Header Ads

Header ADS

CANDI MURCA (LKH) Bagian 1-30



1.(Rangkaian peristiwa yang terjadi pada suatu hari di sebuah tahun.)
Anak dan ayah itu berdiri bersebelahan. Bulan menanjak semakin tinggi, akhirnya
menjamah puncaknya.
“Di sana ada sesuatu yang menakutkan,” bisik sang ayah.
Sang anak di sebelahnya merasa penasaran.
“Sesuatu apa ayah?” balas pemuda itu.
Sang ayah yang sudah tua itu tidak bisa menjawab karena memang terlampau sulit
menganggap apa yang pernah ia lihat sekian tahun yang lalu sebagai sebuah kenyataan.
Lama sudah ia berusaha menganggap kejadian itu sebagai mimpi, namun tidak pernah
berhasil.
“Dulu di malam seperti ini tepat ketika bulan sangat benderang dan bulat sempurna,
candi yang luar biasa besar itu menampakkan diri. Menurutku ukuran candi itu jauh lebih
besar dari candi Borobudur, mungkin dua kali lebih besar atau bahkan tiga kali lebih
besar. Aku yang menelusuri tepi candi itu mendapatkan kenyataan betapa besarnya. Pada
bulan purnama berikutnya aku hadir lagi, akan tetapi candi itu tidak menampakkan diri
lagi. Agaknya candi itu hanya muncul pada purnama tertentu, bukan di semua purnama.”
Ayahnya berbicara dengan bersungguh-sungguh, sementara dalam sekian tahun ini
anaknya melihat setiap bulan purnama datang, ayahnya selalu menyempatkan mengintip
tempat itu, dengan demikian apa yang diceritakan ayahnya itu bukan hal sepele.
Hanya angan-angan ayahnya? Atau nyata?
“Sebuah candi, ayah?”
“Ya!” jawab sang ayah, “tepatnya kalau pada siang hari di gerumbulan bambu itu.
Aku telah menelitinya sepanjang hari, tetapi tak ada yang luar biasa, hanya sebuah bukit
sebagaimana bukit yang lain.”
Sang anak berpikir keras, yang ia dapati sesuatu yang sulit dipahami.
“Candi yang tidak tampak?” tanya sang anak.
Pertanyaan itu merupakan pengulangan dari pertanyaan yang pernah ia ajukan.
Sang ayah menggeleng.
“Menurutku ia candi
murca,” gumam ayahnya. “Candi itu benar-benar ada namunmurca. Candi itu disembunyikan di balik mantra-mantra yang oleh karenanya tidak ada
yang bisa melihatnya.”
Sang anak penasaran.
“Akhirnya ayah menyimpulkan seperti itu?” tanya anaknya. “Menurut ayah, kenapa
candi itu harus dihilangkan dari pandang mata?”
Sang ayah diam cukup lama, untuk mencari jawaban yang paling masuk akal.
“Kurasa karena ada pihak-pihak tertentu yang entah kenapa berniat menghancurkan
candi itu. Oleh karena itu muncul pihak lain yang berusaha melindunginya dengan cara
melenyapkan dari pandangan mata.”
Sejalan dengan waktu yang bergerak, lelaki tua itu semakin tua dan semakin tua.
Pun sebagaimana kodratnya, manusia tidak mungkin mengimbangi gerak sang waktu.
Umur itu ada batasnya mengantarkan lelaki tua itu sampai pada tarikan napas terakhir. Ia
  mati dengan segumpal rasa penasaran karena tak pernah memperoleh jawaban dari rasa
penasarannya.
Namun rasa penasaran itu ada pewarisnya, diwariskan, diwariskan dan diwariskan
lagi. Selanjutnya tentang candi
murca itu, susah dibedakan, apakah benar-benar nyata
atau hanya dongeng semata.
 

2.(Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka.)
Senja membayang di kaki langit, semburat merah berombak-ombak bagai samudra
marah memancarkan amarah. Mendung tebal menggantung di cakrawala belahan timur,
sesekali petir muncrat disusul gemuruh geluduk yang memekakkan telinga. Angin mulai
menderu pertanda badai akan tiba. Apalagi tidak jauh di arah kiri mulai tampak sebuah
garis meliuk biang angin lesus yang apabila membesar sanggup mencengkeram dan
melempar seekor gajah bengkak ke udara. Gemuruh ombak baginya mungkin rangkaian
nada yang menggiringnya meliuk genit bagai gadis yang kasmaran.
Ombak laut selatan bergulung menghantam tebing, mengocok buih dengan suara
gemuruh susul-menyusul dan tidak pernah lelah. Dua ekor ikan raksasa yang tidak
diketahui apa namanya terlihat jauh di selatan, sesekali melejit ke atas dan kemudian
ambyur seolah apa yang dilakukan itu adalah peringatan, bahwa dialah sang penguasa
lautan. Dua ikan raksasa itu mungkin makhluk langka yang tertandai itu dari burungburung
kalangkyang1 yang terbang berputar-putar di udara. Untuk bisa melihat dengan
jelas para burung
kalangkyang itu tak perlu harus mendekat. Dari sebuah ketinggian di
langit burung
kalangkyang mampu melihat anak ayam yang berukuran hanya sekepalan
tangan.
Akan tetapi semuanya itu tidak membuat gadis bernama Ken Rahastri mengalihkan
perhatiannya.
Dengan tatapan mata tajam gadis cantik itu menebar pandang ke segala penjuru.
Ken Rahastri tidak berdiri di atas tebing batu akan tetapi bertumpu pada punggung seekor
penyu. Penyu berukuran besar itu diam tidak keberatan punggungnya dijadikan pijakan.
Sesekali penyu raksasa itu bergeser merangkak akan tetapi Ken Rahastri tetap bertahan di
punggungnya. Di sekitarnya puluhan penyu yang lain tidak merasa terusik. Di sepanjang
pantai dari barat hingga mungkin membentang ke Semenanjung
Sembulungan2, penyu
hidup dan berkembang biak tanpa terganggu.
Gadis cantik itu berambut hitam panjang dan berpakaian serba hitam akan tetapi
menggunakan ikat kepala berwarna tanah. Gadis yang beberapa saat lamanya merasa
amat tegang itu baru mengurai senyum ketika dari arah laut yang gemuruh terlihat orang
yang timbul tenggelam. Dengan gesit melebihi kelincahan seekor pesut orang itu ~ yang
rupanya masih muda ~ meluncur, ada kalanya menantang ombak yang membentuk
lembah dan bukit. Sesekali lelaki muda itu tidak menghindar ketika gemuruh ombak

menghajarnya. Ken Rahastri menyunggingkan senyum dan tak mampu menahan kagum
menyaksikan kelincahan yang tiada tara itu.
Tiba-tiba pemuda yang tengah berenang itu melenting dan dengan kecepatan luar
biasa berlari di atas permukaan air untuk kemudian melenting lagi ke atas dan berputar
beberapa putaran untuk kemudian tubuhnya yang lentur menggeliat sangat cepat dengan
kepala yang semula di atas telah berbalik arah menukik lurus ke bawah, apa yang ia
lakukan lebih layak disebut menghunjam.
Pemuda itu lenyap di bawah air. Beberapa saat gadis itu kehilangan jejak.
Lelaki muda itu tengah bermain-main dengan gelombang samudra akan tetapi
sebenarnya juga bermain dengan bahaya karena ombak sedang amat ganasnya. Beberapa
saat setelah tenggelam pemuda itu tidak diketahui berada di mana. Dengan melongoklongok Ken Rahastri mencarinya. Ken Rahastri kembali gelisah, cemas kalau sesuatu
menimpa lelaki yang sedang menjadi pusat perhatiannya. Kecemasannya semakin
mengental ketika sudah beberapa saat lewat, pemuda yang menyelam itu belum juga
muncul juga ke permukaan.
Pemuda itu lenyap menyelam kelewat lama.
Dua ekor ikan raksasa yang timbul tenggelam di kejauhan menyumbang amat deras
atas gelisah hatinya.
Dari arah laut, puting beliung itu meliuk, menari menggeliat seperti tarian
taksaka3.
Dalam tebal kabut, kehadirannya nyaris menjelma menjadi hantu. Dua ekor ikan raksasa
yang semula berada jauh di selatan agaknya juga menyisakan perhatiannya pada beliung
itu dengan berenang kencang mengikuti geraknya. Sesekali dua ekor ikan raksasa aneh
itu justru menghadang gerakan
cleret tahun4 yang melintasi permukaan air dengan
menghantam mengayunkan ekornya.
Kekuatan angin lesus itu ternyata bukan tandingan ikan itu. Seekor di antaranya
terjebak dalam pusarannya, terhisap dengan kuat untuk kemudian terbanting amat deras
mengakibatkan laut terbelah karenanya. Namun sebagai penguasa laut kedua ikan raksasa
itu justru menganggapnya sebagai sebuah permainan yang menyenangkan. Sekali lagi
seekor di antaranya melesat cepat mengejar ujung beliung itu. Ikan itu merasa senang
ketika tubuhnya terhisap dan kemudian dibanting membelah ombak yang menggunung.
Ken Rahastri barulah terbelalak ketika menyaksikan lebih seksama mendapati kenyataan
betapa besar angin lesus itu, sementara jauh di langit, membentangkan sayap tanpa harus
mengayuh, enam ekor
cataka5 memberikan pemandangan yang jarang-jarang terjadi
karena amat jarang terjadi enam ekor
cataka bisa berada di satu tempat sekaligus, apalagi
mereka berada dalam garis lurus.
Cataka itu sedang tertarik pada pemandangan luar biasa
di bawahnya.
Beberapa jenak Ken Rahastri dililit oleh pesona. Angin lesus itu benar-benar ribut
dengan suara gemuruh dan ganas. Air laut yang dilintasinya muncrat semburat bagai
dikocok tangan raksasa. Mengerikan sekali kekuatan yang dipamerkan gejala alam itu,
memaksa Ken Rahastri harus berdecak kagum sekaligus ngeri.
Kembali Ken Rahastri mengalihkan perhatiannya ke arah lain mencari-cari dengan
gelisah, namun lelaki muda yang dicemaskannya belum juga muncul ke permukaan. Ken
Rahastri makin gelisah karena waktu yang digunakan pemuda itu terlampau lama untuk

berada di bawah permukaan air. Seberapa hebat pun kemampuan ilmu kanuragan6 yang
dikuasainya, menghadapi ganasnya alam, apalagi kekuasaan Hyang Widdi, ia sama sekali
bukan apa-apanya, bukan tandingan sepadan.
Ken Rahastri yang menanjak derajad resahnya melenting meloncat dari punggung
penyu ke punggung penyu yang lain untuk mengambil arah pandang yang jelas ke arah
laut. Rahastri kian cemas karena jejak pemuda itu menghilang. Dicari-cari ke arah mana
pun jejak pemuda itu lenyap.
“Mana dia?” letup gadis itu.
Ken Rahastri meloncat turun dari punggung penyu dan bergegas berlari ke bibir
pantai. Ombak yang membuih disapunya dengan cermat. Ken Rahastri merasa tidak
nyaman karena yang dicari tidak terlihat. Gelisah memang tak bisa dicegah. Ken Rahastri
bingung harus melakukan apa.
Namun gadis itu tertegun. Telinganya yang tajam menangkap sesuatu di
belakangnya. Ken Rahastri yang berbalik itu pun terlonjak kaget. Pemuda dengan tubuh
basah kuyup yang ia cari itu tertawa lebar.
“Gila kau kakang,” desis Ken Rahastri. “Kau membuatku cemas. Aku kira kau
masih berada di bawah air?”
Pemuda tampan itu hanya tersenyum. Dengan penuh minat pemuda berambut amat
panjang itu mengarahkan telunjuknya ke kanan.
“Aku muncul ke permukaan di balik batu di sana itu,” balasnya dengan napas agak
tersengal, “kau tidak melihat karena terhalang bongkahan batu itu. Kaulihat sepasang
ikan raksasa di sana itu?”
Ken Rahastri mengarahkan perhatian ke tempat yang sama. Pada jarak yang cukup
dekat dua pemandangan itu sungguh mencuri perhatiannya.
“Dan angin lesus itu. Lihat, besar sekali,” lanjut pemuda itu.
Pandangan pemuda dan gadis itu kemudian terarah pada puting beliung yang
menggeliat di atas permukaan air dan sesekali angin lesus yang amat besar itu melintas
garis pantai. Pasir seketika semburat beterbangan. Sebuah pohon
gurdo7 yang tumbuh di
tepi pantai yang amat besar, bagai diacak dengan sangat kasar. Sejenak kemudian pohon
itu ambruk tercabut seakar-akarnya, terlempar deras ke arah laut.
Ken Rahastri terbelalak takjub menyaksikan peristiwa itu.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melompat mundur, membuat gadis itu terperanjat
bukan kepalang, tepatnya kaget melihat apa yang akan dilakukan.
“Kakang Parameswara, apa yang akan kakang lakukan?” letup Ken Rahastri.
Pemuda bernama Parameswara telah berancang-ancang dengan sebuah sikap yang
sembrono, tak tahu diri karena berani menantang kekuatan alam yang demikian dahsyat.
Bila pohon gurdo bisa ambruk tercabut sampai ke akar-akarnya maka apalah yang bisa
dilakukan pemuda itu dalam menghadapinya.
Rahastri cemas.
“Kakang Parameswara!” Ken Rahastri mencegah “Apa yang akan kaulakukan?”
Wajah Parameswara menegang, tatapan matanya lurus, gelegak mulai memenuhi isi
dadanya.
“Menjauh Rahastri. Kau berada dalam lintasan angin lesus itu. Cepatlah menjauh!”
jawab pemuda itu tegas.

