gendang telinga. Suara aneh itu jelas bukan jenis suara
yang layak diremehkan. Beberapa orang siswa perguruan yang bermaksud meringkus
tubuh Ki Ajar Taji Gading terpaksa berloncatan mundur, karena merasa serangan melalui
gelombang suara itu lebih ditujukan kepada mereka. Padmanaba yang kemudian lebih
dikenal sebagai Ki Ajar Kembang Ayun menghentikan langkah. Suara tawa melengking
itu kemudian berhenti. Suasana menjadi sunyi dan senyap. Dyah Narasari merapatkan
diri pada kakaknya. Ternyata suara tertawa yang melengking tinggi itu mampu membuat
miris hatinya. Tak diketahui dari mana asalnya atau bagaimana bisa terjadi, tiba-tiba dari
jarak yang sangat dekat dengan tubuh Taji Gading yang tergeletak telah berdiri sosok
tubuh yang dibungkus jubah. Orang itu mengenakan topeng.
Kali ini Parameswaralah yang agak terkejut. Ujut orang berjubah itu juga sama
dengan ujut orang berjubah yang menemuinya. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun
merasa ngilu ulu hatinya. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun tentu mengenal dengan
baik siapa orang itu meski dengan menyelubungi diri di balik seribu topeng sekalipun.
“Siapa kau?” Pratonggopati memecahkan suasana.
Orang yang menyelubungi diri di balik topeng itu memandang Pratonggopati.
“Sudah lama sekali Pratonggopati, namun entah apakah waktu yang berlalu itu
menyebabkan kaulupa padaku?” jawab orang bertopeng yang baru muncul itu.
Pratonggopati terperanjat. Pratonggopati mengenali pemilik suara itu.
“Kuda Rangsang?” desisnya.
Begitu nama itu disebut, serentak yang hadir di pendapa itu merasa permukaan
jantungnya bagai digerayangi semut. Bukan oleh rasa ngeri membayangkan betapa tinggi
ilmu kanuragan yang dimiliki Kuda Rangsang, namun justru oleh sebuah ingatan bahwa
dulu perguruan Kembang Ayun memang pernah dipimpin oleh nama itu. Keberadaan
nama Kuda Rangsang bagi segenap siswa perguruan nyaris seperti dongeng abadi. Akan
tetapi perangai Kuda Rangsang yang tak terpuji menyebabkan Padmanaba datang untuk
meredam perbuatannya. Kuda Rangsang ditantangnya dan kemudian dikalahkan. Karena
kalah dalam perang tanding itulah maka Kuda Rangsang kehilangan perguruannya.
Perguruan Kembang Ayun di tangan Padmanabapun berubah arah. Apabila semula
perguruan Kembang Ayun adalah tempat orang-orang berkumpul dan membuat onar,
maka keadaan itu segera berubah di tangan Padmanaba. Ajian Panglimunan yang menjadi
andalan perguruan itu dilarang dipelajari.
Kini Kuda Rangsang itu muncul lagi. Apakah ia bermaksud mengambil kembali
perguruan yang pernah dimilikinya? Meski namanya telah disebut akan tetapi Kuda
Rangsang tidak berniat membuka topeng jelek yang dikenakannya. Hanya Tiyang Ageng
Kembang Ayun yang tahu mengapa Kuda Rangsang tidak mungkin membuka topengnya.
Ki Ajar Kembang Ayun yang semula bermaksud naik ke pendapa berbalik lagi. Dengan
tenang Padmanaba mendekat dan memandangi orang yang menyebut diri Kuda Rangsang
itu. Di sebelahnya Ki Ajar Taji Gading tergolek lemah tanpa daya.
“Siapakah Kuda Rangsang itu kakang?” bisik Dyah Narasari kepada Branjang.
Mahisa Branjang menggeleng.
“Seperti yang mereka bicarakan itu Narasari. Kuda Rangsang adalah pemilik dari
perguruan Kembang Ayun ini,” jawab Mahisa Branjang sambil berbisik pula.
Dyah Narasari manggut-manggut. Duduk persoalan yang berhubungan dengan
pertikaian di masa lampau itu mulai dipahaminya. Rupanya, Ki Ajar Kembang Ayun
ayahnya, selain dijunjung dan dihormati oleh banyak orang, ternyata ada pula pihak yang
menyimpan dendam segunung anakan kepadanya. Agaknya dendam macam itu puluhan
tahun lamanya disimpan oleh Ki Ajar Taji Gading, yang di belakangnya ada seseorang
bernama Kuda Rangsang.
