Header Ads

Header ADS

CANDI MURCA (LKH) Bagian 30 - 60



5.(Rangakaian peristiwa tahun 1136 saka.)
Ken Rahastri benar-benar tidak sadar sedang berada dalam bahaya. Ombak yang
amat besar siap menggulungnya dan memberi jaminan pasti akan membanting tubuhnya
untuk kemudian menabrak berbagai pepohonan, bahkan bebatuan. Namun pada saat yang
demikian itulah, tiba-tiba terdengar teriakan melengking, disusul sosok yang melesat
cepat menyambar tubuhnya. Ombak yang gagal menyambar mangsa itu terus menyerbu
bergemuruh menghantam tebing dan bahkan melampauinya. Air yang deras memporakporandakan semak dan perdu tepian hutan itu. Sosok yang merenggut tubuh Ken Rahastri
itu berdiri tegak di atas tebing.
“Rahastri, kau kenapa?” bentak orang itu setelah meletakkan tubuhnya.
Ken Rahastri masih bingung. Kesadaran pikirannya belum pulih, atau masih dijejali
oleh kecemasan atas nasib Parameswara.
“Rahastri, kau kenapa?” sekali lagi orang itu berteriak.
Kesadaran yang semula terkunci itu akhirnya berhasil mencari celahnya.
“Ayah!” Ken Rahastri meletup.

Dengan ganas gadis itu mengguncang tubuh ayahnya. Mahisa Branjang ~ demikian
ayah Ken Rahastri itu biasa dipanggil memandang wajah anaknya dengan perasaan amat
heran. Mahisa Branjang akhirnya menjadi cemas saat hanya melihat Ken Rahastri sendiri
di tempat itu.
“Ada apa?” tanya Mahisa Branjang dengan segenap tanda tanya.
“Paman Parameswara ayah,” jawab Rahastri sangat gugup.
Gadis itu benar-benar mengalami kesulitan mengungkapkan isi hatinya.
“Cepat katakan, ada apa dengan Parameswara?” tanya Mahisa Branjang dengan
suara tegas amat tak sabar.
Dengan amat sangat gugup Ken Rahastri menebar pandang. Namun apa yang telah
terjadi tak mungkin diralat, Parameswara telah hilang ditelan
cleret tahun.
“Paman Parameswara, ditelan
cleret tahun,” jawab Ken Rahastri dengan amat
terbata.
Laki-laki berusia nyaris setengah abad itu sungguh kaget. Cahaya kilat muncrat
menerangi wajahnya.
“Apa yang terjadi?” kejar Mahisa Branjang.
Dengan terbata-bata Ken Rahastri menceritakan apa yang terjadi. Bahwa
Parameswara adiknya telah mengalami bencana dihisap oleh
cleret tahun menyebabkan
Mahisa Branjang kaget. Namun apalah yang bisa dilakukan lelaki itu, hujan turun dengan
deras, badai bagai mengamuk. Sungguh tak ada yang bisa dilakukan menghadapi keadaan
alam yang mengumbar kemarahan macam itu.
“Mengapa kau tidak mencegah pamanmu melakukan perbuatan gila itu?” Mahisa
Branjang benar-benar kecewa.
“Aku sudah mencegah ayah,” jawab Rahastri, “tetapi paman Parameswara tidak
mau mendengar. Tiba-tiba saja paman Parameswara meloncat menghajar ujung
cleret
tahun
itu dengan Aji Riung Laut.”
Mahisa Branjang termangu. Mahisa Branjang tiba-tiba saja curiga, ada sesuatu yang
tak wajar yang mendorong Parameswara melakukan perbuatan konyol itu. Parameswara
mestinya tahu, ajian sedahsyat macam apa pun tidak akan bisa dihadapkan pada kekuatan
alam yang luar biasa seperti angin lesus atau puting beliung yang sebagian dari banyak
orang menyebut pusaran angin itu dengan nama
cleret tahun. Perbuatan itu sungguh
bodoh, sama dengan bunuh diri. Parameswara dengan sengaja bunuh diri? Mungkinkah
itu?
“Rahastri,” kata Branjang meminta perhatian.
Pelahan sekali Rahastri memandang ayahnya.
“Kaupulanglah mendahului. Kudaku aku ikat di dekat Sendang Paron. Beritahu
Ibumu atas apa yang terjadi. Kumpulkan segenap siswa perguruan dan suruh mereka
menyusul kemari. Kemudian suruh pula seseorang memberitahu Eyang Ajar Kembang
Ayun di Pesanggaran.”
Ken Rahastri memandang ayahnya dengan tatapan mata cemas.
“Ayah sendiri, apa yang akan ayah lakukan?”
Mahisa Branjang menebar pandang, menyapu kegelapan. Suara gemuruh badai dan
ombak menderu-deru menjadi satu.
“Aku akan berusaha menemukan mayat pamanmu,” jawab Mahisa Branjang.
Jawaban itu membuat Ken Rahastri tercekat. Hatinya bagai tersayat pisau, bukan
pisau tajam, namun pisau tumpul yang tentu terasa ngeres dan menyakitkan. Akan tetapi
 meski berusaha untuk ingkar macam apa pun, apa yang terjadi itu tidak mungkin diubah.
Parameswara yang beberapa saat lalu bersamanya, telah lenyap entah ke mana.
“Cepat, pergi!” bentak Mahisa Branjang.
Ken Rahastri tak kuasa menahan sedih. Gadis itu menangis sesenggukan. Dengan
sekuat tenaga anak tunggal pemangku perguruan
olah kanuragan Badran Arus itu berlari,
menerobos kegelapan malam. Bayangan tubuhnya berkelebat cepat seperti bayangan
hantu, melejit lincah bagaikan seekor kijang.
Mahisa Branjang memandang alam sekitarnya. Ketika cahaya kilat muncrat dan
disusul dengan suara gemuruh petir, sejenak membantu Mahisa Branjang itu untuk
memerhatikan keadaan di sekelilingnya. Badai memang sedang marah. Secuil harapan
untuk bisa menemukan Parameswara dalam keadaan hidup, pupus. Bisa dipastikan
Parameswara pasti sudah mati. Tidak ada yang mampu hidup menghadapi keganasan
badai macam itu, apalagi menghadapi pusaran puting beliung, biang segala macam
cleret
tahun
.
“Mengapa kaulakukan itu Parameswara?” bisik Mahisa Branjang seperti untuk diri
sendiri.”Apakah kau sengaja bunuh diri? Dengan cara itu kau mengelak dari tanggung
jawab yang dibebankan Ki Ajar?”
Mahisa Branjang terus memerhatikan keadaan di sekelilingnya. Didorong semacam
kemampuan aji
Sapta pangrungu12, sebuah kemampuan untuk mendengarkan segala
suara melalui penajaman daya tangkap gendang telinga, Mahisa Branjang berusaha
menyisir dan memilah segala macam suara yang riuh.
Namun yang ia peroleh hanya suara gemuruh.
Mahisa Branjang kemudian mengambil ancang-ancang. Lelaki itu segera melenting
dan melesat cepat, menyusur panjang pantai yang terus dihantam oleh ombak dengan
susul-menyusul.
Berita musibah yang menimpa Parameswara itu benar-benar mengejutkan serta
membuat geger perguruan Badran Arus. Kentongan telah dipukul bertalu-talu, serentak
semua murid perguruan keluar dari barak masing-masing. Nyai Ken Widati istri Mahisa
Branjang benar-benar kaget dan terpukul. Saat berada di hadapan ayahnya Ken Rahastri
masih bisa menahan diri. Akan tetapi di hadapan Ibunya, gadis cantik itu meluapkan
tangis dengan tersedu-sedu. Begitu gugupnya Nyai Ken Widati sehingga sulit membuka
mulut.
“Widoro!” teriak Nyai Mahisa Branjang memanggil sebuah nama dan meminta
perhatian.
Seorang siswa perguruan datang mendekat.
“Ya Nyai,” jawab salah seorang pemuda yang berkumpul. “Bagaimana Nyai? Apa
yang harus aku lakukan?”
“Jangan bertindak terlalu lamban. Cepat kerahkan semua murid perguruan untuk
membantu mencari Parameswara! Salah seorang dari saudaramu, suruh dia menghadap
Ki Ajar di Pesanggaran untuk menyampaikan apa yang terjadi.”
“Baik Nyai,” jawab pemuda bernama Widoro itu sigap.
Beberapa orang pemuda murid padepokan itu segera berangkat. Perjalanan mereka
yang diterangi oleh nyala obor, tampak seperti barisan lampor dipandang dari kejauhan.
Sementara seorang pemuda yang lain yang diyakini sangat lincah jika berkuda, bergegas

menempuh perjalanan ke Pesanggaran untuk melaporkan bencana yang menimpa anak
kedua Ki Ajar itu. Maka Suropati membedal kudanya dengan cepat bagai anak panah
yang lepas dari busurnya.
Berbeda dengan keadaan di pantai saat terjadi badai, Perguruan Kembang Ayun
justru dipayungi oleh langit yang cerah. Apalagi saat itu bulan purnama terlihat bulat
sempurna, mendorong para siswa melatih diri dengan giat.
Perguruan Kembang Ayun yang juga terletak di arah selatan Gunung Raung itu
bukanlah perguruan yang bisa dianggap sembarangan. Perguruan berwibawa itu dipimpin
dan dikendalikan oleh seorang kakek tua yang sudah
buntas ing kawruh13 dalam bidangolah kanuragan. Tak hanya kemampuan olah kanuragannya yang sundul langit namun
juga memiliki ketajaman mata hati yang terbentuk karena
laku prihatin14 yang dilakukan
tanpa kesudahan, bahkan terbilang sejak Ki Ajar masih muda.
Ki Ajar Kembang Ayun sedang bersemadi di bilik pribadinya ketika Suropati
datang
gemrojog tanpa larapan15. Kedatangan murid perguruan Badran Arus itu diterima
oleh Ki Ajar Pratanggopati, saudara muda Ki Ajar Kembang Ayun yang ketinggian ilmu
kanuragannya juga sulit diukur.
“Aku menghadap Ki Ajar,” kata Suropati sambil memberikan penghormatan.
Dari wajahnya jelas tersirat bahasa cemasnya.
“Ada apa?” tanya Ki Ajar Pratonggopati.
“Aku melaporkan bencana.”
Ki Ajar Pratonggopati yang semula mengira kedatangan Suropati itu hanya akan
membawa berita biasa, kaget.
“Bencana apa?”
“Parameswara, ditelan
cleret tahun.”
Ki Ajar Pratonggopati terlonjak sangat kaget. Berita yang dibawa Suropati itu
ternyata bukan berita sembarangan. Tatapan matanya meminta penjelasan lebih lanjut.
“Saat senja tadi, Parameswara bersama Rahastri semula berlatih di tepi pantai. Lalu
terjadi badai dan hujan deras, lalu muncul angin lesus yang amat besar. Parameswara
mencoba menghadapi angin lesus itu, namun ia tidak mampu dan bahkan terhisap. Tubuh
Parameswara hilang.”
Ki Ajar Pratonggopati terbelalak. Berita itu memiliki derajad lebih mengagetkan
dari ledakan petir. Lebih menyentakkan dari munculnya ular paling beracun melintas tak
jauh dari kakinya.
“Bagaimana keadaannya?” desak Ki Ajar Pratonggopati yang cemas.
Suropati menggeleng lunglai.
“Para murid perguruan Badran Arus semua telah diberangkatkan ke pantai untuk
mencarinya, Ki Ajar,” jawabnya.
Ki Ajar Pratonggopati lebih kaget lagi. Tangan Suropati dipegang agar pemuda itu
mengarahkan pandang matanya kepadanya.
“Jadi Parameswara hilang?”
Suropati mengangguk tegas.
“Tubuhnya belum ditemukan,” jawabnya dengan wajah menunduk.

Ki Ajar Pratonggopati mematung, tak mampu mencegah datangnya cemas.
“Baiklah, aku terima laporanmu, aku akan meneruskannya kepada Ki Ajar
Kembang Ayun yang tengah bersemadi.”
Suropati membungkuk memberikan penghormatannya.
“Aku langsung mohon diri Ki Ajar. Aku akan menyusul teman-teman yang lain
untuk ikut berusaha menemukan Parameswara.”
Ki Ajar Pratonggopati mengangguk.
“Ya, pergilah!” jawab Pratonggopati singkat.
Sebagaimana di perguruan Badran Arus, maka para
cantrik16 dan siswa perguruan
Kembang Ayun terperanjat mendengar musibah yang menimpa Parameswara. Bagi
mereka, Parameswara yang masih muda itu seorang sahabat yang layak ditangisi jika
tertimpa musibah. Lebih dari itu, Parameswara adalah anak kedua Ki Ajar Kembang
Ayun yang telah disiapkan menggantikan ayahnya, memimpin perguruan Kembang Ayun
di Pesanggaran. Anak pertama Ki Ajar, Mahisa Branjang tidak bersedia mewarisi
kekuasaan itu karena telah mengembangkan perguruan sendiri di Badran Arus. Sedang
anak yang terakhir seorang gadis, Dyah Narasari, tentu tidak mungkin diangkat menjadi
pimpinan perguruan.
Namun entah karena alasan apa Parameswara menolak jabatan itu. Sebagaimana
Branjang menyimpan curiga, Ki Ajar Pratonggopati juga bertanya-tanya, karena hal
itukah maka Parameswara melakukan tindakan konyol, berani menantang
cleret tahun,
sebuah gejala alam yang seolah menjadi tangan Sang Pencipta.
Ki Ajar Pratonggopati telah berada di bilik semadi saudara seperguruannya. Ki Ajar
Ageng Kembang Ayun sedemikian larutnya dalam semadi. Untuk beberapa saat Ki Ajar
Pratonggopati justru menjadi ragu, apakah selayaknya ia membangunkan kakaknya itu.
Namun akhirnya Ki Ajar Pratonggopati memang tidak punya pilihan lain. Sentuhan
tangan di pundak menyebabkan Ki Ajar Kembang Ayun terusik.
“Ada apa?” tanya Ki Ajar Kembang Ayun sambil masih tetap memejamkan mata.
“Maafkan aku karena harus mengganggumu kakang,” kata Ki Ajar Pratonggopati
dengan suara nyaris berbisik. “Parameswara terkena masalah yang cukup berat.”
Ki Ajar Kembang Ayun membuka mata. Dengan tatapan mata sejuk dan tenang,
lelaki tua itu memandang saudara muda seperguruannya.
“Masalah apa yang menimpa anakku Parameswara?”
Ki Ajar Pratonggopati menghela desah amat berat.
“Menurut laporan yang dikirim oleh anakmu
mbarep17, Parameswara sedang
berlatih di tepi pantai ditemani saudara sepupunya. Lalu terjadi badai dan hujan deras.”
Ki Ajar Pratonggopati menelan ludah. Ternyata terasa sulit baginya untuk melapor
kejadian yang sebenarnya.
“Hanya badai dan hujan deras. Apakah Parameswara tak mampu menghadapi
keadaan itu?” Ki Ajar Kembang Ayun mengurai rasa herannya.
“Parameswara menantang
cleret tahun!” Ki Ajar Pratonggopati berbisik.
Rona di wajah tua Ki Ajar Kembang Ayun berubah mendengar jawaban itu.
“Parameswara menantang
cleret tahun? Apa Parameswara itu sudah tidak waras
atau bagaimana?” desis pimpinan perguruan KembangAyun di Pesanggaran itu.