Angin lesus yang amat besar itu meliuk amat ganas. Air dan pasir yang dihisapnya
disebarkan ke mana-mana, semburat mengenai apa pun. Gemuruhnya gemerasak seperti
barisan lampor berburu bayi, apalagi ketika pasir dan bebatuan yang tersebar muncrat
semburat mengenai daun-daun dan pepohonan di sepanjang pantai tebing itu. Maka Ken
Rahastri terpaksa menggunakan capingnya untuk melindungi wajah dari semburan yang
terasa menusuk-nusuk. Ken Rahastri melangkah mundur dan merasa perlu melangkah
mundur lagi. Cleret tahun itu bisa bergerak ke arah tak terduga, bila ia bernyawa boleh
jadi sedang mengintip nyawanya.
Akan tetapi apa yang akan dilakukan Parameswara sungguh membuatnya cemas.
Padat tanah bisa dikeruk dalam waktu sangat singkat maka apa yang bisa dilakukan
manusia? Dengan kesembronoannya itu Parameswara bisa terhisap dan barangkali malah
terangkat ke atas sampai ke puncak dari pusaran angin itu. Bisa dibayangkan entah akan
berakhir seperti apa nasib Parameswara bila
cleret tahun itu membantingnya ke tebing
padas. Bisa pula Parameswara hanya diputar sampai pusing tujuh keliling hinggal
murca8kesadarannya lalu dibuang ke tengah laut menjadi mangsa dari sepasang ikan raksasa
yang pasti mampu menelannya hanya dalam sekali telan.
“Kakang, cepat menghindar!” Ken Rahastri berteriak didorong cemas yang semakin
memuncak.
Akan tetapi Parameswara bergeming.
Pemuda yang masih berusia muda itu justru mengambil sikap. Kedua tangannya
diangkat ke atas dengan pelan. Sejenak kemudian dua telapak tangan itu telah saling
melekat. Dengan sikapnya itu, Parameswara telah memulai membangkitkan kemampuan
yang berasal dari alam bawah sadar yang dikuasainya. Ken Rahastri semakin cemas,
namun angin lesus itu meliuk semakin dekat, membuat miris. Ken Rahastri memang tak
punya pilihan lain. Gadis cantik itu segera melenting dari punggung penyu dan melejit ke
atas punggung penyu yang lain. Penyu-penyu yang bertebaran di garis pantai itu rupanya
tanggap terhadap bahaya yang datang. Mereka merangkak dengan terburu-buru ke arah
air. Ada pula yang justru masuk ke dalam lebatnya semak perdu.
Parameswara melihat jarak angin lesus itu makin dekat. Angin lesus itu tinggal
meliuk sekali lagi untuk menggapai tubuhnya. Dengan perhitungan yang cermat pemuda
itu telah siap dengan kemampuan pamungkas dari ilmu
kanuragan yang dipelajarinya,
segera menghimpun seluruh kekuatan yang dimilikinya. Kakinya agak merenggang.
Mulutnya berkomat-kamit seperti mengucapkan sesuatu yang tak jelas entah apa, darah
yang mengalir di sekujur tubuhnya mendidih. Kekuatan yang tersalur di tangan siap
meledak, siap membubarkan pusaran angin itu seberapa besar pun kekuatan yang ia
punya.
Angin lesus itu meliuk cepat ke arah tubuhnya. Parameswara segera memejamkan
mata dan tubuhnya serasa gemuruh.
Sejalan dengan bentakan suaranya yang lantang, Parameswara melejit menghindar
dari belitan lidah
cleret tahun yang menyambarnya dengan suara gemeretak tajam dan
memekakkan telinga. Ajian Riung Laut yang telah dikuasainya itu dilontarkan dengan
sepenuh tenaga dengan sasaran lidah angin yang menyambarnya. Kekuatan yang dahsyat
lepas menghajar lidah beliung itu.
Akan tetapi Parameswara salah terka. Kekuatan yang dimiliki gejala alam yang
jarang-jarang terjadi itu sungguh tidak terkira. Ujung
cleret tahun yang lancip itu justru
melebar dan bagai hidup layaknya, dengan kecepatan penuh menyambar Parameswara,
membelit dan berniat memutarnya.
Akan tetapi Parameswara telah menghitung kemungkinan itu. Dengan cekatan dan
perhitungan yang cermat pemuda itu melenting menghindar mengambil jarak. Apa yang
dilakukan membuahkan hasil. Parameswara selamat dari hisapan angin lesus yang amat
kuat itu dan segera mempersiapkan diri dengan sebuah ancang-ancang berikutnya. Agak
bergegas Parameswara kembali membangunkan kemampuan dahsyat yang selama ini
menjadi andalannya.
Namun ada gerak angin lesus itu yang sama sekali tidak diperhitungkan pemuda itu.
Lintasan ujung
cleret tahun itu tiba-tiba berubah arah dengan menyajikan kejutan yang
takn pernah ia bayangkan sebelumnya. Melalui gerakan melingkar dilengkapi jejak pasir
berhamburan,
cleret tahun itu mengurung geraknya. Parameswara gugup, karena tidak
melihat celah yang bisa diterobosnya. Apalagi ketika lingkaran gerak angin ribut itu telah
mengarah.
Di kejauhan Ken Rahastri tidak mampu menguasai gugupnya. Detak jantung gadis
terangsang saat menjadi saksi saat-saat terakhir angin lesus itu menggilas tubuh lelaki
muda yang dicintainya itu. Ken Rahastri terbelalak. Gadis itu menggigil menyaksikan
Parameswara sama sekali tidak punya kesempatan untuk membangun kembali ajian
Riung Laut andalannya. Kekuatan angin lesus itu benar-benar menghisap tubuhnya,
diputar dengan amat cepat.
Parameswara masih punya kesadaran untuk sekadar memerhatikan segala sesuatu
telah berubah menjadi hitam dan gelap, akan tetapi ketika sebuah pijar menggelegar saat
petir ikut pula meramaikan peristiwa itu, dengan garis cahaya yang memanjang, ujungnya
masuk menusuk ke dalam pusaran
cleret tahun, maka Parameswara terlonjak oleh
sengatan rasa sakit yang luar biasa, serasa meremas isi kepala dan juga mengacak irama
degup jantungnya. Ken Rahastri yang berhasil menggapai puncak kegugupannya tidak
bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali memerhatikan saat-saat tubuh Parameswara terangkat
makin tinggi ke pusat pusaran angin yang sedang ribut itu.
Mulut gadis itu terkunci. Matanya berkunang-kunang seolah bintang-bintang dalam
jumlah tak terhitung bertaburan di keningnya. Tubuhnya meliuk dan ambruk.
Ken Rahastri pingsan.
Angin lesus itu bergerak dengan cepat menjauh kembali ke tengah laut. Ombak
gemuruh yang paling besar, terbelah dua ketika
cleret tahun itu melintasinya. Mendung
tebal segera berubah jadi hujan badai yang turun dengan sangat deras. Di kejauhan sekali
beberapa ekor ikan raksasa menyambut kehadiran badai itu dengan perasaan gembira.
Ikan-ikan berukuran besar menyelam mengayuh diri dengan kuat dan ketika menyembul
ke permukaan mereka mumbul di atas permukaan air yang saat ambyur air pun terbelah.
Mereka lakukan itu berulang kali.
Langit yang demikian gelap menyebabkan jarak pandang menjadi sangat terbatas.
Ken Rahastri semaput tidak terlampau lama. Air hujan yang mengguyurnya segera
membangunkan gadis itu dari keadaan tidak sadarnya. Sejenak Rahastri kebingungan
sambil mengumpulkan semua ingatan. Manakala kesadarannya pulih, Rahastri serentak
dibelit cemas.
“Kakang Parameswara!” antara gugup serta panik gadis itu berteriak memanggil.
Rahastri berusaha bangkit. Hujan deras serta kabut yang tebal menghalangi jarak
pandangnya. Apalagi sang waktu beranjak menjamah datangnya petang.

“Kakang Parameswara, di mana kau?” teriak gadis itu terdengar lagi, namun segera
hilang oleh suara gemuruh hujan dan ombak.
Gugup Ken Rahastri. Menghadapi keadaan yang demikian Ken Rahastri merasa
lebih senang jika semua itu hanya mimpi. Apabila semua itu hanya mimpi maka masih
ada kesempatan untuk terbangun.
“Mimpikah ini? Mimpikah semua ini?” ucap Ken Rahastri dengan getar gugup yang
makin sempurna.
Tentu saja apa yang dialaminya itu bukanlah mimpi yang tidak nyata. Gadis itu
mencubit dan menjambak rambutnya yang ternyata terasa sakit. Artinya apa yang terjadi
itu benar-benar nyata. Parameswara sang paman yang lebih sering dipanggil ‘kakang’ itu
hilang dimangsa angin lesus. Menyadari keadaan yang sangat buruk itu memaksa Ken
Rahastri menggigil. Kenyataan yang dihadapinya sungguh teramat berat untuk disangga.
Ken Rahastri yang berdiri di bibir pantai terduduk dan mendekap wajah. Sesak yang amat
berat menggeratakinya.
Sebuah ombak yang teramat besar telah berancang-ancang dari arah laut, ombak itu
berukuran amat besar yang apabila sampai di bibir pantai pasti akan melewatinya. Suara
gemuruh itu semakin lama semakin dekat hingga benar-benar siap menggilasnya. Andai
Rahastri lengah, maka ombak besar itu akan menghajar tubuhnya menabrak apa pun, dan
bahkan membantingnya ke padas dan dengan ganas akan mempermainkannya sampai
napasnya habis. Ombak besar itu akhirnya tiba dan benar-benar akan menjadi ancaman.
Jika gadis itu tak segera lari menghindar ombak amat besar itu akan menggulungnya.
Namun Ken Rahastri belum menyadari bahaya yang akan datang. Gadis itu tetap
terduduk beku mendekap wajah. Hingga pada akhirnya ombak itu benar-benar telah
berada pada jarak yang amat dekat. Rahastri yang tersadar gugup, dan karena itu ia bagai
orang bodoh yang tak tahu harus berbuat apa.

 
3.(Rangkaian peristiwa tahun 2011.)Singasari9! Adakah di balik kota yang tak jauh letaknya dari kota Malang dan
Surabaya ini merupakan letak sebuah negara yang sekian tahun lalu pernah berdiri
bernama Singasari pula? Parra Hiswara, nama lelaki yang sedang mengayun cangkul itu
tidak pernah memerhatikan. Pengetahuannya tentang Singasari yang menjadi tempat
tinggalnya sekarang tidak lebih dari kampung halaman isterinya yang ia nikahi setahun
lalu dan kini sedang hamil lima bulan. Soal adakah kota Singasari itu berhubungan
dengan nama-nama terkenal dari masa silam, misalnya nama seorang perempuan yang
konon memiliki kecantikan tidak tertandingi, ia adalah Ken Dedes pemilik gelar Sang
Ardhanareswari yang mempunyai arti perempuan mulia yang menurunkan raja-raja atau
ada nama lain yang tak kalah legenderaris seperti Ken Arok, Parra Hiswara tidak tahu. Ia
bukan arkeolog, bukan historiografer, juga tidak memiliki minat terhadap sejarah bahkan
legenda sekalipun. Ia hanya seorang sarjana pertanian, lulusan sebuah perguruan tinggi 
terkenal di Yogyakarta yang sekarang sedang menekuni profesi yang benar-benar boleh
dibilang jauh panggang dari api.
Bukannya menggeluti bidang pertanian, Parra Hiswara sibuk menekuni profesi
sebagai wartawan dan menggawangi hal-hal yang berhubungan dengan kriminal dan
sesekali masalah politik. Dengan menjadi wartawan ritme hidupnya agak kacau, pulang
kerja larut malam setelah tenggat cetak, bangun tidur kesiangan untuk kemudian berburu
berita, demikian seterusnya. Kisah tentang kehancuran rumah tangga wartawan biasanya
karena isteri tidak mampu menghadap ritme hidup yang demikian.
Tidak banyak penghasilannya sebagai wartawan namun Parra Hiswara tidak
mempersoalkannya. Menjadi jurnalis ia jalani bukan dalam koridor pekerjaan tetapi tetapi
lebih ke panggilan jiwa, ia lakukan itu mirip sukarelawan. Seperti perokok sejati, ia pilih
tidak makan daripada tidak merokok. Dalam kondisi ekonomi yang sebenarnya kembang
kempis ekonomi keluarganya agak tergganggu. Namun untunglah mertuanya orang yang
baik hati tidak tega membiarkan kehidupan ekonomi anak tunggal semata-wayangnya.
Pak Ruswan, mertuanya yang tinggal tak jauh dari rumah kontrakannya bisa digolongkan
ke kelompok orang-orang kaya. Setiap bulan selalu mengirim dana untuk menjamin
anaknya tak kekurangan apa-apa. Mobil yang diparkir di garasi adalah infus dari sang
mertua. Sebuah rumah lumayan megah sedang dibangun untuk mereka di kota Malang.
Parra Hiswara adalah nama Jawa pemberian orang tuanya yang masing-masing
berasal dari Jawa namun telah lama tinggal di Sumbawa. Parra Hiswara yang dilahirkan
di Sumbawa akhirnya merasa dirinya lebih sebagai orang Sumbawa daripada orang Jawa.
Dalam berbahasa ia lebih menguasai bahasa kampung halaman tempat kelahirannya
daripada kampung halaman orang tuanya.
Mahdasari, sang istri itu datang membawakan makanan ringan dan segelas besar teh
hangat untuk suaminya yang bersimbah peluh di sekujur tubuhnya. Soal keringat yang
demikian deras, Mahdasari memerhatikannya dengan penuh minat dan tidak bosanbosannya. Tubuh suaminya sungguh sehat dan atletis, tangannya berotot dan bukan
golongan orang gemuk. Nyaris di sekujur tubuhnya banyak ditumbuhi bulu-bulu lembut,
lebih lebat sedikit lagi akan sulit membedakan antara Parra Hiswara dengan orang utan,
penghuni asli Pulau Kalimantan. Sekujur tubuh yang dipenuhi bulu ditambah
kemampuannya dalam olah asmara menjadikan Mahdasari tak pernah berpikir tentang
lelaki lain. Baginya, lelaki itu hanya suaminya. Dengan berkeringat basah kuyup seperti
itu menjadi gambaran betapa ‘jantan’ suaminya.
“Minum dulu mas,” isterinya menyela menawarkan.
Parra Hiswara menghentikan pekerjaannya sejenak dan menoleh. Dari saku celana
kombornya laki-laki tampan itu mengeluarkan geretan dan menyalakan rokok. Soal rokok
istrinya tidak keberatan karena kebetulan suka baunya. Ngidamnya dulu malah merokok
yang nyaris menimbulkan salah paham ketika suaminya memergoki ada abu dan puntung
rokok di kamar. Parra Hiswara sempat menuduh istrinya selingkuh dengan laki-laki lain,
ternyata ia hanya
ngidam. Apakah dengan ngidam macam itu kelak anaknya akan
menjadi perokok? Parra Hiswara tidak mempersoalkan toh ia sendiri sesekali membuang
kejenuhan atau pusing di kepalanya dengan merokok.
“Pakai es dong,” minta Parra Hiswara.
Mahdasari menggeleng.
“Nggak boleh, nggak sehat,” jawabnya dengan senyum merekah.

