Header Ads

Header ADS

Skripsi Peternakan




KUALITAS SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING SAPI BALI
YANG BERASAL DARI RUMAH POTONG HEWAN
DI KABUPATEN BIMA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Sapi Bali merupakan plasma nutfa Indonesia yang mana penyebarannya sangat luas di beberapa Provinsi di Indonesia. Melihat permintaan daging yang cukup besar di Negara kita mestinya dapat menjadi pendorong bagi pihak-pihak yang terkait untuk memperbaiki produktivitas sapi dalam negeri dengan mengelola secara lebih serius lagi. Adapun beberapa kelebihan yang dimiliki oleh sapi bali yaitu Kemampuan adaptasi di lingkungan yang memiliki ketersediaan pakan berkualitas rendah dan Fertilitas pada sapi bali sangatlah baik.
Kebutuhan protein hewani asal ternak yang semakin terasa untuk negara berkembang, khususnya Indonesia, yang terus semakin bertambah yang disebabkan oleh pertambahan penduduk yang pesat dan daya beli masyarakat semakin tinggi. Upaya untuk meningkatkan ketersediaan protein hewani terus dilakukan diantaranya dengan jalan impor susu bubuk, telur, daging dan mendatangkan bibit ternak unggul.
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling disukai oleh konsumen karena rasanya yang lezat. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas air, lemak, protein, mineral dan karbohidrat. Kandungan gizi yang lengkap dan keanekaragaman produk olahannya menjadikan daging sebagai bahan pangan yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, namun demikian kualitas daging yang beredar di masyarakat sering kali tidak terjamin dengan baik.
Daging adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Daging juga merupakan bahan pangan yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme sehingga daging jika penanganannya pasca pemotongan tidak baik kualitasnya menurun (Prasetyo dkk. 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikrobiologi karena kandungan gizi dan kadar airnya yang tinggi. Pada tiap RPH (Rumah Potong Hewan) terdapat manajemen pemotongan hewan sesuai dengan standarisasi masing-masing RPH, sehingga diduga berpengaruh pada kualitas fisik dan kimia daging sapi pada tiap RPH.
Daging sapi diharapkan mempunyai kualitas yang layak untuk dikonsumsi. Kualitas daging dapat ditentukan secara kimia, mikrobiologi, organoleptik, dan fisik. Kualitas fisik daging seperti Daya Ikat Air (DIA), susut masak, keempukan dan pH serta kualitas kimia daging akan mempengaruhi kualitas pengolahan daging. Daging yang memiliki kualitas sifat fisik dan kimia yang baik tentunya akan memberikan produk pengolahan yang baik dan akan mempermudah selama proses pengolahannya. Sampai saat ini belum ada informasi mengenai kualitas fisik dan kimia daging sapi Bali yang berasal dari RPH yang ada di Kabupaten Bima. Kabupaten Bima memiliki luas wilayah 437.465 Ha atau 4.394,38 Km2 dengan jumlah penduduk 419.302 jiwa dengan kepadatan rata 96 jiwa/Km2. Jumlah penduduk sangat terkait dengan tingkat konsumsi daging yang dicerminkan oleh jumlah pemotongan ternak 5 tahun terakhir yang cenderung terus meningkat khusus untuk ternak sapi. Sebagai gambaran terlihat bahwa ternak sapi yang dipotong pada tahun  2010 tercatat 1.905ekor  meningkat  menjadi 3.135 ekor pada tahun 2013  dan tahun 2014 jumlah sapi yang dipotong di RPH resmi tercatat sebesar  4.171 ekor. Sampai dengan tahun 2015 jumlah RPH di Kabupaten Bima sebanyak 3 RPH dengan fasilitas-fasilitas yang berbeda-beda sehingga berdampak terhadap kualitas fisik dan kimia daging yang dihasilkan berbeda-beda  pula.
Terkait dengan kualitas fisik dan kimia daging di Kabupaten Bima diperlukan penelitian dasar dengan judul: Kualitas fisik dan kimia daging sapi Bali yang berasal dari  Rumah Potong Hewan (RPH)  di Kabupaten Bima.
1.2.       Perumusan Masalah
Kualitas Sifat fisik dan kimia daging sapi Bali yang berasal dari RPH di Kabupaten Bima belum diketahui apakah sudah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh SNI- Indonesia.
1.3.       Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1.      Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui sifat fisik dan kimia daging sapi Bali yang berasal dari RPH di Kabupaten Bima berdasarkan jenis/lokasi otot.