“Bagaimana kabarmu, Kuda Rangsang?” sapa Ki Ajar Kembang Ayun dengan nada
datar tidak menampakkan ketegangan atau pun dendam.
Kuda Rangsang tak segera menjawab. Wajah di balik topeng itu pilih berjongkok
dan menggerayangi beberapa simpul syaraf pada tubuh Ajar Taji Gading membebaskan
dari penderitaannya. Taji Gading akhirnya berhasil menggeliat. Akan tetapi ketika ia
mencoba berdiri, tubuhnya kembali terhuyung-huyung.
Kuda Rangsang memandangi Padmanaba. Sikapnya tak seperti Taji Gading. Meski
tidak terbaca dari raut mukanya yang terlindung dari balik topeng akan tetapi apa yang ia
ucapkan terdengar bersahabat, tak ubahnya pembicaraan yang terjadi antara dua sahabat
lama.
“Keadaanku selalu baik, Padmanaba. Gerak waktu yang telah sekian lama berlalu,
ternyata tidak menggeser ujutmu. Kau masih tetap muda dan tampan.”
Ki Ajar Kembang Ayun tersenyum. Bertemu dengan Kuda Rangsang ternyata bisa
sebagai seorang teman lama yang berjumpa lagi akan tetapi bisa pula sebagai seorang
musuh yang menyimpan gumpalan sakit hati yang bisa menjadi alasan untuk saling
bunuh.
“Kau tengah menyindirku Kuda Rangsang,” jawab Tiyang Ageng Ajar Kembang
Ayun. “Kau tentu sedang melihat ujutku yang semakin tua dan ringkih serta sakit-sakitan.
Taji Gading tentu sering memberikan laporan padamu, betapa setiap malam apalagi jika
udara dingin menggigit, aku sering bertarung melawan batuk. Macam-macam saja yang
harus kuhadapi di masa tua. Ada banyak penyakit yang menggoda di saat senja seperti
ini. Bagaimana dengan luka di wajahmu? Dan apa saja kegiatanmu selama ini? Di
sepanjang waktuku aku selalu membuka mata dan telinga namun tak ada kabar apa pun
yang kudapat tentangmu. Konon katanya kau menarik pajak dari para perampok yang kau
bina, mengapa kau memunguti uang receh macam itu?”
Tiba-tiba arah pembicaraan Padmanaba itu bergeser.
Yang ditanya terdiam. Pertanyaan itu tampaknya amat tidak disukainya.
Mendapati Kuda Rangsang diam tidak menjawab mendorong Ki Ajar Kembang
Ayun tertawa terkekeh, usianya benar-benar mengganggu suaranya karena harus berebut
sela dengan batuk. Namun rangsang untuk geli itu memang amat kuat. Bagi Tiyang
Ageng Ajar Kembang Ayun, peristiwa yang menjadi penyebab Kuda Rangsang harus
kehilangan ketampanannya memang menggelikan.
“Wajahmu tentu mengerikan, Kuda Rangsang?” ulang Padmanaba memancing.
Kuda Rangsang ikut mengumbar batuk, meski batuk yang dibuat-buat.
“Amat mengerikan” jawab Kuda Rangsang. “Ujutku bahkan lebih mengerikan daridhemit42 penunggu pohon nyamplung raksasa. Hantu sendiri ketakutan dan lari terbiritbirit saat bertemu denganku. Itu sebabnya aku menggunakan wajah baruku ini, yang agak
tampan dan tak perlu ditakuti bocah-bocah. Soal aku memunguti uang receh kaubenar,
aku membina para perampok agar aku bisa mengumpulkan harta dengan cepat. Ada
banyak orang yang ingin memiliki kemampuan kanuragan, mereka antara lain para
perampok yang sekarang sedang merajalela di wilayah Bagelen. Dengan kedudukan yang
demikian itu, aku bisa menebar ketidak-tenteraman di mana-mana. Dan itu sungguh hal
yang menyenangkan bagiku.”