Dengan tubuh berkeringat seperti itu Parra Hiswara sangat ingin menenggak air
dingin.
“Minum air panas akan menyebabkan aku makin berkeringat.”
“Tidak apa-apa, malah bagus!” jawab istrinya.
Parra Hiswara berharap, seharian hari Sabtu ini ~ mumpung libur ~ akan mampu
menyelesaikan pembuatan tandon WC, yang terpaksa ia lakukan pekerjaan itu gara-gara
WC mampet dan tak mungkin diperbaiki mengingat pembuatnya dulu salah rancang atau
tidak tahu bagaimana cara membuat WC yang benar. Mahdasari sebenarnya telah
mengusulkan untuk diorderkan pada tetangga namun Parra Hiswara bersikeras
mengerjakan sendiri. Parra Hiswara merasa, untuk pekerjaan macam itu ia sanggup
mengerjakan. Mahdasari benar untuk teh hangat itu yang memberikan dorongan kepada
Parra Hiswara bekerja lebih keras dan lebih bersemangat. Tenaganya seperti bertambah,
ayunan cangkulnya di tanah padas itu semakin keras. Keringat yang bagai diperas
menjadi gambaran betapa tubuhnya sedang mendidih.
“Jika WC ini telah selesai,” ucap Parra Hiswara di sela ayunan cangkulnya, “dalam
sehari kauboleh berjongkok berapa kali pun kau mau. Sandarannya akan kubikin bagus
dan nyaman sehingga kaubetah berlama-lama berada di WC.”
Mahdasari melengos.
“Aku tidak mau melahirkan anakku di WC,” jawabnya setengah meledek.
Parra Hiswara yang tidak menduga akan berhadapan dengan jawaban macam itu
tertawa terkekeh.
Namun yang tak terduga itu terjadi, sebuah kecelakaan bisa terjadi di mana saja dan
kapan saja serta bisa menimpa siapa saja. Parra Hiswara boleh saja merasa berada di
tempat yang benar di waktu yang benar dan melakukan sesuatu yang benar, padahal
ternyata ia berada di tempat yang salah di waktu yang salah plus melakukan sesuatu yang
sangat salah.
Parra Hiswara terlambat dalam menghadapi keadaan yang seperti dengan sengaja
datang menjemputnya. Manakala ayunan tangannya menghantam gumpalan padas di
bawahnya, ambrol tanah padas itu, jebol dan meniadakan tempat kaki berpijak. Parra
Hiswara terseret hukum gravitasi tanpa bisa mengantisipasi seiring dengan jeritnya yang
melengking dan mengagetkan isterinya.
Terbelalak Mahdasari. Nyaris perempuan itu menyusul masuk ke dalam lubang
yang mendadak terbuka. Perempuan itu melengking melolong, menjerit sejadi-jadinya,
mengagetkan seorang tetangga yang kebetulan lewat.
“Tolong, tolooong, tolooong. Tolong suamiku,” teriaknya sangat panik.
Berhamburan beberapa orang tetangga yang kebetulan melakukan kegiatan kerja
bakti memperbaiki masjid tak jauh dari rumahnya. Mereka berdatangan menemukan
Mahdasari terduduk dengan muka pucat sepucat-pucatnya, perempuan itu merasa
lehernya tercekik, tak bisa bernapas.
“Ada apa Mbak?” salah seorang dari mereka yang berhamburan itu bergegas
bertanya.
Apa yang terlihat sudah cukup bercerita, bahkan dengan sangat jelas. Pada galian
tanah yang sedianya akan dibuat tandon WC terlihat sebuah lubang dengan ukuran cukup
untuk tubuh manusia. Seseorang terperosok melalui lubang itu.
“Cari senter. Cepat, tolong yang merasa punya ambil senter,” seseorang lantang
berteriak.

Seorang tetangga bergegas pulang dan ketika kembali telah membawa sebuah
senter. Cahayanya cukup terang didukung oleh baterai-baterai yang masih baru, namun
rupanya cahaya seterang itu tak mempunyai kemampuan menerangi kegelapan di bawah
tanah itu.
“Mas Parra,…mas!” seseorang berteriak memanggil.
Tak ada jawaban apa pun. Derajad kepanikan Mahdasari bertambah, derajad
kecemasannya semakin meningkat. Mahdasari amat ingin apa yang menimpa suaminya
itu hanya mimpi. Akan tetapi musibah itu peristiwa nyata, lubang muncul di galian tanah
itu benar-benar nyata, suaminya lenyap melalui lubang itu benar-benar nyata. Maka
nyaris bisa diyakini, ke depan ia akan menjalani kehidupan tanpa didampingi suami lagi.
Ia akan menjadi janda. Jangankan jatuh demikian tinggi, jatuh dari atap rumah yang
hanya empat meter sudah fatal.
“Tolong suamiku, tolong,” mulutnya bergetar tetapi tanpa suara.
Namun bagaimana harus menolong? Atau siapa yang berani bertaruh nyawa
memberikan pertolongan. Cahaya senter yang diarahkan ke bawah ternyata terantuk pada
kegelapan yang total, amat pekat dan tidak bisa ditebak ada apa di sana, apalagi jika di
goa bawah tanah itu dihuni gas beracun yang mematikan, atau ~ yang ini berdasar pikiran
tak rasional ~ bagaimana kalau di goa bawah tanah itu dihuni makhluk mengerikan,
monster atau ular raksasa, maka sangat berisiko bagi siapa pun yang berniat menjadi
pahlawan.
Akan tetapi orang macam itu ternyata ada tanpa didasari niat menjadi pahlawan.
Hirkam, seorang mahasiswa pecinta alam yang tinggal berjarak beberapa rumah
dari tempat itu bergegas mengambil peralatannya. Dengan diperhatikan oleh semua yang
hadir, Hirkam yang telah mengamankan diri menggunakan tali
carmentel statis lengkap
dengan
harnet yang mengunci tubuhnya serta tabung oksigen yang dilengkapi pesawathandy talky, ia meluncur turun. Rayana, sahabatnya yang juga sesama pecinta alam
mengkoordinasikan pengamanannya di luar. Sebagaimana Hirkam, Rayana juga
memegang
handy transciever.
Melalui sapuan cahaya senter yang dibawanya Hirkam dikejutkan oleh kenyataan
yang tidak terduga, bahwa ada beberapa lorong-lorong mendatar di sepanjang ia turun
menelusuri
carmentelnya.
“Ada goa di bawah sini,” lewat
Handy transcievernya Hirkam melaporkan apa yang
ia lihat.
Rojer, diterima,” jawab Rayana.
Hirkam segera menganalisa, lubang yang ia perhatikan itu mirip aliran sungai
bawah tanah, namun bentuknya amat tak masuk akal bila tercipta secara alamiah. Empat
lorong lorong horisontal yang bertemu di lorong vertikal itu tak mungkin jika tidak ada
campur tangan manusia.
Hirkam menyapukan senternya.
“Ujung lorong sepertinya berbelok dan panjang sekali,” gumamnya.
Demikian pula ketika Hirkam mengayun tubuhnya, berbalik memerhatikan lorong
vertikal di belakangnya, dengan sapuan cahaya senternya terlihat sangat jelas bentuk goa
bawah tanah itu hasil dari campur tangan manusia. Bentuk yang simetris dengan Hirkam
merasa berada tepat di tengah lorong sumur, meninggalkan jejak sangat jelas, goa bawah
tanah itu buatan manusia.
“Apa yang kamu lihat?” terdengar suara Rayana dari HT yang ia pegang.

“Ada empat lorong terowongan goa horisontal,” jawab Hirkam. “Aku berada di
tengah-tengahnya, titik perempatannya adalah lobang turun di mana aku berada.
Sepertinya bukan goa atau terowongan alam, aku mengira buatan manusia dan di bawah
masih ada lagi. Aku akan turun.”
“Rojer hati-hati. Mas Parra terlihat tidak?” tanya Rayana.
Hirkam mengarahkan cahaya senternya ke bawah, namun di sana, apakah warna
hitam yang terlihat merupakan dasarnya. Tidak tampak tubuh Parra Hiswara yang
tergeletak. Hirkam merasa perlu merayap turun untuk lebih dekat lagi. Ia tidak perlu
cemas dengan kemungkinan adanya gas beracun karena telah menggendong tabung
oksigen yang akan mengamankan napasnya setidaknya satu jam ke depan.
Namun sekali lagi Hirkam tertegun. Bahwa lorong bawah tanah itu bukan berasal
dari peristiwa alam, ia yakini dari ditemukannya sebuah tali melintang. Hirkam bergegas
menyapukan cahaya senternya untuk memastikan dari mana arah tali melintang itu
berasal.
“Aku berada di dua puluh lima meter. Aku berada di tengah dua lorong, di
belakangku, mungkin arah barat ada lorong berbelok, sementara di sebelah lain ada
lorong memanjang, berbelok pada jarak sekitar dua puluh lima meter,” Hirkam
memberikan laporannya melalui HT yang dipegangnya.
“Dasar sumur kelihatan?” tanya Rayana.
Hirkam mengarahkan cahaya senternya ke bawah. Beberapa jenak waktu yang ia
butuhkan untuk menyimpulkan apa yang ia lihat di bawah, yang rupanya hanya tinggal
beberapa meter lagi.
Hirkam meluncur turun penuh keyakinan, pemuda itu merasa jantungnya berhenti
berdenyut. Tanah tempatnya berpijak lembek dan seperti bergerak-gerak.
“Gila, tempat macam apa sebenarnya ini?” Hirkam terperanjat dan mulai merasa
tidak nyaman.
Dengan gugup, jantung berdenyut lebih berdegup serta indera hidungnya seperti
menangkap bau sesuatu yang membusuk, Hirkam bergegas menarik tali
carmentelnya,
isyarat supaya mereka yang berada di atas tanggap untuk segera bertindak.
“Tarik! Tarik talinya!” teriaknya dengan keras.
Cemasnya menyebabkan senter yang dipegang tangan kiri jatuh dan padam.
Isyarat itu terdengar amat jelas melalui lubang sumur sekaligus juga terbaca jelas
melalui HT. Beramai-ramai tali yang melintasi sebuah kerekan mirip kerekan timba di
sumur-sumur tradisional itu ditarik. Di atas, Rayana dan beberapa orang segera bahu
membahu menarik tali carmantel.
“Cepat tariiiiiik!” dari lorong bawah tanah Hirkam berteriak panik, sesuatu terjadi
padanya.
Namun meski merasa detik-detik yang lewat sangat lamban, Hirkam berhasil
kembali ke permukaan dan menjadi pusat perhatian. Napasnya yang tersengal dan
wajahnya yang pucat pasi menjadi gambaran betapa Hirkam mengalami himpitan
persoalan yang nyaris tak teratasi.
Namun rupanya, himpitan itu jauh dari kata sekadar luar biasa.
“Punggungmu berdarah,” seorang nyeletuk.
Punggung yang berdarah terlihat dari kaos yang robek itu dengan segera
membangunkan rasa ngeri dari tidurnya.
“Apa yang kaualami?” tanya Rayana.