 Dengan gamblang Ki Ajar Pratonggopati mengulang laporan yang diberikan
Suropati. Bagaimanapun tenangnya, bagaimanapun mengendapnya, akan tetapi Ki Ajar
Kembang Ayun tetap orang tua yang akan cemas jika mendapat laporan bencana, apalagi
bencana itu menimpa anaknya. Lelaki tua berambut putih itu termangu seperti berusaha
menenteramkan diri. Ki Ajar Kembang Ayun yang selalu tenang, ternyata bisa resah.
Pintu ruang semadi kemudian terbuka. Seorang gadis dengan membawa cemas
datang menerobos.
“Ayah. Ayah sudah mendengar berita tentang kakang Parameswara?”
Ki Ajar yang menunduk itu dengan pelahan menatap anak gadisnya. Dyah Narasari,
anak bungsu Ki Ajar Kembang Ayun tidak kalah kaget mendengar warta yang menimpa
kakaknya. Ki Ajar Kembang Ayun hanya bisa menekan dada. Bahwa kematian itu bisa
menimpa siapa saja, dengan cara yang bermacam-macam adalah hal yang biasa. Namun
anaknya mati karena dihisap
cleret tahun? Terlalu sulit bagi Ki Ajar Kembang Ayun
untuk mencerna keadaan itu.
Narasari yang menunggu jawaban ayahnya, merasa degup jantungnya berpacu lebih
kencang. Dyah Narasari tidak sabar.
“Bagaimana Ki Ajar?” tanya Ki Ajar Pratonggopati menyadarkan saudara tuanya.
Ajar Kembang Ayun mengangguk pelahan.
“Kita menyusul ke pantai,” jawab Ki Ajar kembang Ayun dengan nada sangat
lemah.
Dyah Narasari merasa kakinya mendadak lemas. Untuk berdiri seperti tak punya
kekuatan. Bahkan untuk sekadar menangispun tidak.
Tidak berapa lama kemudian beberapa ekor kuda telah berderap meninggalkan
halaman padepokan. Beberapa orang di antaranya membawa obor yang belum
dinyalakan, yang barangkali nantinya akan dibutuhkan.
Di tepi pantai laut selatan, hujan telah mereda. Cahaya bulan bahkan beberapa kali
sempat menerobos sela-sela mendung yang sudah tidak tebal lagi. Angin menyapu
mendung itu ke arah lain namun demikian ombak masih tetap menggila. Dengan dibantu
oleh para murid perguruan yang telah datang menyusul, Mahisa Branjang menyusur
pantai yang porak poranda diacak-acak ombak yang terus datang bergulung-gulung.
Ombak pertama pecah, disusul oleh ombak berikutnya dengan suara gemuruh, pecah pula
saat menghantam tebing.
Harapan Branjang untuk menemukan Parameswara dalam keadaan hidup semakin
menipis. Sehebat apa pun Parameswara itu tidak akan berkutik menghadapi gejala alam
yang sangat liar. Apalagi jika puting beliung itu melemparkannya ke arah laut. Andaikata
demikianlah yang terjadi, apalah yang bisa dilakukan oleh Parameswara?
“Apakah kita perlu menggunakan perahu, Guru?”
Salah seorang muridnya memberikan usulan yang sebenarnya sudah lahir di dalam
benaknya. Dengan menggunakan perahu maka pencarian atas mayat Parameswara akan
bisa dipercepat. Akan tetapi dengan keadaan ombak yang menggila mencari ke laut
dengan menggunakan perahu adalah hal yang malah membahayakan.
“Kita harus menunggu ombak tenang lebih dulu. Tak mungkin menggunakan
perahu dengan keadaan cuaca yang amat buruk.”
Seorang murid datang berlari-lari dengan membawa obor. Rupanya ia menemukan
sesuatu. Mahisa Branjang menyongsongnya.
“Ada apa?” tanya Mahisa Branjang.
“Aku menemukan ini Guru!”
Mahisa Branjang menggigil.
“Di sebelah mana kautemukan ikat kepala ini?” desak Branjang.
“Dibawa ombak,” jawab orang itu.
Keterangan itu memperjelas keadaan, bahwa tubuh Parameswara jelas terlempar ke
laut. Tidak mungkin
cleret tahun Puting beliung itu menghempaskannya ke daratan.
Ken Rahastri yang kembali ke tempat kejadian merasa remuk hatinya melihat ikat
kepala itu. Ikat kepala dari batikan bercorak wulung. Ken Rahastrilah yang dulu membeli
ikat kepala itu di pasar dan menghadiahkannya kepada Parameswara.
“Rahastri,” kata Branjang.
Rahastri yang menunduk itu menoleh.
“Ya, ayah,” jawab gadis itu lirih, nyaris tak terdengar.
“Coba kauulangi lagi, ceritakan peristiwa itu.”
Rahastri menunduk. Dengan terbata-bata Rahastri bercerita.
“Tadi itu paman sedang berlatih menghadapi ombak, ia berenang ke sana kemari
dan menguji kelincahannya dengan berlari di atas permukaan air. Lalu, dari sana muncul
cleret tahun yang besar sekali. Pohon gurdo yang tumbuh di sana tercabut.”
Rahastri menghentikan penuturannya. Tenggorokannya serasa terhambat.
“Apakah pamanmu tidak tahu datangnya bahaya?”
Rahastri yang menunduk itu menengadah dan menebarkan tatapan matanya ke arah
laut. Amat sulit menerima kenyataan yang pahit itu.
“Paman Parameswara tahu kedatangan angin lesus itu ayah. Paman Parameswara
bahkan sudah keluar dari air. Aku sudah mencegahnya akan tetapi paman Parameswara
tidak peduli. Angin lesus itu bergerak semakin dekat, disongsongnya pusaran itu dengan
lontaran aji Riung Laut.”
“Perbuatan amat bodoh,” desis Branjang. “Parameswara benar-benar tidak bisa
mengukur diri. Bahkan ayah Ki Ajar Kembang Ayunpun tak akan sanggup menghadapi
Angin lesus macam itu.”
Para siswa yang memegang obor, ikut menyimak apa yang dituturkan oleh Ken
Rahastri. Seolah mereka tidak ingin kehilangan satu kalimat sekalipun. Ken Rahastri tak
kuasa meredam sedihnya. Air matanya kembali menetes.
“Lanjutkan Rahastri,” lanjut Mahisa Branjang.
“Paman Parameswara yang telah siap itu melenting menghindar sambil melontarkan
kekuatan Aji Riung Laut. Lontaran ajian itu tepat mengenai ujung lidah
cleret tahun,
menyebabkan geraknya justru berubah berputar mengurung paman Parameswara.”
Mulut Rahastri akhirnya terkunci sebagaimana para siswa perguruan yang ikut
menyimak tidak ada seorang pun yang berbicara. Suasana menjadi hening kecuali oleh
gemuruh ombak.
“Kau melihat dengan jelas, saat-saat terakhir apa yang menimpa pamanmu itu?”
desak Branjang
Rahastri mengangguk.
“Paman Parameswara dihisapnya ayah. Angin lesus itu memutar tubuhnya dengan
amat cepat. Terhisap ke atas makin tinggi. Lalu petir meledak menyambar tubuh Angin
lesus itu.”
Branjang lebih kaget. Soal petir, Rahastri tidak menceritakan sebelumnya.
“Dihisap
cleret tahun, masih ditambah disengat petir?” desak Branjang.
“Benar ayah, aku masih sempat melihat,” jawab Ken Rahastri.
“Lalu?” desak ayahnya.
“Aku tidak melihat jelas atas apa yang terjadi kemudian, karena aku kehilangan
kesadaran.”
Mahisa Branjang manggut-manggut. Dengan cerita itu semakin bisa dipastikan
Parameswara tak mungkin selamat. Dengan demikian Mahisa Branjang akan kehilangan
seorang adik, sebagaimana perguruan Kembang Ayun akan berduka, karena salah
seorang anak dari Ki Ajar Kembang Ayun telah tiada.
“Widoro,” kata Branjang sambil menoleh.
Widoro sigap menempatkan diri.
“Ya Guru!” jawab Widoro dengan sigap.
“Sampaikan kepada segenap nelayan yang tinggal di sepanjang pantai ini, kita
membutuhkan bantuan perahu mereka. Jika Laut sudah tenang, kita pergunakan perahu
untuk mencari Parameswara.”
“Baik Guru,” Widoro menjawab dengan sigap.
Sesigap itu pula pemuda itu dalam melaksanakan tugasnya.
Tepat tengah malam rombongan dari Pesanggaran yang dipimpin langsung oleh Ki
Ajar Kembang Ayun datang. Jumlah siswa yang membantu menyisir pantai bertambah
banyak. Dengan demikian pekerjaan itu bisa dilakukan dengan lebih cermat. Ki Ajar
Kembang Ayun yang tua dan letih itu berdiri memandangi bulan yang bulat amat
sempurna. Mahisa Branjang yang telah berada di sebelahnya belum memberikan laporan.
Seolah ada sesuatu mengganjal tenggorokannya.
“Hari apakah ini?” tanya Ki Ajar Kembang Ayun dengan nada yang amat datar.
“Saniscara, ayah,” jawab Mahisa Branjang.
Ki Ajar diam. Namun Branjang tahu, ayah yang sekaligus gurunya itu tengah
menghitung wuku, dan kemudian mencari hubungan, mengapa bencana itu menimpa.
Parameswara yang diharapkan akan menggantikannya menjadi pucuk pimpinan
perguruan Kembang Ayun telah tiada. Sebagai seorang ayah tentu Ki Ajar Kembang
Ayun sangat sedih.
“Mahisa Branjang!” kata Ki Ajar Kembang Ayun.
Mahisa Branjang lebih mendekat.
“Ya ayah!” jawab Branjang.
“Aku menginginkan, mayat adikmu harus bisa ditemukan. Gunakanlah berbagai
cara dan upaya untuk menemukannya.”
Mahisa Branjang mengangguk.
“Baik ayah.”
Dengan dipapah oleh Ki Ajar Pratonggopati, Ki Ajar Kembang Ayun menuju ke
tepian. Di sana sebuah tikar telah digelar. Ki Ajar Kembang Ayun kemudian duduk
bersila. Napas tuanya tampak tersengal.
Sang waktu terus merangkak, manakala melewati tengah malam badai telah tidak
ada bekasnya. Ombak tidak lagi terlampau bergemuruh. Beberapa perahu nelayan segera
didayung ke tengah samudra ketika keadaan sudah dianggap aman. Para nelayan yang
pada umumnya menghormati Ki Ajar Kembang Ayun, membantu mencari mayat
Parameswara dengan senang hati. Namun upaya itu sia-sia, tubuh Parameswara, entah dia
masih hidup atau sudah mati, belum juga ditemukan. Ketika Sang waktu terus bergerak
dan langit timur semburat merah oleh Sang Surya yang datang menyapa, pencarian
  terhadap tubuh Parameswara semakin dipertajam. Jumlah perahu yang datang membantu
semakin banyak, mereka menyebar dengan jarak jelajah semakin luas. Demikian juga di
sepanjang pesisir diperiksa dengan seksama, ibarat tak ada jengkal tanah yang
terlewatkan. Semua orang bekerja dengan tak kenal lelah.
Dari arah di mana Ki Ajar Kembang Ayun berada, terlihat pohon gurdo yang
tumbang. Pohon sebesar itu bisa tumbang, lalu apakah yang diandalkan oleh
Parameswara menghadapi angin lesus yang berupa puting beliung berputar itu.
Apa boleh buat. Parameswara tak mungkin hidup. Jika mayatnya tidak ditemukan,
mungkin tenggelam ke dasar samudra luas dan menjadi mangsa ikan-ikan. Apalagi ketika
pandangan diarahkan ke jauh ke sebelah selatan, tampak dua ekor ikan raksasa sedang
berloncatan timbul tenggelam. Ikan-ikan itukah yang memangsa tubuh Parameswara?
Hingga tengah hari, pencarian yang dilakukan belum membuahkan hasil. Suasana
sedih makin muram. Dyah Narasari yang datang menyusul hanya bisa menelan dukanya.
Bagi Dyah Narasari, Parameswara adalah seorang kakak yang amat baik. Saudara tua
yang disayanginya. Sementara bagi Ken Rahastri, Parameswara adalah seorang paman
yang dikasihi, yang ada kalanya dipanggil kakang karena hubungan batin yang ada dan
mereka simpan dengan rapat.
“Bagaimana Mahisa Branjang?” tanya Ki Ajar Kembang Ayun yang ingin
mendapatkan laporan.
Branjang menunduk. Branjang merasa laporan yang akan disampaikannya itu tentu
akan membuat ayahnya kecewa.
“Maafkan aku ayah. Masih belum ditemukan.”
Jawaban Mahisa Branjang itu terasa datar dan bergetar. Branjang amat kecewa.
Kecewa karena hanya untuk menemukan tubuhnya saja Branjang tidak mampu, juga
kecewa karena Parameswara begitu bodoh. Di mata Mahisa Branjang, tindakan
Parameswara itu memang disengaja. Parameswara memang sengaja mencari kematian.
“Kalau begitu, baiklah,” kata Ki Ajar Kembang Ayun. “Barangkali sudah menjadi
garis hidupnya, Parameswara memang harus mengalami hal seperti itu. Para Dewa di
langit sudah menggariskan Parameswara mati dengan cara seperti itu. Hentikan saja
pencarian.”
Branjang tercekat. Apa yang diucapkan ayahnya itu bagaikan sembilu mengiris.
Seolah sebuah sindiran sekaligus ungkapan kekecewaan karena Parameswara tak berhasil
ditemukan.
“Tidak, ayah!” Mahisa Branjang menolak, “pencarian akan terus kulakukan sampai
mayat adikku itu ditemukan. Sekarang, aku mohon ayah untuk kembali saja ke
Pesanggaran, biarlah aku yang akan terus mencari Parameswara.”
Bukan hanya Mahisa Branjang, akan tetapi juga segenap siswa perguruan Badran
Arus dan Kembang Ayun telah bersatu tekad untuk tetap melakukan pencarian dan tidak
akan kembali sebelum membuahkan hasil. Di dekat pohon pandan raksasa yang biasa
tumbuh di pantai, Ken Rahastri memandang luas lautan dengan tatapan mata yang nanar.
“Di manakah kau paman?” bisik Ken Rahastri pada diri sendiri.
Kesedihan gadis itu nyaris bagai kesedihan seorang gadis yang kehilangan kekasih,
lelaki yang dicintainya. Betapa inginnya gadis itu menganggap apa yang terjadi itu hanya
sekadar sebuah mimpi. Dan mimpi pun lenyap ketika terbangun.
Dyah Narasari yang semula beku, datang mendekatinya.
“Kautahu apa yang sebenarnya terjadi Rahastri?”