Padmanaba atau Ki Ajar Kembang Ayun manggut-manggut. Dyah Narasari merasa
heran setelah memperoleh simpulan, simpulan yang sama yang didapat Parameswara dan
Mahisa Branjang bahwa meskipun bermusuhan, antara Ki Ajar Kembang Ayun dan Kuda
Rangsang terjalin persahabatan yang erat. Boleh jadi sikap hidup berlawanan di antara
mereka yang menjadi penyebab permusuhan itu. Namun sikap hidup Kuda Rangsang itu
terasa aneh, kebanggaan macam apa yang bisa diperoleh dari membina para perampok
kecuali di hatinya memang tumbuh bulu-bulu hitam, berupa kegemaran membuat onar
kekacauan, sikap yang amat bertolak-belakang dengan Ki Ajar Kembang Ayun.
“Bagaimana dengan ilmu kanuragan yang kaupelajari? Selama ini aku bayangkan,
kau tentu terus menggembleng diri hingga ilmumu sundul langit. Pada saatnya kau akan
datang kepadaku untuk berperang tanding. Tingkatan aji Panglimunan yang kaugunakan
tentulah amat sempurna, tanpa meninggalkan jejak suara. Jika kau sudah sampai pada
tataran itu, apalah yang bisa dilakukan Padmanaba?”
Tak tercegah Parameswara merasa ngeri. Pamannya yang bernama Taji Gading itu,
meski telah mampu menghilang, namun jejaknya masih tertinggal dan bisa dilacak. Jika
tingkat ilmu Panglimunan itu sudah amat tinggi tidak akan meninggalkan jejak apa pun.
Bahkan Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun sekalipun mungkin tak mampu menangkap
bayangannya.
Pertanyaan itu menyebabkan Kuda Rangsang tertawa terkekeh.
“Kaubenar Padmanaba,” jawab Kuda Rangsang. “Bertahun-tahun aku mempelajari
dan menyempurnakan aji Panglimunan. Namun semua orang tahu siapakah Padmanaba
itu. Orang sakti yang di dalam tubuhnya bersemayam berbagai jenis ilmu kanuragan, aji
jaya kawijayan guna kasantikan43. Apa arti Aji Panglimunan jika kau membetengi dirimu
dengan tebalnya dinding aji Topeng Waja44?”
Parameswara termangu. Apa yang dikatakan Kuda Rangsang itu memang benar. Ki
Ajar Kembang Ayun memang menguasai ajian yang disebut Topeng Wojo itu. Sejenis
ilmu melindungi diri dengan melapisi tubuh menggunakan tebalnya kekuatan yang kasat
mata. Sifat Aji Topeng waja adalah perlindungan tak ubahnya lapisan dinding yang akan
menjawab serangan dalam bentuk apa pun. Sifat Aji Topeng Waja amat mirip dengan ajiLembu Sekilan45. Pada aji lembu sekilan, serangan musuh akan selalu kurang sekilan.
Dalam waktu beberapa bulan ini, Parameswara juga telah dipersiapkan dengan latihanlatihan khusus untuk mewarisi aji Topeng Waja itu.
“Lalu apa keperluanmu datang kali ini Kuda Rangsang? Apakah benar seperti yang
dikatakan Taji Gading yang ternyata tidak bisa menghapus kesetiaannya padamu, kau
menghendaki perguruan ini kembali padamu?”
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ki Ajar itu tiba-tiba saja memancing resah. Jika
keperluan Kuda Rangsang itu memang benar seperti yang dikatakan Padmanaba itu maka
akan terjadi lagi perang tanding yang mungkin lebih dahsyat. Apakah Ki Ajar Kembang
Ayun sanggup menghadapi Kuda Rangsang? Sebagian dari beberapa siswa merasa yakin
tak akan ada orang yang bisa mengalahkan Ki Ajar. Namun beberapa orang lagi menjadi
cemas, apakah Ki Ajar yang sakit-sakitan itu sanggup menghadapi lawan yang datang
untuk meminta pengembalian perguruan itu. Terlebih-lebih dari pembicaraan itu dapat
disimpulkan, Kuda Rangsang telah menggembleng diri bertahun-tahun lamanya untuk
membalas membuat perhitungan dengan Padmanaba.
Dyah Narasari, Branjang serta Parameswara segera mempersiapkan diri. Mereka
tidak akan membiarkan Ki Ajar berada dalam bahaya.
Namun Kuda Rangsang itu tertawa. Suaranya terdengar lunak.