“Sesuatu mencakar punggungku dan berusaha merenggut kakiku.”
Bahkan setan lewat sekalipun tak akan mampu membangkitkan rasa ngeri berharga
mutlak macam itu. Semua diam, semua mengarahkan pandang pada Hirkam.
Persoalannya bukan lagi bagaimana menolong Parra Hiswara dari dasar lorong bawah
tanah itu, namun lebih ke ada monster jenis apa di bawah sana. Jelas ada sesuatu
bersembunyi di sana, sesuatu itu meninggalkan jejak luka yang amat nyata di tubuh
Hirkam. Manakala Hirkam mampu menyelamatkan diri keluar dari ruang-ruang aneh
bawah tanah itu, lantas bagaimana dengan nasib Parra Hiswara?
“Bagaimana suamiku?” itulah satu-satunya suara yang memecah senyap.
Tak seorang pun yang tahu jawabnya.
“Bagaimana suamiku?” sekali lagi Mahdasari bertanya, ia gumamkan suara lirih itu
beberapa detik menjelang pingsannya.
Orang-orang itu segera bertindak cekatan melakukan pertolongan. Tubuh
perempuan hamil lima bulan itu segera digotong ke rumah. Yang lain bertindak cekatan
melaporkan kecelakaan aneh itu ke Polisi. Beberapa Polisi datang yang ternyata untuk
tidak bisa berbuat apa-apa, menilik keadaan Hirkam yang mengalami luka-luka aneh,
maka tak seorang pun yang berani meniru keberaniannya.
Soal bagaimana nasib Parra Hiswara, semua orang bisa memastikan, bahwa tak
mungkin ada pertolongan yang diberikan padanya. Ketinggian pasti merenggut
nyawanya, atau kalau terjadi keajaiban semisal selamat dari kecelakaan terjun bebas itu,
lantas bagaimana Parra Hiswara menyelamatkan diri dari makhluk monster yang
meninggalkan jejak luka di punggung dan kaki Hirkam?
“Ada makhluk apa di bawah?” pertanyaan itu berasal dari mulut seorang pemuda
kepada pemuda di sebelahnya.
Sama! Pemuda di sebelahnya tak punya jawabnya.
“Sesuatu yang mengerikan entah apa, yang jelas ia punya kuku,” jawab orang itu.
“Untuk mengetahui jawabnya bagaimana kalau kamu yang turun?”
Pemuda di sebelahnya sama sekali tidak menganggap jawaban itu sebagai sesuatu
yang lucu. Ia tidak menjawab melalui mulut, tetapi lewat gelengan kepalanya pelahan.
Sambil menyeringai menahan sakit, Hirkam menaburkan antiseptik pada lukanya
yang masih mengalirkan darah. Rayana Suriatmaja membantu melakukan hal yang sama
ke bagian punggung dengan rasa heran yang semakin menggejolak. Luka di punggung
itu, memanjang berasal dari sesuatu yang berniat mencengkeram.
“Luka seperti tergores kuku, memanjang lima jumlahnya. Makhluk jenis apa di
dalam tanah itu ?” tanya Rayana Suriatmaja dalam hati.
Rasa penasaran dan kecemasannya kian membuncah manakala ingat Parra Hiswara
sahabat akrabnya tertinggal di bawah sana, amat kecil kemungkinan ia masih hidup. Jatuh
dari ketinggian lebih dari dua puluh lima meter tentu mati. Tidak mungkin tidak mati.
Kalaupun masih hidup, makhluk tak dikenal itu pasti menyantapnya.
Hirkam mengalami kesulitan luar biasa dalam menerima kenyataan paling aneh itu.
Telah berulang kali ia mengalami bentuk petualangan luar biasa, menelusuri goa-goa
sungai di daerah pantai selatan, melakukan penyelaman dan membantu mengeskplorasi
hutan belantara di Kalimantan, namun baru kali ini ia mengalami peristiwa paling
mustahil. Di tanah Singasari, hanya berjarak tak lebih dari dua puluh kilometer dari
Malang yang berada di selatan dan sekitar enam puluhan kilometer dari Surabaya di arah

utara, ada monster tak dikenal menghuni di bawah tanah. Lorong-lorong itu boleh jadi
bahkan melintas di bawah kamar tidur rumah kontrakannya.
Maka sejak kejadian itu terjadi kesibukan luar biasa di rumah Parra Hiswara.
Mertuanya yang dikabari terkejut bukan kepalang. Terhadap menantunya semula ia
memang tak begitu senang, namun melihat kebahagiaan rumah tangga anaknya akhirnya
Pak Ruswan tulus menerima kehadiran Parra Hiswara sebagai bagian dari keluarganya.
Melihat kesedihan sedang menimpa anaknya, lelaki yang menggeluti bisnis berbagai
sayuran yang dikirim ke Jakarta terpukul.
Semua orang berusaha menghibur Mahdasari yang merasa dengan kematian
suaminya, keadaan dunia sudah sama dengan kiamat.
Maka musibah yang menimpa itu memang mengagetkan sekali.
Namun semua memang mati langkah, tak tahu bagaimana harus bertindak. Soal
Parra Hiswara memang harus diikhlaskan tak mungkin ada penyelamatan. Di sisi lain
segenap warga sekitar di mana Parra Hiswara tinggal mulai dibayangi rasa cemas dan
ngeri. Lubang yang terbuka dari dalam tanah itu bahkan seperti menjanjikan teror bila
dimanfaatkan oleh penghuninya menerobos keluar dan menarikan dendang kematian.
Apa boleh buat, lubang itu terpaksa ditutup kembali.
“Sebelum gelap malam harus ditutup,” itulah keputusan yang diambil.
Tidak hanya ditutup dengan diuruk kembali. Kecemasan menyebabkan diuruk saja
tidak cukup. Lubang tanah yang sedianya akan digunakan tandon WC itu dicor dengan
semen dengan otot-otot besi sebesar jempol tangan, sekaligus menjamin Parra Hiswara
yang terlanjur terperosok menjadikan tempat itu sebagai kuburannya, pun menjamin Ken
Mahda akan menjadi janda. Bayi yang dilahirkannya tak akan didampingi suaminya.
Namun sebenarnya, apa yang terjadi pada Parra Hiswara?


4.Nasib yang melibasnya bukan semata-mata kesialan belaka. Parra Hiswara yang
meyakini sikap ilmiah begitu kokoh seolah itulah agamanya, terperosok pada keadaan
yang benar-benar tidak terduga. Sungguh apa yang terjadi itu bukan semata-mata kesialan
belaka karena di belakang itu, ada takdir yang ikut berbicara. Sikap ilmiahnya runtuh
berkeping-keping dihadapkan pada keadaan paling tidak masuk akal.
Parra Hiswara masih memegang gagang cangkulnya ketika tanah tempat berpijak
kakinya ambrol. Ketika gravitasi menghisapnya dengan sangat deras dan akan
membantingnya ke bawah sana, cangkul itulah yang berjasa, setidaknya dalam
memperpanjang beberapa jengkal usianya. Parra Hiswara yang merasa nyawanya
terancam bila tubuhnya terbanting ke dasar sumur, menggunakan cangkul itu untuk
menggaruk dinding dan dalam upayanya menyangkutkan ke sesuatu. Upayanya berhasil,
gerak turun terhisap gravitasi itu terhenti, itu pun Parra Hiswara nyaris terlepas dari
gagang cangkulnya, untung ia memeganginya dengan sangat kuat.
Parra Hiswara berpegangan sekuat tenaga sambil berusaha mengenali keadaan
sekitarnya dengan hanya menggunakan cahaya dari atas. Butuh waktu beberapa saat

baginya untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan, tangannya meraba-raba dalam upaya
mengenali keadaan.
“Mati aku,” gumamnya sambil berusaha menguasai diri dari ketakutan luar biasa.
Samar-samar Parra Hiswara bisa mengenali benda apa yang menghadang
cangkulnya. Dengan hati-hati Parra Hiswara mengulurkan tangan dalam usahanya
menggapai benda melintang yang ternyata memang benar tali. Parra Hiswara yang
sedianya akan menjadi seorang ayah itu tak sempat berpikir, mengapa ada benda macam
itu di tempat yang sungguh tidak masuk akal.
Sebetulnya bukan pekerjaan yang sulit baginya untuk mengayunkan tubuh naik ke
lorong melintang di depannya, namun gugup dan ketakutannya menyebabkan pekerjaan
sepele itu ternyata sulit dikerjakan. Akhirnya setelah pikirannya berhasil dikendalikan,
jantungnya mereda tak mengayun deras, Parra Hiswara berhasil naik. Tangannya yang
meraba-raba dinding bisa membaca lubang terowongan itu berdinding tanah padas, licin
dan basah.
“Tempat apa ini? Mengapa ada lorong macam ini di tempat ini?”
Tanpa bantuan cahaya tempat itu benar-benar gelap gulita. Parra Hiswara
menggerayangi saku celana longgarnya dan beruntung masih menemukan geretan
berbahan bakar gas. Dengan penerangan api yang hanya kecil saja itu ia merayap
menyusuri terowongan yang entah di mana ujungnya. Ketika hatinya mulai mengendap,
Parra Hiswara mulai mampu menggunakan otak, nalarnya bekerja.
“Terowongan ini, nampaknya tidak tercipta secara alami. Namun karena ada orang
yang membuat,” Parra Hiswara menyimpulkan.
Parra Hiswara terus berjalan, amat tersendat karena cemas bila ada sejenis ular atau
binatang yang menyerang kakinya. Tangannya meraba dinding menuntun perjalanannya
sampai akhirnya tiba di ujung. Lorong berbelok ke arah kanan dengan
undak-undakanyang semakin meyakinkan Parra Hiswara, terowongan bawah tanah itu benar-benar
buatan manusia.
“Siapa orang yang kurang pekerjaan membuat terowongan aneh ini?” tanya lelaki
itu dalam hati.
Parra Hiswara merasa harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, tak boleh terlalu
lama kebingungan. Karena jika hal itu terjadi, ia akan kehilangan kesempatan keluar dari
terowongan bawah tanah. Setelah apa yang terjadi itu ia berharap akan ada orang yang
menolong.
Beberapa jenak setelah sampai di ujung Parra Hiswara menjumpai sebuah
pertigaan, ia dihadapkan pada dua pilihan, ke kiri ataukah ke kanan. Dibantu oleh cahaya
yang sangat minim dari korek apinya Parra Hiswara melihat jalan ke kiri mengarah turun
sebaliknya yang ke kanan menanjak naik.
“Turun atau naik?” pertanyaan itu diucapkan pelahan.
Belum tuntas Parra Hiswara dalam menimbang, sesuatu mengejutkannya.
“Ya Tuhan,” desis yang keluar dari mulutnya.
Parra Hiswara merasa bisa melihat dengan lebih jelas ke arah kanan pada lorong
yang menanjak, juga bisa memandang lebih jelas ke arah kiri, pada terowongan yang
menurun, karena masing-masing dari arah berbeda itu muncul bias cahaya yang entah
berasal dari mana. Parra Hiswara meyakini adanya sumber cahaya terang itu setelah
mematikan korek apinya.