Rahastri menoleh pada Bibinya. Bibirnya bergetar.
“Paman Parameswara ditelan
cleret tahun, Bibi.”
Dyah Narasari tersenyum, senyum yang dirasakan agak sinis oleh keponakannya.
“Kakang Parameswara tidak ditelan
cleret tahun. Tetapi dia bunuh diri. Dengan
sengaja ia membenamkan diri ke dalam
cleret tahun itu. Dan kautahu apa penyebabnya
Rahastri. Hubunganmu dengan kakang Parameswara itu merupakan hubungan yang
salah. Hubungan yang janggal itu kini menelan korban.”
Ken Rahastri menelan kata-kata Bibinya itu dengan perasaan sakit. Namun Ken
Rahastri tidak bisa mengelak. Isi hati orang sulit ditebak, demikian juga dengan apa yang
ada di benak Parameswara saat mengambil keputusan membenturkan diri dengan angin
lesus. Ken Rahastri tiba-tiba tersadar. Kini bibinya menyalahkannya. Tidakkah sikap
Dyah Narasari itu juga sikap semua orang yang akan menyalahkannya. Semua orang
akan menyalahkan hubungan yang tidak patut terjadi antara dirinya dengan pamannya.
Paman menjalin cinta dengan keponakan, memang sesuatu yang tidak patut. Amat tidak
patut. Ken Rahastri menggigil oleh kesadaran itu. Dengan kejadian itu, semua orang akan
mengacungkan jari telunjuk padanya. Semua orang akan menuduh Rahastri yang menjadi
penyebab kematian Parameswara.
Perguruan Kembang Ayun di Pesanggaran benar-benar berkabung, duka kental
menyelimuti padepokan yang terletak di kaki Gunung Raung belahan selatan itu.
Hilangnya Parameswara sungguh merupakan kehilangan yang amat besar bagi perguruan
Kembang Ayun di Pesanggaran. Berita itu pun cepat menyebar. Beberapa perguruan
yang berada tidak seberapa jauh seperti perguruan Raung Rodha di
Blambangan18, pucuk
pimpinannya datang melayat menyampaikan bela sungkawa. Juga pimpinan perguruan
Bajulmati yang terletak di ujung utara Banyuwangi datang melayat serta menyampaikan
bela sungkawa. Berita itu pun sampai pula ke Tanah Merah di Kalibaru, para mantan
siswa perguruan Kembang Ayun yang telah mendirikan perguruan sendiri bergegas
datang.
Siang berganti dengan datangnya sore, dan sore digeser kembali oleh datangnya
malam. Upaya menemukan Parameswara tidak membuahkan hasil. Rasanya semuanya
belum lega. Semua orang masih berharap Parameswara masih hidup meski hal itu
sebenarnya tak mungkin. Barulah kematian itu bisa dianggap kematian yang sebenarnya
manakala mayat Parameswara ditemukan.
Mahisa Branjang akhirnya memang harus melihat kenyataan. Upaya menemukan
tubuh Parameswara sia-sia belaka. Besar kemungkinan mayat adiknya itu dijatuhkan ke
tengah laut oleh angin ribut puting beliung yang meringkusnya. Dan, boleh jadi tubuh
adiknya itu menjadi santapan ikan-ikan, mungkin ikan-ikan itu adalah sepasang ikan
raksasa yang akhir-akhir ini sering menampakkan diri timbul tenggelam di laut selatan
itu.
Para siswa yang ditugaskan menemukan Parameswara telah ditarik pulang. Hanya
ada beberapa nelayan yang dengan suka rela terus melakukan pencarian. Dengan penuh
pengabdian mereka melakukan pencarian, semata-mata karena kecintaan mereka pada
perguruan Kembang Ayun. Dalam kehidupan sehari-hari Ki Ajar Kembang Ayun telah
banyak membantu mereka melalui petunjuk bercocok tanam, mengobati mereka yang
  sakit dan karena nyaris semua masalah bisa terselesaikan bila dibawa ke Kembang Ayun
di tanah Silir Pesanggaran.
Malam berikutnya di hari
Radite itu perguruan Kembang Ayun terang benderang
oleh banyaknya obor yang dinyalakan. Di halaman perguruan itu tidak lagi terdengar
suara teriakan-teriakan keras para siswa yang berlatih namun digantikan oleh keheningan
yang senyap. Semua orang berduka, semua orang larut dalam kesedihan.
Bulan purnama telah lewat sehari namun cahayanya tetap benderang. Beberapa ekor
kalong tidak peduli dengan duka yang tengah menimpa perguruan Kembang Ayun itu,
mereka terbang dari dahan ke dahan, hinggap dari pohon pepaya dengan buah matang,
terbang ke pohon mangga yang juga berbuah matang. Buah jambu diobrak-abrik oleh
kelelawar yang suaranya mencicit. Jambu-jambu muda berjatuhan. Di bawah pohon
jambu dersono, putik malai yang runtuh berwarna merah tebal bagai permadani.
Dyah Narasari tak betah berada di ruang dalam. Gadis itu berjalan mondar-mandir
di pringgitan. Udara yang sebenarnya terasa sejuk amat gerah baginya. Dyah Narasari
kemudian melangkah ke halaman depan. Bintang-bintang jadi perhatiannya.
“Kau akan ke mana Narasari?” Ki Ajar Taji Gading menyapanya.
Taji Gading juga berhak disebut Ki Ajar, karena ia masih saudara seperguruan
dengan Ki Ajar Kembang Ayun, sebagaimana Ki Ajar Pratonggopati.
“Bersediakah paman menemaniku?” Dyah Narasari balas bertanya.
Ki Ajar Taji Gading bangkit dan kemudian berjalan mendampingi Dyah Narasari.
Gadis itu terus berjalan tanpa berbicara ke jalan melewati regol dinding pagar. Beberapa
orang siswa perguruan memberikan penghormatan kepadanya.
“Kenapa kakang Parameswara melakukan perbuatan itu paman?” Dyah Narasari
membuka percakapan sambil berjalan.
Ajar Taji Gading tak segera menjawab.
“Tak seorang pun yang tahu jawabnya, Narasari,” jawab Ki Ajar Taji Gading.
“Apakah karena keinginannya untuk menjalin hubungan dengan Ken Rahastri
ditentang oleh semua pihak?”
Ki Ajar Taji Gading mencerna sejenak, lalu manggut-manggut seperti berusaha
menemukan jawaban yang paling sesuai.
“Sulit mencerna jalan pikiran Parameswara,” Ki Ajar Taji Gading mengawali
kalimatnya “Mestinya Parameswara mampu menggunakan akalnya, bahwa amat tak
pantas ia menjalin hubungan cinta kasih dengan Ken Rahastri, anak Branjang.”
Dyah Narasari kecewa sekali. Andai saja Rahastri itu orang lain yang tidak ada
hubungan darah, tentu semuanya tidak akan ada yang keberatan. Akan tetapi Ken
Rahastri itu anak kakaknya, anak Mahisa Branjang saudara tuanya. Hanya orang yang
keblinger dan tidak mampu menggunakan akal waras tega mencintai keponakan sendiri.
Hanya binatang yang tak bisa membedakan hal itu.
Dyah Narasari berdesah dengan tarikan napas berat, seolah udara yang ada tidak
cukup untuk mengisi paru-parunya.
“Sebenarnya, apa angin lesus itu, paman?”
Seumur-umur Dyah Narasari hanya sekali melihat
cleret tahun, dan itu pun cleret
tahun
yang kecil saja. Narasari tak pernah berpikir betapa cleret tahun memiliki kekuatan
yang amat dahsyat, yang ternyata sanggup menjebol pohon
bramastana19, padahal pohon
itu bukan pohon sembarangan. Hanya kekuatan raksasa yang akan sanggup mencabut dan
mencabik-cabiknya.
Cleret tahun berkesanggupan melakukan itu.
“Bagaimana paman?” Dyah Narasari mengulang.
Ki Ajar Taji Gading menebar pandang.
“Tak jelas bagaimana
cleret tahun itu tercipta. Ada sebagian orang yang percaya,
angin meliuk itu disebabkan Dewa Bayu marah. Dewa Bayu murka kepada umat manusia
yang tidak tahu diri. Maka menjelmalah
cleret tahun sebagai peringatan.”
Narasari menoleh pada pamannya. Narasari rupanya membutuhkan jawaban yang
bukan sekadar dongeng.
“Beri aku cerita yang masuk akal, paman,” desaknya.
Ki Ajar Taji Gading tersenyum.
“Aku juga punya pertanyaan seperti itu Dyah Narasari. Aku sering merenung dan
mencari jawab, apa sebenarnya angin lesus itu. Mengapa ia bisa berputar serta sanggup
memporak-porandakan apa pun. Namun meskipun paman telah memeras pikiran untuk
menemukan jawabnya, paman tidak berhasil mengetahui apa rahasianya, atau mengapa
benda macam itu ada.”
Dyah Narasari merasa tak puas dengan jawaban itu.
“Ayah Ageng Kembang Ayun menguasai ajian Riung Laut yang sangat dahsyat.
Aku pernah melihat sendiri, ayah mengayunkan ajian itu yang dihantamkan pada pohon
jati tahun. Pohon jati tahun itu tumbang. Bagaimana kalau ayah Ageng Kembang Ayun
dihadapkan dengan angin lesus itu?”
Ki Ajar Taji Gading tertawa. Lelaki dengan ikat kepala hitam itu tidak menjawab
dan membiarkan Dyah Narasari mencari jawabnya sendiri. Dyah Narasari kemudian
membayangkan, entah apa jadinya jika perkampungan di mana ia tinggal dijarah badai
dan angin lesus. Jika pohon raksasa saja bisa tumbang, tentu rumah-rumah akan
berantakan tak keruan dilibas.
Malam menukik. Kabut Gunung Raung mulai turun.
Senyap makin terasa di padepokan dengan bangunan utama berupa pendapa besar
dengan beberapa pringgitan di kiri kanan dan belakangnya. Namun para siswa, para
cantrik dan para putut menghabiskan malam itu dengan melekan20.
Tak seorang pun yang tidur.
Kabut gunung yang turun menebar ke mana-mana. Meski kabut itu tidak terlampau
tebal namun membatasi jarak pandang.
Adalah Ken Rahastri di Badran Arus yang membayangkan kabut itu seolah ombak
laut selatan yang telah menelan pamannya. Kabut yang bila teraduk dan terus bergerak
akan berubah menjadi pusingan dahsyat. Rahastri yang termangu di depan jendela terus
mengikuti ke mana arah gerak lamunannya. Dan kabut berhawa dingin itu seperti
memanjakannya, menuruti dan mengikuti ke mana pun lamunan gadis berbalut duka itu
melayang.
Tiba-tiba gadis itu tersentak. Ada sesuatu yang mengagetkannya. Rahastri
membuka jendela lebih lebar dan mengkucal-kucal matanya. Akan tetapi sosok yang
dilihatnya agak samar itu tetap tegak di tempatnya. Dengan pelahan Ken Rahastri
membuka pintu kamarnya lebih lebar dan segera meloncat keluar. Nyaris Rahastri

meledak dan berteriak. Tetapi sosok yang berada di depannya itu buru-buru meletakkan
telunjuk jari ke bibir, sebuah isyarat agar ia tidak bersuara.