“Padmanaba,” kata Orang berjubah itu, “jangan salahkan Taji Gading bila ia tidak
memiliki kesetiaan padamu. Taji Gading itu adikku, adik kandungku. Wajar jika Taji
Gading berbalik padaku ketika aku muncul lagi. Pun kedatanganku kali ini bukan untukmbarang amuk46. Persoalan perguruan Kembang Ayun, aku merasa malu untuk merebut
kembali darimu. Perguruan ini maju pesat dan berbau wangi ngambar arum47 di bawah
binaanmu. Tentu saja aku tak akan mempersoalkan. Hanya saja, andaikata anakku kelak
akan menghadap kepadamu untuk meminta kembali warisan ayahnya, aku sama sekali
tidak mengajarinya.”
Padmanaba manggut-manggut. “Siapakah nama anakmu yang kelak akan menagih
hutang kepadaku itu?”
“Hesti Ranggasura, itulah nama anakku.”
Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun mengangguk.
“Baik!” Ki Ajar menjawab tegas. “Perguruan ini akan menyambut kedatangan
Ranggasura itu dengan sangat meriah.”
Apakah arti dari disambut dengan meriah? Apakah itu berarti meriah dengan
pertumpahan darah? Sejenak Kuda Rangsang mengunyah dan merenungkannya, namun
segera ditepisnya pikiran itu. Untuk kedatangannya kali ini karena ada hal yang lebih
penting dari merebut kembali kekuasaan atas Kembang Ayun.
“Apakah kau masih ada keperluan lain?” kembali Ki Ajar Kembang Ayun bertanya.
Orang bertopeng yang menjadi pusat perhatian itu mengangguk.
“Benar Padmanaba,” jawabnya, “aku datang untuk mengingatkanmu atas sebuah
hal yang amat penting. Purnama yang dijanjikan tinggal beberapa saat lagi. Semoga kau
tidak melupakan Air Terjun Seribu Angsa.”
Ucapan Kuda Rangsang itu amat jelas dan tidak perlu diulang kembali. Segenap
orang yang hadir di tempat itu mampu menangkap dengan sangat jelas apa maknanya.
Kuda Rangsang membimbing Taji Gading untuk bangkit berdiri. Kuda Rangsang dengan
wajah dibungkus jubah dan wajah disembunyikan di balik topeng itu melambaikan
tangan seolah salam perpisahan untuk semua orang yang hadir di tempat itu.
Ajian Panglimunan kembali membungkusnya. Tubuh Kuda Rangsang dan Taji
Gading seperti bergoyang seolah ada gerakan-gerakan bayangan yang menyelimuti tubuh
keduanya. Tubuh yang semula terlihat nyata itu mulai kabur, semakin kabur, semakin
berada di ruang antara ada dan tak ada. Untuk kemudian lenyap tak ketahuan jejaknya.
Kuda Rangsang dan Taji Gading lenyap.
Dengan cara yang aneh itulah Kuda Rangsang dan Taji Gading pergi meninggalkan
tempat itu. Untuk selanjutnya, tampaknya segenap murid perguruan Kembang Ayun di
Pesanggaran itu tak akan pernah melihat lagi Ki Ajar Taji Gading. Sejenak kemudian,
gemparlah para siswa. Bagi mereka peristiwa yang baru saja terjadi, sungguh luar biasa.
Selama ini para murid perguruan tak percaya aji Panglimunan itu ada. Kini mereka
melihat dengan mata dan kepala sendiri.
Untuk beberapa saat Ki Ajar Kembang Ayun masih berdiri seperti dililit oleh
pesona yang ditinggalkan oleh Kuda Rangsang dan Taji Gading. Dengan agak bergegas
Parameswara dan Dyah Narasari memegangi lengan Ki Ajar dan membimbingnya masuk
ke dalam pendapa.
Ki Ajar Pratonggopati memerintahkan kepada segenap murid untuk membenahi
halaman yang telah berubah seperti kebun yang baru saja disingkal dengan bajak. Ki Ajar
Pratonggopati bergegas menyusul ke ruangan dalam, ke bilik pribadi Ki Ajar Kembang
Ayun.
