Program M-KRPL Guna Mewujudkan Kemandirian Pangan
Prinsip Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) yaitu dibangun dari kumpulan
rumah tangga agar mampu mewujudkan kemandirian pangan melalui pemanfaatan
pekarangan dengan berbagai jenis tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, tanaman
obat, maupun ternak dan ikan.
Secara umum M-KRPL bertujuan untuk:
1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam
pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan maupun perdesaan untuk budidaya
tanaman pangan, buah-buahan, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga),
pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta pengolahan limbah rumah
tangga.
2. Memenuhi kebutuhan pangan
dan gizi keluarga dan masyarakat secara lestari dalam suatu kawasan.
3. Memelihara sumberdaya
genetik/plasma nutfah lokal.
4. Mengembangkan kegiatan
ekonomi produktif keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan
sehat secara mandiri.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB sebagai Unit Pelaksana
Teknis Badan Litbang Pertanian ditugaskan untuk membangun percontohan m-KRPL di
daerah. Sejak 2011 hingga 2013 telah terbangun 24 unit percontohan m-KRPL yang
tersebar di 10 Kabupaten/Kota se NTB.
Tahapan Implementasi m-KRPL
1. Pendekatan
Pendekatan
yang digunakan dalam membangun m-KRPL adalah pendekatan sistem. Konsep sistem
merupakan suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan
mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasil secara tentatif, yaitu suatu
sistem operasi yang secara efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest)
atau keterbatasan sumber daya.
Beberapa
tahapan yang perlu dilakukan dalam pendekatan sistem untuk menyelesaikan
masalah yang kompleks, yaitu: (1) analisis kebutuhan, bertujuan untuk
mengidentifikasi kebutuhan dari semua stakeholders yang terlibat dalam sistem;
(2) formulasi permasalahan yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan
yang ada dalam sistem; (3) identifikasi sistem, yaitu menentukan
variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua stakeholders
dalam sistem; (4) pemodelan abstrak, pada tahap ini mencakup suatu proses
interaktif antara analis sistem dengan pembuat keputusan yang menggunakan model
untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan
terhadap berbagai kriteria sistem; (5) implementasi model, tujuan utamanya
memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan; (6) operasi, pada tahap ini
akan dilakukan validasi sistem dan pada tahap ini pula sering terjadi
modifikasi-modifikasi tambahan, karena cepatnya perubahan lingkungan dimana
sistem tersebut berfungsi.
Unit
terkecil dari perhatian m-KRPL adalah rumah tangga sebagai pusat alokasi sumber
daya, produksi dan konsumsi. Konsep kawasan (kelompok, RT, dusun) dalam pengembangan
RPL diharapkan dapat mengimplementasikan hubungan komunal, kegiatan ekonomi dan
lingkungan secara harmonis. Dalam kawasan diharapkan akan terjadi penghimpunan
tenaga dan daya, pemusatan dukungan input dan output serta difusi teknologi
lebih efektif dan partisipatif. Pada setiap tahap kegiatan mulai dari penentuan
kelompok sasaran, pemilihan komoditas yang akan dikembangkan serta pilihan
inovasi teknologi yang sesuai dengan kondisi biofisik, agroklimat serta sosial
ekonomi kelompok sasaran dilakukan dengan pendekatan partisipatif.
2. Teknologi yang dikembangkan
Teknologi yang digunakan bersifat komplementer antara teknofarming dan ekofarming (eko-teknofarming). Ekoteknofarming
dianggap sebagai skenario yang tepat untuk mencapai RPL bervisikan pertanian
berkelanjutan yang berbasis ilmu pengetahuan dan sumber daya lokal. Integrasi
tanaman, ternak dan ikan secara terpadu memungkinkan aliran energi/rantai
makanan dapat berlangsung secara seimbang, harmonis dan nir limbah (zero
waste). Dengan demikian
akan terbangun m-KRPL dengan penggunaan input luar rendah atau Low
External Input and Sustainable Agricultura (LEISA). Prinsip pengembangan m-KRPL adalah
pemanfaatan sumber daya pekarangan yang ramah lingkungan dan produktif untuk
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran
rumah tangga harian, sehingga terjadi peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani dan keluarganya.