1.3.2.      Kegunaan Penelitian
a)      Sebagai data dasar untuk memberikan informasi kepada masyarakat konsumen daging, bahwa daging sapi Bali yang berasal dari RPH se Kabupaten Bima mempunyai kualitas fisik dan kimia yang memenuhi SNI-Inonesia.
b)      Berguna untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan melalui penyususnan bahan ajar, yang berguna bagi dosen dan mahasiswa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1.      Sapi Bali
                  Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia. Berasal dari Bos sondaicus atau banteng yang sudah mengalami domestikasi dan merupakan hewan potong dan kerja. Wiyatna (2007) menerangkan bahwa sapi Bali memiliki heat toleran yang cukup tinggi dibanding sapi lainnya. Dapat menyesuaikan diri dengan peternakan ekstensif, karena sapi Bali masih mempunyai sifat banteng dan daya reproduksi yang tinggi.Sapi Bali merupakan salah satu Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) asli Indonesia yang mempunyai banyak keunggulan, antara lain memiliki daya tahan tubuh yang baik terhadap cekaman lingkungan, mampu tumbuh dengan baik pada kondisi buruk, tingkat produktivitasnya tinggi serta kualitas daging yang baik.
                  Upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali yang saat ini tengah dilakukan di wilayah peternakan murni (Propinsi Bali) melalui P3 Bali melalui seleksi dan uji keturunan berhasil mendapatkan sapi dengan nilai pemuliaan dugaan yang lebih baik.
                  Sapi Bali merupakan salah satu breed sapi asal daerah tropis yang mempunyai komformasi tubuh cukup baik yakni pertumbuhan bagian depan dan belakang tubuhnya seimbang, sehingga dipandang sebagai breed sapi tipe potong asal daerah tropis mempunyai masa depan yang cukup baik. Sapi Bali dibanding dengan sapi lokal lainnya memiliki ciri-ciri sapi potong yang terbaik di Indonesia yaitu: kaki pendek. Badan panjang. lingkar dada cukup besar. lebih cepat dewasa. Memiliki persentase karkas yang cukup tinggi. Danmemiliki perlemakan yang merata serta menghasilkan daging berkualitas tinggi (Ashari dkk.. 2008).
                  Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan bangsa sapi potong asli dan murni Indonesia telah mendapat perhatian dari berbagai pihak mengingat sapi tersebut memiliki sifat unggul yaitu tingkat reproduksinya tinggi. Mudah beradaptasi dan tidak selektif terhadap pakan dibandingkan sapi potong asli lainnya (Bandini. 1999). Selanjutnya dikatakan sapi Bali merupakan sapi banteng liar yang pada saat ini masih ditemukan dibeberapa lokasi di Pulai Jawa. Dugaan tersebut didasarkan atas penampilan dan tanda khusus yang terdapat pada sapi Bali maupun sapi Banteng Sementara itu melalui komunikasi antara raja-raja pada waktu itu sapi Bali didatangkan di Pulau Lombok sehingga menjadi pusat sapi Bali yang kedua.
                  Sapi Bali sangat responsif terhadap usaha-usaha perbaikan pakan (Bandini.1999). Pertambahan bobot badan harian sapi Bali yang diberi pakan suplemen kualitas tinggi sebanyak 30% dari total konsentrat memperlihatkan pertumbuhan sebesar 0.6182 kg/hari (Ashari. 2005). Sedangkan Handoko (1998) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan harian sapi Bali berksar antara 372-552 g.  Gufran (1995) melaporkan bahwa sapi Bali jantan yang dipelihara dengan sistem kereman pertambahan bobot badannya mencapai 0.34-0.49 kg/ekor/hari. Mastika (2003) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan sapi Bali masih dapat ditingkatkan menjadi 760 g/hari dengan ransum rumput gajah 40% + konsentrat  60% (20.7% PK.  77% TDN). Pane (1991) menyatakan bahwa sapi Bali menunjukkan pertambahan bobot badan mencapai 0.7 kg/hari (jantan dewasa) dan 0.6 kg.hari (betina dewasa).
                  Arman dkk. (2007). melaporkan bahwa. Rata-rata bobot dan persentase karkas sapi Bali jantan muda berturut-turut adalah 156.19±42.23 kg. 54.57±1.95%.sedangkan yang betina : 94.72±26.90 kg. 46.76±3.28%. Selanjutnya Candrawati (1993) melaporkan. Persentasekarkas sapi Bali berkisar 49.45-53.00%. Hapiddan Rugayah (2009) melaporkan bahwa rata-rata persentase karkas sapi Bali adalah 53-56% dengan bagian kaki depan 21-22%. Kaki belakang 33-37%. Bagian leher, dada, dan punggung 40-41% serta bagian perut 4%. Dalam penelitian Pane (1991) melaporkan bahwa sapi Bali memiliki persentase karkas bisa mencapai 51,5-59,9% dengan persentase tulang kurang dari 15% dan daging berkadar lemak rendah.  Wiyatna (2007) melaporkan bahwa sapi-sapi Indonesia (sapi Bali. Madura dan PO) memiliki persentase karkas masing-masing berturut-turut 54%. 47% dan 44%, sedangkan sapi Australian Commercial Cross (ACC) memiliki persentase karkas 51%.