12.(Rangkaian peristiwa tahun 2011)
Pagi pun datang menyapa Singasari, ini kota yang mendadak punya alasan untuk
membuat Parra Hiswara berdebar-debar. Lalu-lalang kendaraan tidak ada yang berubah,
pun geliat penduduknya tak ada yang berubah. Ketika melintas pusat kota, tidak ada yang
berubah, toko-toko buka seperti biasanya, juga pasar-pasar ramai seperti biasanya. Juga
kereta api yang melewati bawah jalan layang yang melintas di atasnya tidak ada yang
berubah, Kereta api selalu membunyikan klakson melengking panjang, isyarat agar
orang-orang yang riuh dalam kegiatan di pasar tumpah berhati-hati, semua tak ada yang
berubah, biru langit dan bau udaranya tidak berubah. Tidak berubah pula sebuah warung
sederhana di depan gedung olah raga yang di tempat itu ia sering mencari peluh dengan
bermain badminton, termasuk ratusan burung dara milik pemilik warung itu yang dipiara
dalam pagupon berukuran besar. Untuk para burung dara itu juga tidak ada perubahan
besar, setiap hari pemiliknya harus menyiapkan dua kilogram remah jagung.
Akan tetapi Parra Hiswara merasa yakin ada penyimpangan besar, ada sesuatu yang
berubah. Sejak ia menerobos dimensi waktu terlempar jauh dari kotanya lalu terjerembab
di sebuah tempat bernama Selo di kaki Gunung Merbabu dan Merapi, maka ada sesuatu
yang ia yakini berubah. Ia terjerembab di bawah tanah saat pembuatan septick tank siang
hari, namun hanya satu jam berikutnya ia terlempar ke tengah malam, yang demikian
berarti ia telah melintasi dimensi ruang dan waktu, hanya dalam sejam siang berubah ke
malam dan hanya dalam sejak yang ia alami, ia terlempar jauh ke kaki Merapi, berjarak
hampir lima ratusan kilometer dari asalnya.
“Kenapa tidak berselisih waktu setahun sekalian, dan mengapa hanya sejauh Selo di
kaki Merapi, mengapa tidak di Belanda atau kemunculanku di kaki candi itu di kutup
utara atau kutup selatan, bahkan kalau masih ada di tempat yang lebih jauh lagi, di planet
lain yang aku tidak bisa pulang!” Parra Hiswara mengeluh.
Parra Hiswara mengurut keningnya. Paham terhadap kekalutan sahabatnya Yogi
Sutisna segera menepikan kendaraannya.
“Langkah apa yang perlu kita ambil?” tanya Yogi Sutisna.
Parra Hiswara merasa tidak punya jawabnya.
“Aku sangat bingung,” bisiknya dengan amat berat. “Kepalaku seperti mau pecah,
mungkin lebih baik pecah saja sekalian.”
Yogi Sutisna tidak berniat tersenyum, belakangan memang terlihat betapa kacau
keadaan Parra Hiswara. Rambutnya awut-awutan dan tubuhnya kotor sekali. Dalam
kondisi yang demikian yang dibutuhkan Parra Hiswara adalah mandi dan tidur. Namun
tidur pun rupanya bukan cara yang efektif untuk menenteramkan diri. Masalah yang ia
hadapi bahkan mengejarnya hingga ke wilayah mimpi. Parra Hiswara cemas, mimpi bisa
jadi wilayah yang lebih menakutkan daripada di alam nyata.
“Kau tidak mungkin pulang, bukan?”
Parra Hiswara mengangguk.
“Tentu,” jawabnya. “Aku sudah mati. Sebaiknya aku menunggu di hotel saja. Aku
percayakan sepenuhnya kepadamu untuk menyampaikan dongeng tentang pengalamanku
pada istriku. Tolong berikan penjelasan padanya menggunakan cara yang paling masuk di
akal, akan tetapi mungkin tak perlu semua orang mendengar. Kaubisa menyimpulkannya
sendiri apa yang harus kaulakukan.”
Yogi Sutisna mengangguk.
“Ya!” jawabnya, “aku tahu itu.”
Yogi bertindak cekatan. Dari mengantar Parra Hiswara untuk bersembunyi Yogi
langsung ke alamat yang dituju. Akan tetapi Yogi Sutisna rupanya masih harus terkejut
untuk kesekian kalinya. Rumah Parra Hiswara dikepung oleh banyak orang, bahkan ada
banyak Polisi di sana, yang demikian pasti karena terjadi sesuatu di rumah itu dan ada hal
tak wajar yang menjadi perhatian.
“Ada apa?” tanya Yogi sambil menepikan kendaraan.