“Akan menghadapi apakah aku setelah terperosok di tempat ini?” tanya suami
Mahdasari itu dengan jantung berdenyut amat kacau.
Dan pilihan yang diambil adalah pilihan yang paling masuk akal menurut
hitungannya. Bagaimanapun Parra Hiswara ingin selamat, ingin segera keluar dari dalam
goa bawah tanah itu, arahnya adalah ke atas, bukan ke bawah. Pilihan untuk membelok
ke kanan akhirnya yang diambil, dan manakala ia sampai ke akhir dari tanjakan itu,
pandangan matanya terantuk pada sesuatu yang menyebabkan ia terbelalak.
Sebuah ruangan, kali ini bukan dari dinding padas namun berupa sesuatu yang rata,
berupa lingkaran dengan garis tengah sepanjang lima belasan meter. Namun bukan ruang
berbentuk aneh itu yang menyebabkan jantungnya berhenti berdenyut. Parra Hiswara
yang menghitung menemukan tujuh meja batu pipih mengkilat dalam posisi melingkar
seolah menjadi ruji-ruji ruangan itu, sementara pada bagian tengah terdapat meja batu
pula yang berbeda dari tujuh yang lain karena bentuknya lingkaran, bukan segi empat.
Alasan bagi jantung Parra Hiswara untuk berhenti berdenyut adalah bukan bendabenda yang ia temukan itu akan tetapi lebih pada orang-orang yang sedang pulas masingmasing di atasnya. Hanya satu ‘tempat tidur’ yang kosong tidak ada penghuninya,
sementara meja-meja batu pualam yang lain terisi.
“Aku sedang bermimpi. Semua ini pasti mimpi,” gumam Parra Hiswara.
Namun meskipun ia mengkucal matanya berulang kali, pandangan matanya tidak
berubah. Jatuh dari ketinggian yang dialaminya merupakan peristiwa nyata, maka apa
yang dilihatnya juga sesuatu yang nyata. Lumpuh kaki Parra Hiswara dihadapkan sesuatu
yang tidak masuk akal itu. Sikap ilmiahnya goyah, bahwa selama ini ia tidak percaya
pada adanya hantu atau segala sesuatu yang tidak masuk akal maka kini peristiwa paling
tidak masuk akal itu bahkan tersaji tepat di depannya.
Parra Hiswara bersandar dinding, berusaha menenangkan kakinya yang tiba-tiba
buyutan, berusaha keras menenangkan tangannya yang mendadak mengalami gejala
Parkinson, sekaligus berusaha keras mengayunkan kembali detak degup jantungnya yang
terhenti. Dan ketika hatinya mulai tenang, ia gunakan kesempatan itu untuk
memerhatikan siapa saja dan benda apa saja yang ada di ruangan itu.
Ruangan itu cukup terang, Parra Hiswara bisa memerhatikan dengan sangat jelas.
Soal dari mana cahaya berasal adalah dari sesuatu yang menancap di dinding, obor yang
entah berbahan bakar apa namun agaknya tidak pernah padam dan tetap bertugas
menerangi ruangan itu tiada henti mungkin dari sejak ruangan itu dibuat dan akan
berakhir entah kapan. Nyalanya yang sedikit kemerahan bagai gayung bersambut
dipantulkan kembali oleh benda-benda entah apa, berupa bongkahan mirip pecahan batu
yang menempel di dinding.
Sebutir pada jarak paling dekat, Parra Hiswara memungutnya.
“Intan?” tanya pemuda itu pada diri sendiri.
Gemerlap benda itu sejenak menggoda naluri bisnisnya, setidaknya muncul
pertanyaan, berapa nilai benda itu bila dijual.
Namun bukan intan sekepalan telur bebek itu yang paling mencuri perhatiannya,
akan tetapi lebih pada sosok tidur telentang di meja bundar yang dikelilingi enam orang,
atau mestinya tujuh orang karena satu meja batu kosong tidak berpenghuni. Enam orang
itu yang lelap di altar bagian luar dan melingkar itu, ketika Parra Hiswara memerhatikan
lebih cermat, mereka terdiri dari dua perempuan dan empat laki-laki. Sementara pada
bagian tengah di atas altar berbentuk bulat, seorang perempuan tidur…….telanjang!

Cukup lama Parameswara termangu memandangi orang itu.
“Cantiknya,” gumam Parra Hiswara.
Apa yang diucapkan Parra Hiswara belum cukup untuk sebuah reportase atas
perempuan bertempat di pusat lingkaran dengan posisi seperti dilindungi oleh enam
orang yang lain. Perempuan itu, dari ujutnya sepantasnya berusia dua puluh lima tahun.
Tetapi entah berapa sebenarnya usia yang dimiliki menilik tentu telah bertahun-tahun ia
tidur panjang, tentu tua sekali.
Kecantikannya terlihat benar-benar sempurna karena tidak selembar kain pun yang
menutupi tubuhnya. Rambutnya terurai panjang, dengan kening berrajah mirip bekas
luka. Parra Hiswara yang melangkah kian mendekat merasa betapa tubuh itu sungguh
menggairahkan, memancing kisi-kisi nafsu kelelakiannya yang menyebabkan tak tersisa
secuil pun jejak bayangan Mahdasari isterinya.
“Siapa perempuan ini?” pertanyaan itu berkecamuk sangat riuh.
Parra Hiswara menyapukan pandangan matanya pada enam orang yang lain yang
tidur lelap, amat lelap namun jelas tidur terlihat dari ayunan mengombak di dada masingmasing. Saat ada tujuh batu pipih mirip meja namun hanya ada enam orang menyisakan
satu batu pipih tanpa penghuni, hal itu segera menumbuhkan pertanyaan dalam hatinya.
Parra Hiswara yang memerhatikan agak lebih lebih cermat melihat telapak tangan
masing-masing orang yang tidur mengelilingi perempuan cantik itu terdapat rajah, seperti
sesuatu yang mengeram melingkar di bawah kulit di atas daging, bentuknya mirip ular.
“Menilik jumlahnya, mestinya ada orang ke tujuh,” gumam Parra Hiswara.
“Kaubenar,” terdengar sebuah jawaban.
Parra Hiswara terlonjak dengan derajat kekagetan melebihi disengat ular, disambar
petir atau terhantam pohon roboh. Rasa kagetnya bahkan bersambung, beruntun bertubitubi. Di belakangnya seseorang telah berdiri, yang bagaimana kehadirannya ia tidak
mengetahui.
Parra Hiswara tersentak karena bertemu orang di goa bawah tanah itu. Apa yang
dihadapinya benar-benar menghancurkan sikap ilmiahnya. Selama ini ia tidak pernah
percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal, kini ia harus berhadapan dengan biang
kemustahilan. Di depannya kini berdiri seseorang dengan usia sebaya dirinya, namun
yang kembali mengkacaukan denyut jantungnya adalah kenyataan bahwa orang itu
memiliki wajah sempurna sama dengan dirinya, hanya pakaian yang dikenakan yang
membedakannya. Berhadapan dengannya, Parra Hiswara merasa seperti sedang berada di
depan sebuah cermin.
“Siapa kau?” tanya Parra Hiswara, melontarkan rasa penasaran di sela takut dan
gugupnya.
“Dirimu!” jawab orang itu. “Aku adalah kau, tetapi aku mempunyai nama berbeda.”
Parra segera Hiswara bingung. Penasarannya dengan cepat menggapai puncak.
Ada dorongan sangat kuat untuk meludah karena mendadak mulutnya penuh
dengan cairan, namun Parra Hiswara mengambil pilihan untuk menelan. Orang itu
melangkah sejengkal ketika Parra Hiswara melangkah mundur, tindakan yang sebenarnya
sia-sia karena ia terhalang dinding. Parra Hiswara sama sekali tidak tahu cara menghindar
dari orang yang seratus persen memiliki kesamaan ujut dengan dirinya, kecuali jenis
pakaian yang dikenakan. Orang itu mengenakan pakaian yang kuno sekali.
“Maksudmu?” tanya Parra Hiswara meletup.

“Aku adalah kamu,” jawab orang itu, “namun namaku bukan nama yang sedang
kaugunakan, namaku Parameswara.”
Tidak perlu harus menghapalkan, nama itu dengan segera terpahat di benaknya.
Parameswara, setidaknya terdapat jarak cukup dekat dengan nama miliknya, Parra
Hiswara. Adakah itu sebuah kebetulan? Mungkin ya, setidaknya hal itu melengkapi
kebingungan yang masih melibasnya karena orang bernama Parameswara itu mengaku
juga dirinya. Sungguh terlalu sulit menerima apa kata orang itu sebagai sesuatu yang bisa
diterima akal karena jelas-jelas berada di tempat yang tidak sama.
“Apa yang kaumaksud, kau adalah aku?” tanya Parra Hiswara.
“Kenyataannya memang begitu. Tidur panjangku akhirnya tiba saatnya akan
berakhir, pertemuan ini memang telah terancang lama, delapan ratus tahun lebih aku
menunggu dan akhirnya tiba waktunya.”
Hah? Delapan ratus tahun?
Parra Hiswara bertambah bingung. Apa pun yang diucapkan orang itu ia tidak bisa
memahami. Parra Hiswara merasa berbeda dengan orang itu meski ia tak bisa menampik
kenyataan paling membingungkan karena orang itu memiliki wajah sama dengan dirinya,
kesamaan itu bahkan sampai pada tingkat seratus persen. Mata sama, raut muka sama,
gondrongnya rambut juga sama. Hanya pakaian yang dikenakan yang berbeda.
“Siapa mereka ini?” tanya Parra Hiswara.
“Mereka semua musuhmu!” jawab orang itu.
Sebuah jawaban yang membuatnya menggigil.
“Musuhku? Mengapa aku harus merasa mereka adalah musuhku? Apa urusanku
dengan mereka?”
Orang berpakaian aneh itu berjalan melingkar di sela antara orang-orang tidur itu.
“Ya. Perempuan itu musuhmu, tujuh orang pemilik pertanda ular melingkar di
telapak tangan itu adalah pengawalnya,” jawab orang itu.
Parra Hiswara bingung. Selama hidupnya ia menjalaninya dengan damai. Ia
berusaha menjadikan semua orang yang dikenalnya sebagai sahabat, tak seorang pun ia
punya musuh. Namun kini tiba-tiba orang itu memberitahu ia punya musuh. Orang-orang
yang tidur masing-masing di atas altar batu itu adalah musuhnya. Perempuan sangat
cantik yang tidur telanjang itu pula?
Soal pertanda aneh berupa ular melingkar? Parra Hiswara yang memerhatikan
dengan lebih cermat menemukan sesuatu yang tak jelas di masing-masing telapak tangan
orang-orang itu. Sesuatu berwarna hitam melingkar berada di balik kulit di atas daging.
Benarkah sesuatu berwarna hitam itu ular? Parra Hiswara terkejut ketika melihat benda
melingkar itu bergerak menggeliat, seperti ular yang berganti posisi. Parra Hiswara
mengayunkan kaki dan memerhatikan lebih cermat telapak tangan perempuan yang tidur
telanjang tepat di ruang itu untuk memastikan perempuan itu juga memilikinya.
“Perempuan itulah musuh utamamu,” orang mengaku bernama Parameswara itu
memberi tekanan.
Semakin gemetar Parra Hiswara atas nama bingung, atas nama rasa tidak paham
yang berkepanjangan. Terperosok di lorong bawah tanah itu telah membingungkannya,
menemukan orang-orang tidur itu telah membingungkannya, kemudian bertemu dengan
orang yang mengaku dirinya namun memiliki nama berbeda, hal itu juga
membingungkannya. Orang itu menyebut mereka yang sedang tidur pulas itu adalah
musuhnya lebih membingungkan lagi. Atas alasan apa ia harus merasa bermusuhan

dengan orang-orang tidur itu, apalagi seorang di antaranya begitu cantiknya, wajahnya
amat bersih mempesona, payudaranya memiliki keindahan yang tak akan tertandingi.
Parra Hiswara mengalihkan pandangan matanya, tertuju pada lempengan batu pipih
mirip meja yang kosong. Altar yang tersisa itu, tidak ada penghuninya.
“Seharusnya kau yang menempati. Sebagaimana seharusnya aku juga, namun
karena dengan tegas aku menempatkan diri sebagai musuh mereka, aku tidak sudi
memanfaatkan dalam penantian waktu yang panjang, aku pilih terjaga, aku pilih tetap
memicingkan mata meski itu sangat membosankan. Terakhir aku mengintip dunia luar itu
aku lakukan sekitar empat ratus tahun yang lalu,” seperti bisa mengintip apa yang ada di
benaknya, orang itu mendahului menjelaskan.
Jawaban itu menyumbang penyebab tangannya yang makin gemetar. Seketika bulu
kuduknya kembali bangkit. Kaki-kakinya mendadak lemas seperti kehilangan tenaga.
Parra Hiswara memerhatikan deretan enam orang yang tidur lelap itu dengan penuh
perhatian. Satu-persatu wajah berbeda-beda itu diperhatikan bahkan dipahatkannya di
dinding otaknya, masing-masing mereka memiliki usia sebaya dirinya. Yang juga tidak
luput dari perhatiannya, empat orang lelaki itu memiliki wajah tampan, dua perempuan
yang lain memiliki wajah cantik meski tidak secantik perempuan telanjang yang berada
di tengah.
“Siapa mereka? Dan mengapa kau mengatakan aku bermusuhan dengan mereka?
Ada urusan apa aku dengan orang-orang ini?”
Orang yang mengaku bernama Parameswara itu tersenyum.
“Jawabnya ada di keteguhan hatimu,” jawab orang itu.
Jawaban itu memaksa Parra Hiswara termangu.
“Mengapa? Kenapa ada hubungannya dengan keteguhan hatiku?”
“Kau harus mencarinya sendiri. Bila hatimu teguh, hatimu kukuh, maka kau akan
menemukan mata rantai peristiwa yang menjeratmu ke dalam takdir yang tidak bisa
kauhindari. Kau terperosok melalui lubang itu, kau telah membuka pintu takdirmu.”
Bukannya duduk persoalan yang dihadapinya semakin jelas, Parra Hiswara tambah
bingung. Tambah tidak jelas. Tidak satu pun persoalan yang ia hadapi dapat dipahami
dengan jelas. Semua tak masuk akal, semua berada di wilayah metafisika, terjerembab ia
di wilayah non ilmiah. Bila boleh memilih, tentu lebih menyenangkan semua yang ia
rasakan secara nyata itu berada di wilayah tidur, wilayah mimpi yang ketika terbangun
lenyap semuanya.
“Orang-orang ini musuhku?” tanya Parra Hiswara dengan suara amat ragu.
“Ya,” jawab orang itu.
“Artinya, jika kau adalah aku, aku adalah kau, maka mereka musuhmu pula?” tanya
suami Mahdasari itu.
Orang itu tertawa, suaranya bernada rendah, terdengar sangat empuk dan memenuhi
ruang.
“Kaupintar,” jawab orang itu. “Ya, orang-orang tidur ini musuhku.”
“Mengapa bukan kau yang menyelesaikan persoalanmu dengan mereka?”
Kembali tawa orang itu terdengar memenuhi ruang.
“Aku tak mungkin menumpas mereka karena aku adalah bagian dari mereka. Aku
tak bisa melakukan karena suatu hal yang menyebabkan aku tak mungkin berbuat itu.
Namun kelak kau yang bisa melakukan. Kau adalah aku dengan masa yang berbeda. Itu
masalahnya.”