                  Kuswati (2011) menyatakan bahwa faktor yang menentukan nilai karkas adalah berat karkas. Jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Selanjutnya dikatakan nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe ternak yang menghasilkan karkas. Umuratau kedewasaan ternak dan jumlah lemak intramuskuler (marbling) di dalam daging. Faktor nilai karkas dapat juga diukur secara subyektif. Misalnya dengan pengujian organoleptik atau metode panel (Anonim, 2008). Sedangkan Saka dkk. (2011) menyatakan bahwa indek perototan fleshing indeks (FI) salah satu karakteristik karkas atau kriteria penilaian karkas secara obyektif yang merupakan pilihan untuk mengganti penilaian konformasi karkas secara visual yang subyektif. Selanjutnya dikatakan bahwa berat (kg)  persatuan panjang (cm) atau fleshing indeks (FI) atau indek perototan karkas digunakan sebagai ukuran konformasi karkas secara obyektif karena  diyakini ada hubungan yang positif dengan peruratdagingan karkas atau jumlah daging yang dapat dijual yang diperoleh pada sebuah karkas. Dikatakan juga bahwa makin tinggi nilai FI suatu karkas atau semakin tinggi berat karkas persatuan panjangnya. Maka makin baik atau makin diinginkan konformasi karkas tersebut. Asalkan karkas tersebut tidak terlalu gemuk (skor kegemukan karkasnya tidak lebih dari 3 atau sedang). Sebagai gambaran Indek Perdagingan sapi-sapi Indonesia (sapi Bali. Madura dan PO).
                  Dilaporkan oleh Wiyatna (2007) bahwa sapi Bali memiliki indek perdagingan 1.232. sapi PO sebesar 1.210. sedangkan sapi ACC mempunyai indek perdagingan 1.415. dengan demikian sapi Bali mempunyai potensi memiliki indek perdagingan sama dengan sapi ACC.  Saka dkk. (2011) melaporkan bahwa sapi Bali yang ada di Pulau Bali memiliki karakteristik karkas seperti dicantumkan pada Tabel 2.Tabel 2. Karakteristik Karkas Sapi Bali yang Dipelihara di Pulau Bali
No.
Karakteristik Karkas
Jenis Kelamin
Jantan
Betina
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Berat karkas (kg)
Panjang Karkas (cm)
Fleshing Indek (kg/cm)
Luas UDMR (cm2)
Tebal Lemak Punggung (%)(mm)
Skor Kegemukan Karkas
Skor Warna Lemak
Skor Warna Daging
Skor pH daging
170.2
117.6
1.44
62.2
10.7
2.4
2.8
4.1
5.53
146.2
116.0
1.25
55.6
14.7
2.8
3.9
4.1
5.50
Sumber: Saka dkk. (2011).
                  Drennan dan Murphy (2006) mennyatakan bahwa meat bone ratio adalah perbandingan antara berat daging dan tulang karkas. Selanjutnya dikatakan bahwa karkas yang baik mempunyai meat bone ratio  4.0:1. Sapi asli Indonesia (Sapi Madura. PO) memiliki meat bone ratio  masing-masing berturut-turut 5.84:1 dan 3.23:1 (Anonim. 2009). sedangkan  sapi Limousen meat bone ratio  sebesar 5.62:1 (Purchas. 2004).
2.1.2.      Sifat Fisik Daging
                  Banyak faktor yang mempengaruhi keempukan daging, yaitu faktor sebelum pemotongan, misalnya spesies, fisiologis, umur, jenis kelamin dan pengelolaan, sedangkan faktor setelah pemotongan seperti metode pendinginan, prosesing, pembekuan dan metode penyimpanan daging. Menurut Soeparno (2005), ada tiga komponen yang menentukan keempukan daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya; kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya; WHC dan jus daging. Tekstur daging yang relatif lebih halus akan menghasilkan daging yang lebih empuk (Lawrie, 2003).
                  Nilai tekstur juga dipengaruhi oleh pH dan WHC. Nilai pH yang tinggi mengakibatkan WHC semakin besar sehingga kandungan air semakin banyak dan daging akan relatif lebih empuk (Prasetyo, 2002). Tekstur daging dapat menentukan keempukan daging. Lokasi otot dapat menentukan keempukan otot tersebut. Kadar kolagen sebagai penyususun jaringan ikat otot mempengaruhi kealotan atau keempukan daging, otot yang aktif akan menghasilkan daging yang lebih alot dari pada otot yang kurang aktif (Arif  dkk.,2003).
                  Banyak faktor yang dapat mempengaruhi peningkatnya nilai WHC yaitu pH, bangsa, kelembaban, pelayuan daging, tipe dan lokasi otot, fungsi otot, umur, pakan, dan lemak intramuskular (Alvarado dan McKee, 2007). Perbedaan WHC dapat disebabkan oleh perbedaan pH daging. Ada hubungan antara pH ultimat dengan WHC.  Dalam keadaan pH rendah karena banyaknya asam laktat, maka gugus reaktif protein berkurang dan menyebabkan makin banyaknya air daging yang lepas, sehingga WHC daging turun (Kadarsih, 2004).