6.(Rangkaian peristiwa tahun 2011.)
Dokter Wisnu merasa tidak nyaman oleh rasa kantuknya saat harus membuka pintu
karena gedoran yang keras. Gedoran itu semula hanya ketukan, akan tetapi karena
ketukan saja tidak membangunkannya maka derajadnya dinaikkan menjadi sebuah
gedoran. Dilakukan itu oleh pasangan suami istri yang gelisah oleh keadaan aneh yang
dialami oleh anak lelakinya yang teriakan kesakitannya terdengar sampai ke seberang
jalan.
“Sebentar,” Dokter Wisnu menjawab.
Dokter Wisnu membuka ruang prakteknya dan mempersilahkan tamunya masuk.
Namun dengan segera Dokter Wisnu kaget. Dokter Wisnu memandangi tamu-tamunya
dengan tanpa berkedip.
“Lhoh, kok kamu?” Dokter Wisnu meletup.
Pasangan suami istri itu hanya tersenyum.
Dokter Wisnu mengenal mereka sejak masih kuliah. Yudawastu dan Tantri Praba
adalah teman seangkatan akan tetapi masing-masing mengambil jurusan berbeda.
Yudawastu mengambil jurusan ilmu hukum sementara Tantri Praba ~ bagaimanapun
wanita ini tidak mungkin dilupakan karena pernah menempati sebagian hatinya dan
menjadi salah satu penyebab mengapa ia pilih melajang sampai sekarang ~ memilih
jurusan pendidikan. Setelah dua belas tahun berlalu, maka kali inilah pertemuan itu
terulang kembali.
“Ada masalah apa?” tanya Dokter Wisnu sambil berusaha menguasai diri.
“Ada sesuatu yang aneh pada anakku. Tolong diperiksa apa penyakitnya,” jawab
Tantri Praba.
Dokter Wisnu mengalihkan pandang matanya kepada Yudawastu.
“Telapak tangan kanannya,” tambah Yudawastu yang bernama lengkap Yudawastu
Widhiyaksa.
Bocah berusia sepuluhan tahun itu berusaha sekuat tenaga menahan rasa nyeri.
Agaknya ia sangat kesakitan dengan adanya benda aneh yang mengeram di telapak
tangan kanannya. Dokter Wisnu memeriksa dengan penuh perhatian, bahkan raut
wajahnya berubah menjadi amat tegang. Kondisi alergi akut diyakini akan segera
menimpa bocah itu.
“Anakku kenapa?” tanya ibu bocah itu.
Dokter Wisnu menyapu wajah suami isteri itu bergantian dengan tidak menutupi
gelisahnya. Gelisah itu dengan sendirinya menular. Tantri Praba meraih kepala anaknya
dan bergegas memberikan kehangatan melalui pelukan.
“Ada apa dengan anakku?” Yudawastu Widhiyaksa membutuhkan jawaban dengan
amat segera.
“Siapa nama anakmu?” tanya Dokter Wisnu.

 “Elang Bayu Bismara, panggilannya Bayu atau Bismara,” jawab Tantri.
Dokter Wisnu menatap penuh selidik.
“Sejak kapan Bayu ketempatan benda aneh di telapak tangannya ini?” lanjutnya.
“Tiga jam ini,” jawab Ibunya. “Sore tadi ia biasa saja, main sepak bola dengan
teman-teman barunya. Tetapi mungkin kehujanan setelah itu menjadi penyebabnya? Ia
menjerit-jerit ketika sedang tidur dan kami mengalami kesulitan membangunkan. Apa
boleh buat, suamiku sampai harus menamparnya supaya ia bangun. Sesuatu ternyata telah
berada di tangannya.”
“Sesuatu yang ada kaitannya dengan mimpinya?” tanya Dokter Wisnu.
“Ya,” jawab Yudawastu Widhiyaksa.
Lalu suasana menjadi hening, amat senyap karena hari telah larut malam. Rumahrumah sebelah di perumahan mewah itu tak satu pun yang masih membuka pintu. Dalam
siraman cahaya senter di ruang praktek itu, sesuatu terlihat meringkuk di telapak tangan
Bismara. Bocah itu merasa sangat menderita dan sebagaimana perkiraan Dokter Wisnu,
gejala alerginya makin memuncak.
“Gatal, mah. Gatal!” keluhnya sambil menggaruk sekujur tubuhnya.
“Ditahan sayang, ditahan ya,” jawab Ibunya dengan kesedihan yang bukan
kepalang.
Dokter Wisnu bingung, atau lebih tepatnya ia merasa cemas. Yang bisa ia lakukan
hanyalah tindakan standard dengan mencoba mengatasi alerginya tetapi tidak berani
mengusik sesuatu di telapak tangan bocah itu. Apa yang menimpa bocah itu, jelas sama
dengan pasien Dokter Rustamaji beberapa hari sebelumnya, di antara hiruk pikuk mereka
yang merayakan datangnya tahun baru, dokter Rustam mati menjadi korban operasi yang
dikerjakannya.
Sebuah kasus aneh dalam ilmu kedokteran. Operasi terhadap sesuatu meringkuk di
telapak tangan itu.
“Yuda dan Tantri, kalian sahabat-sahabatku, karena ada hubungan sangat khusus
itulah maka ijinkan aku bicara apa adanya, kalian siap mendengar?” tanya Dokter Wisnu
sambil menyiapkan anti histamin untuk meredam alergi pasiennya.
Bagai bersepakat Yudawastu Widhiyaksa dan Tantri mengangguk bersamaan.
“Ya,” Tantri menambahi dengan ucapan.
“Kejadiannya malam tahun yang baru. Dokter Rustamaji, dokter yang sangat senior
dan dulu dosenku menemui ajalnya karena mengoperasi kasus macam ini. Jujur aku harus
mengatakan, sebagaimana apa yang diucapkan dokter Rustamaji, bahwa kasus yang
dihadapinya adalah bukan kasus biasa, kasus macam ini belum ada referensinya di ilmu
Kedokteran. Aku sama sekali tidak bisa memberikan penjelasan ilmiah apa pun. Yang
jelas, dan sungguh merupakan pelajaran luar biasa, aku tak boleh mengeluarkan benda di
telapak tangan itu karena ia punya kemampuan membunuh. Dokter Rustamaji mati lebih
karena mengalami keracunan luar biasa. Sementara pasiennya,….”
Wajah Tantri Praba dan suaminya amat tegang. Penjelasan yang diterima itu sangat
mengerikan karena menyangkut nasib anak mereka.
“Pasiennya bagaimana?” tanya Yudawastu Widhiyaksa.
“Pasiennya seorang pemuda belum berumur dua puluh lima tahun, sejak memiliki
benda aneh macam milik anakmu itu, ia mengalami amnesia.”
Yudawastu Widhiyaksa dan istrinya saling pandang. Kecemasan yang menyapu
wajah mereka semakin memuncak. 
“Benda apa sebenarnya yang berada di tangan anakku itu, dokter?” Tantri Praba
bertanya.
“Kaulihat benda itu bisa menggeliat?”
Tantri memerhatikan telapak tangan anaknya dengan cermat. Kebetulan dan atau
tepatnya seperti membenarkan pertanyaan Dokter Wisnu atau lebih tepat lagi seperti
mengancam untuk jangan coba-coba mengeluarkan dari telapak tangan itu, benda tidak
dikenal itu menggeliat.
“Benda itu hidup atau makhluk hidup entah apa yang numpang seperti parasit di
telapak tangan anakmu. Dokter Rustam baru mengawali menginjeksikan anastesi tepat di
benda hidup itu, tak jelas bagaimana kejadiannya, yang jelas Dokter Rustam tak lagi bisa
kita temui sekarang.”
Gugup pasangan suami isteri itu, mereka gelisah dan tidak bisa memahami kenapa
bencana macam itu bisa menimpa anak mereka. Bismara baru berusia sebelas mau ke dua
belas tahun, masih bocah dan belum bisa disebut remaja. Mengapa dalam usia seperti itu
harus mengalami peristiwa mengerikan macam itu.
Padahal, persoalannya bukan usia. Singgungan dengan benda tidak dikenal itu bisa
menimpa siapa saja tak pandang usia. Lebih tepat jika dilakukan pendekatan takdir.
“Tolong lakukan sesuatu Dok,” ucap Yudawastu Widhiyaksa yang tak tega melihat
penderitaan anak lelakinya.
Pelahan tetapi pasti, proses terjadinya alergi itu terlihat dengan sangat jelas. Bayu
memiliki tenaga luar biasa untuk melawan siapa pun yang berusaha mencegahnya
menggaruk bagian-bagian tubuhnya yang gatal, padahal gatal itu merata di sekujur
tubuhnya, apa pun yang tersentuh tangannya pasti sedang terasa amat gatal.
Pucat pias Tantri Praba menyaksikan perubahan muka anak lelakinya. Hidungnya
menebal kemerahan, matanya agak memerah seperti orang sedang memendam amarah,
lalu bintil-bintil muncul di mana pun, di leher, di lengan, di tangan dan di muka, maka
lenyap wajah Elang Bayu Bismara menjadi wajah lain. Tantri dan suaminya tak mungkin
mengenali wajah itu sebagai wajah anak lelaki kesayangannya jika tidak mengikuti dari
sejak awal, bagaimana perkembangan itu terjadi dari semula.
“Mama, sakit,” keluh bocah itu dengan suara nyaris habis.
Namun anti alergi yang diminum bocah itu agak lumayan membantu. Beberapa
jenak setelah itu gatal-gatal di tangannya mereda dan kulitnya kembali rata. Pengaruh
kantuk sebagai akibat sampingan anti histamin menyebabkan ia mengantuk luar biasa
apalagi dosis yang diberikan harus lebih melebihi takaran semestinya. Beberapa jenak
setelah itu, bocah itu lelap.
“Bagaimana selanjutnya?” tanya Tantri setengah berbisik. “Lantas bagaimana
kehidupan anakku dengan benda itu menempel di tangannya? Ia akan tetap di sana
sebagai parasit? Bagaimana kalau ia berkembang biak? Bagaimana Dokter?”
Dokter Wisnu hanya bisa menghela napas, sejujurnya ia angkat tangan tidak bisa
berbuat apa-apa.
“Yang bisa aku janjikan adalah, aku akan membawa kasus ini sebagai kasus baru
dan sangat aneh yang harus dicermati di jurnal kedokteran bulan depan. Apalagi secara
nyata kasus ini meminta korban nyawa dokter yang berusaha mengoperasinya. Kurasa,
semua dokter akan mengarahkan perhatiannya pada anakmu. Percayalah padaku, semoga
ditemukan cara untuk mengeluarkan dari tangannya.”

Yudawastu Widhiyaksa yang termangu bisa memahami itu. Apa yang dialami
Bismara memang merupakan kasus baru, seperti penyakit-penyakit lain yang pernah
malang melintang awalnya juga menempati posisi seperti itu. Penyakit malaria yang
banyak meminta korban, ebola yang menggegerkan Afrika dan atau Aids yang baru
setahun yang lalu ditemukan obat penangkalnya.
“Soal amnesia?” tanya Yudawastu Widhiyaksa.
“Aku tak tahu apakah yang demikian juga akan terjadi pada anakmu. Dalam hal
kasus yang ditangani almarhum Dokter Rustam, orangnya amnesia. Ia tidak ingat siapasiapa, tidak ingat orang tuanya, bahkan gara-gara itu rencana pernikahannya ditunda
tanpa batas waktu.”
Apa yang dikatakan Dokter Wisnu benar, kecemasan itu menjadi kenyataan.
Esok harinya ketika matahari kembali menyapa, ketika setelah semalaman
Yudawastu Widhiyaksa dan istrinya menunggui tidur anaknya harus dibenturkan pada
kenyataan pahit dan menyedihkan.
“Di mana aku?” Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya.
Tantri Praba yang merasa sebagai ibu kandung yang melahirkannya, meraung-raung
menangis ketika Bismara tak hanya bertanya di mana berada, akan tetapi juga
pertanyaan-pertanyaan lain.
“Aku siapa? Siapa namaku?”


7.(Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka.)
Ken Rahastri yang terkejut tidak bisa menguasai diri. Ia telah meloncat keluar dari
jendela biliknya. Isi dadanya nyaris meluap menjadi sebuah banjir bandang yang tidak
tertahan. Ken Rahastri mengkucal-kucal matanya, akan tetapi sosok yang kini berada di
depannya sama sekali tidak berubah.
“Kakang Parameswara?” suaranya serasa tertelan.
Parameswara tersenyum, ia lakukan itu untuk meyakinkan Ken Rahastri bahwa
yang berada di depannya bukan hantu. Benar-benar dirinya.
“Ini aku,” jawab pemuda itu.
Ken Rahastri cemas apa yang dialaminya itu hanya sebuah mimpi yang akan hilang
manakala kesadarannya kembali. Ken Rahastri mencubit lengan sendiri, ternyata terasa
sakit. Berarti memang kemunculan pamannya yang dikira mati itu bukan mimpi. Ken
Rahastri juga menyentuh lengan Parameswara, sentuhan di tangan pamannya itu tidak
menyebabkan pamannya lenyap. Sosok di depannya itu benar-benar nyata.
Akan tetapi justru karena itu perasaannya meluap. Ken Rahastri akan berteriak
membangunkan semua orang, memberitahukan kedatangan Parameswara namun dengan
sigap Parameswara meloncat dan mendekap mulutnya.
“Jangan berteriak Rahastri. Ayo, ikuti aku.”
“Kau, masih hidup kakang?” Ken Rahastri merasa sangat penasaran.
Gugupnya tak juga lenyap.
“Ceritanya panjang Rahastri.”