Meski merasa agak jelas namun sebenarnya Parra Hiswara bertambah bingung. Apa
pun yang diucapkan orang yang agaknya berasal dari masa silam itu tak satu pun yang
bisa dipahami. Bahwa orang itu mengaku berasal dari masa lalu dengan usia yang amat
panjang melebihi usia manusia pada umumnya, hal itu sangat membingungkan.
“Jadi kau berasal dari masa silam?” tanya Parra Hiswara.
Untuk menjawab pertanyaan itu, orang itu mengangguk.
“Ya,” jawabnya.
“Dari zaman kapan?”
Untuk pertanyaan itu orang itu merasa perlu menimbang sedikit agak lama.
“Dari hitungan waktu delapan ratusan tahun yang lalu,” jawab orang itu.
Sungguh sebuah jawaban yang membuat Parra Hiswara merasa miris. Jantungnya
pontang-panting dalam memacu darah gugupnya ke seluruh saluran arteri dan vena di
sekujur tubuhnya. Menghadapi orang itu, menghadapi segala apa yang dilihatnya, maka
benar-benar runtuh sikap ilmiah yang menjadi nafas hidupnya, yang selama ini ia yakini
dan selalu dipegang dengan teguh.
Parra Hiswara memerhatikan seluruh ruangan, pertanyaan yang terlontar dari
mulutnya sebenarnya merupakan gambaran kecemasan hatinya. Parra Hiswara merasa
tidak betah berlama-lama berada di tempat itu dan ingin segera keluar. Namun dengan
segera muncul pertanyaan, bagaimana cara keluar dari ruangan itu? Bahkan bisakah ia
keluar dari ruangan itu dengan selamat?
“Bagaimana cara keluar dari tempat ini?” tanya Parra Hiswara.
“Hanya melalui sebuah pintu dan pintu itu pun bersyarat, sementara melewati pintu
yang lain tak mungkin kaulakukan karena tetanggamu akan menguruk pintu masukmu.”
Parra Hiswara terkejut. Namun orang itu memberi alasan yang sangat masuk akal
dan tak terbantah.
“Seseorang telah turun mungkin dengan maksud menolong, orang itu meninggalkan
benda ini. Aku tak tahu apa gunanya.”
Orang yang berwajah sama dengan dirinya itu menyerahkan sebuah senter, alat
penerang yang dibawa Hirkam dan tertinggal di dasar sumur. Parra Hiswara
menyalakannya. Cahaya benda itu mengagetkan orang di depannya. Bisa jadi karena
untuk pertama kali orang itu berurusan dengan benda bernama senter. Cahaya yang
dikenalnya mungkin hanya berasal dari lima, yaitu dari matahari, dari bintang-bintang,
bulan di langit, obor dan perapian. Listrik atau baterai jelas merupakan hal yang masih
baru baginya.
Namun soal syarat, apa maksudnya?
“Apa yang dimaksud bersyarat?”
Orang bernama Parameswara berasal dari masa silam itu berjalan memutar ruangan
dengan pandangan mata diarahkan pada perempuan cantik yang tidur lelap tanpa busana.
Pandangan orang itu, Parra Hiswara bisa menerjemahkan sebagai tatapan mata penuh
kebencian. Entah mengapa, atau oleh karena alasan apa. Parra Hiswara membeku di
tempatnya ketika orang itu membalikkan badan dan melangkah pelahan mendekatinya.
“Takdir melibasku. Keterlibatanku dengan perempuan ini menyebabkan aku
melakukan kekeliruan dengan mengawini kakak perempuanku sendiri,” ucap
Parameswara seperti kepada diri sendiri.
Parra Hiswara menyimak dengan seksama. Namun dengan segera pula orang itu
membelokkan pembicaraannya.

“Bunuh aku.”
Parra Hiswara terperanjat.
Namun ia memang tak salah dengar. Bagai melihat sebuah permainan sulap, orang
itu membusai dengan sedikit agak kasar bagian rambut kepalanya dilanjutkan dengan
gerakan sambil meremas-remas. Parra Hiswara terbelalak ketika mendapati di tangan
orang itu telah tergenggam sebilah keris. Parameswara menyerahkan keris itu kepada
Parra Hiswara hal yang membuatnya lebih terbelalak lagi. Tontonan aneh itu memberi
sumbangan rasa pusing yang kian menjadi.
“Apa ini?” tanya Parra Hiswara.
“Keris itu bernama Sang Kelat. Bunuh aku dengan keris itu.”
Parra Hiswara bingung namun masih menyisakan akal waras untuk membuka
bungkusan kain putih itu.
“Keris?” gumamnya.
“Ya. Jika kauingin kembali ke asalmu, satu-satunya cara hanyalah dengan
menggunakan benda itu untuk membunuhku. Aku adalah pintu untuk kembali ke asalmu,
tanpa itu kau tak akan bisa kembali. Kau tak punya pilihan lain kecuali harus
menggantikan kedudukanku. Tugas berat menjaga ketenteraman itu selanjutnya menjadi
milikmu.”
Parra Hiswara mengamati keris dalam genggaman tangannya. Pengetahuannya atas
benda macam itu tak lebih dari senjata kuno, senjata masa silam, senjata yang tidak
efektif dibanding jenis senjata yang ada di zaman sekarang. Atau tepatnya, pengetahuan
Parra Hiswara atas benda itu tak lebih dari asesoris hajatan temanten Jawa. Orang
berdandan cara jawa, tidak lengkap penampilannya tanpa keris. Soal banyak orang
menempatkan keris pada posisi khusus, misalnya sebagai benda bertuah atau bahkan
dianggap berjiwa dan oleh karenanya sampai diberi sesaji segala, ia merasa tidak
memiliki secuil pun informasinya. Dibanding pistol atau senapan, kemampuan keris tidak
ada apa-apanya. Jangkauan peluru yang melesat ketika ditembakkan tentu lebih jauh dan
lebih efektif daripada ayunan keris. Bahkan dengan pedang pun kalah jangkauan. Namun
cerita-cerita komik atau dongeng cerita silat menempatkan benda bernama keris seolah
memiliki kekuatan sangat dahsyat.
Namun yang menyita perhatiannya adalah permintaan orang itu, hanya dengan
membunuhnya ia akan menemukan pintu untuk kembali ke asal dari mana sebelumnya ia
datang. Mengerikan sekali jika yang diucapkan orang itu benar. Padahal orang dari masa
silam itu tentu tak mungkin bercanda.
“Gila,” letup Parra Hiswara.
“Kau tidak sedang gila, kau waras, seperti aku juga waras. Permintaanku tidak
berasal dari permintaan tidak waras.”
Parra Hiswara merasa harus meletupkan bebannya. Himpitan itu terlampau berat
dan butuh penyaluran.
“Aku tidak mau,” Parra Hiswara membantah.
Orang itu mendengus.
“Kalau begitu kau akan mati membusuk di tempat ini. Kau tak punya kesempatan
untuk memandang matahari lagi. Kau tak akan mendapat kesempatan bertemu dengan
keluargamu. Kalau kaupunya istri, kau tak akan bertemu lagi dengan istrimu atau orang
tuamu, atau kakak dan adikmu. Mereka semua akan mengira kaumati di sini, dugaan

mereka benar, kau memang akan mati di sini. Untuk bertahan hidup butuh makan padahal
di sini tidak ada yang bisa kau makan untuk menyambung umurmu.”
Parra Hiswara sungguh bingung dan mati langkah. Parra Hiswara merasa tersudut
tanpa punya pilihan.
“Kenapa aku harus membunuhmu? Mengapa pula kauingin mati?”
Orang itu sama sekali tidak menampakkan perubahan apa pun dari permukaan
wajahnya. Datar dan tak berekspresi.
“Pada umumnya orang-orang berangan-angan berumur panjang. Senang apabila
bisa menggapai usia panjang. Angan-angan yang demikian itu didorong oleh rasa takut
terhadap kematian. Bagiku, terlalu melelahkan menunggu kedatangannya. Delapan ratus
tahun aku menunggu kehadiranmu, kau akan menolak?”
Parra Hiswara melangkah mundur. Rasa herannya mencuat.
“Sebenarnya kenapa kaubisa memiliki usia demikian panjang?”
Orang itu menerawang, lamunannya barangkali terbang ke wilayah waktu yang
telah jauh sekali menjadi bagian dari masa silam. Delapan ratus tahun, artinya melewati
hari demi hari yang pasti terasa berkepanjangan tanpa ujung.
“Sebuah takdir. Aku minum sesuatu yang pada zamanku diperebutkan oleh orang
banyak. Akibatnya seperti ini. Aku melintasi waktu lama sekali, aku kebal terhadap rasa
sakit. Aku hanya bisa mati oleh orang yang merupakan belahan tubuhku. Kamu orangnya
yang ditakdirkan menjadi perantara kematianku.”
Parra Hiswara menggerayangi rambutnya, menggaruk tanpa alasan gatal.
“Aku tidak pernah bermimpi menjadi pembunuh,” ucapnya gemetar. “Jangan beri
aku pilihan yang tidak masuk akal macam itu. Tolong aku, tunjukkan bagaimana caranya
aku keluar.”
Orang mengaku bernama Parameswara itu mendengus. Ia tetap berdiri di
tempatnya, tatapan matanya tak bergeser sambil menengadah.
Pada saat yang demikian itulah sesuatu yang tidak terduga terjadi. Parra Hiswara
terkejut ketika merasakan desir angin yang mengibarkan pakaian yang dikenakan orang
di depannya, disusul oleh suara lengking yang belum pernah didengarnya. Suara yang
memang layak membuatnya cemas.
“Apabila kau tidak mau memenuhi permintaanku, pemilik suara itu yang akan
memangsamu. Aku jamin ia akan melakukan dan aku tak bisa menolongmu. Kalau
memang kehadiranmu kali ini tidak bisa menjadi pembuka pintu gerbang kematianku, tak
apa, mungkin telah menjadi nasibku untuk bertahan di tempat ini delapan ratus tahun
lagi.”
Parra Hiswara tidak bisa mencegah rasa takutnya, apalagi manakala suara itu
terdengar lagi, seperti menggeram, seperti mengaum, getarnya memantul ke seluruh
ruangan.
“Binatang apa itu?” tanya Parra Hiswara.
Parameswara tersenyum. Bagi Parra Hiswara pemilik suara mengaum dahsyat itu
sangat menakuitkan sebaliknya bagi orang itu, monster mengerikan itu tidak berpengaruh
apa-apa.
“Sebenarnya hanya seekor kelelawar. Hanya saja ia berukuran besar,” jawab
Parameswara.
Parra Hiswara memutar tubuh, suara itu jelas berasal dari terowongan atau lubang
vertikal yang sebelumnya telah ia lewati.

“Kelelawar?” tanya Parra Hiswara heran.
“Ya! Warnanya putih!” Orang yang mengaku bernama Parameswara itu menambah
keterangan yang diberikannya.
Gugup dan rasa takutnya yang kian menghimpit menjadikan Parra Hiswara tidak
punya pilihan lain. Tawaran yang diberikan orang itu terpaksa ditimbang-timbang. Parra
Hiswara bahkan mencabut keris dari wadahnya. Diamat-amatinya dengan penuh
perhatian bilah keris berwarna suram itu.
“Apa yang harus aku lakukan dengan Sang Kelat ini?” tanya Parra Hiswara dengan
suara aneh.
Orang itu mendekat.
“Aku tidak perlu mengajari apa yang harus kaulakukan, setelah itu, simpan keris itu
sebagaimana aku menyimpannya. Karena kau adalah aku, maka kaubisa melakukan.”
jawabnya.
Parra Hiswara berusaha menguasai diri untuk tidak menggigil dari rasa ngeri
membayangkan cara penyimpanan keris itu. Orang dari masa silam itu harus membusai
gondrong rambutnya untuk mengeluarkan keris itu berarti benda itu disimpan menyatu
tubuh mungkin di sela-sela benak, mungkin cara penyimpanannya tak sekadar melipat di
sela angan-angan.
Parra Hiswara memejamkan mata, namun dengan bulat menyisihkan keraguannya.
Deras tangan kanannya mengayunkan jenis senjata masa silam itu ke arah dada orang di
depannya. Ketika suami Mahdasari merasa senjata itu tenggelam ia membuka mata.
Darah menyembur dari dada yang jebol membasahi wajahnya, membasahi tubuhnya yang
bertelanjang dada. Gugup Parra Hiswara berusaha membasuh muka.
Padahal, apa yang terjadi itu sebenarnya bukan sekadar darah yang muncrat, namun
proses pengalihan telah terjadi. Proses transfer sedang berlangsung.
Apalagi manakala tangan orang yang mengaku bernama Parameswara itu
menggapainya, menyentuh serta menggenggam erat tangannya. Parra Hiswara membantu
meneguhkannya dengan membalas amat erat genggamannya. Kesakitan sedang terjadi,
atau tepatnya sekarat sedang berlangsung.
Parra Hiswara terbelalak saat memiliki kesempatan sangat utuh memerhatikan apa
yang menimpa orang yang telah dibunuhnya. Sebuah proses bergerak sangat cepat namun
berlangsung tanpa luput dari perhatiannya. Tubuh laki-laki masa silam itu melapuk. Parra
Hiswara memerhatikan sangat jelas bagaimana pembusukan itu berlangsung, luruh
menjadi serpihan-serpihan lembut. Akan tetapi proses itu ternyata masih bersambung
manakala ‘reruntuhan’ raga itu mengasap dan langsung bergerak, berusaha memutar diri
seiring kabut berwarna putih yang entah bagaimana prosesnya, semakin tebal dan
semakin tebal.
Parra Hiswara masih menyisakan kesadaran untuk menyimpan keris itu seperti apa
yang dicontohkan Parameswara. Keris itu diangkat ke kepala. Belum lagi ia meniatkan
penyimpanan, keris itu langsung lenyap hilang jejaknya. Apa yang terjadi menyisakan
rasa takjub yang tak bisa disingkirkan dengan mudah.
Parra Hiswara gugup karena suara melengking yang terdengar entah dari bagian
mana itu menggema lagi, mengembalikan Parra Hiswara pada ketakutan amat sangat.
Jelalatan suami Mahdasari Madasari itu mencari-cari, mana arah pintu yang akan
membawanya keluar dari ruang bawah tanah yang menjanjikan mimpi buruk itu. Akan
tetapi apa yang dicarinya tidak ditemukan.