                  Riyanto (2004), menyatakan bahwa daya ikat air akan meningkat jika nilai pH daging meningkat. Hal ini disebabkan karena rendahnya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging terbuka sehingga menurunkan daya ikat air, dan tingginya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging tertutup sehingga daya ikat air tinggi. Penelitian Tantan (2011), melaporkan nilai WHC dari daging sapi dara Brahman Cross adalah 25,54%, 30,67%, dan 31,50%.
                  Daya mengikat air sangat dipengaruhi oleh pH daging. Daya mengikat air meningkat seiring dengan penurunan nilai pH daging. Daging segar memiliki DIA yang tinggi, karena kemampuan daging segar dalam mengikat air tinggi dibandingkan dengan daging yang tidak segar.
                  Pengaruh stres sesaat sebelum pemotongan terhadap bermacam-macam otot sapi sangat bervariasi. Stres sebelum pemotongan, seperti iklim, tingkah laku agresif diantara ternak sapi atau gerakan yang berlebihan, juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan atau habisnya glikogen otot dan akan menghasilkan daging yang gelap dengan pH yang tinggi (lebih besar dari 5,9).
Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak. Ditambahkan oleh Aberle et al. (2001), perubahan nilai pH tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan, bila jumlah glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup atau kurang  akan menghasilkan daging yang kurang berkualitas.

2.1.3.      Komposisi Kimia Daging
                  Protein adalah komponen bahan kering yang terbesar dalam daging. Nilai nutrisi daging yang lebih tinggi disebabkan karena daging mengandung beberapa asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Kandungan protein di dalam otot yaitu 16% - 22%. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 75% air, 18% protein, 3,5% lemak dan 3,5% zat-zat non protein yang dapat larut (Lawrie,2003). Protein merupakan makro molekul yang berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat kering yang hampir pada semua organisme (Lehninger, 1998). Molekul protein terutama tersusun oleh atom karbon (51,0-55,0%), hidrogen (6,5-7,3%), oksigen (21,5-23,5%), nitrogen (15,5-18,0%) dan sebagian besar mengandung sulfur (0,5-2,0%) dan fosfor (0,0-1,5%) (Anggorodi, 1979).  Kegunaan utama protein bagi tubuh adalah sebagai zat pembangun tubuh, sebagai zat pengatur, mengganti bagian tubuh yang rusak, serta mempertahankan tubuh dari serangan mikroba penyebab penyakit. Selain itu protein dapat juga digunakan sebagai sumber energi (kalori) bagi tubuh, bila energi yang berasal dari karbohidrat atau lemak tidak mencukupi (Muchtadi, 1993).
                  Kadar protein menentukan mutu makanan (bahan pangan). Protein dapat mengalami kerusakan oleh panas, reaksi kimia dengan asam atau basa, guncangan dan sebab-sebab lainnya (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Nilai gizi protein ditentukan oleh kandungan dan daya cerna asam-asam amino esensial.
Buckle et al. (2007), menyatakan bahwa protein daging sapiberkisar antara 16 22%. Penelitian WistubaKegley, and Apple (2006), memperoleh hasilrata-rata kadar protein daging dari sapi AngusCrossbred kastrasi sekitar 15,2%.Padaumumnya, daging mengandung protein dalamjumlah yang relatif konstan dan kemungkinantidak adanya perbedaan diantara bangsa ternak.Perbedaan protein daging diantara bangsa sapi dapatdisebabkan oleh perbedaan struktur daging,yang terutama terdiri dari protein miofibril danjaringan ikat (Nugroho, 2008).
Kadar air yangberbeda diantara daging juga dapatmenyebabkan perbedaan kadar protein, karenaprotein mempunyai hubungan yang eratdengan kadar air daging, terutama sifathidrofilik protein otot dalam mengikatmolekul-molekul daging. Bahendra (2007), menyatakan kadar air yang berbeda diantara ternak satu dengan ternak yang lain dapat menyebabkan perbedaan kadar protein, karena protein mempunyai hubungan yang erat dengan kadar air daging, terutama sifat hidrofilik protein otot dalam mengikat molekul-molekul air daging. Protein daging berperan dalam pengikatan air daging.
                  Kadar protein daging yang tinggi menyebabkan meningkatnya kemampuan menahan air daging sehingga menurunkan kandungan air bebas, dan begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi jumlah air yang keluar, maka daya mengikat airnya semakin rendah (Lawrie, 2003).
                  Nilai rata-rata kadar air daging sapi normal otot BF (Biceps Femoris) adalah 76,04%, dari otot LD (Longissimus Dorsi) adalah 75,77%.  Menurut Nugroho (2008), bahwa nilai kadar air sapi adalah 77,5±0,4% untuk bangsa sapi Bos Indicus, sedangkan untuk sapi bangsa Bos Taurus adalah berkisar antara 72,4 74,8% (Boles and Shand, 2008). Faktor teknis, pemeliharaan ternak sapi ketika masih hidup dapat mempengaruhi kadar air pada daging sapi. Nilai pH akhir yang tinggi (di atas 5,9) dapat mengakibatkan tingginya (di atas 75%) kadar air karena air terikat secara kuat oleh protein.
