54 Guru Besar Minta Arief Hidayat Mundur Sebagai Hakim MK
Aksi teaterikal desak Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mundur
dari jabatannya digelar masa yang menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil
Selamatkan Mahkamah Konstitusi (KMSSMK) pada Kamis (1/2/201) di depan gedung
Mahakamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
Jakarta (Cakrawala
Nusantara)- Desakan agar Arief Hidayat mundur dari jabatannya
sebagai Ketua dan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terus disuarakan berbagai
pihak.
Kali ini,
suara tersebut disampaikan 54 guru besar dan profesor dari berbagai perguruan
tinggi dan lembaga di Indonesia.
Mereka antara
lain dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut
Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Hasanudin, Universitas
Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh November, UIN Sunan Kalijaga, dan
Universitas Andalas.
Pengajar di Sekolah Tinggi
Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan, pernyataan agar Arief
mundur dari jabatannya akan disampaikan dalam bentuk surat kepada Arief dan
tembusan kepada delapan hakim konstitusi.
“Surat ini akan kami kirimkan ke MK tanggal 13 Februari,” kata
Bivitri dalam konferensi pers, Jakarta, Jumat (9/2/2018).
Pernyataan surat tersebut dilatarbelakangi adanya penjatuhan dua
sanksi etik yang diberikan Dewan Etik MK kepada Arief Hidayat, sekaligus
menjaga martabat dan kredibiltas MK di mata publik.
Menurut Bivitri, para profesor yang tergabung dalam gerakan moral
ini sependapat bahwa MK harus diisi oleh para hakim yang memahami hakikat
kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Tanpa
pemahaman ini, seorang hakim tidak bisa menjadi garda penjaga kebenaran.
“Seorang hakim
MK yang terbukti melanggar etik, dia tidak punya kualitas sebagai negarawan.
Negarawan sejati tidak akan mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi
setelah dijatuhi sanksi pelanggaran etika,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Guru
Besar dari UI Sulistyowati Irianto mengatakan, gerakan moral ini bukanlah
sesuatu yang spontan.
Dia menegaskan, setiap orang harus mempertahankan Indonesia
sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi dan rules of law.
“Oleh karena itu, semua orang yang terlibat di sana, apalagi para
petingginya, itu dipastikan tidak memiliki cacat cela sedikit pun,” ucap
Sulisyowati.
Profesor Mayling Oey dari Universitas Indonesia menambahkan,
sebagai lembaga yang sakral dan tinggi kedudukannya, MK harusnya memiliki hakim
yang berintegritas. Pasalnya, putusan MK final dan mengikat.
“Konflik kepentingan diharamkan, terlebih oleh ketua yang mengejar
keuntungan,” kata Mayling.
Sementara itu, akademisi dari Universitas Airlangga Herlambang
Perdana mengatakan, kasus Arief ini menyita perhatian tidak hanya masyarakat
secara luas, tetapi juga para mahasiswa fakultas hukum.
“Mereka akan bertanya-tanya, standar mundur itu, apakah menunggu sanksi
etik ketiga, keempat, atau keberapa? Tentunya dari sudut pandang hukum, tidak
ada. Tergantung Pak Arief Hidayat yang terhormat,” kata Herlambang.
“Mudah-mudahan desakan dari kolega guru besar
ini mengetuk hati Arief Hidayat,” pungkasnya. (Kompas/ Eka)
No comments