Suara itu terdengar mendekat.
“Mati aku,” Parra Hiswara meletupkan ketakutannya.
Akan tetapi Parra Hiswara tidak memiliki waktu cukup untuk sekadar kebingungan,
bahkan untuk memerhatikan perubahan dahsyat yang terus berjalan. Kabut yang bermula
berasal dari serpihan tubuh manusia masa silam bernama Parameswara itu terus bergerak
memutar, semakin lama semakin cepat, terus berputar dan terus mengaduk diri. Asap tak
berbau namun pekat itu bahkan semakin menebal, menebal dan menutupi pandangan
matanya. Parra Hiswara bingung ketika tidak melihat jari-jari tangannya, pandangan
matanya terantuk pada sesuatu yang serba putih.
Putarannya menimbulkan suara menderu, kekuatannya dengan cepat menyadarkan
Parra Hiswara betapa ia bisa terhisap dan terputar oleh beliung itu? Beliung? Barangkali
itu kata yang paling tepat meski terjadi di tempat yang tidak tepat.
Suara bergetar mengerikan itu terdengar pada jarak amat dekat.
Namun Parra Hiswara telah sampai pada batas kemampuannya menahan diri dalam
melawan pusaran angin itu, kakinya tidak mampu berdiri tegak. Terhuyung-huyung yang
dialaminya adalah awal dari terputar tubuhnya. Berhadapan dengan angin bergerak liar
itu, Parra Hiswara ternyata bukan apa-apa, tak punya kekuatan untuk melawannya. Akan
tetapi menjelang ketajaman pandangannya berkurang matanya masih sempat menangkap
gerakan sesuatu yang melayang membentangkan sayap.
Seekor kelelawar, namun bukan kelelawar dalam ukuran normal yang tak lebih dari
seekor burung kecil, bahkan jauh lebih besar dari ukuran kalong. Bentang sayapnya
selebar satu meter dengan warna putih karena tidak memiliki pigmen. Beringas binatang
yang sebenarnya pemangsa buah-buahan itu mencoba menerobos pusaran angin dan
menyambarnya. Parra Hiswara yang terputar merasa, telapak tangan kirinya menghantam
binatang itu. Sebuah goresan kecil setidaknya tertinggal di telapak tangannya.
Kelelawar itu terhempas keluar, akan tetapi seperti memiliki sebuah alasan kuat,
binatang bersayap itu melayang dan berancang-ancang untuk berbalik menyiapkan
sebuah serangan.
Pusaran angin melibasnya, ikut menghisap binatang itu untuk terputar dengan
dahsyatnya, sebagaimana Parra Hiswara yang lebih dulu melayang terhisap kekuatan
beliung. Berapa lama hal itu berlangsung? Parra Hiswara merasa kejadian yang ia sebut
tidak ilmiah tak lebih dari beberapa kejab. Ia tetap sadar, pikirannya tetap utuh ketika
akhirnya udara berpusing itu mereda dan membuatnya terhuyung-huyung dan terbanting.
Lebih lega lagi ketika menatap langit matanya menyentuh bintang-bintang gemerlapan.
Bintang-bintang gemerlapan!
“Hah? Aku sudah berada di luar?”
Namun yang dilihatnya memang benar bintang-bintang gemerlapan.
“Malam hari? Bagaimana mungkin?”
Lolos dari terowongan bawah tanah itu ternyata belum merupakan jaminan ia
terbebas libasan peristiwa-peristiwa tak masuk akal. Parra Hiswara melihat jarum-jarum
pada jam tangannya. Posisi jarum jam itu menunjuk ke angka dua belas siang. Sungguh,
kejadian ia terperosok itu baru beberapa waktu yang lalu, belum ada satu jam, sekarang,
hanya beberapa waktu setelahnya siang telah dikuasai oleh gelapnya malam.
“Tetapi mengapa sekarang sudah malam?” tanya suami Mahdasari itu bingung.
Parra Hiswara berusaha sekuat tenaga menguasai diri, berusaha meyakinkan diri
bahwa ia telah terbebas dari suara mengaum berasal dari mulut binatang aneh yang belum

ia ketahui seperti apa ujutnya namun orang dari masa silam itu menyebut kelelawar.
Kelelawar berwarna putih? Dalam waktu hitungan satu persekian detik ketika udara
berputar ia sempat melihatnya, dengan ukuran bukan kelelawar normal, setidaknya besar
sekali untuk ukuran kelelawar, ditambah lagi dengan suaranya yang mengerikan. Suara
yang demikian pantasnya berasal dari mulut harimau atau berasal dari singa.
“Aku tak bermimpi, apa yang aku alami benar-benar nyata,” gumam Parra Hiswara.
Namun mimpi buruk itu rupanya masih harus berkelanjutan ketika Parra Hiswara
merasa berada di tempat yang tak dikenali. Kekagetan itu beruntun ketika kesadarannya
benar-benar utuh dihadapkan pada sesuatu yang tidak masuk akal.
“Candi? Candi apa ini?”
Parra Hiswara terhuyung-huyung dengan jantung harus dipegang kuat-kuat supaya
tidak ambrol. Parra Hiswara merasa mestinya berada tak jauh dari rumahnya, akan tetapi
lingkungan yang berada di depannya kali ini bukan tempat yang dikenalnya.
Parra Hiswara yang berusaha menguasai diri, berusaha mengembalikan otaknya
untuk berpikir rasional, berusaha sekuat tenaga menerima semua pengalaman itu sebagai
sesuatu yang nyata dan tidak menempatkannya ke dalam posisi sedang gila, walaupun
rangkaian kejadian itu mungkin hanya pantas terjadi di pikiran tidak waras.
Parra Hiswara memerhatikan keadaan dengan cermat, memerhatikan di mana kini ia
sedang berada, ternyata pandangan matanya benar, tatapan matanya pada benda-benda di
sekitarnya tidak salah, bahwa ia berada di pelataran sebuah candi. Candi apa? Di mana?
Padahal tak ada bangunan macam itu di Singasari, bahkan di seluruh sudut kota Malang
dan sekitarnya. Tak berapa jauh dari rumahnya memang terdapat sebuah candi yang
konon dibangun oleh
Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani10 untuk menghormati
Prabu Kertanegara, raja Singasari yang terbunuh dalam pemberontakan yang dilakukan
Raja Jayakatwang dari Gelang-gelang. Ukuran candi Singasari itu terlalu kecil dibanding
candi yang kini tersaji mendadak di depan matanya.
Pengenalannya terhadap candi Borobudur di Magelang atau candi Jonggrang di
Prambanan yang sering ia lewati ketika hilir mudik antara Yogya dan Solo, pun kompleks
candi di dataran tinggi Dieng yang memberi kesan mistis karena selalu dikemuli kabut
tebal, semua itu menjadi referensi betapa candi yang kini dilihatnya memiliki ujut yang
aneh, bentuk yang tidak sebagaimana umumnya. Candi macam itu belum pernah ia lihat
sebelumnya. Kabut yang melayang tebal menutupi bagian tengah candi menyebabkan
Parra Hiswara mengalami kesulitan menebak bagaimana ujut bagian tengah itu.
Parra Hiswara memerhatikan dengan lebih cermat, tidak hanya ujut candi itu akan
tetapi juga lingkungan di sekitarnya.
Dalam siraman cahaya bulan yang benderang, Parra Hiswara menemukan
kenyataan betapa candi itu berada di sebuah ketinggian menilik udara yang dingin. Kabut
tebal sedang turun menandai dugaan itu. Di sekitar candi utama yang amat besar layak
disebut meraksasa dikepung pohon bambu yang menyumbangkan suara berderit-derit
karena gesekan antara batang dengan batang yang lain sebagai akibat angin yang sedang
berhembus dengan deras.
“Seberapa besar candi ini?” tanya Parra Hiswara yang merasa amat penasaran.

Didorong oleh rasa ingin tahu yang mengembari rasa ketakutan luar biasa, Parra
Hiswara mengayunkan kaki mengelilingi candi tak dikenal itu. Parra Hiswara layak untuk
terkejut mendapati betapa ia membutuhkan waktu cukup lama yang dengan demikian
memberi ukuran besar yang layak menyebabkannya ia terkaget-kaget dan tidak percaya.
Dalam siraman cahaya bulan, Parra Hiswara mencermati relief yang terpahat bagus di
dinding candi, namun muatan pesan apa pun di dinding candi itu sama sekali tidak
dipahaminya. Bagaimanapun juga Parra Hiswara merasa dirinya bukan seorang
arkeolog.
“Luas sekali,” desisnya, “jauh lebih luas dari keliling bagian dasar candi Borobudur
di Magelang. Bagaimana dengan bagian atasnya?”
Parra Hiswara yang berada di pelataran semakin tergoda dan amat kuat dorongan
yang ia rasakan untuk menjelajah naik ketinggian candi akan tetapi bersamaan dengan itu
rasa takutnya muncul. Rangkaian pengalaman yang dilewatinya menyebabkan ia merasa
cemas, pun perubahan waktu yang dialaminya menyebabkan ia takut. Hal yang membuat
jantungnya bertambah kebat-kebit adalah ketika kabut di bagian tengah sedikit menyibak,
maka tampaklah dua buah menara yang menjulang tinggi. Seberapa tinggi menara itu,
sayang Parra Hiswara kembali kehilangan jejaknya karena kabut kembali bergulung.
Parra Hiswara menengadah memerhatikan bulan yang bergerak timbul tenggelam di
antara putih mega-mega. Sebuah kesempatan muncul untuk menandai di mana ia sedang
berada ketika sebagian langit sedang bersih. Bulan yang berada beberapa jengkal dari
puncak gunung itu membantunya.
“Gunung….warna merah semburat di puncak itu menandai ada lahar yang keluar.
Gila, di belakangku juga ada gunung. Daerah mana ini?”
Di depannya sebuah gunung, di belakangnya juga ada gunung. Otak Parra Hiswara
segera berputar memindai gunung apa saja yang berdiri bersebelahan macam itu. Tentu
tak sulit untuk mengenang Merapi dan Merbabu di wilayah antara Yogyakarta, Magelang
dan Boyolali. Gunung macam itu juga ada di wilayah Wonosobo, setidaknya dua gunung
berdiri bersanding mirip pasangan temanten yang orang menyebutnya Sumbing dan
Sindoro.
“Aku tak mungkin berada di tempat-tempat yang sangat jauh macam itu, aku berada
di Singasari Malang, masih di wilayah Malang. Aku terperosok ke dalam tanah yang
ambrol, ketika aku keluar dari tempat itu, mestinya aku berada tak jauh dari tempat itu,”
Parra Hiswara berusaha meyakinkan diri.
Parra Hiswara mulai terganggu oleh keadaan itu. Ia bertelanjang dada sementara
udara yang mengepungnya adalah udara dingin, gemetar tubuhnya merupakan gambaran
upaya yang dilakukan dalam menghadapi udara dingin itu.
“Aku harus segera keluar dari tempat ini dan mencari tahu di mana sebenarnya aku
berada.”
Parra Hiswara melangkah mundur meninggalkan tengah-tengah pelataran, dan
bergegas turun melewati sebuah undak-undakan yang dikepung oleh lebat berbagai
pepohonan. Kabut membungkus candi yang ditinggalkannya sekaligus menghadang
langkah ke depan yang akan dilewatinya.
“Mungkin aku sedang gila, mungkin semua yang kualami ini tidak nyata. Mungkin
pikiranku sudah rusak, hard disk di otakku dan sistemnya amburadul, tidak waras. Saat
ini aku sedang tidur, semua yang kualami hanya mimpi belaka, masalahnya kemudian
adalah bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari mimpi ini. Aku harus bangun, aku