                  Menurut Nugroho (2008), kadar lemak daging bervariasi dan dapat dipengaruhi oleh bangsa, umur, spesies, lokasi otot dan pakan. Menurut Bintoro (2008),  daging sapi mengandung lemak 8,3–12,3 %.
2.1.4.      Mikrobiologi Daging
                  Menurut Soeparno (2005) dikutip oleh Heru Prasetyo (2013), Masdiana Ch Padaga (2013), Manik Eirry Sawitri (2013). Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh Kimia yang dikaitkan sebelum dan sesudah pemotongan sapi potong, Waktu saat melakukan pemotongan tanpa mengetahui cara pemotongan dengan baik dan caranya ada hal yang dapat mempengaruhi kualitas daging, dalam hal pemotongan harus mengistirahatkan ternak tersebut agar tidak terkena strees pada ternak potong dan menghasilkan daging berwarna lebih cerah. Sedangkan ternak sapi potong yang akan di potong tanpa melakukan pengistirahatan akan menghasilkan daging berwarna lebih gelap, bertekstur keras. Menurut, Alberle (2001), Forrest (2001), Hendrick (2001), Judge (2013), Merkel (2001) dikutip oleh Heru Prasetyo (2013), Masdiana Ch Padaga (2013), Manik Eirry Sawitri (2013).
                  Kuntoro (2013), menyatakan bahwa indikator kontaminasi awal pada daging sapi segar salah satunya dapat dilihat dari jumlah TPC dan E. coli, karena bakteri tersebut terdapat secara alami pada daging sapi segar dan dapat menimbulkan penyakit apabila keberadaanya berada di atas ambang batas yang diperbolehkan. Selanjutnya dikatakan bahwa kontaminasi pada daging berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan, apalagi peralatan yang digunakan tidak bersih. Setelah proses penyembelihan, kontaminasi selanjutnya dapat terjadi pada saat pengulitan, pengeluaran jeroan, pembelahan karkas, pencucian karkas/ daging, pendinginan, pembekuan, proses thawing, preservasi, pengemasan, penyimpanan, distribusi, pengolahan bahkan sesaat sebelum dikonsumsi.
                  Menurut Lukman (2009) personal hygiene merupakan suatu tahapan dasar yang harus dilaksanakan untuk menjamin produksi pangan yang aman. Personal hygiene mengacu pada kebersihan tubuh perseorangan dan merupakan hal yang berperan penting dalam proses sanitasi pangan.  Menurut Komariah et al. (1996) semua hal yang kontak langsung dengan daging seperti meja, peralatan, penjual dan lingkungan dapat menjadi sumber kontaminasi.
2.2.Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, serta uraian di atas maka hipotesis antara lain:
H0 diduga bahwa kualitas sifat fisik dan kimia daging sapi bali yang berasal dari RPH di Kabupaten Bima sudah memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh SNI- Indonesia.
HA diduga bahwa kualitas sifat fisik dan kimia daging sapi bali yang berasal dari RPH di Kabupaten Bima belum memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh SNI- Indonesia.

BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1.Materi Penelitian
3.1.1.      Bahan-bahan Penelitian.
a.       Daging sapi Bali segar yang diambil langsung di RPH yang ada di Kabupaten. Daging sapi Bali diambil pada bagian paha (otot aktif), Punggung (otot pasif) dan bagian punuk (otot pasif).
b.      Bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat yaitu: petroleum benzene, K2SO4,  CuSO4, H2SO4, H2BO3 3% sebanyak 30 ml, BCG, NaOH 40%, aquadest  dan batu didih
c.       Bahan-bahan untuk uji sifat fisik daging: kertas saring dan air destilasi.
3.1.2.      Alat-alat Penelitian
a.       Alat-alat untuk analisis proksimat seperti: Labu mikro Kjeldahl, Ektraksi Soxhlet, Oven pengering, Desikator, peralatan destilasi dan titrasi, gelas ukur dan lain-lain yang digunakan untuk analisis proksimat.
b.      Timbangan elektrik merk Ohaus kapasitas 160 g dengan kepekaan 0,1 mg untuk menimbang sampel.
c.       Alat-alat untuk evaluasi sifat fisik: timbangan analitik, pinset, kaca, pemberat, plastic grid, pH meter, gelas piala, gelas ukur, penumbuk/ pencacah daging, Tenderometer Model KA-20 (alat untuk mengukur daya putus daging, pisauSteinlessteel.
d.      Termos es,untuk tempat penyimpanan daging pada saat pengangkutan.
3.2.Metode Penelitian
3.2.1.      Pengambilan Sampel Daging
                 Pengambilan sampel daging diambil dari sapi Bali jantan umur 2-2,5 tahun yang disembelah di 3 RPH yang ada di Kabupaten Bima masing-masing 3 ekor. Sampel daging diambil bagian Longisimus Dorsi (LD), Bicep Femoris (BF) dan Chuck (daging punuk) untuk tiap ekor sapi sebanyak 200 gram dan dimasukkan dalam termos es untuk selanjutkan dibawa ke Laboratorum Dasar Kesehatan Hewan Vokasi UNRAM PDD.