Yogi Sutisna segera membaca adanya sesuatu yang tidak beres. Wajah-wajah yang
tampak tegang menjadi petunjuk orang-orang yang berkumpul itu tak sekadar berkumpul
oleh alasan berduka cita. Akan tetapi Yogi Sutisna tidak perlu merasa penasaran terlalu
lama. Kebetulan ada Rayana yang sangat dikenalnya.
“He!” sapa Yogi Sutisna.
Rayana yang berbalik kaget.
“Heh, kamu?” balasnya.
“Ada apa ini?” Yogi Sutisna langsung pada pertanyaannya.
Rayana Suriatmaja membawa Yogi Sutisna menjauh agar pembicaraan yang terjadi
tidak didengar orang lain.
“Kaudatang karena ditelepon Hirkam?” tanya Rayana.
Yogi Sutisna mengangguk.
“Ya!” jawab Yogi, “tetapi agaknya masih ada peristiwa lanjutan yang terjadi hari
ini? Ramai sekali dan melibatkan Polisi segala!”
Rayana menyebar pandang matanya menyapu kerumunan orang.
“Peristiwa kemarin masih berlanjut hari ini, Mahdasari diculik.”
Berita itu sungguh mengagetkan. Yogi Sutisna merasa kakinya seperti dipatuk ular
paling berbisa. Dengan terbelalak Yogi Sutisna memandang sahabatnya, mata yang bulat
melotot itu serasa akan lepas dari kelopaknya.
Yogi Sutisna nyaris tidak bisa berbicara.
“Bagaimana kejadiannya?” itulah pertanyaan yang terlontar dengan mulut gemetar.
Dari balik kacamata hitamnya Rayana Suriatmaja memerhatikan wajah orang-orang
yang berdatangan semakin lama semakin banyak, didorong oleh rasa ingin tahu. Berita
tentang kejadian hari sebelumnya sudah menyebar merata dan hari ini bahkan muncul di
halaman pertama koran yang terbit di kota Malang dan Surabaya. Peristiwa lanjutan yang
menimpa Mahdasari pagi tadi sungguh menjadi magnet yang menyedot banyak orang.
Issu pun merebak dan bahkan bias.
“Kejadiannya tadi pagi, saat di luar masih gelap,” kata Rayana, “sebuah mobil yang
tidak jelas plat nomornya berhenti di sana itu. Seorang saksi mata menyebut, mobil jenis
van itu dinaiki enam orang yang semua berpakaian serba hitam. Enam orang itu lima di
antaranya turun sementara yang seorang menunggu di dalam mobil. Lima orang itulah
yang menculik Mahdasari dan hingga sekarang tidak diketahui bagaimana keadaannya di
mana pula keberadaannya. Polisi saat ini sedang menelusuri kejadian ini.”
Melalui tarikan napas pelan dan sangat berat Yogi Sutisna mengisi paru-parunya
sampai penuh. Ke depan Yogi Sutisna melihat, persoalan yang dihadapi sahabatnya akan
semakin ruwet.
“Bagaimana keadaan Hirkam?” tanya Yogi Sutisna.
Pertanyaan itu menyebabkan Rayana merasa tak nyaman.
“Pagi ini masuk Rumah Sakit!” jawab Rayana.
Betapa terkejutnya Yogi Sutisna.
“Kenapa?”
Rayana balas memandang.
“Melalui telepon Hirkam sudah bercerita kejadian kemarian?”
Yogi Sutisna mengangguk. “Ya!” jawabnya.
Rayana bersandar pagar, Yogi Sutisna melakukan hal serupa.
“Ketika berusaha menolong Parra Hiswara yang terperosok ke dalam tanah,” kata
Rayana, “Hirkam mendapati kenyataan di bawah tanah terdapat sebuah lobang sumur
yang amat dalam. Menggunakan tali carmentel statis Hirkam turun. Akan tetapi ia harus
buru-buru keluar dari sumur bawah tanah itu karena ada sesuatu yang menakutkannya.
Hirkam terkena cakaran di punggungnya yang agaknya menjadi masalah. Pagi tadi
badannya panas, ia harus dilarikan ke Rumah Sakit.”
Yogi Sutisna menyimak penuturan itu dengan napas serasa tercekik. Apa yang telah
menimpa sahabatnya rupanya juga memberi imbas tak hanya pada Parra Hiswara sendiri.
Pagi ini istrinya diculik orang yang masih ditambah dengan keadaan buruk yang menyapa
Hirkam. Segera saja dalam benak Yogi Sutisna muncul pertanyaan, bagaimana kalau luka
No comments