harus membuka mata untuk bisa bertemu lagi dengan istriku. Istriku bisa bingung dan
menyelanggarakan selamatan kematianku.”
Ingat Mahdasari isteri yang dicintainya, Parra Hiswara merasa dadanya sesak.
Menggunakan cahaya senter Parra Hiswara berusaha mengenali jalan turun. Dari
kerlap kerlip lampu tak seberapa jauh yang terlihat ketika sekilas kabut tebal itu
menyibak, Parra Hiswara yakin berada tidak jauh dari sebuah perkampungan. Soal di
mana kini ia berada, Parra Hiswara yakin tidak lagi berada di Singasari, juga tidak di
wilayah Malang dan sekitarnya. Dua gunung berdiri berdampingan macam itu tak ada di
Malang, bahkan diubek sampai ke Jawa Timur pun tidak akan pernah ditemukan karena
memang tak ada gunung yang berdiri berdampingan.
Parra Hiswara berhenti melangkah dan amat pelahan ia menoleh.
Apa yang mendadak melintas di benaknya ternyata benar. Parra Hiswara bergegas
kembali.
“Ya Tuhan!”
Candi yang menjadi pintu kembali ke alam nyata itu
murca, lenyap tiada jejaknya.
Yang ada kini tinggal lekuk-lekuk bukit dengan lebatnya pepohonan, yang tak berubah
hanya rimbun pohon bambunya.
“Hilang!” desis pemuda itu.
Menyisihkan rasa ngeri yang sebenarnya bergumpal-gumpal, Parra Hiswara
menyapukan cahaya senternya namun bagai hilang ditelan bumi, apa yang dicarinya
benar-benar raib tanpa jejak. Walaupun Parra Hiswara berlarian berusaha menemukan
kembali, candi itu enggan menampakkan diri lagi. Suara anjing menggonggong riuh
sekali di kejauhan mengagetkan sekaligus menyadarkan bahwa sebaiknya ia segera
meninggalkan tempat itu.
“Aku harus segera menjauh dari tempat ini,” ucap Parra Hiswara panik.
Bulan timbul tenggelam di antara mega-mega dan mendung yang tebal di sebagian
langit. Parra Hiswara berhasil turun dan menemukan jalan raya. Setidaknya dua orang
pengendara yang lewat mengabaikannya saat ia mengacungkan tangan meminta bantuan.
Pengendara motor yang terakhir lewat bahkan langsung ngebut tancap gas karena
mengira ia akan berniat jahat.
Seorang lelaki yang menikmati malam dengan membakar kayu-kayu kering di
sudut perempatan jalan terkejut melihat kemunculannya yang bertelanjang dada di udara
udara sedang dingin menggigit. Parra Hiswara bergegas jongkok ikut menghangatkan
diri.
“Apa nama tempat ini, Pak?” tanya Parra Hiswara dengan ramah.
Orang itu memandanginya dengan curiga. Bahwa ia tidak berpakaian, hal itu segera
memunculkan penasaran, bisa jadi ia penjahat. Lebih dari itu, rupanya orang itu bahkan
tak tahu sedang berada di mana. Akan tetapi orang itu rupanya memiliki hati yang bersih,
baginya berprasangka atau curiga pada orang lain tanpa alasan merupakan warna hati
yang tak bermanfaat. Ia melihat, orang yang baru datang tanpa berpakaian di udara yang
demikian dingin menggigit, tentunya sangat membutuhkan pertolongan. Atau, bila mau
jujur, kemunculan Parra Hiswara “dari sebuah tempat yang selama ini membangun rasa
penasaran di hatinya” harus dimanfaatkan mencari jawab atas beberapa pertanyaan yang
mengganggu hatinya.
“Nama tempat ini Selo,” jawab orang itu.
Parra Hiswara yang sudah menggigil kedinginan itu tambah menggigil.

Selo? Penyebutan nama itu benar-benar membuat kepalanya serasa retak.
Dugaannya ternyata benar. Kekacauan dimensi ruang dan waktu telah melemparkan
jauh ke tempat yang tidak terduga. Selo, orang Jawa punya mengartikan sebagai batu,
sebagaimana Selo gilang berarti batu yang mengkilat gemilang. Selo juga berarti sela-sela
atau berada di antara dua benda. Selo yang amat berkesesuaian dengan apa yang ia lihat
sekarang adalah tempat yang berada di antara Merbabu dan Merapi. Beberapa tahun yang
lalu puncak dua gunung itu pernah ia taklukkan melalui pendakian yang dilakukan
berombongan dengan teman-teman sekampusnya.
“Kalau begitu, itu Merapi?” tanya Parra Hiswara lagi sambil memandangi puncak
gunung itu yang tampak kemerahan.
Orang itu mengangguk pelahan.
“Ya Tuhan,” gumam Parra Hiswara.
Merapi yang menjulang dengan puncak berada di sudut empat puluh lima derajad
dari tempatnya berada, rupanya sedang hamil tua. Bila dipandang dari arah barat dan
selatan tentu terlihat lebih jelas bagaimana geliat lahar yang turun kemerahan disusul oleh
suara gemuruh. Sebenarnyalah pada saat yang bersamaan, orang-orang di daerah Kwilet
di Muntilan dan desa-desa sekitarnya, pun mereka yang berada di wilayah Deles di
Klaten bahkan juga mereka yang berada arah lebih tinggi memerhatikan aliran lahar yang
turun sebagai sebuah tontonan yang indah dan menarik perhatian.
Maka gugup suami Mahdasari mengusap wajahnya. Parra Hiswara mengarahkan
pandangan matanya ke orang berjaket tebal itu.
Parra Hiswara melepas cincin yang dikenakannya dan menyerahkan benda yang
memiliki makna khusus itu padanya. Parra Hiswara harus merelakan cincin pernikahan
miliknya untuk ditukar dengan pertolongan yang sangat ia butuhkan. Untuk pulang
kembali ke Malang membutuhkan uang, belum lagi, bagaimana ia harus menjelaskan
pada Mahdasari, pada sanak tetangga atau setiap kenalannya bahwa ia yang hadir lagi
bukan makhluk dalam golongannya para hantu.
“Itu cincin perkawinanku, matanya berlian. Tolong antar aku ke Prambanan untuk
menemui temanku. Aku juga membutuhkan baju, aku sangat kedinginan.”
Parra Hiswara memilih Prambanan karena di sana ada orang yang dikenal dengan
baik yang diharapkan mampu membantu membereskan sebagian masalahnya. Orang itu
memeriksa cincin yang diterimanya, sejenak ia berpikir seperti mengukur berapa harga
cincin itu. Orang itu tersenyum.
“Ini cincin pernikahan?” ucapnya sambil melepas jaket yang dikenakan.
Parra Hiswara mengangguk.
“Aku akan menolongmu, tetapi aku tak perlu cincin ini,” jawab orang itu sambil
menoleh mengarahkan pandang matanya ke lekuk-lekuk lereng yang berada di punggung
Gunung Merbabu.
Parra Hiswara terkejut. Orang itu menyerahkan jaketnya.
“Maaf, jaketnya agak bau,” kata orang itu sambil tertawa, “karena sudah beberapa
hari belum dicuci.”
Parra Hiswara merasa sangat terbantu. Jaket itu akan menghangatkan tubuhnya.
“Kalau boleh aku tahu, apa kau baru pergi mengunjungi
alas pring11?” tanya orang
Parra Hiswara berusaha menguasai diri. Pembuat perapian di tepi jalan itu agaknya
mengetahui permasalahan yang dihadapinya. Dengan gugup Parra Hiswara memakai
jaket kulit berlapis tebal pada bagian dalam. Menghadapi dingin menggigit tulang, jaket
itu benar-benar sangat membantu.
“Ada banyak pohon bambu di sana,” jawabnya agak antusias, “jadi tempat apa itu?”
Orang itu tidak segera menjawab, yang ia lakukan hanya diam karena memang tak
tahu jawabnya.
“Aku tidak tahu ada apa di tempat itu. Namun akulah satu-satunya orang yang
merasa yakin ada sesuatu yang aneh di sana. Ketika kusampaikan hal itu kepada orangorang atau para tetangga, mereka menertawakan aku dan menganggapku gila. Sejauh ini
aku terus mengamati tanpa berani mendekat terutama pada malam hari. Tetapi, benar apa
yang kukatakan bukan? Bahwa di sana ada sesuatu yang tidak wajar?”
Parra Hiswara tak punya pilihan lain kecuali mengangguk.
“Namaku Surtan Panca!” Orang itu memperkenalkan diri.
Parra Hiswara menerima uluran tangan mengajak berjabat tangan itu.
“Parra Hiswara,” jawab Parra sambil menerima uluran jabat tangan yang diberikan.
“Kau berasal dari mana?”
“Malang,” Parra Hiswara menjawab. “Lumayan hangat sekarang, terimakasih
jaketnya.”
Surtan Panca melengkapi pertolongan yang diberikan dengan mengajaknya singgah
ke rumahnya yang berada tepat di perempatan yang salah satu ruasnya menuju ke selatan.
Nun jauh ke sana, sebuah jalan beraspal bagai menantang siapa pun yang berniat
menaklukkan ketinggian Merapi. Sekitar beberapa kilometer ke depan terdapat posko
ditandai tulisan besar
The New Selo. Pendakian beberapa ratus meter lagi akan ditemukan
daerah penuh bongkahan batu yang disebut Pasar Bubrah atau Pasar Bubar. Yang disebut
Pasar Bubar itu sama sekali tidak ada pasarnya, itu hanya sebuah nama. Tempatnya
sendiri hanya berupa bongkahan bebatuan.
Segelas kopi yang disajikan istri tuan rumah menghangatkan tubuhnya.
“Terimakasih,” ucap Parra Hiswara yang keluar dari kedalaman hati yang sungguh
tulus.
Parra Hiswara beberapa kali mencubit lengannya, sebuah upaya untuk menyadarkan
diri barangkali benar berada di wilayah mimpi. Namun keadaan tak berubah, ia benarbenar mengalami terlempar dari kekacauan dimensi antara ruang dan waktu. Jarak Jakarta
ke Yogyakarta dengan pesawat membutuhkan sekitar lima puluh menit hingga satu jam,
jarak yang memisahkannya sekitar limaratusan kilometer. Jarak sejauh itu bila ditempuh
dengan kereta api tercepat membutuhkan tujuh sampai delapan jam. Sebaliknya dengan
apa yang ia alami bahkan lebih cepat lagi. Dalam hitungan detik, pusaran angin yang
terjadi di bawah tanah rumah kontrakannya telah melemparkan dan menempatkan ke
lembah di belahan Merapi dan Merbabu.
“Ya Tuhan,” Parra Hiswara mengkucal rambutnya.
Parra Hiswara tersadar.
“Mobil sudah siap, mari.”
“Aku telah merepotkan,” kata Parra Hiswara.
“Tidak apa-apa,” jawab Surtan Panca.
Surtan Panca mengarahkan mobilnya ke barat, di arah sana masuk wilayah
Magelang ada candi Borobudur yang dunia menganggapnya sebagai satu dari tujuh

keajaiban dunia. Sebelum jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang
Surtan Panca membelokkan kendaraannya ke kiri, merupakan jalan pintas terdekat ke
Prambanan. Di sepanjang perjalanannya, otak Parra Hiswara sangat riuh berjejal-jejal
oleh semua masalah yang dialaminya. Parra Hiswara amat ingin membuangnya meski
hanya sejenak, namun kantuk masih berada amat jauh dari simpul syarafnya. Surtan
Panca sebenarnya sangat ingin tahu peristiwa apa yang dialami penumpangnya, namun
Parra Hiswara telah terkulai. Tak enak bagi Surtan Panca untuk membangunkannya.
Yang ia lakukan hanyalah berkonsentrasi pada stir yang dipegangnya.
Sebenarnya sejak dengan posisi di arah barat daya dari gunung Merapi, tampaklah
pemandangan yang amat menggetarkan. Gunung Merapi memuntahkan laharnya dengan
jarak luncuran hingga ke lereng-lereng. Muntahan yang paling dahsyat bahkan sampai
membakar hutan di bawah. Pemandangan macam itu bukan hal yang aneh bagi Surtan
Panca karena sudah sering melihat, keadaan sebaliknya bagi Parra Hiswara yang sungguh
amat tertarik. Akan tetapi meski apa yang dilihatnya merupakan peristiwa langka Parra
Hiswara tidak memerhatikan dengan sepenuh hati. Peristiwa tidak masuk akal yang ia
alami jauh lebih heboh dan menyita perhatian.
Parra Hiswara merasa tangan kirinya mulai gatal. Alergi? Mungkin muncul sebagai
akibat tidak tahan menghadapi udara yang dingin, atau mungkin…..
Sementara tanpa sepengetahuannya di angkasa dan sebenarnya tidak jauh saja,
sesuatu melayang mengayuh udara. Bentangan sayapnya tidak kalah dari ukuran sayap
burung rajawali bondol yang sering ditayangkan di televisi, warnanya putih karena albino
atau tidak memiliki pigmen.
Binatang mirip kelelawar, berukuran lima kali lipat lebih besar dari kalong itu ada
kalanya terbang lebih merendah.

 

No comments

Powered by Blogger.