3. Pemilihan komoditas yang dikembangkan
Pemilihan
komoditas mempertimbangkan: a) pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga
serta kemungkinan pengembangannya secara komersial berbasis kawasan; b)
komoditas untuk pekarangan adalah yang sesuai dengan kondisi biofisik,
agroklimat dan sosial ekonomi masyarakat setempat, antara lain: tanaman
diutamakan yang sudah biasa dikonsumsi masyarakat setempat (sayuran,
buah-buahan, rempah dan obat); c) pada pekarangan yang lebih luas dan
memungkinkan, dapat ditambahkan ternak/ikan yang terintegrasi secara harmonis
dengan prinsip zero
waste.
Untuk
memudahkan dalam penerapan teknologi, lahan pekarangan dibedakan atas
pekarangan perkotaan dan perdesaan (Kementan, 2011). Pekarangan perkotaan,
dikelompokkan menjadi 4, yaitu: (1) perumahan Tipe 21, dengan total luas lahan
sekitar 36 m2; (2) perumahan Tipe 36, luas lahan sekitar 72 m2;
(3) perumahan Tipe 45, luas lahan sekitar 90 m2; dan (4) perumahan
Tipe 54 atau 60, luas lahan sekitar 120 m2. Pekarangan perdesaan,
dikelompkan menjadi 4, yaitu (1) pekarangan sangat sempit (tanpa halaman), (2)
pekarangan sempit (<120 m2), (3) pekarangan sedang (120-400 m2),
dan (4) pekarangan luas (>400 m2).
Pemilihan
komoditas yang akan diusahakan disesuaikan dengan strata pekarangan, kondisi
biofisik dan sosial ekonomi masyarakat. Petani yang dilibatkan dalam kegiatan
m-KRPL adalah petani yang bersedia bekerjasama dan berpartisipasi dalam
menerapkan teknologi yang akan dikembangkan dalam satu kawasan dengan jumlah
petani >25 Kepala Keluarga (KK).
4. Pembinaan dan pengawalan teknologi
Pembinaan
menuju lestari dilakukan dengan: a) melibatkan petugas lapangan dan ketua
kelompok secara aktif mulai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan; b)
kontinyuitas ketersediaan bibit dengan membangun kebun bibit desa (KBD) yang
dikelola secara ekonomis dan berkelanjutan; c) pengaturan pola dan rotasi
tanaman termasuk sistem integrasi tanaman-ternak dan model diversifikasi yang
tepat sehingga dapat memenuhi pola pangan harapan dan memberikan kontribusi
pendapatan yang tinggi terhadap kebutuhan hidup layak (KHL) petani.
Salah
satu tujuan pengelolaan m-KRPL adalah melakukan konservasi sumber daya genetik
lokal (sumber daya alam hayati). Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990,
konservasi sumberdaya alam hayati diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam
hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumberdaya alam hayati dilakukan
melalui tiga kegiatan, yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2)
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3)
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam
konteks M-KRPL, konservasi keanekaragaman sumberdaya hayati lokal (local biodiversity)
merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian konservasi sumberdaya alam
hayati.
Hasil
Kegiatan MKRPL
Jenis tanaman yang paling banyak diusahakan adalah cabai, terong, tomat,
sawi, bayam, mentimun dan labu. Dalam satu tahun pembinaan, jumlah peserta
m-KRPL terus bertambah dari 35 rumah tangga menjadi lebih dari 50 rumah tangga.
Hasil kajian BPTP NTB menunjukan bahwa pemanfaatan pekarangan secara
optimal dapat menghemat pengeluaran rumah tangga antara Rp 200.000 s/d 500.000
perbulan.
No comments