Ken Rahastri amat senang bukan kepalang. Dengan bergegas ia ikuti ke mana
langkah paman yang ia panggil olehnya kakang itu. Parameswara menuntunnya melalui
pekarangan samping dan kemudian melalui jalan setapak menuju bulak panjang. Meski
Ken Rahastri merasa heran, akan tetapi ia ikuti terus langkah kaki itu.
“Kenapa kauajak aku ke sini kakang?”
Parameswara tidak menjawab, ia pandangi bulan di langit. Kabut tebal yang turun
menyebar ke mana-mana.
“Kakang, ternyata kau masih hidup? Bagaimana kau masih hidup, atau, apakah kau
ini hantu?” Rahastri tak mampu menguasai diri.
Parameswara tertawa sejuk.
“Rahastri, aku ingin mengajakmu minggat.”
Apa yang diucapkan Parameswara itu ternyata bukan jawaban dari pertanyaan yang
diberikan Ken Rahastri kepadanya, hal itu menyebabkan Ken Rahastri terlonjak.
Minggat?
“Kakang Parameswara akan membawaku minggat?” penasaran gadis itu.
Ken Rahastri lebih mendekat dan memerhatikan wajah pamannya itu. Wajah yang
amat tampan namun sarat dengan beban itu diusapnya. Jelas bukan mimpi.
“Kau akan membawaku minggat ke mana?” tanya gadis itu bingung.
Parameswara mengulurkan tangan. Ken Rahastri menerimanya dengan tanpa
keraguan. Keduanya saling genggam. Beberapa jenak Ken Rahastri bahkan menjatuhkan
diri ke dalam pelukan pamannya.
“Kita pergi Rahastri. Kita minggat sejauh-jauhnya ke sebuah tempat yang tak akan
diketahui oleh siapa pun, di sana kita bisa menjadi suami isteri tanpa ada orang yang
mengusik.”
Rahastri tercekat. Sesuatu seperti mengganjal leher.
“Tetapi aku keponakanmu, paman.”
Parameswara menggeleng.
“Kau bukan keponakanku Ken Rahastri, dan aku bukan pamanmu. Kau dan aku
tidak ada hubungan darah. Ki Ajar Kembang Ayun itu bukan ayahku.”
Ken Rahastri merasakan permukaan jantungnya berdesir, bagaikan dirambati
beberapa ekor semut.
“Janganlah paman menjadi anak yang
deksura21, yang kehilangan rasa hormat dan
menjadi durhaka terhadap orang tuanya,” kata Ken Rahastri.
Parameswara menggeleng.
“Tidak ada siapa pun di dunia ini orang yang aku hormati setulus hati karena cinta
dan kasihnya yang diberikan kepadaku seperti ayahku, ayah Ajar Kembang Ayun di
Pesanggaran. Aku sangat mencintai dan menghormatinya.”
Mencuat ke dua alis Ken Rahastri.
“Mengapa kakang Parameswara menyebut tidak ada hubungan darah?” Rahastri
sangat penasaran.
Parameswara menyempatkan menghimpun tarikan napas amat dalam.
“Ada orang yang memberitahu aku, bahwa aku ini bukan anak Ki Ajar Kembang
Ayun. Aku juga tidak pantas mewarisi kekuasaan sebagai pucuk pimpinan perguruan
Kembang Ayun.”

Rahastri manggut-manggut, alisnya lagi-lagi mencuat. Rasa penasarannya mulai
terbangun dan beranak-pinak. Namun di sela rasa penasaran itu Ken Rahastri masih
sempat menikmati rasa takjubnya mendapati kenyataan, betapa Parameswara ternyata
masih hidup. Bencana angin lesus itu tak sampai merenggut jiwanya.
“Jadi, kau hanya anak angkat Ki Ajar?” tanya Rahastri.
Parameswara mengangguk menyebabkan Ken Rahastri merasa janggal.
Akan tetapi Parameswara meyakini ucapannya.
“Aku hanya anak angkat beliau. Hal itulah yang menyebabkan aku kukuh pada
pendirianku, tidak ada halangan yang tidak pantas atau batas yang tidak patut yang aku
hadapi.”
Ken Rahastri perlu mencerna ajakan itu beberapa saat. Ken Rahastri merasa lega
karena ternyata memang tidak ada hambatan hubungan darah yang merintangi keinginan
mereka, namun mengikuti Parameswara minggat yang berarti pergi dari kampung
halaman dan berpisah dengan orang tua yang dikasihinya merupakan hal yang amat tidak
mungkin.
“Siapa orang yang memberitahu, bahwa kau bukan anak Eyang Ageng Kembang
Ayun di Pesanggaran?” desak Ken Rahastri.
Parameswara menggeleng.
“Kenapa kakang?”
Parameswara berdesah.
“Aku tidak tahu siapa orang itu karena saat ia muncul serta menemuiku dari gelap
malam, wajahnya ditutup kain hitam. Orang itulah yang memberitahu jati diriku. Orang
itu mengatakan dan mampu memberikan bukti kepadaku, bahwa aku memang tak berhak
mewarisi kekuasaan ayah Ki Ajar Kembang Ayun.”
Ken Rahastri pun manggut-manggut pelan.
“Mengapa kakang Parameswara tidak menerima kenyataan itu? Mengapa kakang
tidak membicarakannya saja secara terbuka dengan Eyang? Kalau semua orang akhirnya
tahu, bahwa kakang Parameswara ternyata hanyalah anak angkat, maka semua orang
akan memaklumi hubungan kita.”
Parameswara menggeleng.
“Tidak Rahastri,” jawab Parameswara. “Aku memang harus pergi. Kebetulan sekali
semua orang sudah menganggapku mati ditelan angin lesus, semua orang akan
menganggap aku telah tiada. Aku akan pergi.”
Ken Rahastri mencuatkan alisnya semakin tinggi. Rahastri tetap sulit memahami.
Mengapa harus minggat?
“Aku akan mencari orang tua kandungku,” Parameswara melengkapi.
Rahastri kembali manggut-manggut dan termangu beberapa jenak.
“Jadi, kakang Parameswara merindukan keberadaan orang tua kandung yang telah
mengukir jiwa dan raga kakang?”
Pertanyaan itu memaksa Parameswara tersenyum. Pemuda tampan itu menggeleng.
“Tidak Rahastri. Aku hanya tidak bisa mengerti mengapa ada orang yang begitu
tega membuang anaknya sendiri. Binatang saja tidak sekejam itu. Seharusnya, jika ada
seorang lelaki dan perempuan berani berbuat maka harus berani menghadapi akibat.
Lihatlah aku ini yang ternyata anak buangan. Mungkin saja ibu yang melahirkan aku itu
seorang wanita yang hina, yang tidak punya derajad. Aku dibuangnya begitu saja seperti
orang membuang kotoran.”

Bergegas Rahastri memeluk Parameswara. Ucapan itu terasa mengerikan.
“Jika demikian, untuk apa kakang harus pergi mencarinya?”
Suara Parameswara kemudian terdengar amat datar, “aku ingin tahu, seperti apa
ujut mereka. Aku akan memperkenalkan diri sebagai Parameswara, anak hina yang
mereka buang. Kalau perlu aku akan meludahi mereka.”
Menggigil Rahastri. Gadis itu tak mengira di dalam hati pamannya ada perasaan
mengerikan seperti itu.
“Kau mau ikut?” tanya Parameswara kemudian.
Ken Rahastri melepaskan diri dari pelukan Parameswara dan dengan seksama
dipandanginya lelaki yang telah menjerat hatinya itu.
“Persoalannya tidak sesederhana yang kaubayangkan kakang. Minggat itu berarti,
aku harus berpisah dari ayah dan Ibuku. Tegakah kau memisahkan aku dari mereka?”
Parameswara terbungkam mencernakan ucapan keponakannya itu. Sebenarnyalah
memang berat bagi Ken Rahastri untuk meninggalkan orang tuanya.
“Tetapi, apa kau akan menerima begitu saja calon suami yang disodorkan ayahmu
padamu itu? Kau menerimanya?”
Apa yang diucapkan Parameswara itu memang menohok hatinya. Anak pimpinan
perguruan Badran Arus itu bagaikan makan buah simalakama, menghadapi keadaan yang
serba membingungkan. Dimakan ibu mati, tidak dimakan Bapak yang mati, keduanya
merupakan pilihan yang sama beratnya.
“Kalau aku tidak mau, apakah kakang tetap akan pergi?”
“Ya!” jawab Parameswara dengan yakin.
Rahastri kemudian terdiam. Mulutnya terkunci. Gadis itu tidak bisa menguasai
gejolak perasaannya. Sejenak kemudian air matanya mulai bergulir menetes membasahi
pipi. Lembut Parameswara mencium kening keponakan yang dicintainya itu.
Kabut yang turun melayang-layang menyebar ke segenap sudut. Dari kejauhan
terdengar lolong serigala yang melengking menyayat sangat memilukan. Untuk beberapa
saat Parameswara dan Rahastri diam tidak bersuara, keheningan itu dikuasai oleh suara
jangkrik dan cenggeret yang bersahutan.
“Aku tidak mungkin ikut, paman,” terdengar serak suara Rahastri itu.
Rahastri tidak lagi memanggil kakang namun mengubahnya ke panggilan yang
seharusnya digunakan, paman. Parameswara tidak kaget mendengar jawaban itu. Bahwa
akan seperti itulah jawaban yang diterimanya membuat Parameswara sangat maklum dan
mengerti.
“Aku tidak akan sanggup meninggalkan ibu. ibu tentu sangat bersedih kehilangan
aku, anaknya semata wayang. Ayahku juga akan sangat kehilangan. Aku tidak mungkin
melukai perasaan mereka dengan melakukan sesuatu yang tak mereka kehendaki. Bahkan
sebagai tanda bakti dan cintaku pada mereka, aku menerima perjodohan dengan calon
suamiku yang belum pernah kulihat ujutnya. Aku yakin tidak ada orang tua yang akan
menyengsarakan hidup anaknya. Pilihan ayah dan ibu atas calon suamiku, tentunya sudah
dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Aku tak mungkin ikut.”
Parameswara tersenyum walau betapa getirnya.
Parameswara harus melihat kenyataan, jika Rahastri tidak mungkin mengikutinya
adalah hal yang memang seharusnya. Bakti seorang anak kepada orang tua seharusnya
mengalahkan cinta seorang gadis kepada lelaki. Bahkan Parameswara harus mengakui,
apa yang dilakukan itu, seandainya benar ia membawa minggat Rahastri, adalah

merupakan tindakan pengecut. Ki Ajar Kembang Ayun yang ia hormati tentu
menyalahkannya.
“Kalau begitu, aku akan pergi tanpamu!”
Serak sekali suara itu. Perih sekali Ken Rahastri menerimanya.
“Sekarang kembalilah. kakang Branjang tentu akan kebingungan melihat kau tidak
ada di rumah.”
Ken Rahastri mendadak merasakan ngilu dan nyeri di ujung hatinya. Sehari yang
lalu hatinya telah dibuat pontang-panting karena mengira Parameswara tewas ditelan
cleret tahun, sekarang ia akan kehilangan? Benar-benar kehilangan? Ken Rahastri
mempererat pelukan. Di sisi yang lain, Rahastri benar-benar tidak siap berpisah dari
pamannya itu.
Pada saat yang demikian itulah, tiba-tiba keduanya terlonjak kaget, oleh sebuah
suara bergelak yang tak diketahui dari mana asalnya. Parameswara dan Rahastri segera
melepas pelukan, keduanya mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
“Siapa itu?” suara Parameswara terdengar lantang, akan tetapi tenggelam dalam
tebalnya kabut yang turun.
Parameswara dan Rahastri tidak perlu menunggu lebih lama karena sejenak
kemudian berkelebat bayangan orang dengan jubah hitam dan wajah diselubungi topeng.
Parameswara mengenali orang itu. Akan tetapi Parameswara diam menunggu orang itu
lebih dulu menyapanya.
“Bukan main,” orang itu berbicara sambil tertawa. “Semua orang telah kautipu
dengan baik Parameswara. Semua orang mengira kau sudah mati ditelan
cleret tahun.”
Orang itu menggunakan suara perut, ia lakukan itu dalam rangka mengubah warna
suara agar jangan bisa dikenali. Beberapa bulan yang lalu Parameswara bertemu dengan
orang berjubah itu. Orang itulah yang membongkar rahasia kedudukannya di Perguruan
Kembang Ayun, Bumi Pesanggaran. Akan tetapi meskipun Parameswara telah berusaha
mengenalinya Parameswara tidak berhasil mengetahui jati dirinya. Ketika Parameswara
memaksakan kehendak dengan menggunakan ilmu
kanuragan, Parameswara kaget
karena orang itu memiliki kemampuan
olah kanuragan yang tinggi, Parameswara bukan
tandingan orang itu.
Yang jelas, meskipun orang itu menguasai ilmu
kanuragan dari jalur perguruan
Kembang Ayun, ternyata juga menguasai ilmu dengan jurus-jurus aneh berasal dari jalur
perguruan lain. Bahwa orang itu menyelubungi dirinya dengan menggunakan topeng,
seandainya topeng itu dibuka, Parameswara tak bisa mengenalinya karena di balik topeng
itu ternyata masih ada topeng yang lain, di balik wajah masih ada wajah yang lain. Ketika
bertemu pertama kali, dari lapisan topeng yang dikenakan, ia menunjukkan topeng yang
lain dengan raut muka berbeda.
Orang itu masih tertawa, Ken Rahastri penasaran.
“Kau sungguh cerdik Parameswara. Bahkan aku sendiri mengira kaubenar-benar
mati ditelan
cleret tahun itu, rupanya itu hanya sebuah cara yang kaugunakan untuk
melarikan diri. Pintar sekali kau Parameswara!” ucap orang itu.
Orang berjubah dengan wajah disembunyikan di balik topeng itu tertawa berderai.
Ken Rahastri tak bisa menahan rasa penasarannya.
“Siapa kau?” bentaknya.
Orang itu terdiam beberapa jenak menjeda waktu.