                 Kabupaten Bima mengambil sampel daging untuk diuji sifat fisik dan kimia di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNRAM. Pengambilan sampel daging untuk analisis daging dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) terhadap sejumlah pemilik ternak yang melakukan pemotongan di RPH Kota Kota Bima. Lima pemilik ternak yang melaksanakan pemotongan di RPH diambil sebagai sampel. Masing-masing pemilik ternak diambil tiga ekor ternaknya untuk dianalisis tingkat cemaran mikroba (TPC, E.coli. Coliform dan Salmonella). Sampel yang digunakan untuk analisis cemaran mikroba pada daging berupa jaringan otot Bicep femoris (BF) dan Longissimus dorsi et lumbarum (LD), masing-masing sampel diambil sebanyak 250 gram. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 01.00-06.00 WIB. Sampel yang telah diperoleh sesegera mungkin dibawa ke laboratorium untuk diuji. Sampel daging sapi ditempatkan dalam plastik steril dan dimasukkan ke dalam cool boxyang telah diberi es batu.
3.2.2.      Variabel yang diamati
1.      Sifat fisik produk berupa : Daya Ikat Air (DIA), susut   masak, pH, dan keempukan dengan cara sebagai berikut:
Uji daya ikat air (%)
-          Masing - masing sampel  daging ditimbang dengan ukuran berat 0,5 gram.
-          Kemudian diletakkan diantara kertas saring.
-          Kemudian kertas saring yang sudah diletakkan diantara dua plat kaca (ketebalan 5 mm)
-          Kemudian diberi beban 35 kg diatas plat kaca dan dibiarkan selama 5 menit.
-          Kemudian dilepaskan beban dan plat kaca
-          Setelah itu diberi arsir pada daerah basah dan daerah kering dengan menggunakan bulpoin
-          Setelah itu diukur luas air pada kertas saring dengan plastik milimeter block.
-          Kemudian dihitung area basah = Area yang ternodai dikurangi area daging. Kandungan air daging dapat diperhitungkan dengan rumus :
mg H20  - 0,8
Kemudian dikonversikan ke dalam bentuk persentase daya ikat air dengan rumus :
DIA = Total kadar air  -
Uji Susut Masak (%)
-          Masing - masing sampel  daging  dipotong dan ditimbang 10 gram.
-          Kemudian dimasukkan ke dalam plastik.
-          Kemudian dimasukkan ke dalam waterbath dengan temperatur 600C dan dibiarkan selama 30 menit.
-          Setelah itu sample daging dikeluarkan dari waterbath
-          Kemudian dikeluarkan dari plastik dan dilap dengan menggunakan tisu.
-          Kemudian sampel daging ditimbang kembali
-          Catat berat dan masukkan ke dalam rumus :
Susut masak x100%
Uji pH Daging
-          Masing –masing sample daging  dipotong dan ditimbang 5 gram
-          Kemudian dicincang/ dihaluskan
-          Kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala
-          Kemudian ditambahkan 10 cc aquades ke dalam gelas piala
-          Kemudian daging dan aquades dibiarkan tercampur selama 5 menit
-          Setelah itu diuji pH dengan menggunakan pH meter
-          Setelah itu dibaca skala yang ditunjukkan pH meter
Uji Keempukan (kg/cm2)
-          Masing -masing sampel  daging bagian punggung dipotong dan ditimbang 10 gram
-          Kemudian sampel dimasukkan ke dalam plastik
-          Kemudian dimasukkan ke dalam waterbath dengan temperature 600c dan dibiarkan selama 30 menit
-          Setelah itu dikeluarkan dari plastik dan dilap dengan menggunakan tisu
-          Setelah itu daging ditaruh dialat pengukur uji keempukan modifikasi alat
-          Warner-Bratzler Shear Press dan putusnya sampel dinyatakan dalam satuan kg/cm2
2.      Komposisi kimia yang akan diamati meliputi: kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu(Analisis proksimat).
Analisa komposisi kimia dilakukan dengan menggunakan analisa Proksimat (AOAC, 2005) meliputi:
Penentuan Kadar Air
1.      Cawn porselinyang sudah bersih dimasukkan dalam oven suhu 105oC selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator 1 jam, dan ditimbang (X).
2.      Timbang 1,5 g sampel (Y), masukkan dalam cawan porselin dan dioven suhu 105oC selama 8– 12 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 1 jam, setelah itu ditimbang (Z) setiap 1 jam dan dilakukan 3 kali sampai beratnya konstan.Dihitung kadar air dengan rumus: Kadar air =
Penentuan Kadar Abu
-          Cawan porselin yang sudah bersih di masukkan ke dalam oven suhu 105OC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 1 jam, dan ditimbang (Xg).