“Aku? kau bertanya siapa aku? Sayang sekali aku keberatan membuka jati diriku
Ken Rahastri.”
Orang itu ternyata mampu menyebut nama gadis itu dengan benar, seolah telah
mengenalnya dengan cukup baik. Ken Rahastri, tanpa ragu berjalan mendekatinya. Akan
tetapi orang itu tidak mau didekati, orang itu melangkah mundur.
“Kau Eyang Ajar Taji Gading?” Rahastri mencecar.
Oleh pertanyaan itu, orang berjubah itu terdiam namun diam itu segera disusulnya
dengan suara tertawa yang bergema dan terdengar tidak wajar. Jelas Sebuah upaya untuk
membuat suaranya menjadi tidak wajar agar tak mudah dikenali.
“Ajar Taji Gading? kau mengira aku Taji Gading? Kau tentu sedang berolok-olok.
Tentu saja aku bukan Ajar Taji Gading itu,” jawab orang itu.
Ken Rahastri memerhatikan tubuh itu dengan seksama. Namun ujut tubuh orang itu
yang agak bongkok membuat Rahastri harus mengesampingkan beberapa nama. Tak ada
orang bertubuh bongkok di perguruan Badran Arus. Juga tidak ada di Kembang Ayun.
Termasuk Ki Ajar Taji Gading yang amat menyayanginya tidak bertubuh bongkok. Lalu
siapakah orang itu?
“Kau Eyang Pratonggopati?” kembali Rahastri bertanya.
Mendengar nama tersebut disebut menyebabkan orang itu tertawa makin bergelak.
Tebakan yang meleset rupanya membuat orang itu merasa geli.
“Aku bukan Pratonggopati si pengecut itu. Aku juga bukan Ki Ajar Taji Gading
yang lebih pengecut lagi. Aku adalah aku,” jawab orang itu semakin memancing Rahastri
untuk penasaran.
Parameswara melangkah mendekat, orang berselubung itu bergeser ke samping.
“Kaumuncul lagi, paman, tentu bukannya tanpa maksud,” Parameswara mengambil
alih. “Apa yang kauinginkan dari pertemuan ini?”
Orang berjubah yang menyelubungi diri menggunakan topeng itu tidak tertawa lagi.
Orang itu melangkah ke arah bongkahan batu sebesar anak sapi dan duduk berjongkok di
atasnya.
“Kau akan pergi Parameswara? Kau akan mencari orang tuamu? Apakah kau sudah
tahu siapa nama orang tuamu dan berada di mana?”
Parameswara nyaris tersedak. Pertanyaan orang itu memang agak sulit dijawab.
Jujur saja Parameswara harus mengakui, ia belum tahu arah mana yang harus dituju, jadi
bagaimana ia bisa pergi tanpa alamat yang harus didatangi, tidak mengetahui nama yang
harus ditemui.
“Aku memang belum tahu, ke mana arah yang harus kutempuh,” Parameswara
menjawab.
Orang itu tertawa lebih keras. Suaranya melengking tinggi menjadi semakin sulit
untuk dikenali. Beberapa tahun yang lalu Parameswara pernah sangat jengkel dan tidak
sabar, dengan kecepatan yang tinggi Parameswara meloncat menyambar topeng yang
dikenakan orang itu, namun usahanya itu tidak membuahkan hasil. Kali ini Parameswara
sama sekali tidak ingin mengulanginya karena sadar tak ada gunanya.
“Kalau kau tidak tahu ke arah mana perjalanan yang harus kautempuh, kau akan
pergi ke mana? Mengapa tidak kautanyakan saja kepada ayah angkatmu itu, di mana ayah
kandungmu berada. Kalau sudah kauperoleh keterangan itu, barulah kaupergi.”
Apa yang diucapkan orang itu memang terasa benar. Seharusnya Parameswara
mendapatkan keterangan itu lebih dulu. Masalahnya mempersoalkan hal itu kepada Ki
  Ajar Kembang Ayun, apakah tidak akan membuat hati pimpinan perguruan Kembang
Ayun itu kecewa? Setelah kasih sayang yang dilimpahkan selama ini, itukah balasan
yang ia berikan?
Ken Rahastri tidak sabar.
“Mengapa tidak kaubuka saja topengmu itu, paman? Kita bisa berbicara dengan
leluasa. Aneh rasanya apabila kami berbicara dengan orang yang tidak jelas. Seperti
berbicara dengan hantu.”
Namun lelaki bertopeng itu memiliki jawabnya.
“Jangan!” jawab lelaki itu sambil meloncat turun dari atas batu. “Wajahku sangat
jelek, aku takut ada orang yang menjerit ketakutan setelah melihat ujutku. Bahkan hantu
pun masih kalah jelek dari wajahku!”
Ken Rahastri berancang-ancang. Ken Rahastri rupanya punya gagasan memaksa
orang itu untuk membuka topengnya. Parameswara segera menggamitnya tangannya
mencegah Ken Rahastri melakukan itu. Melihat itu orang bertopeng itu tertawa pendek,
seolah menertawakan apa yang akan dilakukan gadis itu.
Di saat yang demikian itulah baik Parameswara dan Ken Rahastri terbelalak. Tubuh
orang bertopeng itu mengalami perubahan. Orang bertopeng itu tiba-tiba menjadi kabur
dan semakin kabur, menjadi tidak jelas. Parameswara dan Ken Rahastri seperti terjebak
di wilayah pesona sihir, menyaksikan ujut orang bertopeng itu semakin samar dan samar,
di antara ada dan tidak ada untuk kemudian lenyap sama sekali.
Orang itu lenyap.
“Kakang!” Ken Rahastri terlonjak dan gaduh. “Orang itu menghilang, orang itu
lenyap kakang.
Jagad Dewa Batara22, ilmu apa yang dipergunakan orang itu?”
Jika Ken Rahastri merasa amat penasaran, demikian pula dengan Parameswara.
Tubuh orang berjubah itu telah lenyap dari pandangan mata, namun ketajaman telinga
Parameswara masih mampu menangkap jejak langkah menjauh, lebih kentara lagi ketika
kaki siapa pun orang itu menginjak ranting yang kemudian patah.
Ken Rahastri dan Parameswara saling pandang.
“Ilmu apa yang digunakan orang itu?” desis gadis itu.
Parameswara menggeleng kepala sebagai jawaban.
“Siapa pula orang itu?”
Bagaimanapun, kehadiran orang itu dan pameran kemampuannya yang luar biasa
sungguh membuat Parameswara kagum dan penasaran. Parameswara pernah mendengar
adanya aji
kanuragan yang disebut panglimunan, ilmu yang menyebabkan siapa yang
menguasainya memiliki kemampuan melenyapkan diri dari pandangan mata. Akan tetapi
keberadaan kemampuan seperti itu amat tidak masuk akal dan hanya seperti dongeng
belaka. Kini Parameswara dengan Ken Rahastri melihatnya secara langsung. Benarkah
kemampuan itu merupakan bentuk ajian Panglimunan? Baik Ken Rahastri maupun
Parameswara sungguh ngeri membayangkan bagaimana jadinya kalau ilmu macam itu
dikuasai oleh orang yang berjiwa jahat karena apalah yang bisa dilakukan orang
menghadapi musuh yang tidak kelihatan, apalagi apabila orang yang mampu menghilang
dari pandang mata itu punya kegemaran melampiaskan nafsu olah asmara.
“Siapa orang itu?” kali ini suara Rahastri terdengar agak berbisik.
Parameswara menyempatkan merenung sejenak.

“Aku tidak tahu siapa dia, sebaliknya orang itu tahu diri kita dengan baik,” jawab
Parameswara.
“Dia masih berada di sekitar kita?” Ken Rahastri bertanya dengan nada cemas.
“Orang itu sudah menjauh Rahastri. Meski orang itu melenyapkan diri di balik aji
semacam aji panglimunan, tetapi jejak kakinya masih bisa ditangkap dengan ketajaman
telinga.”
Baik Ken Rahastri maupun Parameswara merasa tak sendiri lagi karena ada pihak
ke tiga di antara mereka. Lebih dari itu, apa yang telah disampaikan orang bertopeng
yang menyelubungi diri di balik jubah itu, memang harus menjadi pertimbangannya.
Tidak mungkin Parameswara pergi tanpa arah. Parameswara merasa, sebaiknya ia
menghadap ayahnya sebelum berangkat.
Tetapi apakah Ki Ajar Kembang Ayun akan mengijinkan? Ki Ajar Kembang Ayun
bahkan bersikukuh memilihnya sebagai penggantinya untuk memimpin kelangsungan
perguruan Kembang Ayun di Pesanggaran. Manakala Parameswara menerima limpahan
kekuasaan itu, pada saat itulah bukan hanya pewarisan tahta atas Perguruan Kembang
Ayun bakal diterimanya, akan tetapi juga kunci ruang perbendaharaan pusaka, di mana di
dalam ruang perbendaharaan pusaka itu tersimpan berbagai catatan
olah kanuragan dari
jalur perguruan Kembang Ayun. Pada puncaknya nanti, Ki Ajar Kembang Ayun dan para
sesepuh perguruan akan menuntaskan mewariskan segenap kemampuan
olah kanuraganyang mereka kuasai. Dan di balik semua itu, sebuah tanggung jawab amat berat berada di
pundaknya.
Parameswara bingung.
“Bagaimana kakang?” tanya Ken Rahastri.
“Orang-orang itu sudah menganggapku mati. Jika aku muncul kembali di Kembang
Ayun, maka semua orang akan heboh.”
Ken Rahastri memandang raut wajah pamannya dengan seksama.
“Sebenarnya apa yang telah terjadi pada kakang Parameswara?
cleret tahun itu aku
lihat dengan ganas meringkus tubuh kakang. Aku mengira kakang tidak mungkin hidup.
Bahkan aku melihat, petir menyambar
cleret tahun itu. Ternyata kakang masih hidup dan
muncul dengan keadaan segar bugar. Bagaimana kakang bisa bertahan hidup?”
Rasanya tidak hanya Rahastri, semua orang di perguruan pasti akan merasa heran
melihat Parameswara ternyata masih hidup.
“Aku sendiri tidak mengerti Rahastri. Ketika tubuhku dililit oleh kekuatan angin
lesus itu, aku terkejut oleh kekuatannya yang ternyata memang luar biasa. Ketika tubuhku
terputar ke atas dan lidah petir itu menyengatku, aku kehilangan kesadaran sama sekali.”
Ken Rahastri mencuatkan kedua alis. Rasa ingin tahunya mengental.
“Lalu, apa yang kakang rasakan saat pertama kali siuman?”
Parameswara termangu, pemuda itu merenung.
“Bagaimana?” desak Ken Rahastri.
Parameswara berbalik dan memandang keponakannya.
“Ketika aku siuman,” kata Parameswara, “aku tergolek di tepi pantai. Tubuhku
dijilat lidah ombak dan penuh pasir. Hanya itu yang aku ingat, tidak ada lainnya lagi.”
Ken Rahastri merasa cerita itu terlampau sederhana. Namun nyatanya Parameswara
memang tidak punya cerita lain. Ketika tersadar Parameswara mendapati dirinya berada
di pelukan ombak, dipermainkan seperti batang pisang yang hanyut dari muara sebuah
sungai.