-          Timbang 1,5 g sampel (Yg) dimasukkan dalam cawan porselin, kemudian dipijarka suhunya secara bertahap sampai mencapai 600OC selama 2 = 4 jam hingga sampel berwarna putih seperti abu.
-          Didinginkan pada tempat yang sudah disediakan sehingga suhunya 120OC, dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang(Zg)
-          Dihitung kadar abu dengan rumus, Kadar Abu =
Penentuan Kadar Lemak Kasar(Metode Soxhlet)
-          Kertas saring bebas lemak dimasukkan ke dalam oven suhu 105OC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 1 jam dan ditimbang(X g).
-          Timbang 1,5 g sampel, kemudian dibungkus dengan kertas saring yang telah mendapatkan perlakuan 1 (Yg) , masukkan kedalam oven suhu 105OC selama 8 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 1 jam, dan ditimbang(Z g).
-          Labu penampung pendingin tegak dan alat ekstraksi Soxhlet dirangkai sedemikian rupa, kemudian diletakkan di atas penangas air.
-          Rangkaian diisi dengan petroleum benzene, sampai seluruhnya turun dan masukkan ke dalam labu ppenampung,  ulangi sampai alat ektraksi terisi penuh.
-          Ektraksi dihentikan apabila cairan pada labu Soxhlet sudah bening.
-          Sampel dikeluarkan dari alat ektraksi dan petroleum benzene diuapkan, kemudian di masukkan ke dalam oven bersuhu 105OC selama 4 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 1 jam  lalu ditimbang(A g).
-          Dihitung kadar lemak kasar dengan rumus =
Penentuan Kadar Protein Kasar( Mikro Kjeldahl)
-          Diambil 1,5 g sampel(X g) dan dimasukkan ke dalm labu Kjeldahl yang sudah bersih dan kering.
-          Ditambahkan 2 g K2SO4,  1g CuSO4 , 25 ml H2SO4 batu didih(3 butir), selanjutnya didestruksikan dengan sistim turbin dengan pemanas lemah, sedang dan tinggi sampai berwarna hijau jernih,, kemudian didinginkan pada suhu kamar.
-          Hasil destruksi diencerkan dengan aquadest hingga volumenya mencapai 100 ml dan ditambahkan 3 butir batu didih, selanjutnya dimasukkan 20 ml NaOH 40 % secara hati-hati.
-          Hasil destilasi ditampung dengan H2BO3 3 % sebanyak 20 ml, dan ditambahkan indicator mix BCG.
-          Penyulingan dihentikan bila pada labu penampung telah mencapai 100ml.
-          Titrasi dengan menggunakan H2SO4
-          Dihitung kadar protein kasar dengan rumus:
Kadar protein kasar =  ml H2SO4 x N x FP x 0,014 x 6,25  x 100%
X
Keterangan:  FP    = Faktor Pengencer
N     = Normalitas
          X     = Berat Sampel
0,014      = Berat molekul Nitrogen
6,25      = Faktor Protein yang diperoleh dari 100/16
3.2.3.      Analisa Data
               Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian (ANOVA) berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan(Stell and Torrie, 1997).

DAFTAR  PUSTAKA
Aberle, E.D., J.C. Forrest, H.B. Hendrick, M.D. Judge dan R.A. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.
Alvarado, C. and S. McKee. 2007. Marination To Improve Functional Properties And Safety Of Poultry Meat. J. Appl. Poult. Res. 16:113- 120.
Anonim. 2008. Mutu Karkas dan Daging Sapi. Standar Nasional Indonesia. SNI 3932:2008: BSN. Jakarta.
Anonim. 2009.  Sapi Bali . http://peternakan. Litbang.Deptan. Diakses 29 Nopember 2013.
AOAC (Association of Official Analytical Chemist). 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia. USA: Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Arman, Ch. I.P. Sudrana. M.Ashari. I.B. Dania. H. Poerwoto. 2007. Profil Produksi. Reproduksi dan Produktivitas Ternak sapi Bali di Nusa Tenggara Barat. Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Mataram.
Arief, I.I., R.R.A. Maheswari Dan T. Suryati. 2003. Proses Pengempukan Daging Sapi Dark Firm Dry (DFD) Melalui Teknologi Fermentasi oleh Bakteri Asam Laktat Lactobacillus plantarum. Laporan Penelitian Dasar. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ashari, M. 2005. Pengaruh Beberapa Tingkat HQFS (Hight Quality Feed Supplement) Terhadap Kinerj Produksi Sapi Bali yang Digemukkan Secara Feedlooting. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Mataram.
Ashari, M. Dania.I.B., Pribadi. L.W., 2008. Ilmu Produksi Ternak Potong dan Kerja. Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Bahendra. 2007. Kualitas Daging Sapi Bali(Bos Sundaicus) Di RPH KotanPekanbaru. Skripsi Fakultas Pertanian Dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Bandini,  Y. 1999. Sapi Bali Cocok untuk Ternak Potong dan Kerja. Rajin Beranak dan Mudah Pemeliharaannya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Boles, J.A., and P.J. Shand. 2008. Effect of Muscle Location, Fiber Direction, and Slice Thickness on the Processing Characteristics and Tenderness of Beef Stir-Fry Strips From the Round and Chuck. Meat Sci., 78: 369 374.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, and W. Wooton. 2007. Ilmu Pangan. Penerjemah: Hari Purnomo dan Adono. International Development Program of Australian Universities and Colleges, UI Press.
Gufran. 1995. Telaah Ragam dan Produksi. Porsi Pemberian dan Konsumsi. Nilai Nutrien Pakan sapi Bali Jantan Kereman Kaitannya dengan Pertumbuhan. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Mataram.
Handoko, E., 1998. Pengaruh Amoniasi Jerami Padi. Suplementasi Minyak Jagung. dan Analog Hidroksi Methionin Terhadap Pertumbuhan sapi Bali. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Mataram.
Hapid,  H., dan Rugayah. 2009. Persentase Karkas Sapi Bali pada Berbagai Berat Badan dan Lama Pemuasaan Sebelum Pemotongan.Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.Palu.
Kadarsih, S. 2004. Performans Sapi Bali Berdasarkan Ketinggian Tempat Di Daerah Transmigrasi Bengkulu : I. Performans Pertumbuhan. Jurnal Ilmuilmu Pertanian Indonesia. Volume 6. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian  Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Kuswati. 2011. Karakteristik Karkas dan Kualitas Daging Sapi Hasil Pengemukan Dengan Penambahan Carcass Modifier Pada Lama Pengemukan dan Jenis Kelamin Berbeda. Disertasi Program Doktor Ilmu Ternak Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
Kuntoro, B.,R.R.A. Maheswari dan H. Nuraini. 2013. Mutu Fisik Dan Mikrobiologi Daging Sapi Asal Rumah Potong Hewan (Rph) Kota Pekanbaru, Jurnal Peternakan Vol 10 No 1 Februari 2013 Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau : 1 – 8.
Komariah, H. Nuraini, R.R.A. Maheswari. 1996. Uji mikrobiologis terhadap daging dan susu segar yang beredar dipasaran. Media Peternakan (20). Bogor.
Lukman, D.W. 2009. Higiene Pangan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Edisi Kelima. Terjemahan Aminudin Parakkasi. UI Press. Jakarta.
Mastika,  I. M., 2003. Feeding  Strategies to Improve the Production Performance and Meat Quality of Bali Cattle (Bos sondaicus). Australian Centre for International Agriculture Research. Camberra.110: 10-13.
Nugroho, W. A. 2008. Produktivitas Karkas Dan Kualitas Daging Sapi Sumba Ongole Dengan Pakan Yang Mengandung Probiotik, Kunyit Dan Temulawak. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pane. I. 1991. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3 Bali. Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar. Bali.
Prasetyo, D. 2002. Sifat Fisik dan Palatabilitas Bakso Daging Sapi dan Daging Kerbau pada Lama Postmortem yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Purchas, R., 2004. Factor Affecting  Carcass Composition and Beef Quality. Massay University. Palmerston North.
Riyanto, J. 2004. Tampilan kualitas fisik daging sapi Peranakan Ongole (PO). J. Pengembangan Tropis. Edisi Spesial (2): 28 32
Saka, I.K. I.B. Mantra. I.N. Tirta Ariana. A.A. Oka. Ni L.P.Sriyani dan Sentana Putra. 2011. Karakteristik Karkas Sapi Bali Betina dan Jantan yang Dipotong   Rumah Potong Umum Pesanggaran. Denpasar. Laporan Penelian Fakultas Peternakan Udayana. Denpasar.
Setya  Budi M., Ahmad N Al. Baarri. 2005. Kualitas Daging Pada Depot Daging Tidak Resmi (Ilegal) Di Kabupaten Semarang. Skripsi Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro.
Steel, R.G., D. J.H. Torrie. 1997. Principles and Procedures of Statistic. A Biomedical Approach, 3rd ed. McGraw-Hill, Inc. Singapore.
Soeparno,  2005. Komposisi Karkas dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan. Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
Standar Nasional Indonesia (SNI 3932, 2008). Mutu Karkas dan Daging Sapi. Badan Standardisasi Nasional (BSN),  Jakarta.
Tantan, R. 2011. Karakteristik Fisik Daging Sapi Dara Brahman Cross Dengan Pemberian Jenis Konsentrat Yang Berbeda. Laporan Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Wistuba, T. J., E. B. Kegley And J. K. Apple. 2006. Influence of Fish Oil in Finishing Diets on Growth performance, Carcass Characteristics. J. Anim. Sci. 84: 902 -909
Wiyatna. M.F., 2007. Perbandingan Indek Perdagingan Sapi-sapi Indonesia (Sapi Bali. Madura. PO) dengan  sapi Australian Commercial Cross (ACC). Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung. Bandung.

No comments

Powered by Blogger.