“Apa yang kaulakukan membuat jantungku nyaris putus kakang,” kata Rahastri,
“aku melihat apa yang menimpamu hal itu menyebabkan aku tidak kuat dan pingsan. Saat
aku siuman, aku nyaris digulung ombak. Tetapi untung ayah menyelamatkanku di saat
yang paling gawat. Ayah pun menjadi panik mendengar laporanku. Para siswa perguruan
Badran Arus maupun Kembang Ayun dikerahkan untuk mencarimu. Bahkan pada saat ini
Eyang Ajar tengah berduka karena mengira kaumati. Sebaiknya kau segera ke Kembang
Ayun.”
Parameswara menghela desah resah.
“Aku lebih senang kalau dianggap sudah mati, Rahastri.”
Ucapan kekanak-kanakan itu tentu tidak membuat Ken Rahastri senang.
“Kakang tidak mau menerima pelimpahan kekuasaan? Atau, karena kakang merasa
sakit hati karena tidak bisa memiliki aku?”
Ucapan itu bagai sebuah sindiran yang menyayat menyapa permukaan hatinya.
Parameswara termangu. Kesempatan itu ia pergunakan dengan baik untuk merenung,
bertanya pada diri sendiri menemukan alasan yang paling benar atas nama kejujuran.
“Baik,” ucapnya datar.
Rahastri tidak mengalihkan pandangnya dari wajah pemuda itu.
“Baiklah bagaimana kakang?” kejar Ken Rahastri.
“Aku akan kembali ke Kembang Ayun. Bagaimanapun rasa bimbang dan cemas
harus aku singkirkan. Aku akan menyampaikan semuanya kepada Ki Ajar. Aku berharap
semuanya bisa melepas kepergianku, aku akan mengikuti ke mana pun gerak hatiku.”
Rahastri pun merasa desir tajam. Akankah pertemuan ini menjadi pertemuan yang
terakhir baginya? Mungkinkah kelak akan berjumpa lagi?
“Aku akan pulang dulu Kembang Ayun untuk berpamitan, dan kaupulanglah.
Bersikaplah seolah kau tidak pernah bertemu denganku.”
Ken Rahastri menunduk, tak kuasa mendamaikan diri. Air matanya menitik, larut
bersama duka hatinya. Namun Parameswara lebih tabah menghadapi perpisahan itu.
Parameswara melangkah meninggalkan Rahastri. Kabut yang tebal seperti menelan
tubuhnya, untuk kemudian lenyap tak ada jejaknya.
Dengan masih menangis, Rahastri berlari pulang.
Di pendapa Perguruan Badran Arus beberapa siswa gelisah. Nyai Ken Widati, isteri
Mahisa Branjang yang mula-mula kaget karena tak menemukan anak gadisnya di dalam
bilik. Mahisa Branjang yang baru kembali dari Kembang Ayun kaget mendapati laporan
isterinya. Beberapa siswa perguruan yang ada dibangunkan untuk mencari Ken Rahastri.
Namun belum lagi mereka bergerak, yang akan mereka cari sudah pulang. Mahisa
Branjang tentu saja tidak senang melihat ulah anak gadisnya itu.
“Dari mana saja kau?” tanya Branjang dengan nada tidak berkenan.
Rahastri bingung. Haruskah pertemuannya dengan Parameswara yang ternyata
masih hidup itu diceritakan kepada ayahnya? Tetapi apa salahnya kalau diceritakan, toh
nantinya ayahnya akan tahu.
Ken Rahastri menunduk.
“Dari mana kau malam-malam begini Rahastri?” kali ini ibunya yang bertanya
dengan nada sejuk.
“Aku menemui paman Parameswara,” jawab Ken Rahastri dengan nada datar.
Petir serasa meledak di pendapa itu.

Mahisa Branjang dan isterinya terlonjak. Demikian juga dengan segenap murid
yang ada terperanjat mendengar jawaban Ken Rahastri. Gadis itu mengatakan baru saja
menemui Parameswara. Apa artinya? Jawaban Ken Rahastri itu sekaligus menjadi sebuah
gemuruh yang memenuhi segenap dada. Jika Rahastri baru saja menemui Parameswara
bukankah itu berarti Parameswara masih hidup? Mahisa Branjang pun merasa lehernya
seperti tercekik oleh kaget. Demikian juga isterinya.
“Pamanmu masih hidup?” desak Mahisa Branjang.
Rahastri mengangguk.
“Paman Parameswara ternyata masih hidup,” Rahastri mempertegas.
Semua orang yang ada masih juga tersentak. Serentak terdengar tarikan napas lega.
Namun Branjang masih belum percaya pada apa yang dikatakan anak gadisnya.
Nyai Ken Widati memegang pundak anak gadisnya.
“Benarkah pamanmu masih hidup Rahastri?” tanya perempuan itu dengan penuh
harapan.
Ken Rahastri mengangguk.
“Mana dia?” ayahnya mengejar.
Ken Rahastri menoleh ke pintu gerbang, seolah memberitahu Parameswara ada di
kegelapan sana.
“Paman Parameswara akan pergi jauh ayah. Itulah sebabnya paman Parameswara
memerlukan bertemu denganku untuk pamit.”
Mahisa Branjang dan isterinya saling pandang. Pasangan suami istri itu terkejut,
mereka tidak segera memahami apa maksud anaknya.
“Semula paman Parameswara bermaksud pergi dengan diam-diam. Namun aku
berhasil mengingatkannya untuk berpamitan kepada Eyang Ajar.”
Mahisa Branjang tambah bingung.
“Akan pergi ke mana dia?” desaknya.
“Katanya, kakang Parameswara akan pergi untuk mencari orang tua kandungnya.”
Penjelasan yang diberikan Ken Rahastri itu lagi-lagi bagaikan sebuah petir yang
meledak memekakkan telinga justru di saat langit sedang bersih dan tidak ada mendung
selembar pun.
“Bagaimana Parameswara bisa tahu, dirinya sebenarnya bukan anak kandung Ki
Ajar?” tanya Nyai Mahisa Branjang dengan rasa heran.
Pertanyaan itu sekaligus membenarkan bahwa Parameswara memang bukan anak
kandung Ki Ajar Kembang Ayun.
“Jadi benar, paman Parameswara itu bukan anak kandung Eyang Ajar? Jadi paman
Parameswara itu sebenarnya orang lain?”
Pertanyaan Ken Rahastri itu membuat ayahnya tak senang.
“Jangan berpikir macam-macam Rahastri. Meskipun Parameswara itu bukan adik
kandungku, namun keberadaannya tak ubahnya adik kandung. Ia tetap pamanmu, bukan
orang lain,” letup Mahisa Branjang.
Ken Rahastri menunduk. Ken Rahastri semula sempat berharap, dengan kenyataan
yang ada seperti itu ayahnya akan mengijinkannya terus melanjutkan hubungan cinta
kasihnya. Namun ternyata Mahisa Branjang berhati batu, dengan demikian semakin
tertutup kemungkinan baginya untuk bisa melanjutkan membangun angan-angan.
“Semua itu merupakan sebuah rahasia yang tersimpan dengan rapat. Lalu siapa
yang membocorkan?” tanya Branjang kepada isterinya.

Nyai Mahisa Branjang itu ikut berpikir keras.
“Syukurlah karena ternyata Parameswara masih hidup meski persoalan yang timbul
ternyata semakin ruwet,” ucap Isteri Mahisa Branjang.
Penasaran itu masih menggantung.
“Atau barangkali kautahu Rahastri? Apa Parameswara bercerita sesuatu?” desak
ayahnya.
Ken Rahastri teringat kepada orang bertopeng yang baru saja dijumpainya. Siapa
sebenarnya orang yang berada di balik topeng itu? Yang jelas orang itulah yang telah
membongkar jati diri Parameswara, memberitahu pamannya tentang siapa dirinya, atau
bahkan dari mana asal-usulnya.
“Aku tidak tahu siapa sebenarnya orang itu ayah. Orang itu memakai topeng agar
tak dikenali. Orang itu juga menguasai ilmu yang luar biasa. Aji Panglimunan.”
Baik Mahisa Branjang maupun isterinya tersentak. Para siswa perguruan mengikuti
pembicaraan yang terjadi itu dengan seksama.
Dengan gamblang Ken Rahastri menceritakan semua yang diketahuinya. Persoalan
yang dipaparkan Ken Rahastri itu ternyata bukan persoalan sembarangan. Mahisa
Branjang yang dalam sekian tahun ikut menyimpan rahasia itu tak bisa menyembunyikan
gelisahnya.
“Demikianlah ayah,” lanjut Rahastri “Orang bertopeng itu yang memberitahu
paman Parameswara. Orang itu pula yang mungkin meracuni hatinya sehingga paman
Parameswara merasa tidak pantas mewarisi kepemimpinan perguruan Kembang Ayun.”
Mahisa Branjang manggut-manggut. Kini persoalannya agak terbuka lebih jelas.
Rupanya Parameswara ngotot menjalin hubungan cinta dengan Ken Rahastri karena
merasa tidak ada halangan yang bisa menjadi hambatan. Mengijinkan dan merestui
hubungan itu? Pernah pikiran semacam itu dilontarkan oleh isterinya. Namun Mahisa
Branjang bersikukuh tidak membenarkan. Bagi Mahisa Branjang, Parameswara tetaplah
adiknya. Tentu tak mungkin kedudukan seorang adik berubah menjadi seorang menantu.
Lebih dari itu, Mahisa Branjang telah mengikat janji dengan seorang sahabat. Untuk
menandai keakraban persahabatan itu, dijodohkanlah anak-anak mereka.
Namun yang membuat Branjang penasaran adalah keterangan yang diberikan Ken
Rahastri, bahwa orang itu menguasai sejenis ajian yang disebut Panglimunan.
“Kauyakin, orang itu menguasai aji Panglimunan?” desak Branjang pada anak
gadisnya.
“Paman Parameswara menyebut nama ajian itu ayah,” Ken Rahastri memperjelas.
“Kau melihat bagaimana orang bertopeng itu mengetrapkan ajian itu?” Branjang
kembali mendesak serasa ada sesuatu yang mencemaskannya.
Ken Rahastri mengangguk.
“Semula aku bermaksud mengejutkannya ayah,” kata Rahastri, “dengan sebuah
serangan mendadak aku akan menyambar topeng yang dikenakannya agar aku tahu siapa
orang itu sesungguhnya. Tetapi paman Parameswara mencegah apa yang kulakukan.
Rupanya paman Parameswara sudah pernah melakukan hal itu tetapi tidak berhasil. Lalu,
orang itu meloncat turun dari batu. Tubuhnya tiba-tiba menjadi tidak jelas. Semakin
kabur dan kemudian lenyap.”
Keterangan yang diberikan Ken Rahastri itu telah meyakinkan Mahisa Branjang
bahwa ilmu yang dipamerkan orang bertopeng itu jelas ajian Panglimunan. Sebuah ajian
yang sebenarnya menjadi milik perguruan Kembang Ayun dan disepakati untuk tidak
  dipelajari karena sangat berbahaya. Dengan demikian ternyata perguruan Kembang Ayun
kecolongan, ada orang yang dengan diam-diam mempelajari ilmu terlarang itu.
“Aku akan kembali ke Kembang Ayun,” kata Mahisa Branjang dengan tiba-tiba.
“Tolong siapkan kudaku, buka pintu gerbang, cepat.”
“Aku ikut, ayah,” pinta Rahastri.
Namun Mahisa Branjang tidak mengijinkan seorang pun ikut. Juga ketika isterinya
mengusulkan diri untuk ikut suaminya tidak mengijinkan. Beberapa orang siswa yang
biasanya bertugas mengawal ke mana pun Mahisa Branjang pergi, kali ini tidak diijinkan
mengikutinya. Seperti ada sesuatu yang dicemaskan, penjagaan atas perguruan diperketat.
Suara kentongan dipukul dengan nada
doro muluk23 sebagai pertanda keadaan yang
aman, namun juga dilepas dengan nada tertentu sebagai isyarat pada siapa pun untuk
waspada. Mahisa Branjang
membedal 24kudanya seperti anak panah yang lepas dari busur
melesat cepat membelah malam. Ada perasaan lega karena ternyata Parameswara yang
diduganya sudah mati itu masih hidup, sekaligus ada rasa resah karena ulah adiknya itu.
Meski sebenarnya kuda tunggangannya telah membalap amat cepat, Mahisa Branjang
merasa masih kurang cepat. Teriakan yang dilakukan adalah dalam rangka agar kuda itu
berderap lebih kencang dan lebih kencang lagi.
Sepeninggal Mahisa Branjang, Nyai Ken Widati tidak tidur di biliknya sendiri akan
tetapi menunggui anak gadisnya yang semata wayang itu.
“Apa yang dikatakan Parameswara padamu, Rahastri?” Ken Widati bertanya
dengan lembut penuh kasih sayang.
Pada Ibunya Rahastri bisa lebih terbuka.
“Paman Parameswara mengajakku minggat,” jawab Ken Rahastri.
Nyai Ken Widati terlonjak. Akan setega itukah adik iparnya dengan membawa
minggat Ken Rahastri?
“Paman Parameswara amat mencintaiku ibu. Paman Parameswara merasa tak ada
halangan di antara kami berdua untuk menjalin hubungan, karena paman Parameswara itu
orang lain.”
Tajam pandang mata Ibunya.
“Kauterima ajakan itu?” Ken Widati bertanya datar.
Ken Rahastri menggeleng.
“Aku tidak mau. Aku katakan pada paman Parameswara, jika aku ikut, aku akan
membuat ibu sedih dan bingung.”
Ken Widati termangu. Di mata Ken Widati, Parameswara seorang adik ipar yang
baik. Pemuda yang memiliki sifat baik. Ken Widati tahu, banyak sekali gadis di sekitar
perguruan Kembang Ayun di Pesanggaran maupun Badran Arus yang berangan-angan
menjadi isterinya, banyak para orang tua yang memiliki anak gadis menanti lamarannya.
Untunglah Parameswara memiliki sikap dan jiwa yang baik. Pemuda itu sama sekali tak
memiliki kegemaran mempermainkan perempuan.
Parameswara di samping memiliki ilmu
kanuragan yang tinggi hal itu tidak aneh
karena ia adalah salah seorang anak dari Ki Ajar Kembang Ayun, juga ringan tangan.
Parameswara tidak segan-segan membantu kesulitan siapa pun. Lebih dari itu pemuda itu
bukan jenis lelaki yang gemar mempermainkan perempuan, seperti kumbang yang

hinggap di setiap kembang. Pendek kata sebagai seorang pemuda, Parameswara adalah
pemuda idaman.
Di hati kecil, Ken Widati tak keberatan anak gadisnya menjalin hubungan dengan
pamannya itu, karena pada kenyataannya Parameswara tidak sedarah, Parameswara orang
lain. Akan tetapi Ken Widati tidak mungkin berseberangan sikap dengan suaminya.


8.(Rangkaian peristiwa tahun 2011)
Yogi Sutisna terbelalak ketika membuka pintu, di hadapannya berdiri hantu.
Gemetar Yogi Sutisna ketakutan, dan ekspresi wajah itu menyebabkan tamu yang datang
kebingungan. Tamu hantu itu.
“Yogi, ini aku. Ada apa?” tanya Parra Hiswara.
Pontang-panting Yogi Sutisna berusaha menguasai diri, namun ia merasa yakin
yang berdiri di hadapannya benar-benar hantu meski sosoknya Parra Hiswara teman
karibnya, meski ia berdiri secara nyata di atas dua kakinya yang,…. menginjak tanah?
Yogi Sutisna mengarahkan pandangan matanya ke bawah.
“Yogi ini aku, Parra Hiswara,” Parra Hiswara menegas dengan suara yang tegas.
Yogi Sutisna memerhatikan Parra Hiswara, memerhatikan pula laki-laki lain yang
belum dikenalnya yang datang bersama sahabatnya itu, juga ke mobil yang diparkir di
halaman, juga ke lalu lalang kendaraan yang melintas, juga pada hari yang saat itu sedang
tengah malam.
“Apa yang terjadi? Mengapa kau ketakutan melihatku?” tanya Parra.
Akan tetapi pandangan mata Yogi Sutisna memang benar-benar ketakutan. Hal
aneh itu memaksa Parra Hiswara memutar otak.
“Ya Tuhan,” gumam Parra Hiswara setelah tersadar dan paham maksudnya. “Kamu
pasti memperoleh kabar jika aku mati? Benar begitu?”
Yogi Sutisna mengangguk. “Ya.”
Parra Hiswara melangkah mondar-mandir.
“Kau menelpon dan mendapat jawaban kalau aku mati?”
Yogi Sutisna berusaha keras mendamaikan diri. Ia harus mengkoreksi berita tentang
kecelakaan yang menimpa temannya itu tidak benar.
“Bukan aku yang menelpon tetapi baru saja aku menerima telepon dari Malang.
Teman-teman di sana kebingungan, malam ini juga aku siap berangkat. Tetapi,…”
Parra Hiswara segera mengangkat tangannya.
“Sebuah peristiwa tidak masuk akal menimpaku,” Parra Hiswara memotong. “Aku
tak mengerti apa yang terjadi, aku tidak mengerti apa yang menimpaku, aku bahkan tak
tahu pertemuanku dengan kamu kali ini merupakan peristiwa nyata atau hanya mimpi,
tetapi agaknya aku tidak bermimpi, apa yang aku alami benar-benar peristiwa nyata.
Sikap ilmiah yang kuyakini selama ini benar-benar runtuh. Aku tidak tahu bagaimana
menghadapinya.”
Yogi Sutisna memandang Parra Hiswara dan orang yang datang bersamanya
bergantian. Untuk meyakinkan bahwa apa yang dikatakan Parra Hiswara benar, sekali
  lagi ia memerhatikan telapak kakinya yang menginjak tanah. Yogi berusaha tersenyum
dan kemudian seperti tiba-tiba tersadar, bahwa agak terlampau terlambat baginya untuk
mempersilahkan masuk.
“Tak usah membangunkan isterimu,” kata Parra Hiswara.
Yogi Sutisna menggeleng. “Istriku pulang ke orang tuanya. Kami berada di ambang
perceraian.”
Parra Hiswara terkejut, namun sebenarnya juga tak terlampau terkejut. Sudah sejak
lama ia mengikuti perkembangan rumah tangga temannya itu. Yogi Sutisna layak merasa
kecewa ketika memergoki dengan mata kepalanya sendiri isterinya melakukan selingkuh
dengan lelaki lain. Beberapa tahun yang lalu Yogi Sutisna pernah curhat terkait rencana
untuk berpisah. Saat itu ia menyarankan untuk merenungkan ulang, akan tetapi juga tidak
menyayangkan jika perceraian itu terjadi mumpung belum ada anak.
“Sebenarnya terjadi peristiwa apa?” tanya Yogi setelah dua tamunya duduk.
Parra Hiswara memejamkan mata dalam upaya mempersiapkan diri menuturkan
peristiwa yang dialaminya, peristiwa yang sungguh tak masuk akal itu. Dari saku celana
yang berlepotan ia mengeluarkan sesuatu. Yogi Sutisna tak segera terpusat perhatiannya
kecuali ketika tiba-tiba Parra Hiswara menyalakan korek apinya di sebelah benda itu.
Seketika cahaya berpendar-pendar semburat muncrat ke mana-mana.
“Apa itu?” tanya Yogi.
Parra Hiswara menyempatkan memandang sahabatnya lebih tajam untuk mencari
kesan macam apa yang muncul dari wajah itu.
“Mungkin intan, atau entah apa namanya. Setidaknya benda ini, juga senter yang
kubawa ini, merupakan saksi dari peristiwa aneh yang kualami. Cobalah kaubayangkan
bagaimana paniknya ketika aku terperosok masuk ke dalam tanah yang tiba-tiba merekah,
ambrol saat aku menggalinya dan dalam hitungan menit aku terlempar dari dimensi ruang
dan waktu. Kugali tanah itu di belakang rumah kontrakanku karena WC-ku mampet dan
penuh, maka kupandang perlu membuat tandon septic tank yang baru. Kulakukan itu
sejak jam delapan pagi, mestinya sekarang aku masih berada di siang hari…..Sungguh
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang kualami padamu.”
Jarum jam di rumah Yogi Sutisna menunjuk ke angka satu tengah malam,
sementara jarum jam di tangannya masih menunjuk angka satu siang. Kekacauan ruang
dan waktu boleh saja memanipulasi keadaan pikiran Parra Hiswara tetapi tidak mampu
memanipulasi jam tangan itu. Parra Hiswara yakin pada kebenaran jam di tangannya.
“Ceritakan saja,” jawab Yogi Sutisna.
Maka bertuturlah Parra Hiswara dari awal hingga akhir rangkaian keajaiban yang
dialaminya. Dimulai ketika jengkal demi jengkal ia mengayunkan alat penggali tanahnya
dan kemudian terperosok masuk ke dalam lorong sumur sangat dalam yang mestinya
akan membuat tubuhnya hancur berkeping-keping andai sampai ke dasar.
Yogi Sutisna menyimak cerita itu dengan penuh perhatian, sebagaimana Surtan
Panca yang mengantar Parra Hiswara dari kaki Merapi Merbabu hingga Prambanan ikut
menyimak dengan penuh perhatian. Amat gamblang Parra Hiswara dalam bertutur serasa
tidak ada satu pun bagian cerita aneh itu yang luput dari perhatian. Bagai banjir bandang
kisah itu mengalir, apalagi Parra Hiswara menceritakan dengan didorong emosi.
“….dan candi tempat aku keluar dari pusaran angin itu lenyap ketika aku menoleh.
Benar-benar lenyap, yang ada kemudian hanya lebatnya rumpun bambu dan pepohonan
  yang lain. Dan manakala aku turun, aku bertemu dengan Mas Surtan Panca ini yang lalu
menolong mengantar aku kemari.”
Parra Hiswara mengakhiri kisahnya dengan menarik napas amat sangat panjang.
Lalu hening, bahkan terasa amat hening. Jam dinding yang mengayun lengannya
ikut menyimak kisah aneh itu. Yogi Sutisna akhirnya bisa menerima kehadiran temannya
itu sebagai sesuatu yang nyata, kedatangannya tidak berada dalam dimensi berbeda. Ia
bukan hantu akan tetapi benar-benar Parra Hiswara teman kuliahnya yang bisa dipegang
tangannya.
Dengan suasana yang kemudian menjadi sangat hening, semua perhatian kemudian
tertuju pada bias cahaya beraneka warna yang keluar dari benda gemerlap yang tergeletak
di atas meja. Parra Hiswara memainkan senter ke benda itu, biasnya memantul-mantul ke
dinding.
“Aku yakin benda itu intan, dan harganya tentu sangat mahal. Bisa di atas harga
seratus milyard. Kamu akan kaya sekali.”
Berapa pun harga benda itu, Parra Hiswara sama sekali tidak memerhatikannya.
Peristiwa di ruang segi lima di bawah tanah dengan orang-orang yang tidur lelap di sana,
semua itu jauh lebih menyita perhatiannya, memberikan kecemasan jauh lebih dahsyat
meski di sisi lain ia dihadapkan pada kemungkinan akan menjadi orang yang kaya-raya
oleh intan sekepalan tangan itu.
“Ternyata dugaanku selama ini benar,” kata Surtan Panca memecah keheningan
mengeluarkan isi hatinya.
Parra Hiswara dan Yogi menoleh dan secara bersama-sama mengarahkan pandang
matanya padanya.
“Kenapa?” tanya Yogi Sutisna.
“Selama ini aku curiga tempat itu memang menyembunyikan sebuah rahasia. Saat
kusampaikan kecurigaan itu pada masyarakat, tidak seorang pun yang percaya. Anjinganjing yang gelisah saat berada pada jarak dekat dengan bukit bambu itu selalu membuat
aku bertanya-tanya ada apa di tempat itu. Ternyata candi? Pantas khusus tempat itu
memiliki keanehan tertentu. Kabut lebih sering menyambanginya, meski di musim
kemarau sekalipun. Aku mengira, setahun sekali di bulan purnama, ujut candi itu
menampakkan diri meski hanya berupa auranya.”
Parra Hiswara membeku.
“Candi yang hilang,” gumamnya.
Yogi Sutisna merapatkan dua telapak tangannya.
“Sekarang bagaimana?”
“Aku tak tahu,” jawab Parra Hiswara sambil meletupkan beban. “Aku tak tahu apa
yang harus kulakukan. Di Singasari Malang, orang-orang sudah menganggapku mati.
Saat ini pun pasti sedang diselenggarakan selamatan, kemunculanku akan menggegerkan
keadaan. Kupikir, yang kubutuhkan saat ini adalah siapa yang bisa menjelaskan semua
ini. Aku butuh orang yang bisa menerangkan apa yang kualami.”
Parra Hiswara bangkit dan melangkah mondar-mandir. Sejenak ia sempatkan
berdiri di tengah pintu dan memerhatikan jalanan yang tak pernah sepi oleh lalu lalang
kendaraan yang mengarah ke Yogya atau ke Solo. Rasa gatal di telapak kakinya agak
mengganggu, Parra Hiswara menggaruknya tanpa memerhatikan benda apa yang
membuatnya merasa gatal macam itu.

“Tetapi siapa orang yang bisa diharap bisa menjelaskan semua kejadian itu?” balas
Yogi.
Surtan Panca juga tidak memiliki jawabnya.
“Orang di bawah tanah itu, ia yang mengaku bernama Parameswara, yang mengaku
aku adalah dirinya, dirinya adalah aku. Dan orang itu berkata, semua jawaban yang aku
butuhkan tergantung dalam seberapa keras upayaku mencarinya.”
Parra Hiswara memejamkan mata berusaha sangat keras mengenang kembali
percakapannya dengan Parameswara, sosok masa silam yang berwajah sama tepat dengan
dirinya bak pinang dibelah dua, atau mungkin lebih sesuai jika disebut kembar sempurna.
“Siapa mereka? Dan mengapa kau mengatakan aku bermusuhan dengan mereka?
Ada urusan apa aku dengan orang-orang ini?”
Parra Hiswara sangat ingat bagaimana orang yang mengaku bernama Parameswara
itu tersenyum. Garis mulut dan keningnya tak mungkin ia lupakan.
“Jawabnya ada di keteguhan hatimu,” jawab orang itu saat itu.
Kenangan itu lagi-lagi menyebabkan Parra Hiswara menggigil.
“Mengapa?” Parra Hiswara saat itu balas bertanya.
Dan kala itu Parameswara menjawab, “kau harus mencarinya sendiri. Bila hatimu
teguh, hatimu kukuh, maka kau akan menemukan mata rantai peristiwa yang menjeratmu
ke dalam takdir yang tidak bisa kauhindari. Kau terperosok melalui lubang itu, kau telah
membuka pintu takdirmu.”
Parra Hiswara berjalan mondar-mandir mirip seterika sambil meremas-remas
tangan kiri. Rasa gatal di telapak tangan kirinya mengundang tangan kanan untuk
menggaruknya. Padahal, andai ia menyempatkan memerhatikan penyebab rasa gatal itu.
“Temani aku pulang,” Parra Hiswara meletup. “Kau keberatan mengantar aku ke
Malang?”
“Sama sekali tidak,” Yogi Sutisna menjawab, “bukankah aku memang telah siap
untuk berangkat?”
Parra Hiswara membalikkan badan dan menoleh ke arah Surtan Panca. Namun
dengan segera Surtan Panca mendahului berbicara.
“Aku akan kembali. Mungkin bantuan yang bisa kuberikan adalah dengan ikut
mengamati bukit bambu itu secara khusus, kelak kalau bertemu lagi, siapa tahu aku
mempunyai banyak informasi awal yang bisa aku berikan. O ya, ini kartu namaku, alamat
dan telepon HP.”
Parra Hiswara mengangguk senang.
“Baguslah, untuk itu aku mengucapkan banyak terimakasih,” jawab Parra Hiswara
antusias. “Bantuan itu memang aku butuhkan. Jika tidak berhasil menyibak permasalahan
apa sebenarnya yang sedang aku hadapi, mungkin aku akan bermuara di rumah sakit
jiwa. Terimakasih telah menolong mengantarku kemari.”
Parra Hiswara dan Yogi Sutisna mengantar kepulangan Sutan ke halaman.
Lambaian tangan yang diberikan Parra Hiswara didorong oleh rasa takjub yang tiada
habis-habisnya.
Parra Hiswara tersadar.
“Ada apa?” tanya Yogi.
“Jaketnya,…tertinggal.”
“Kaupinjam darinya?”

No comments

Powered by Blogger.